Tuesday 22 January 2008

Kemah Sastra, Apa perlunya? oleh Joko Sumantri

Gagasan mengadakan program pembelajaran sastra melalui apa yang disebut “Kemah Sastra” merupakan tekad lama dari para punggawa Buletin Sastra PAWON. Ada sejumlah alasan, selain “eksotis”, kami ingin menawarkan proses pembelajaran sastra yang santai, egaliter dan segar.

Ada persoalan terhadap apa yang selalu kita sebut sebagai “kelas”. Kami tak tahu persis buat mengistilahkannya. Tapi perhatikanlah: kelas berbentuk ruangan tertutup sebenarnya menghadirkan ancaman-ancaman, pembatasan dan sekaligus hukuman (ada yang bilang kelas mirip penjara bukan?). Orang-orang di dalamnya tidka bisa bebas bergerak. Mesti mengikuti alur kursi atau tempat duduk.

Kelas dengan ornamen di dalamnya mungkin menjaga siswa/pelajar/mahasiswa konsentrasi terhadap apa yang diajarkan. Pembelajar dipaksa mengikuti sejumlah aturan.

Tapi lama-lama, ada kesumpekan. Bukan hanya aliran udara sesempit ventilasi, melainkan kesumpekan suasana, keseragaman penglihatan dan memantik rasa bosan.

Kesadaran akan ruang belajar semacam inilah yang mendorong metode pembelajaran luar-kelas memperoleh pembenarannya. Namun oleh karena politik pendidikan semasa orde baru (mungkin juga hingga sekarang!) kegiatan belajar-mengajar di luar kelas nyaris tak diperbolehkan. Meskipun entah ada atau tidak aturan yang melarang proses belajar semacam ini, pada kenyataannya murid di sekolah-sekolah Indonesia jarang mendapat kesempatan belajar di alam terbuka.

Sastra barangkali bisa disebut negasi dari formalitas-formalitas. Oleh karena itu, program Kemah Sastra didesain untuk menerabas formalitas dan kekakuan proses ajar. Yang perlu diterabas pertama-tama adalah “meniadakan” benda pembatas semacam dinding yang melingkupi peserta dalam proses pembelajaran.

Di dunia pendidikan dikenal pembelajaran sebaya. Maksudnya, ada bukti bahwa kegiatan belajar lebih efektif manakala antara guru-murid adalah teman sendiri. Tidak ada sosok guru seperti yang kita kenal selama ini: guru dengan jarak terbentang demikian lebar dalam berinteraksi dengan muridnya sendiri.

Menyadari kecenderungan ini, Kemah Sastra diorientasikan antar orang muda sendiri, kecuali beberapa acara yang membutuhkan kepakaran dan pengalaman lebih. Egalitarianisme dikedepankan. Pertama, demi efektivitas pengajaran itu sendiri. Kedua, demi menurunkan “horor” sastra di kepala pelajar kita. Perihal kedua ini kami sadari betul karena ada keterjarakan cukup lebar antara pemahaman siswa kita terhadap sastra.

Monday 14 January 2008

Pawon: Obrolan Kecil dan Biografi yang Bersambung, oleh Bandung Mawardi


Obrolan kecil itu terjadi pada akhir tahun 2oo6. Gairah sastra jadi alasan kuat untuk membicarakan persoalan media publikasi sastra. Solo yang terlupa dan luput dalam pembicaraan sastra mesti memainkan peran tersendiri. Optimisme dan arogansi ada dengan ancangan yang biasa dan pamrih besar. Sastra Solo memiliki sekian kemungkinan yang harus dibaca dan diperhatikan dengan kritis. Sejarah sastra Solo menyimpan biografi-biografi penting mengenai pengarang, peristiwa, dan media. Sejarah itu bukan sekadar jadi bayang-bayang yang samar. Sejarah itu diucapkan kembali bukan sebagai masa lalu tapi interpretasi mutakhir yang membutuhkan komitmen dan kerja.

