Sunday 23 December 2007

Kita Kadang Kehilangan Semangat Kebersamaan, Wawancara dengan Izzatul Jannah


Denger-dengarlagi repot ngurus tesis S2 Pikologi UGM? Ada banyak rintangan?
Hmm iya, tahu saja, nih, saya sedang tesis. Kalau bicara rintangan, rintangan itu membuat kita semakin kuat dan bijaksana bukan? Hehe. Yah, rintangannya lebih banyak pada diri sendiri, saya pakai metode fenomenologi, pada fenomeneologi, ada metode bracketing, itu hal paling sulit bagi saya, karena pengalaman peneliti tidak boleh tercampur dengan fenomena yang sedang diteliti, sedangkan saya orang yang selalu terlibat dengan apapun yang saya lakukan...
Hal lain, karena saya orangnya holistis, maka saya mudah tergoda untuk melakukan hal lain saat penelitian. Saya sekarang, malah terlibat aktivitas lain di Yayasan Titian Masa Depan yang bekerjasama dengan Reach Out to Asia (ROTA) dan Qatar Foundation, ngurusi sekolah yang di bangun kembali karena gempa di daerah Bayat Klaten, sekarang kami sedang mengurus pengembangan komunitasnya, so.. agak teralihkan dari tesis. Tapi, sekarang tesisnya sudah selesai kok, sudah menyerahkan hasil analisisnya, jadi.. bola-nya sudah ada di profesor saya,.. tinggal tunggu hasil kerja dia saja haha.
Kenapa tertarik mengambil jurusan Psikologi?
Saya hanya kembali saja, kok. Kata T.S. Eliot, kehidupan itu seperti tangga berputar yang selalu kembali dimana ia punya keinginan kuat untuk kembali. Dari dulu saya sangat tertarik dengan kompleksitas manusia, saya mudah jatuh cinta pada karakter-karakter unik di sekitar saya, jadi keinginan kuat untuk belajar psikologi adalah keinginan untuk memahami karakter manusia, termasuk karakter saya sendiri. Mungkin mirip narcissus, tapi semoga tidak sampai terbunuh karena terlalu mencintai diri sendiri hehe.
Setelah belajar psikologi, saya semakin jatuh cinta. Karena ternyata sangat membantu saya untuk menulis fiksi.. what a beautiful coincidence ya? Atau memang takdir, sebagaimana nabi bilang semua manusia diciptakan dan dimudahkan atas apa ia ditakdirkan.
Jadi, mbak Izzatul Jannah ini alumni pertanian, melanjutkan ke psikologi, tapi giat menulis fiksi? Aduh-aduh kok bisa?
Saya menganggap kehidupan itu sekolah, saya sekolah di alam semesta. Jadi, tidak masalah memang, saya sekolah di pertanian saya belajar tentang tumbuhan dan mengambil filosofi prosesnya untuk menjadi, lalu ambil jurusan ekonomi pertanian, skripsi saya tentang kaum transmigran, saya mengambil filosofi tentang motivasi, persepsi mereka tentang kehidupan masa depan mereka pada saat membuka lahan baru di tanah transmigran, lalu kuliah psikologi, seperti yang saya bilang tadi, saya cuma kembali, mungkin nanti S3-nya saya akan ambil filsafat.. Hahaha.
Jadi, sesungguhnya ilmu bagi saya sintesa dari seluruh kehidupan yang saya jalani, saya senang merenung, senang bertanya secara internal, mengapa begini? Mengapa begitu? hidup yang tidak direnungi adalah hidup yang tidak manusiawi, gitu kan kata Plato. JADi, kalau Anda tanya kok, bisa? Ya karena saya cinta ilmu, itu saja.. dengan ilmu saya merasa lebih lengkap, lebih manusiawi, mungkin saya akan berhenti sekolah, nanti kalau sudah mati, karena saya menganggap hidup saya itu sekolah, sertifikat lulusnya nanti dari YANG MAHA memberi kesempatan untuk sekolah, Allah SWT, Tuhan semesta alam.
Mbak Izzatul Jannah termasuk orang penting di FLP, ceritain dong sejarahnya?
Orang penting? Ah, tidak juga. Semua di FLP orang penting, karena kami tidak saling menggantungkan satu sama lain untuk mengembangkan organisasi. Walau ada AD-ART, tapi karena semua orang FLP itu penting, mereka berhak mengembangkan FLP dengan kreatifitas masing-masing. Awalnya, saya terlibat dengan ANNIDA, saat itu tulisan-tulisan saya banyak dimuat di ANNIDA. ANNIDA Pemred-nya mbak HTR (Helvy Tiana Rosa), kami sering kontak, termasuk dengan Maimon Herawati (Muthmainnah, nama pena-nya) dia masih di inggris sekarang, ambil S2 dan nemani suaminya S3, waktu itu saya sering nulis untuk rubrik EPIK (salah satu rubrik cerita perjuangan di ANNIDA). Nah, ketika mbak HTR menggagas FLP kemudian dia mengundang saya untuk ikut pertemuan yang pertama di Jakarta, waktu itu tahun 1997 saya masih bawa bayi kecil anak saya yang pertama, baru 3 bulan, waktu itu pembicaranya Mas Tomi (Satryotomo, suami mbak Helvy) yang juga wartawan RCTI waktu itu. Dalam forum hadir banyak penulis dan jurnalis yang punya visi sama tentang sastra dan jurnalisme Islam, lalu digagas tentang Sastra dan Jurnalisme Islami. Ketika FLP berkembang biak secara Nasional, dan saya salah satu yang kemudian ikut cawe-cawe di Solo, lalu Jawa Tengah, begitu..
FLP solo sekarang dibanding waktu mbak Izzatul jannah jadi ketua?
Furqon yang sekarang ketua FLP, itu seniman dengan multi talenta, dia cerpenis, munsyid dan juga gape baca puisi. Maka pendekatannya juga pendekatan seniman, dia bukan organisator jadi dia tidak suka kuantitas dan manajemen, sukanya kualitas hehehe... Saya lihat dia fokus pada beberapa teman FLP yang memang berbakat untuk benar-benar jadi penulis seperti Aida Vyasa, Deasylawati, Aries Adenata.. Dia kemudian juga mengembangkan jaringan dengan komunitas penulis di Solo, termasuk dedengkot Rumah Sastra,masJoksum, Mas Wijang Wharek dari TBJT, dan juga komunitas lain.Itu bagus sekali, karena semangat seni, sastra dan kepenulisan tidak bisa berjalan sendiri-sendiri.
BicaraFLP berarti bicara sastra Islami, komentar mbak Izzatul Jannah?
Saya kerap ngobrol dengan elit FLP Solo, kabarnya ada sedikit kemajuan dari para penulis FLP memaknai cerita Islami, maksudnya yang tidak lagi terlalu kental mengusung simbol agama dan moral, begitukah?
Saya akan jawab dua pertanyaan sekaligus, karena keduanya saing berkaitan. Menurut saya, ada hal yang selama ini keliru dipahami tentang FLP. FLP seringkali diidentikan dengan karya-karya yang tampil di majalah ANNIDA, padahal walaupun penggagas FLP (HTR) adalah mantan pemred ANNIDA, bukan berarti seperti itulah prototipe karya sastra FLP.
Bicara ANNIDA, kita tidak bisa melepaskan diri dengan sastra media massa, karena sifatnya yang massif itulah maka pertimbangan terhadap pasar, menjadi hal yang tidak bisa di elakkan, dan konsep ANNIDA sendiri adalah majalah remaja, pangsa pasarnya adalah remaja, dan umumnya remaja menghendaki hal yang simpel, tidak rumit, mudah dipahami, sehingga demikianlah sastra di ANNIDA.
Tetapi sekali lagi, tidak bisa mengidentikan FLP dengan ANNIDA, itu stereotipe saja, mungkin yang kemudian menyematkan stereotipe itu, bukan orang yang benar-benar membaca dan meneliti karya FLP. Sebenarnya hanya satu hal yang sama antara ANNIDA dan FLP, karena ISLAM-nya. Nah, bicara ISLAM, WATAK ASLI Islam adalah adaptif sekaligus substantif, relatif sekaligus mutlak, tekstual sekaligus kontekstual, oleh karena itu ISLAM sah saja di sematkan pada berbagai cara berpikir seseorang. Jika yang berbicara tentang ISLAM adalah Eko Prasetyo (penulis Orang Miskin Dilarang Sekolah), maka jadilah ISLAM sebagai agama kerakyatan, agama perlawanan, jika yang bicara adalah Ustadz DR. Muinudinillah (Direktur PascaSarjana Studi Islam UMS, lulusan Saudi Arabia) maka ISLAM adalah syariat yang tekstual, yang bicara Islam Ulil Abshar Abdala, yang ada Islam liberal, yang bicara Ismail Yusanto, Islam itu Khilafah. Saya percaya bahwa ISLAM tidak bisa diidentikan dengan MUSLIM (pemeluk Islam) an sich, sebab muslim memiliki keterbatasan, sekaligus senantiasa berkembang cara berpikirnya secara elaboratif sekaligus ekstensif, sementara ISLAM adalah point-poit global tentang pemaknaan kehidupan.
Jadi, sah-sah saja jika kemudian di dalam FLP berkumpul berbagai macam sudut pandang, pemikiran, pendapat tentang bagaimana memaknai ISLAM dan menuliskannya dalam karya-karyanya. Sebenarnya saya tidak sepakat jika dikatakan sekarang ini FLP mengalami KEMAJUAN karena tidak lagi berkutat pada simbol dan moral, sebab simbol dan moral itu tidak bisa dinafikan begitu saja, hanya kemudian yang jadi masalah adalah bagaimana menyajikan simbul dan moral itu sendiri dalam tubuh karya sastra, ada yang harafiah,ada yang metaforis, ada yang eksperimentatif, semua itu ada di FLP..
