Kisahan kecil tentang Proses Kreatif cerpen “Ephyra”, oleh Dwicipta



Awalnya saya mendambakan hujan lebat mengguyur kota yang telah kering kerontang setelah didera kemarau lebih lama dari biasanya. Air tercurah dari langit, membasahi dedaunan, atap rumah, permukaan aspal; menggenangi selokan, kanal-kanal air dan riol tak terurus di hampir penjuru kota; memenuhi rongga dalam dasar hatiku dan meluap ke sekujur tubuh kesadaranku. Hari berkabut, menipu pandangan. Guruh mengaduh sampai jauh, pekikan lirih menyusup di kalbu. Lalu angin datang menderu, dan selarik sajak Goenawan Mohammad menghampiri ujung lidah. Di telingaku kudengar suara asing itu.

...Lalu hujan akan turun//amis..."

Dan aku masih mematung di depan pintu rumah sore itu, melihat sisi lain dari hujan yang tercurah di depanku. Seperti apakah hujan yang amis itu? Pikiranku mengembang tiba-tiba. Aku teringat sebuah cerpen bagus Ernest Hemingway, 'Cat In The Rain,' yang baru saja kubaca entah kesekian kalinya di American Corner. Masih belum lenyap ulah Hemingway yang dengan jeli memisahkan status si tokoh perempuan ketika sedang berada di kamar hotel bersama suaminya dan ketika sedang keluar dari hotel dan berhadapan dengan pelayan tua nan anggun itu. Di dalam kamar, Hemingway menyebutnya 'Nyonya' atau kata ganti yang menunjukkan statusnya sebagai seorang istri. Sementara di luar kamar, ia menyebut perempuan itu dengan kata 'Si Gadis.' Alangkah cerdasnya, seperti Goenawan Mohammad yang mampu melihat hujan bukan dalam penggambaran umum, tapi dengan mengatakan sesuatu yang baru dan terengar subversif, 'hujan amis.'

Masih di American Corner, seperti keisengan kecil yang biasa kulakukan hampir setiap hari di sana, kudekati kamus besar Webster Dictionary dan membolak-balikkan halaman demi halaman, mencari keasingan lain dalam belantara kata-kata unik bahasa Inggris. Perbuatan itu selalu kulakukan, karena menurutku seorang penulis adalah orang yang memiliki dua dunia: satu dunia yang berjalan seperti biasanya, dunia yang dijalani oleh hampir setiap orang tanpa kecuali -dan seringkali kusebut dengan nada masygul sebagai dunia yang terlalu banyak mengikat; sedangkan satunya lagi adalah dunia keasingan, dunia yang mendekatkan diriku dengan proses penciptaan. Lidahku memang terbiasa dengan kata-kata dalam bahasa Jawa atau Indonesia, begitu juga dengan alam pikiranku. Namun aku mendekati keasingan lain dalam ranah bahasa yang asing, berusaha menjenguk dunia misterius yang ada dalam bahasa Inggris. Aku yakin, dalam beberapa tahun ke depan, bahasa Inggris yang semula asing inipun tak akan lagi asing untukku, sampai hal-hal yang sekecilnya. Selagi ia masih asing, dan tampak menarik bagiku, ia akan selalu menjadi mata air bagi proses kreatifku. Selalu seperti itu, sehingga keasingan memenuhi rongga dadaku, meleburkan aku dalam ketiadaan, sampai 'Si burung kecil' dalam kepalaku bersiul dengan sangat indahnya.

Di masa kecilku, ketika kebanyakan anak-anak kecil seusiaku berpikir serta membayangkan bahwa Tuhan adalah makhluk amat besar, lebih mengerikan daripada raksasa atau segenap wajah setan yang sering dihadirkan oleh film-film horor, aku justru membayangkan bahwa Tuhan adalah 'Burung kecil yang setiap pagi bersiul sangat indah dalam kepalaku, membangunkan aku dari tidur lelap sejak malam, mengajakku mulai melakukan aktifitas harian seperti biasanya.' Tuhan bagiku bukan 'Makhluk' yang suka melarang ini dan itu, tapi sebagai Makhluk yang membebaskan aku untuk melakukan ini dan itu, tentu saja dengan siulannya yang sangat indah dan menakjubkan.