Obrolan kecil itu memusat pada keinginan menerbitkan atau mengusahakan media laternatif sebagai ikhtiar publikasi sastra. Keinginan itu lantas jadi kebutuhan yang harus dipikirkan dan diimplemantasikan. Media alternatif dimaksudkan untuk menjadi ruang inklusif para pengarang yang kurang atau belum menemukan media publikasi. Pamrih itu dalam porsi tertentu adalah reaksi atas sastra koran dan majalah yang bermain dengan politik dominasi. Koran edisi Minggu menjadi perayaan sastra yang menghadirkan teks-teks sastra dari pengarang lokal sampai internasional dengan pilihan dan keputusan redaktur. Menata dan membaca kembali edisi-edisi koran itu bisa memunculkan penilaian-penilaian kritis dan optimisme. Ada pengarang yang kerap menghadirkan tulisan di ruang (lembaran) sastra Minggu. Ada yang jarang. Ada yang tak pernah.ada yang bersala dari komunitas-komunitas tertentu. Ada yang tanpa komunitas. Ada yang berasal dari kota tertentu. Ada yang lain-lain. Majalah sastra atau majalah yang memiliki ruang sastra dalam kasus lain memiliki kemiripan dan perbedaan.

Obrolan kecil itu melahirkan komitmen menerbitkan buletin sastra. Persoalan-persoalan terkait buletin itu bermunculan dengan jawaban-jawaban meyakinkan dan meragukan. Persoalan biasa: uang, redaksional, relasi kerja, distribusi, nama, dan …. Pertanyaan-pertanyaan yang bisa terjawab menjadi acuan realistis. Pertanyaan-pertanyaan yang belum atau tak terjawab menjadi ragu. Pertemuan lanjutan diadakan dengan mengundang sekian orang (individu atau komunitas). Pertemuan kecil yang sepi tapi ramai karep dan masalah. Obrolan berjalan memutar dan kembali pada pertanyaan besar: mungkinkah. Pertanyaan itu belum ingin dijawab sebelum dipikirkan dengan mendalam. Pertemuan lanjutan lain diadakan dengan gairah yang mulai lembek. Proses komunikasi dan interaksi yang terjadi dalam pertemuan itu justru jadi kejutan tak biasa. Ada optimisme dan utopia. Keputusan yang jadi komitmen kolektif adalah realisasi penerbitan bulletin sastra. Buletin itu dinamakan Pawon. Buletin terbit tiap bulan. Buletin itu diurusi orang-orang yang ampuh dan mumpuni meski mayoritas belum mahfum dengan dunia penerbitan.

Bulletin Pawon edisi pertama berhasil lahir pada bulan Januari 2oo7. Kelahiran tanpa operasi dan penyakit kronis. Para penggagas bulletin itu rada terkejut dan bingung melihat bulletin Pawon itu. Ada yang tertawa keras. Ada yang ragu. Ada yang diam. Ada yang histeris. Ada apa? Pertanyaan-pertanyaan muncul kembali dan butuh jawaban. Distribusi mesti bergerak. Acara mesti diadakan untuk penguatan optimisme dan mimpi-mimpi. Acara diskusi Pawon diadakan di Forum Pinilih dengan mengundang banyak orang. Diskusi itu terjadi meski dihadiri sekian orang. Diskusi kecil. Pandangan simpati, bantuan, usul, evaluasi, dan kritik berhamburan. Kejutan tak biasa adalah diskusi bulletin Pawon itu melahirkan polemik. Polemik yang menggairahkan tapi membingungkan. Akhir bulan ada kejutan fenomenal: edisi pertama bulletin Pawon habis.

Sejak itu Pawon membuat biografi besar. Edisi-edisi berikut lahir dengan sekian revisi, tambahan rubrik, tambahan relasi kerja, tambahan tulisan, tambahan donator, tambahan pelanggan, dan tambahan gairah. Ada yang bicara keras: Pawon bakal jadi pembuktian dan juru bicara penting sastra di Solo! Pawon mulai dibaca dan diapresiasi. Pawon jadi perhatian. Pengarang-pengarang merasa menemukan ruang untuk publikasi tulisan. Pengarang-pengarang yang malu atau susah dipublikasikan di koran atau majalah bisa membuat senyum (tawa) kecil karena tulisan-tulisannya memungkinkan dipublikasikan di Pawon.