Baru-baru saja terbit LEDGARD karya WD. Yoga, dia itu anak FLP juga, nama aslinya Ganjar Widi Yoga, mantan ketua FLP Yogyakarta (dia sahabat muda saya), karyanya diterbitkan BENTANG Pustaka, karya itu kata orang tidak tipikal anak FLP, padahal dia anak FLP, elit pula (istilah politis neh..), lalu kemarin Nasirun Purwakartun berkarya eksperimentasi tentang Sajak Kartun Kartun Sajak, itu juga tidak tipikal FLP, FLP yang di stereotipe melulu Islam simbolik dan moralis. Pak Ahmad Thohari pernah bilang, novel saya juga tidak menonjolkan simbol-simbol Islam secara harafiah melulu, kok..
Jadi lihatlah FLP secara lintas kategorikal, di dalam FLP lihatlah individu-individunya, kalaupun sekarang ada Lingkar Pena Publishing, itu TIDAK MEWAKILI karya FLP secara keseluruhan walau namanya pakai Lingkar Pena, begitulah..
Jadi saya menolak dikatakan FLP mengalami kemajuan karena sebab meninggalkan simbol Islam dan moral, karena itu tidak pernah dilakukan. Islam itu simbol, Islam itu identitas, Islam itu teks, tetapi pemahaman dan pemikiran terhadap Islam, tidak melulu simbolik, tidak bersikukuh pada identitas dan teks saja.
Sekarang ini orang sering bertengkar pada hal-hal seperti itu. Eh, lu nggak progresif karena hanya mengusung simbol, lu tidak Islami karena tidak pakai ”assalaamu’alaikum”. Itu sebabnya saya bangga, teman-teman FLP alhamdulillah bisa terbuka dan bergaul dengan komunitas manapun. Lintas komunitas itu bagus, karena menurut saya, itu yang diajarkan Nabi Muhammad.
Kontekstualisasi makna islami dalam sastra Islam?
Yaah.. apalagi nih? Menurut saya, teks atau konteks itu ada dalam sastra Islami, itu seperti duamata uang yang tidak bisa dipisahkan. Itu saja. Jadi dilakukan kontekstualisasi atau tidak, biarlah pengarang masing-masing yang bertanggungjawab atas perkembangan pemikirannya.
Bagaimana masa depan sastra Islami sendiri? Apa bisa berkembang lebih jauh dan menjangkau pembaca yang sebelumnya kurang mengakrabi cerita-cerita Islami?
Waaah.. pertanyaannya. Dari sudut pandang mana dulu nih yang disebut berkembang? Dari jumlah pembaca? Hmm kalau menurut saya, jumlah itu semu dan menipu. Sebab membaca itu di Indonesia masih dianggap sebagai aktivitas elitis, eksklusif, karena buku juga hanya bisa dijangkau oleh orang-orang berduit, itu pun orang-orang berduit yang memahami bahwa membaca itu mampu mengubah dunia. Jadi, menurut saya, keberkembangan sastra Islami justru terletak pada sejauh mana orang kemudian suka mengekspresikan pemikirannya dalam bentuk literasi, tidak peduli jumlah pembacanya, hehe mungkin ini agak tidak ajeg dengan kebutuhan penerbit untuk hidup dari kocek pembaca ya?
Selama ini, sastra Islam, atau apapun yang kemudian dikaitkan dengan Islam secara simbol, mengalami hegemoni, di stereotipe sedemikian rupa sehingga orang menganggap yang Islami itu puritan, gahar, barbar, heheh (sori agak too much kali ya..) orang takut dengan simbol-simbol Islam karena phobia, itu sebabnya, saya sering mengutip kata Nabi yang satu itu, ISLAM seringkali disalahpahami karena di-identikkan dengan perilaku MUSLIM-nya.
Sederhananya, selama Islam masih dianut diseantero negeri, selama Islam ditampilkan secara terbuka, dan kemudian keterbukaan dan kelapangan hatinya dapat diwakili oleh karya-karya literasinya, maka sastra Islami akan mendapatkan tempat tersendiri, bagi mereka simpati maupun antipati.
Proses Kreatif?
Saya berasal dari pergerakan, sebelum saya menjadi penulis saya lebih dulu aktif di pergerakan Islam. Jadi, proses kreatif saya tidak bisa dilepaskan dari aktivitas saya di pergerakan Islam. Banyak aktivis pergerakan yang juga penulis, aktivis LSM yang penulis, aktivis kiri yang penulis, aktivis sosialis yang penulis. Dan, saya menyadari itu, ide kreatif saya berasal dari pemikiran pergerakan. Itu tidak saya tolak.
Saya menulis berdasarkan apa yang saya alami, saya lihat, saya dengar,saya pikirkan, saya rasakan, saya renungkan. Itu sebabnya saya suka mencoba berbagai hal, saya ingin hidup yang kompleks dan tidak sederhana, kadang itu dianugerahkan pada saya, tetapi kadang saya memerlukan orang lain untuk mendapatkan kompleksitas itu, itu sebabnya saya membaca banyak hal. Referensi saya tidak cuma buku-buku islam, saya tidak pernah membatasi diri dalam membaca. Saya baca Jostein Garder, Paulo Coelho, Taufik A-Hakim, Najib Kailani, Najib Mahfudz, Sayyid Qutb,Hasan Al-Banna, Anton Chekov, Pram, Tohari, Seno Gumira, Nawal El –Shadaawi, Sartre, Simone de Beauvoir sampai Sub Comandante Marcos..dan Herge, itulah lho Komik Tintin.
Jadi umumnya begitu, saya mengelola apa yang saya baca melalui teks, dan konteks yang saya hadapi sehari-hari untuk menjadi kreatif. Saya juga suka mengerjakan apa saja, dari mulai jadi sekretaris pribadi dosen saya, pekerjaan klerikal, masak dan ngepel di rumah sampai memikirkan hal-hal besar kalau-kalau saya besok ditakdirkan jadi seorang yang memimpin negara misalnya.. tetapi itu sangat membantu untuk melahirkan ide.
Pengarang itu kan pekerjaan menginspirasi. Semakin kaya pengalaman hidup dan kunyahan teks-nya, ia akan semakin mampu menginspirasi orang lain dalam karya-karyanya. Saya masih harus banyak belajar tentang itu.
Kira-kira buku mbak berapa saat ini? Mana yang paling berkesan.
Setiap bulan saya menganggarkan untuk beli buku 4-5 judul, itu saya mulai sejak saya kelas 2 SMA, umur 17 tahun, jadi kira-kira sekarang lebih dari seribu judul. Yang paling berkesan? Ah.. ini sulit. Saya hampir selalu menemukan kesan yang menukik pada buku-buku pengarang yang saya sukai, dan menemukan keistimewaan tiap kali membacanya. Coelho tentang perenungannya, Chekov karena ironi dan satire-nya, Taufik Al-Hakim karena kecerdasannya, Qutb karena keindahan bahasanya, Al-Banna karena konsistensinya, Nawal karena perlawanannya, masing-masing istimewa.. Saya mungkin dianugrahi kemudahan untuk mengakses buku, honor saya menulis sebagian besar habis untuk beli buku, dan akses informasi. Konon Chairil Anwar dulu suka ngutil buku...heheh, saya Alhamdulillah tidak terlalu kesulitan untuk beli buku. Tapi satu hal, kenapa tidak ada perpustakaan yang buka 24 jam? Mungkin Pawon mau memulai? Atau mari kita sama-sama mulai?
Mbak Izzatul Jannah punya suami dan tiga anak perempuan, bagaimana mensiasati urusan rumah tangga dan urusan kreatif, repotkah?
Ya, saya punya suami yang sangat luar biasa pengertian dan anak-anak perempuan yang manis dan mengerti ibunya, di rumah kami lebih banyak disibukkan hal-hal substantif, kalau masalah teknis, mereka tidak pernah rewel, kalau saya tidak sempat masak, kami ramai-ramai makan di warung pinggir jalan, kalau tidak cukup ceplok telor dan sambal bawang, hehe.
Secara teknis, saya lebih sering menulis di malam hari, ketika hak semua orang sudah ditunaikan, barulah saya menunaikan hak batin dan hak pemikiran saya. Atau saat suami kekantor dan anak-anak sekolah, mereka sekolah sampai sore hari. Saya memiliki banyak waktu untuk membaca, berpikir dan menulis. Kalau sedang jam-jam sibuk dan terlintas ide, biasanya saya hanya mengetikkan ide besarnya saja di telpon genggam, lalu menuliskan secara utuh, ketika semua orang sudah pergi dari rumah, atau semua orang di rumah saya sudah memejamkan mata. Kalau semalaman saya menulis, esok harinya, ketika semua orang pergi, saya tidur sepanjang siang haha.
Komentar tentang PAWON
Pawon, dari namanya nampaknya ingin menampakkan filosofi pelayanan sebab pawon adalah area pelayanan, melayani kreatifitas para pekerja seni dan pekerja literer? Pastilah lintas komunitas, lintas ideologi, lintas kultur bukan? Baguslah, kita kadang kehilangan semangat kebersamaan, yang ada semangat saling mematikan dan opportunistik.
Saya kemarin agak terkejut ketika Nurul Furqon (ketua FLP Solo) mengatakan teman-teman Pawon mau memprofilkan saya.. maaf kalau mind set saya juga kadang terkotori oleh sterepotipe juga..
Semoga usaha ini bisa berkembang dengan baik, dari segi kualitas dan kesinambungan.
Selamat deh!
Jika dilahirkan kembali ingin jadi siapa?
Ingin jadi Izzatul Jannah, hahaha.
Oya, kalau ada yang berminat kontak dengan saya, silahkan ke intan.savitri@yahoo.com atau mau jalan-jalan ke blog saya, izzatuljannahku.blogspot.com