Sampai aku menjadi seorang penulis, Tuhan bagiku tidak pernah berubah: Ia tetap burung kecil yang bersiul sangat indah dalam kepalaku. Hanya saja, jika dulu aktifitasku lebih beragam, sekarang burung kecil itu lebih mengarahkan aku pada aktifitas tunggal: menulis! Maka ketika aku membuka pintu keasingan sebuah dunia, baik dalam wilayah bahasa maupun keasingan sebuah pengalaman, dan diri mulai menjadi tiada, Si Burung kecil dalam kepalaku itu mulai bernyanyi dengan siulan-siualan luar biasanya.

Siang itu, ketika kubuka kembali Webster Dictionary yang sangat tebal dan mulai mengacak-acak halamannya, tiba-tiba aku tersentak dan menemukan sebuah kata ganjil, "Ephyra." Aku terpikat dan membaca asal-usul kata itu. Kuketahui kemudian bahwa ia adalah seorang dewi dalam legenda Yunani. Alih-alih tak begitu peduli dengan karakter dewi Ephyra, aku justru tertarik dengan nama itu, susunan hurufnya, dan suara yang dihasilkan setiap kali melafalkannya. Cara aku mengucapkannya seperti bersiul, menghembuskan udara kuat-kuat dari sela-sela gigi dan gerakan bibir menekan empat gigi depanku. Bila untuk seorang perempuan, sekalipun ia tidak cantik, minimal orang akan terpukau dengan nama yang indah itu.

Dunia ini memang seringkali menipu. Dan akan kutipu pembaca tulisanku dengan memberikan nama yang indah untuk tokoh tulisanku, desisku dalam hati. Ephyra bukanlah nama yang jelek, justru sebaliknya, akan membikin orang bertanya-tanya apa artinya dan darimana nama itu berasal. Aku meninggalkan Webster Dictionary dengan luapan kegembiraan karena telah menemukan sebuah nama untuk tokoh ceritaku.

Berhari-hari sebelum aku menemukan nama Ephyra dari Webster Dictionary, aku mengalami kegilaan pada karya-karya Ernest Hemingway. Kubaca kembali cerita-cerita pendeknya yang luar biasa itu, mempelajari susunan kalimat-kalimatnya yang sangat efisien dan nampak mengembang sampai bisa menciptakan ruang prosaik yang jauh lebih besar daripada ceritanya sendiri dalam kepala kita. Tak bisa kupungkiri aku hampir mengagumi semua cerita pendeknya, mulai dari kumpulan cerpen In Our Time, Men without Women, sampai karya yang diterbitkan setelah kematiannya yang menyesakkan itu, Movable Feast. Imajinasiku melambung kemana-mana. Aku membaca 'After the Storm-nya Hemingway, dan bersorak karena lahir 'penemuan' pertamaku yang menandai pengaruh Hemingway pada karya-karya Gabriel Garcia Marquez. Aku sendiri teramat yakin novel pertama Marquez, Leaf Storm, berasal dari ceita pendek luar biasa ini. Dan seno Gumira Ajidarma, prosais Indonesia paling menonjol sekarang ini, karya-karyanya yang sangat ringan tapi menggugah itu aku kira tak bisa dilepaskan dari pengaruh Hemingway. Kemanapun aku pergi, tak bisa kulepaskan khayalanku pada baris-baris tulisan atau deskripsi Hemingway.