Mimpi-mimpi (baik atau buruk) terus jadi kenyataan. Ada yang menyenangkan. Ada yang merepotkan. Ada tragedi. Ada komedi. Redaksi Pawon terus melakukan ikhtiar dan kerja intensif dan inklusif untuk pertumbuhan dan keramaian sastra. Bulletin Pawon lantas bertemu dengan sedulur dari Yogyakarta, Semarang, Karanganyar, Kulonprogo, Bandung, Jakarta, dan kota-kota lain. Silahturahmi dan kerja bareng menjadi gairah besar Pawon yang ingin melunaskan mimpi dan janji. Jaringan media alternatif, komunitas, dan individu yang terbentuk dalam lingkaran inklusif Pawon memberi kontribusi besar untuk proses kreatif dan kelahiran wacana-wacana sastra lokal-regional-nasional.

Biografi Pawon terus ditulis dengan kerja sastra yang populis dan optimis. Diskusi-diskusi bulanan diadakan di pelbagai lokasi: kampus, kampung, markas komunitas, ruang kesenian (TBJT), dan ruang yang lain. Pengarang-pengarang baru muncul. Pengarang-pengarang lama atau yang terkenal pun dengan gairah besar mengirim (memberi) tulisan untuk bulletin Pawon. Pawon mulai dimiliki dan dibicarakan banyak orang, komunitas, dan kota.

Program-program sastra diadakan sebagai ikhtiar menguatkan dan membesarkan Pawon. Konsultasi sastra diadakan dalam pertemuan resmi dan tak resmi. Pawon membuka kelas Kursus Menulis Fiksi yang diikuti pengarang muda dan tua. Kelas itu jadi interaksi sastra yang kreatif dan konstruktif. Program-program lain dilaksanakan dengan pencapaian-pencapaian berbeda. Sayembara sastra diadakan dengan sambutan (antusiasme) yang besar. Diskusi besar diadakan dengan pamrih besar. Workshop Penulisan Kreatif diadakan dengan ramai dan menggairahkan. Kunjungan silahturahmi ke komunitas atau kota lain diadakan dengan niat positif dan paseduluran.

Pawon lantas jadi keluarga besar. Redaktur bertambah. Orang-orang yang terlibat dalam pengerjaan Pawon bertambah. Orang-orang yang memberi kontribusi bertambah. Orang-orang yang rajin dolan dan krasan di rumah redaksi Pawon bertambah. Kunjungan tamu (sedulur) dari pengarang atau komunitas lain bertambah. Pawon jadi sibuk tapi senang. Gairah itu jadi bukti. Sastra Solo jadi ramai. Inferioritas sastra yang jadi bayangan buruk perlahan hilang.

Solo layak jadi perhatian. Pengarang-pengarang yang menghidupi bulletin Pawon pun jadi perhatian besar: Joko Sumantri (cerpenis dan penulis artikel yang produktif) adalah Tuan Besar yang memiliki komitmen dan tanggung jawab besar. Hans Gagas (cerpenis dan penulis cerita anak) adalah tukang provokasi dan tukang wawancara handal. Wijang Wharek (orang yang pernah jadi penyair) adalah pemberi aba-aba dan pemberi motivasi. Kabut (penyair dan kritikus sastra) adalah abdi yang sendhika dawuh. Ridho al Qodri (penyair dan esais) adalah pemikir dan tukang acara sastra. Yudhi Herwibowo (novelis) adalah tukang desain yang rajin dan mletik. Yudhi Th (cerpenis dan penyair) adalah tukang gambar yang nyenengke. Yunanto (penulis artikel dan penyair) adalah pemberi kritik dan tukang menulis kolom. Anton (penulis cerita anak) adalah pemberi ide dan kontributor yang kalem. Dwicipta (cerpenis) adalah tukang konsultasi sastra yang sabar dan tidak sombong. Daud (manusia obsesionis) adalah pemberi gairah dan tukang ide yang mengejutkan. Haris Firdaus (penyair) adalah kontributor dan tukang publikasi yang rajin dan pendiam. ……….. (masih banyak orang yang mesti diceritakan).