Solo dan Rumah Sastra, oleh: Heri Maja Kelana

Akhirnya sampai juga di Solo, setelah melewati perjalanan yang cukup melelahkan dari Bandung (pake kereta ekonomi lagi). 12 jam di kereta, rasanya seperti dalam oven. Terus terang saya baru pertama kali ke Solo. Awalnya saya mengenal Solo hanya sebatas pada lagu Gesang “Bengawan Solo”. Solo cukup ramah, namun udaranya sangat panas. Mungkin karena saya terbiasa di udara dingin.
Joko Sumantri seorang presiden Rumah Sastra menjemput kami (Denai, Wizard, Dian Hartati, Dian Hardiana, dan Fadhila) di stasiun Jebres. Rambut yang sedikit ikal, kaca mata, dan sepeda mengingatkan saya pada seorang teman di Majalengka tempat kelahiran saya. Namun Joko agak sedikit melar badannya. “Berapa jauh dari sini ke Rumah Sastra?”. “Bentar kok, nyebrang rel nyampe di rumah sastra” Joko menjawab dengan logat jawanya yang khas. 25 menit berjalan, akhirnya sampai di Rumah Sastra. Tanpa basa basi saya langsung masuk dan menyimpan tas. Sedikit iseng saya bertanya “ada nasi pecel gak ya di sini?”. Dari kereta saya membayangkan nasi pecel. Pecel salah satu makanan favorit saya.
Solo memang ramah dan murah makanannya. Nasi pecel, kerupuk, bala-bala, dan susu coklat cuma empat ribu lima ratus. Di Bandung mana ada makan dengan harga segitu.
Rumah Sastra, rumah yang sederhana, akan tetapi orang-orangnya luar biasa. Spirit untuk berkarya muncul di rumah itu. Chairil dan Pram menjadi simbol, bahwa sastra tidak akan pernah mati. Saya merasakan susana Pentagon (sekretariat ASAS) juga di sini. Kekeluargaannya sangat kentara. Joko Sumantri, memang sang presiden yang sangat gigih membumikan sastra di Solo.
Saya banyak sekali masukan dari rumah sastra, terutama dari orang-orangynya. Sastra yang tumbuh di sini berbeda dengan sastra di Bandung. Di sini saya seperti menemukan dunia baru. Dunia tanpa beban, dunia yang bebas menembus dinding-dinding metafora. Merobek cakrawala dan mengangkat imajinasi purba. Jadi ingin berpuisi nieh. Entah kenapa, di Rumah Sastra hawanya selalu ingin berpuisi. Bagi saya Rumah Sastra adalah Rumah Sajak.
Pawon salah satu jurnal sastra yang lahir dari Rumah Sastra. Jurnal yang agak sedikit nyeleneh, akan tetapi jujur dan berbobot serta menjadi media alternatif bagi anak-anak muda. Dengan semangat independent Pawon terus bergulir. Semangat-semangat ini yang dibutuhkan Indonesia sebenarnya. Pawon tidak dapat bantuan dana dari kapitalis apalagi imperialis. Tidak seperti majalah yang mandapat bantuan dana dari Ford Fondation yang tidak jelas itu. Atau KUK antek imperialis. Konsistensi Pawon, sebagai jurnal sastra yang bermasyarakat wajib kita acungi jempol.
Rumah Sastra akan saya jadikan rumah ke 4, setelah rumah saya tentunya. Saya akan kembali walau sekedar singgah atau rehat, bisa jadi menetap (setelah mas Joko mengijinkan tentunya).
Satu malam di Solo akan saya rindukan, apalagi apalagi nasi pecel, bir, dan ciunya serta hujan puisi di Rumah Sastra pada malam itu. 