Malam harinya, setelah impian akan sore berhujan lebat itu tak kesampaian, tak bisa kupejamkan mataku sama sekali. Seorang kawan yang berkunjung ke rumah justru menerbitkan kejengkelan karena memutus pengembaraan imajinasiku. Aku berang padanya, sementara ia terus berceloteh tentang tugas akhirnya yang tak rampung-rampung. Bahkan setelah ia pulang, perasaan berangku itu terus berpijaran. Aku harus pergi ke warnet dan mencari sesuatu di sana, barangkali ada yang harus aku baca.

Kubuka email pribadiku dan membacai surat-surat elektronik yang masuk setelah dua hari tak dibuka sama sekali. Berita-berita bagai arus sampah yang mengalir ke dalam ketiadaan: begitu dibaca langsung dilupakan. Burung kecil dalam kepalaku mulai bersiul-siul indah, seolah memerintahkan aku menulis. Kuikuti perintahnya yang misterius, mulai membuka program Microsoft Word. Dengan kata apa harus kumulai ceritaku? Terbayang Hemingway dan kejengkelanku pada teman yang datang ke rumah dan mengganggu aliran imajinasiku, menyembul kemarahan-kemarahanku yang lain, kemuakanku pada banyak hal yang hadir di sekelilingku. Siapakah penawar segala kemuakan itu? Kalimat pertama kumulai begini:
"Selalu, dalam kebosananku pada apapun, ia selalu datang menghiburku. Kadang-kadang berbicara tentang kucing yang kehujanan sendirian di teras rumahnya, seekor laba-laba yang membuat sarang di sudut langit-langit kamar dan beberapa kunang-kunang setiap sehabis hujan ketika ia membuka jendela dan berniat menyerap harum aroma tanah basah, mencoba menyihir jaga mataku dan membuatku terlelap."

Dalam dua kalimat itu, sebenarnya aku membicarakan Hemingway, walaupun kalimatnya kupelintir sedemikian rupa. Bukankah seorang penulis yang baik adalah orang yang bisa melakukan subversi atas realitas atau fiksi yang telah dihadirkan oleh penulis sebelumnya ketika ia sedang menuliskan karyanya sendiri? Dibaris ketiga dan selanjutnya si burung kecil dalam kepalaku itu meniupkan ruh bagi karakter yang akan kuceritakan. Aku membutuhkan sebuah nama, maka menyembullah nama 'Ephyra' dan kudedahkan ke dalam ceritaku. Kelak setelah cerpen itu selesai kubuat, sadarlah aku akan kebenaran ucapan Budi Darma: 'Penemuan itu terjadi ketika kita sedang menulis.'

Dari baris ketiga itulah aku menjadi Tuhan kecil yang memberi kehidupan para tokoh dan jalannya peristiwa dalam ceritaku. Seluruh kemampuan terbaikku tercurah saat itu juga, tak bisa dibendung oleh apapun. Aku ikuti siulan si burung kecil itu, mendengarkan dengan seksama naik turun nadanya dan kapan harus mengambil jeda. Kusebutkan momen paling romantis dalam kisah-kisah China klasik ketika sepasang manusia sedang dilanda cinta dan melayarkan perahunya di danau dimana si perempuan memainkan yangkim, sejenis siter China, dan si lelaki membacakan sajak-sajak cinta. Ephyra telah lahir sebagai manusia lain dalam kisahku, dan telah berdiri dengan segala perangkat kemanusiaannya. Bacalah bagian ketika kugambarkan bahwa dalam bola matanya bagai terdapat mercusuar. Bagi para pembaca Virginia Woolf, tentu mereka tak akan melupakan novelnya yang terkenal, “To The Light House.” Mercusuar dalam mata Ephyra, dalam imajinasiku, adalah mercusuar yang ada dalam novel Woolf. Untuk menciptakan keasingan yang menggugah, kuhadirkan tokoh bernama Robert yang berasal dari Amerika dan tinggal selama beberapa lama di Indonesia, dengan pandangan-pandangan hidup yang asing pula.