Buletin Pawon melampaui setahun. Biografi Pawon belum selesai dituliskan dan disusun. Buletin Pawon sadar bahwa hidup dan mati itu berada dalam jarak pendek (1 cm kematian dan 1 cm kehidupan). Pawon mau hidup dan tidak takut mati. Biografi Pawon bersambung tanpa tahu selesainya. Begitu.

Eksistensi Buletin Sastra Alternatif: Alternatif Untuk Apa dan Siapa? oleh Joko Sumantri

Karya Sastra adalah bagian dari Budaya (Pola Pikir dan Perilaku) sebuah peradaban. Sastra merupakan karya dari sebuah peradaban manusia, hasil karya sastra dari sebuah peradaban akan mencerminkan kualitas peradaban itu sendiri. Hasil sebuah karya sastra juga mencerminkan identitas jati diri penggerak sastra akan posisi keberpihakkannya, pada nilai-nilai kehidupan yang sedang berjalan.

Buletin sastra diera millenium menjamur dalam kancah kesusastraan indonesia, merasuk dalam kehidupan masyarakat disemua lapisan bagi pecintanya. Bulletin sastra bisa kita temukan dalam berbagai bentuk persembahan, ada yang masih menggunakan bentuk bulletin dengan hard copy /cetak atau sudah menggunakan teknologi electronic-internet. Dalam bentuk Buletin sastra cetak bisa kita temukan seperti : Media Kerja Budaya-Jakarta (sudah tidak beredar lagi), Pawon-solo, Bumi Putera-tangerang, Horison-jakarta, Bens-Jogjakarta dll. Sementara yang elektronic ada Sriti.com dan juga cukup banyak website atau dalam bentuk blogg.Tentunya dengan teknik penyajian dan distribusi yang cukup maju, dalam hal ini mayoritas masih mengikuti arus mekanisme pasar yang ada.

Ini merupakan bagian dari perkembangan kebudayaan secara umum, yang harus diakui sebagai salah satu hasil atas terbukanya ruang politik dan demokrasi pasca orde baru “lengser”. Berkembangannya dunia sastra yang termaniferstasikan dalam salah satunya bentuk Buletin sastra (alternatif) adalah titik ukur terbukanya ruang bebas berpendapat dan berekpresi dalam masyarakat dibawah kekuasaan politik negara. Ini pembuktian bahwa politik, budaya dan ekonomi merupakan sebuah kesatuan dalam perkembangannya.

Alternatif untuk apa dan Siapa?

Sebelum melihat eksistensi buletin sastra yang menyebut dirinya alternatif, perlu kita lacak ke-alternatifan-nya itu sendiri. Alternatifnya untuk apa dan alternatif untuk siapa?. Namun alternatif secara umum bisa kita gunakan pengertian buletin sastra tersebut dilahirkan untuk keluar atau melawan dominasi media sastra yang telah ada, baik dalam bentuk, penyajian atau isinya.

Alternatif untuk apa, buletin sastra secara garis besar biasa digunakan sebagai :
Pertama, Sebagai Media Belajar dan Merentas sukses. Buletin sastra yang lahir atau dilahirkan dalam semangat alternatif oleh pemula biasanya sebagai sarana atau media belajar saja. Bisa belajar menulis, penyajian, distribusi dan memanajemen sebuah buletin sastra. Dalam proses belajar ini masih banyak mengikuti arus tulisan atau penyajian yang ada dan mendominasi dunia sastra sekarang ini.

Alternatif yang disebut hanya dalam arti harafiah, yakni berbeda nama buletin, pengelola, cover, penerbit, gaya tulisan dan penulis-penulisnya. Sebagai media belajar buletin alternatif seperti ini tidak sepenuhnya untuk latihan dan tidak mencari profit. Syukur-syukur dapat keuntungan finansial atau bahkan ketenaran, dan kedua hal tersebut bisa saling berhubungan erat.
Buletin pada corak seperti ini biasanya menjadi alternatif bagi penggeraknya saja dan seringkali muncul dari komunitas-komunitas pendidikan sastra atau universitas. Belumlah menjadi alternatif bagi pembacanya yang mengkonsumsi buletin tersebut. Namun harus diakui, buletin seperti ini secara terus menerus akan tumbuh dan lahir. Walau umurnya juga harus dilihat tidak banyak yang bertahan lama. Ini tak lebih karena memang ditempatkan sebagai alat belajar, setelah eksistensi penggeraknya diakui oleh publik seringkali buletin ini ditinggalkan.