*penyair tinggal di Bandung

Dan Terima Kasih, Tak Memaksaku Membaca Puisi, oleh: Dian Hartati


Pagi itu tiba-tiba saja demam memerangkap tubuhku. Padahal sebuah perjalanan telah kurencanakan sore nanti. Aku pun harus melawan demam dengan istirahat yang cukup dan beberapa kali menelan obat. Perlawananku berhasil. Menjelang magrib aku pergi ke stasiun dengan tubuh yang lemas.
Setelah menunggu beberapa jam akhirnya kereta yang akan membawaku ke Solo datang juga. Aku duduk bersebelahan bersama Widzar, sedangkan Denai, Kang Dian, Bojes, dan Fadhila duduk berpencar. Selama perjalanan aku tidur. Tepatnya, memaksakan diri untuk tidur karena tak tahan dengan rasa mual yang menyerang.
Setelah sampai di Lempuyangan aku tidak tidur. Aku ingin menikmati perjalanan pagi hari. Apalagi aku belum pernah melihat lanskap perjalanan sepanjang Yogya-Solo. Pagi yang hangat dan bersemangat, karena kondisiku sudah pulih.
Stasiun Solo Jebres yang sepi aku tinggalkan. Seseorang telah menanti di luar stasiun. Menyambut dengan senyuman selamat datang. Aku pun berjalan menyusuri gang-gang yang sepi, tatapan orang-orang yang tak kukenal, dan anjing-anjing yang saling memandang penuh curiga.

Tiba di Rumah Sastra
Tempat menyenangkan dengan rimbun pohonan, halaman yang lapang, dan sebuah sumur yang cukup dalam. Aku pun menikmati suasana baru. Orang-orang baru. Situasi yang berbeda. Inilah yang aku inginkan, segala sesuatu yang tak biasa. Menghindari rutinitas kantor dan menikmati hari dengan pendengaran dan penglihatan yang tak sama.
Di Solo, waktu seakan terus memanjang. Ketika kulihat jam, waktu baru menunjukkan sekitaran angka sembilan. Sepertinya aku akan melewati hari yang panjang dan menyenangkan.
Setelah berbincang di halaman Rumah Sastra, kami semua bergegas ke rumah makan. Lagi-lagi suasana berbeda kudapati. Makanan-makanan itu langsung pindah tempat ke perutku. Oh ya, aku harus minum obat.
Balik lagi ke Rumah Sastra dan beristirahat kembali. Aku pun tidak tahan untuk membersihkan tubuh. Akhirnya menunggu giliran. Selama menunggu aku melihat-lihat koleksi buku yang terdapat di ruangan itu. Buku-buku yang menarik dan cukup langka.
Setelah mandi dan segar kembali. Seseorang mencetuskan untuk pergi berjalan-jalan. Tentunya aku yang hobi jalan-jalan setuju. Setelah mendapatkan petunjuk arah dari tuan rumah kami pergi. Tujuan utama Grand Mall. Aku, Fadhila, Widzar, dan Denai menaiki bis yang lumayan kosong. Ternyata kota Solo di siang hari begitu sepi. Kami berkeliling. Sebenarnya tujuanku ke Grand Mall hanya ingin membandingkan saja. Adakah perbedaan yang mendasar antara Solo dan Bandung. Kami menikmati ice cream sebelum meninggalkan Grand Mall. Ada kejadian menarik yang menimpa Denai. Kartu ATM-nya tiba-tiba saja tertelan. Untungnya dapat langsung ditangani. Wuih… kami berlega hati.
Tujuan selanjutnya Pasar Klewer. Setahuku, pasar itu menjual batik khas Solo. Kembali menunggu Bis. Kami turun di dekat sebuah patung. Menyeberang dan memasuki jalan yang rimbun pohonan. Siang yang terik itu menjadi teduh. Langkah akhirnya membawa kami ke pendopo dan museum Surakarta. Tujuan semula hanya ke pasar, ternyata kami mendatangi tempat yang tak terduga. Menjelang pukul dua siang, Bojes dan Kang Dian datang menyusul. Akhirnya kami semua menyusuri pasar, berbelanja sedikit buah tangan, mampir ke Gladak, dan kembali ke Rumah Sastra. Siang yang begitu menyenangkan.

Senja di Rumah Sastra
Sebuah diskusi sedang berlangsung ketika aku datang. Diskusi yang menarik. Aku pun mencoba mengikuti obrolan yang santai itu. Senja yang anggun di Solo membuat aku diam dan mencermati satu per satu individu yang hadir. Beberapa kukenal dan beberapa lagi wajah-wajah baru.
Semakin malam pengunjung semakin banyak. Acara pun berganti. Saatnya membaca puisi. Ini adalah sesi yang ingin kuhindari. Sungguh aku tak dapat membaca puisi. Aku hanya ingin mendengarkan para penyair itu membacakan puisi. Dua kali namaku dipanggil Bang Saut. Tapi aku tetap tak menyahut. Berdiri di pojokan dan hanya memberikan senyuman. Ampun, aku sedang tak ingin membaca puisi. Aku hanya ingin menikmati pembacaan puisi. Dan terima kasih, tak memaksaku membaca puisi. Hingga acara berakhir dan satu per satu pengunjung pergi.

Malam yang Memabukkan
Malam yang sempat membuat aku terperangah. Aku berdiskusi sebentar dengan Dwicipta. Diskusi yang menarik tentang karya sastra terjemahan. Beberapa referensi kudapatkan. Semakin malam topik pembicaraan berganti. Aku memilih menjadi pendengar bagi teori-teori yang aneh. Tidak tidur dan asyik berkencan dengan seseorang di ujung telepon.
Pagi datang juga dan akhirnya aku harus bersiap untuk kepulangan ke Bandung.