Tak pernah kumengerti hingga sekarang kenapa aku bisa merenungkan cinta seperti yang kutuliskan dalam cerpen Ephyra itu. Bagiku, yang ada adalah aksidensi kata-kata. Membiarkan apa yang ada dalam kepala kita mengalir lewat jemari tangan yang mengetik di komputer. Jikapun aku mengambil kesejajaran permenunganku tentang cinta dalam kisah Theseus yang dituliskan oleh Andre Gide, itu kulakukan karena terasa ada kesejajaran dengan kisah yang sedang kupaparkan, dan dalam beberapa hal akan menguatkan kisahku pula. Aku pikir apa yang ada sekarang tidak akan melangkah lebih jauh dari apa yang telah terjadi dalam mitos-mitos yang pernah kita baca atau pernah kita dengar lewat ibu atau nenek kita. Aku tidak berambisi melakukan revitalisasi mitos, namun barangkali karena pembacaan tentang mitos-mitos yang kulakukan sejak lama membuat semangat subversif yang ada dalam diriku meledak dan secara tanpa sadar pula melakukan pekerjaan revitalisasi mitos.

Tapi menulis adalah persoalan mendedahkan dunia asing dalam kepala kita secara serentak, tanpa ingin dihambat oleh berbagai macam etika atau prinsip yang kaku, apalagi ideologi. Bila melangkah lebih jauh, maka barangkali aku akan sampai pada apa yang telah dilakukan oleh Virginia Woolf dan James Joyce sehingga melahirkan genre penulisan arus kesadaran. Pada dasarnya, dalam pandanganku, menulis adalah bagaimana mengaruskan kesadaran bercerita kita, membiarkan semuanya mengalir, membuka berbagai ruang pemaknaan, mengambil dan memelintir berbagai macam fakta, menafsirkan sebuah teks dan bahkan menghadirkan kebohongan tekstual tentang diri kita. Itulah sebabnya kenapa ada seorang penulis yang berani berkata bahwa pada dasarnya seorang penulis berkisah tentang dirinya sendiri, mengutarakan pandangan-pandangan subyektifnya tentang berbagai hal. Kenapa harus takut terhadap polisi, tentara, agama, atau bahkan Tuhan? Jangan takut, penulis adalah penguasa tunggal, penulis adalah Tuhan itu sendiri, atau orang yang diberi mandat oleh Tuhan untuk melakukan segala hal secara tekstual.

Sebagai sebuah cerpen, “Ephyra” lahir dengan semangat seperti itu. Kupertaruhkan seluruh pengetahuanku, citra-citra yang selama ini terpendam dalam diriku dan preskripsi-preskripsi hipotetik tentang cinta yang bahkan tidak pernah kuucapkan sebelumnya dan hanya bisa menyembul karena kejahilan jemariku merangkai setiap kata dan kalimat, menjalin-jalin paragraf sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah hamparan naratif yang siap dinikmati pembaca.

Satu setengah jam aku menuliskan kisah itu. Aku terjaga dari ketakjuban akan kekuatan si burung kecil dalam kepalaku yang bersiul dengan sangat indahnya itu. Ah, telah kuhasilkan makhluk baru sekarang, 'anak rohani' yang esok memiliki nasibnya sendiri. Baru kusadari, Hemingway dan Ephyra telah merajutkan dirinya sendiri dalam sebuah kisah. Aku pulang ke rumah, terus berpikir dan tak habis mengerti kenapa aku bisa menuliskan cerita, bahkan dalam waktu-waktu yang seringkali dianggap tidak mungkin. Aku lebih heran ketika menyadari bahwa anak-anak rohani itu lebih punya otoritas dalam diriku untuk menentukan kapan saatnya lahir dan kapan ia menjadi abortus, kapan ia harus diperam dahulu dalam citra-citra samar di otakku. Si Burung kecil itu tak lagi bersuara. Ia maklum jika aku mulai menggugat keberadaannya.

Yogyakarta, 7 Desember 2006

Tags:

Share:

0 komentar