Pagi yang Tetap Hangat
Solo dan orang-orang yang ramah harus kutinggalkan. Segenap kenangan begitu mengental di hati. Terima kasih untuk senyuman yang diberikan. Tuan rumah yang ramah: “Akhirnya aku datang juga ke Solo”.

Wednesday 19 December 2007

Pulang, cerpen oleh. Riri



Pulang ke desa minggu ini harus kujalani dengan naik bus. Ayah yang biasanya jemput ada urusan penting tak bisa di tinggalkan. Aku harus rela menggunakan fasilitas transportasi kota yang paling utama itu. Menempuh perjalanan kurang lebih 2 jam di dalam bus beraroma khas penumpang. Peluh dan keringat dari tubuh mereka, aroma parfum dan minyak wangi yang mereka pakai, juga bau barang-barang bawaan. Di tambah penumpang yang berdesak-desakan, tak memberi sedikit celah untuk udara berganti.

Seperti biasa ketika aku pulang, aku hanya akan mendapati hal tak berkesan dalam perjalanan. Aku duduk dekat jendela, kepala bersadar di jok kursi, mata memandang keluar jendela. Di luar tampak kesibukan masing-masing orang kota. Kali ini aku pulang naik bus, namun kadang dengan sepeda motor bersama ayah, atau naik mobil bareng keluarga budhe. Dan semua biasa saja, tak ada yang berkesan, tak ada yang kuanggap menyenangkan.

Tiap perjalanan pulang aku lebih suka memperhatikan jalan dan orang-orang di luar. Di dalam mobil aku tak begitu menggubris apa yang di bicarakan keluarga budhe, di bus sampai tak dengarkan kondektur yang minta ongkos perjalanan, di sepeda motor tak pedulikan ayah yang bertanya kabar. Meskipun aku sering melakukan perjalanan seperti ini. Seperti orang desa yang pertama kali ke kota. Sebenarnya rumahku memang berada di sebuah desa di kaki gunung lawu. Keinginan ayah menyekolahkan aku di sekolah yang bagus meski jauh, membuat aku harus tinggal bersama keluarga budhe di kota dan bisa pulang ke rumah tiap akhir pekan.
Siang ini langit tak seperti biasanya, sinar terang matahari terhalang awan hitam yang menebal. Tampaknya akan turun hujan. Beruntung aku ada dalam bus meskipun sesak. Karena nanti aku tak akan kehujanan.

Minggu kemarin aku pulang di jemput ayah melewati jalan yang sama dipayungi terik matahari. Kendaraan terus berlalu lalang, tak peduli pada panas matahari, asap kendaraan, juga debu-debu kendaraan dan kota yang membuat mata merah. Adalah hal-hal menyebalkan yang selalu kudapatkan jika bersepeda. Salah satu penyebab lapisan azon makin bolong dan menaikkan suhu panas bumi. Akibatnya es di kedua kutub bumi meleleh, menambah lautan makin luas dan luas daratan berkurang.

“Ngapunten mbak, ongkos!”, suara kondektur bus meminta ongkos, menyadarkan dari alam khayalku. Aku mengambil empat lembar seribuan dari dalam dompet.

“Matesih”, kuserahkan pada kondektur itu dengan senyum bersalah dan malu.

Aku kembali melihat keluar. Akhir-akhir ini hujan mulai sering turun, padahal sekarang bulan Juli. Menurut perkiraan dan pembagian musim, bukan waktu musim hujan untuk Indonesia. Harusnya masih kemarau. Entahlah, sekarang musim dan cuaca tak lagi bisa di perkirakan. Musim hujan jadi kemarau, dan begitu juga sebaliknya kemarau jadi hujan.

Menurut pakar agama, itu karena orang Indonesia banyak dosa lalu Tuhan marah menurunkan bencana. Adanya banjir yang melanda salah satu negara bagian Eropa, pendapat orang barat, merupakan tanda-tanda akan berlangsungnya perubahan musim. Aku sendiri tak tahu. Yang aku tahu alam mulai berubah, perubahan tanpa permintaan, tanpa kesadaran manusia dan tanpa tanggapan.

Di luar awan hitam makin tebal, seperti peringatan pada manusia bahwa hujan akan turun deras dan lama. Beberapa pedagang di pinggir jalan mulai memasukkan barang dagangan. Orang-orang mempercepat langkah untuk lekas sampai tujuan tanpa kehujanan. Dan aku beruntung berada di bus, sebab andaikan bersepeda motor dan menggunakan mantel aku belum tentu terhindar dari percikan air dan tak akan bisa perhatikan jalan dengan nyaman.

Beberapa wilayah kering yang kehujanan akan merasa senang dengan air yang berlimpah dari langit. Tanaman di ladang, sawah, dan kebun akan tersirami tanpa bersusah payah mencarikan air. Namun hujan yang mengguyur deras terus menerus di sertai angin kencang, bisa juga merugikan. Merusak padi siap panen, melongsorkan tanah miring diatas pemukiman penduduk, juga banjir besar. Kesemuanya menjatuhkan korban harta maupun jiwa. Bila musim hujan inginnya panas agar jemuran cepat kering. Jika yang berlangsung musim kemarau, inginnya cepat hujan supaya tak kepanasan dan gerah. Namun apapun yang berlangsung manusia hanya bisa berkomentar.

Pertanda hujan akhirnya terbukti, hujan langsung mengguyur deras. Jalan seketika basah. Disambut orang-orang dengan berlarian mencari tempat berteduh, pengendara sepeda motor berhenti untuk memakai mantel. Hujan berangin kencang siang ini disertai juga petir yang berkilatan dan suara halilintar beradu. Di depan sebuah toko yang sudah tutup, berdiri dua orang laki-laki dan perempuan. Terpisah tak terlalu jauh. Tiba-tiba suara halilintar menyambar keras. Aku jadi membayangkan, andai si cewek kaget mendengar halilintar lalu reflek memeluk si cowok. Mungkin si cewek akan memerah malu dan cowok tersenyum senang, atau malah cewek marah-marah meyalahkan cowok memanfaatkan kesempatan. Aku tersenyum geli membayangkannya.

Lampu merah menyala, bus berhenti. Di luar sana, ada beberapa bocah membawa botol minuman berisi deterjen bubuk. Lalu tanpa disuruh, di semprotkan ke kaca depan mobil yang berhenti. Pembersih kaca mobil otomatis bergerak membersihkan. Sementara bocah tadi mendekati kaca samping pengendara, menengadahkan tangan. Mengharapkan receh jatuh ke tangan atau lambaian tangan tanda tak ada. Mereka semua hanya bocah usia SD. Berpakaian lusuh dan basah kuyup menawarkan jasa, menembus hujan untuk beberapa receh uang. Bukankah mereka tanggungan pemerintah?. Mendapat jaminan keselamatan, kesehatan dan hidup dari pemerintah. Tapi, mengapa mereka ada di jalan saat hujan deras?, bukan di rumah berlindung pada selimut?. Hanya sekedar janji manis pada aturan tertulis dari mulut besar pemerintah, bukan suatu usaha untuk membuktikannya.

Dari balik kaca bus kota, aku melihat semuanya, hal yang mungkin sudah menjadi rutinitas. Semua berhasil menarik perhatianku. Mereka yang berbicara lantang meski aku tak dengar, duduk diam melamun, asyik dengan hp, atau kepolosan anak kecil yang sedang bermain. Mereka yang mengendarai sepeda motor, mobil, atau hanya bertumpu pada kedua kaki untuk menapaki jalan beraspal. Kesibukan yang kutemukan di manapun. Kepentingan masing-masing dengan barang-barang di tangan atau pikiran di tempatnya.

Pikiranku melayang pada bangsaku, tanah airku yang sedang berkembang untuk menjadi negara maju. Menempuh berbagai cara supaya di kenal sebagai negara hebat. Mengonsumsi berbagai barang-barang import, bukan menciptakan hal dan barang baru, untuk menambah devisa negara. Di tiap lamuananku tentang Indonesia, muncul semangat besar untuk mengubahnya, bermimpi bisa memajukan Indonesia. Menjadi negara adidaya dengan produksinya. Alam yang lestari, majunya pendidikan dan industri, serta social budaya yang terbina baik. Membangun pabrik barang elektronik sendiri yang lebih maju dari bangsa lain dan mempunyai cabang di mana-mana. Tapi aku akan memajukan pendidikan terlebih dahulu, karena nasib bangsa selanjutnya ada di tangan kepolosan anak-anak sekarang. Bermimpi.
Hanya mimpi mustahil dan harapan kosong. Semangatku selalu saja hilang tiap aku perhatikan jalan. Kejadian demi kejadian tanpa tanggapan. Beku tiada ekspresi, hati kesal sambil mengumpat berkomentar. Ada pikiran berontak pada semua kebijakan, ketidaksetujuan dari persetujuan, dan penuntutan atas penindasan. Semua harapan untuk perubahan berujung kecewa mendalam. Karena semua akan terus tersimpan dalam lemari khayal, imajinasi tak kesampaian. Tambahan pada dokumen peristiwa dan rasa jengkel untuk keramaian kota, polusi dari asap kendaraan, mencemari bumi dan udara, yang terus saja ada. Kota dengan kesibukan tanpa henti siang dan malam. Tanpa udara segar pagi yang memberi semangat untuk menyambut hari.

Sejujurnya aku lebih senang tinggal di desa. Kealamian bisa kutemukan di tiap sudutnya. Hijau daun, kerumunan pohon menjulang tinggi, warna-warni bunga mekar, sungai jernih yang mengalir deras, juga keramahan penduduknya. Alasan yang tetap tak bisa membuat aku tinggal di desa, ayah terlalu keras kepala. Namun, berhasil memberiku semangat pulang. Juga hasrat besar untuk menjaga kelestariannya. Tetap alami dengan hawa dingin tiap pagi, dengan keceriaan anak gunung tiap bulan purnama, kecipak air sungai, pemandangan elok pedesaan. Kerinduan menyeruak bersama hembusan nafas berat.

Kebanggaan yang akan selalu kubawa kemanapun. Desa tempatku tumbuh besar, tempat aku mendapatkan pelajaran tentang arti perjuangan, kebersamaan, kesedihan, dan keceriaan. Segala macam hal desa adalah kebanggan tersendiri dalam diriku dan tak akan pernah hilang. Meski tiada kepastian tempatku berpijak, akan selalu ada bayangan tentangnya. Keyakinan untuk kembali.

Aku menarik nafas, mencoba menghirup kealamian dari sepanjang perjalanan. Bus merangkak pada jalan menanjak naik. Jalan raya utama menuju terminal Karang pandan. Suasana pegunungan mulai terasa, dingin menembus kaca bus. Hujan diluar masih tercurah lumayan deras. Lelah yang kuderita selama perjalanan tersembuhkan oleh sambutan kealamian. Bus berhenti di terminal Karang pandan, untuk menarik perhatian orang dengan jasa tumpangan. Tak lama bus kembali berjalan menuruni jalan yang sama, kemudian berbelok keselatan menuju tempat perhentian terakhir. Pohon-pohon di sekitar jalan masih basah air hujan.
Perbedaan kota dan desa di sepanjang jalan sangat terasa. Keramaian Solo yang mungkin terjadi siang malam dengan jalan desa yang berkelok dan jarang kendaraan. Solo sudah begitu ramai apalagi kota besar lainnya. Andai kota-kota besar Indonesia masih alami dengan kesegaran, apa yang akan terjadi?. Mungkin Indonesia akan jadi negara paling alami di dunia, mungkin juga dunia akan berkata ‘Indonesia primitif’. Mimpi!. Tapi kalau semua mau, bisa saja. Indonesia alami tapi pendidikan masyarakatnya terjamin, kaya hasil ekspor alam, serta maju dalam bidang apapun dan tetap seimbang.

Bus bekelak-kelok mengikuti jalan pegunungan. Penumpang ikut bergerak ke kanan dan kekiri. Aku terjepit tubuh langsing seseorang yang duduk disampingku sejak dari Solo tadi. Aku menoleh dan tersenyum padanya.

“Sorry mbak, soale jalane ya kayak gitu, Aku sering berharap lho kalau ono perbesaran jalan supaya lebih gedhe dan nggak berkelok koyo itu, aku paling sebel lewat sini”. Aku hanya bisa tersenyum pada perempuan itu. Tampaknya perempuan kota.

“Kalau nggak terpaksa, aku nggak mau lewat sini, naik bus ini. Seharusnya pemerintah potongi aja pohonnya, di jual untuk buat jalan pintas dan perbarui bus agar lebih gampang atau buat apalah yang maju biar gampang.”

Aku tetap tersenyum menanggapi ucapannya, meski hatiku berontak. Baru saja aku berpikir melestarikan alam, ternyata orang di sampingku berpikir beda jauh. Bus berhenti di terminal Matesih, perempuan tadi turun setelah nerocos entah apa dari tadi padaku. Aku masih memikirkan kata-kata awalnya, aku melamun sejak naik bus hingga tak tahu bahwa ada orang berpikiran lain denganku. Hujan sudah tak terlalu deras, ada kubangan-kubangan air di depan, juga tetesan sisa air hujan. Aku melangkah pulang kedesa, untuk melepas kerinduan bercengkrama dengan alam. Tentang semua khayalanku, mungkin tidak ya?.(khoko_ir@yahoo.com).

Matesih, 06 Juli ’07 / 22.59
Untuk semua mimpi menjelma kenyataan

Kisahan kecil tentang Proses Kreatif cerpen “Ephyra”, oleh Dwicipta



Awalnya saya mendambakan hujan lebat mengguyur kota yang telah kering kerontang setelah didera kemarau lebih lama dari biasanya. Air tercurah dari langit, membasahi dedaunan, atap rumah, permukaan aspal; menggenangi selokan, kanal-kanal air dan riol tak terurus di hampir penjuru kota; memenuhi rongga dalam dasar hatiku dan meluap ke sekujur tubuh kesadaranku. Hari berkabut, menipu pandangan. Guruh mengaduh sampai jauh, pekikan lirih menyusup di kalbu. Lalu angin datang menderu, dan selarik sajak Goenawan Mohammad menghampiri ujung lidah. Di telingaku kudengar suara asing itu.

...Lalu hujan akan turun//amis..."

Dan aku masih mematung di depan pintu rumah sore itu, melihat sisi lain dari hujan yang tercurah di depanku. Seperti apakah hujan yang amis itu? Pikiranku mengembang tiba-tiba. Aku teringat sebuah cerpen bagus Ernest Hemingway, 'Cat In The Rain,' yang baru saja kubaca entah kesekian kalinya di American Corner. Masih belum lenyap ulah Hemingway yang dengan jeli memisahkan status si tokoh perempuan ketika sedang berada di kamar hotel bersama suaminya dan ketika sedang keluar dari hotel dan berhadapan dengan pelayan tua nan anggun itu. Di dalam kamar, Hemingway menyebutnya 'Nyonya' atau kata ganti yang menunjukkan statusnya sebagai seorang istri. Sementara di luar kamar, ia menyebut perempuan itu dengan kata 'Si Gadis.' Alangkah cerdasnya, seperti Goenawan Mohammad yang mampu melihat hujan bukan dalam penggambaran umum, tapi dengan mengatakan sesuatu yang baru dan terengar subversif, 'hujan amis.'

Masih di American Corner, seperti keisengan kecil yang biasa kulakukan hampir setiap hari di sana, kudekati kamus besar Webster Dictionary dan membolak-balikkan halaman demi halaman, mencari keasingan lain dalam belantara kata-kata unik bahasa Inggris. Perbuatan itu selalu kulakukan, karena menurutku seorang penulis adalah orang yang memiliki dua dunia: satu dunia yang berjalan seperti biasanya, dunia yang dijalani oleh hampir setiap orang tanpa kecuali -dan seringkali kusebut dengan nada masygul sebagai dunia yang terlalu banyak mengikat; sedangkan satunya lagi adalah dunia keasingan, dunia yang mendekatkan diriku dengan proses penciptaan. Lidahku memang terbiasa dengan kata-kata dalam bahasa Jawa atau Indonesia, begitu juga dengan alam pikiranku. Namun aku mendekati keasingan lain dalam ranah bahasa yang asing, berusaha menjenguk dunia misterius yang ada dalam bahasa Inggris. Aku yakin, dalam beberapa tahun ke depan, bahasa Inggris yang semula asing inipun tak akan lagi asing untukku, sampai hal-hal yang sekecilnya. Selagi ia masih asing, dan tampak menarik bagiku, ia akan selalu menjadi mata air bagi proses kreatifku. Selalu seperti itu, sehingga keasingan memenuhi rongga dadaku, meleburkan aku dalam ketiadaan, sampai 'Si burung kecil' dalam kepalaku bersiul dengan sangat indahnya.

Di masa kecilku, ketika kebanyakan anak-anak kecil seusiaku berpikir serta membayangkan bahwa Tuhan adalah makhluk amat besar, lebih mengerikan daripada raksasa atau segenap wajah setan yang sering dihadirkan oleh film-film horor, aku justru membayangkan bahwa Tuhan adalah 'Burung kecil yang setiap pagi bersiul sangat indah dalam kepalaku, membangunkan aku dari tidur lelap sejak malam, mengajakku mulai melakukan aktifitas harian seperti biasanya.' Tuhan bagiku bukan 'Makhluk' yang suka melarang ini dan itu, tapi sebagai Makhluk yang membebaskan aku untuk melakukan ini dan itu, tentu saja dengan siulannya yang sangat indah dan menakjubkan.

Sampai aku menjadi seorang penulis, Tuhan bagiku tidak pernah berubah: Ia tetap burung kecil yang bersiul sangat indah dalam kepalaku. Hanya saja, jika dulu aktifitasku lebih beragam, sekarang burung kecil itu lebih mengarahkan aku pada aktifitas tunggal: menulis! Maka ketika aku membuka pintu keasingan sebuah dunia, baik dalam wilayah bahasa maupun keasingan sebuah pengalaman, dan diri mulai menjadi tiada, Si Burung kecil dalam kepalaku itu mulai bernyanyi dengan siulan-siualan luar biasanya.

Siang itu, ketika kubuka kembali Webster Dictionary yang sangat tebal dan mulai mengacak-acak halamannya, tiba-tiba aku tersentak dan menemukan sebuah kata ganjil, "Ephyra." Aku terpikat dan membaca asal-usul kata itu. Kuketahui kemudian bahwa ia adalah seorang dewi dalam legenda Yunani. Alih-alih tak begitu peduli dengan karakter dewi Ephyra, aku justru tertarik dengan nama itu, susunan hurufnya, dan suara yang dihasilkan setiap kali melafalkannya. Cara aku mengucapkannya seperti bersiul, menghembuskan udara kuat-kuat dari sela-sela gigi dan gerakan bibir menekan empat gigi depanku. Bila untuk seorang perempuan, sekalipun ia tidak cantik, minimal orang akan terpukau dengan nama yang indah itu.

Dunia ini memang seringkali menipu. Dan akan kutipu pembaca tulisanku dengan memberikan nama yang indah untuk tokoh tulisanku, desisku dalam hati. Ephyra bukanlah nama yang jelek, justru sebaliknya, akan membikin orang bertanya-tanya apa artinya dan darimana nama itu berasal. Aku meninggalkan Webster Dictionary dengan luapan kegembiraan karena telah menemukan sebuah nama untuk tokoh ceritaku.

Berhari-hari sebelum aku menemukan nama Ephyra dari Webster Dictionary, aku mengalami kegilaan pada karya-karya Ernest Hemingway. Kubaca kembali cerita-cerita pendeknya yang luar biasa itu, mempelajari susunan kalimat-kalimatnya yang sangat efisien dan nampak mengembang sampai bisa menciptakan ruang prosaik yang jauh lebih besar daripada ceritanya sendiri dalam kepala kita. Tak bisa kupungkiri aku hampir mengagumi semua cerita pendeknya, mulai dari kumpulan cerpen In Our Time, Men without Women, sampai karya yang diterbitkan setelah kematiannya yang menyesakkan itu, Movable Feast. Imajinasiku melambung kemana-mana. Aku membaca 'After the Storm-nya Hemingway, dan bersorak karena lahir 'penemuan' pertamaku yang menandai pengaruh Hemingway pada karya-karya Gabriel Garcia Marquez. Aku sendiri teramat yakin novel pertama Marquez, Leaf Storm, berasal dari ceita pendek luar biasa ini. Dan seno Gumira Ajidarma, prosais Indonesia paling menonjol sekarang ini, karya-karyanya yang sangat ringan tapi menggugah itu aku kira tak bisa dilepaskan dari pengaruh Hemingway. Kemanapun aku pergi, tak bisa kulepaskan khayalanku pada baris-baris tulisan atau deskripsi Hemingway.

Malam harinya, setelah impian akan sore berhujan lebat itu tak kesampaian, tak bisa kupejamkan mataku sama sekali. Seorang kawan yang berkunjung ke rumah justru menerbitkan kejengkelan karena memutus pengembaraan imajinasiku. Aku berang padanya, sementara ia terus berceloteh tentang tugas akhirnya yang tak rampung-rampung. Bahkan setelah ia pulang, perasaan berangku itu terus berpijaran. Aku harus pergi ke warnet dan mencari sesuatu di sana, barangkali ada yang harus aku baca.

Kubuka email pribadiku dan membacai surat-surat elektronik yang masuk setelah dua hari tak dibuka sama sekali. Berita-berita bagai arus sampah yang mengalir ke dalam ketiadaan: begitu dibaca langsung dilupakan. Burung kecil dalam kepalaku mulai bersiul-siul indah, seolah memerintahkan aku menulis. Kuikuti perintahnya yang misterius, mulai membuka program Microsoft Word. Dengan kata apa harus kumulai ceritaku? Terbayang Hemingway dan kejengkelanku pada teman yang datang ke rumah dan mengganggu aliran imajinasiku, menyembul kemarahan-kemarahanku yang lain, kemuakanku pada banyak hal yang hadir di sekelilingku. Siapakah penawar segala kemuakan itu? Kalimat pertama kumulai begini:
"Selalu, dalam kebosananku pada apapun, ia selalu datang menghiburku. Kadang-kadang berbicara tentang kucing yang kehujanan sendirian di teras rumahnya, seekor laba-laba yang membuat sarang di sudut langit-langit kamar dan beberapa kunang-kunang setiap sehabis hujan ketika ia membuka jendela dan berniat menyerap harum aroma tanah basah, mencoba menyihir jaga mataku dan membuatku terlelap."

Dalam dua kalimat itu, sebenarnya aku membicarakan Hemingway, walaupun kalimatnya kupelintir sedemikian rupa. Bukankah seorang penulis yang baik adalah orang yang bisa melakukan subversi atas realitas atau fiksi yang telah dihadirkan oleh penulis sebelumnya ketika ia sedang menuliskan karyanya sendiri? Dibaris ketiga dan selanjutnya si burung kecil dalam kepalaku itu meniupkan ruh bagi karakter yang akan kuceritakan. Aku membutuhkan sebuah nama, maka menyembullah nama 'Ephyra' dan kudedahkan ke dalam ceritaku. Kelak setelah cerpen itu selesai kubuat, sadarlah aku akan kebenaran ucapan Budi Darma: 'Penemuan itu terjadi ketika kita sedang menulis.'

Dari baris ketiga itulah aku menjadi Tuhan kecil yang memberi kehidupan para tokoh dan jalannya peristiwa dalam ceritaku. Seluruh kemampuan terbaikku tercurah saat itu juga, tak bisa dibendung oleh apapun. Aku ikuti siulan si burung kecil itu, mendengarkan dengan seksama naik turun nadanya dan kapan harus mengambil jeda. Kusebutkan momen paling romantis dalam kisah-kisah China klasik ketika sepasang manusia sedang dilanda cinta dan melayarkan perahunya di danau dimana si perempuan memainkan yangkim, sejenis siter China, dan si lelaki membacakan sajak-sajak cinta. Ephyra telah lahir sebagai manusia lain dalam kisahku, dan telah berdiri dengan segala perangkat kemanusiaannya. Bacalah bagian ketika kugambarkan bahwa dalam bola matanya bagai terdapat mercusuar. Bagi para pembaca Virginia Woolf, tentu mereka tak akan melupakan novelnya yang terkenal, “To The Light House.” Mercusuar dalam mata Ephyra, dalam imajinasiku, adalah mercusuar yang ada dalam novel Woolf. Untuk menciptakan keasingan yang menggugah, kuhadirkan tokoh bernama Robert yang berasal dari Amerika dan tinggal selama beberapa lama di Indonesia, dengan pandangan-pandangan hidup yang asing pula.

Tak pernah kumengerti hingga sekarang kenapa aku bisa merenungkan cinta seperti yang kutuliskan dalam cerpen Ephyra itu. Bagiku, yang ada adalah aksidensi kata-kata. Membiarkan apa yang ada dalam kepala kita mengalir lewat jemari tangan yang mengetik di komputer. Jikapun aku mengambil kesejajaran permenunganku tentang cinta dalam kisah Theseus yang dituliskan oleh Andre Gide, itu kulakukan karena terasa ada kesejajaran dengan kisah yang sedang kupaparkan, dan dalam beberapa hal akan menguatkan kisahku pula. Aku pikir apa yang ada sekarang tidak akan melangkah lebih jauh dari apa yang telah terjadi dalam mitos-mitos yang pernah kita baca atau pernah kita dengar lewat ibu atau nenek kita. Aku tidak berambisi melakukan revitalisasi mitos, namun barangkali karena pembacaan tentang mitos-mitos yang kulakukan sejak lama membuat semangat subversif yang ada dalam diriku meledak dan secara tanpa sadar pula melakukan pekerjaan revitalisasi mitos.

Tapi menulis adalah persoalan mendedahkan dunia asing dalam kepala kita secara serentak, tanpa ingin dihambat oleh berbagai macam etika atau prinsip yang kaku, apalagi ideologi. Bila melangkah lebih jauh, maka barangkali aku akan sampai pada apa yang telah dilakukan oleh Virginia Woolf dan James Joyce sehingga melahirkan genre penulisan arus kesadaran. Pada dasarnya, dalam pandanganku, menulis adalah bagaimana mengaruskan kesadaran bercerita kita, membiarkan semuanya mengalir, membuka berbagai ruang pemaknaan, mengambil dan memelintir berbagai macam fakta, menafsirkan sebuah teks dan bahkan menghadirkan kebohongan tekstual tentang diri kita. Itulah sebabnya kenapa ada seorang penulis yang berani berkata bahwa pada dasarnya seorang penulis berkisah tentang dirinya sendiri, mengutarakan pandangan-pandangan subyektifnya tentang berbagai hal. Kenapa harus takut terhadap polisi, tentara, agama, atau bahkan Tuhan? Jangan takut, penulis adalah penguasa tunggal, penulis adalah Tuhan itu sendiri, atau orang yang diberi mandat oleh Tuhan untuk melakukan segala hal secara tekstual.

Sebagai sebuah cerpen, “Ephyra” lahir dengan semangat seperti itu. Kupertaruhkan seluruh pengetahuanku, citra-citra yang selama ini terpendam dalam diriku dan preskripsi-preskripsi hipotetik tentang cinta yang bahkan tidak pernah kuucapkan sebelumnya dan hanya bisa menyembul karena kejahilan jemariku merangkai setiap kata dan kalimat, menjalin-jalin paragraf sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah hamparan naratif yang siap dinikmati pembaca.

Satu setengah jam aku menuliskan kisah itu. Aku terjaga dari ketakjuban akan kekuatan si burung kecil dalam kepalaku yang bersiul dengan sangat indahnya itu. Ah, telah kuhasilkan makhluk baru sekarang, 'anak rohani' yang esok memiliki nasibnya sendiri. Baru kusadari, Hemingway dan Ephyra telah merajutkan dirinya sendiri dalam sebuah kisah. Aku pulang ke rumah, terus berpikir dan tak habis mengerti kenapa aku bisa menuliskan cerita, bahkan dalam waktu-waktu yang seringkali dianggap tidak mungkin. Aku lebih heran ketika menyadari bahwa anak-anak rohani itu lebih punya otoritas dalam diriku untuk menentukan kapan saatnya lahir dan kapan ia menjadi abortus, kapan ia harus diperam dahulu dalam citra-citra samar di otakku. Si Burung kecil itu tak lagi bersuara. Ia maklum jika aku mulai menggugat keberadaannya.

Yogyakarta, 7 Desember 2006