Maka yang muncul adalah eksistensi penggeraknya, bukan Buletinnya. Penggeraknya melejit namanya dan akhirnya berujung pada “harga”, baik penggerak dalam hal ini penulis, pengelola atau designya. Sementara buletinnya ditinggal begitu saja yang akhirnya mati. Atau malah sebaliknya, buletin alternatif ini dijaga eksistensi keberadaanya untuk eksistensi penggeraknya. Lihat saja dominasi Goenawan Muhamad pada Horison atau Wowok Hesti melalui Bumi Putera-nya .

Kedua, Mendaratkan ide-ide kritis, segar dan berorientasi penyadaran akan realitas. Dilain sisi, Buletin sastra yang lahir atau dilahirkan dalam semangat alternatif oleh penggerak sastra yang mendasarkan pada realitas kehidupan obyektif. Penggerak biasanya teruji oleh realitas sosial obyektif disekeliling dia dan dipandu oleh kerja bersama sehingga muncul gagasan yang bisa ditawarkan kepada pembaca.

Seperti dilansir dalam kalimat pembuka, setiap karya sastra adalah pencerminanan dari keberpihakan penggeraknya. Karena pembaca selalu akan terpengaruh pada apa yang dibacanya, baik secara pengetahuan, psikologi yang berujung pada kesadaran dia dalam berpikir dan bergerak sebagai manusia kedepan.

Isi dan kualitas dari buletin sastra alternatif model kedua ini menjadi “roh” yang membawa eksistensi buletinnya. Seringkali penggeraknya hanyalah simbul dan tidak berkepentingan dalam eksistensinya. Karena yang dijaga adalah eksistensi buletin dengan membawa “keberpihakannya” yang jelas terhadap para pengkonsumsinya. Dalam segmen ini kita bisa sebut buruh, petani, nelayan, buruh migran/TKI, Kaum miskin kota dll. Sebagai konsumen, mereka adalah sumber cerita kehidupan sejati serta penggerak laju sejarah manusia. Baru disini alternatif itu bisa didapat atau diperuntukan kedua belah pihak, baik penggerak dan buletinnya juga para pembacanya.

Pada model ini, kalaupun buletinnya mati bukan karena penggeraknya yang hilang atau naik “derajat”nya dan meninggalkannya. Seringkali buletin ini diberangus oleh penguasa politik sebagai upaya menina Bobokan rakyat, termasuk penggemar sastra agar tidak mengganggu kekuasaanya. Namun semangat dari buletin sastra alternatif ini tidak akan pernah punah, dia akan tumbuh dan lahir.

Dari dua pandangan tentang alternatif tersebut, bisa diambil contoh dengan merujuk pada sastra era sebelum 1965, dimana Lekra menjadikan sastra dan seni sebagai alat menyadarkan rakyat mengerti akan kondisi sosial, politik dan ekonomi-nya melalui banyak media, salah satunya adalah sastra. Lalu mereka diajak untuk berpikir bagaimana cara mengatasi atau melawannya. Dikelompok lain ada Manifesto kebudayaan (Manikebu) yang bergerak berlawanan dengan memakai media yang sama untuk mendaratkan ide-ide yang penuh ilusi dalam menghadapi kehidupan sosial, politik dan ekonomi rakyat.

Menggunakan Eksistensi Bulletin sastra alternatif sebagai Alternatif.....

Bila pilihan alternatif sebuah buletin sastra telah ditetapkan oleh penggeraknya, dan pilihan garis kedua disebut diatas merupakan alternatif utama. maka menaikan pamor eksistensi buletin sastra alternatif menjadi penting. Seperti laiknya dalam mekanisme pasar yang terjadi sebuah nama yang sudah dikenal dan tersohor akan jadi pilihan utama konsumen. Pun dalam sastra era sekarang maka usaha itu harus dilakukan, tetapi dominasi mekanisme pasar dalam sastra harus dilawan. Karena dominasi itu yang menyisihkan sastra atau buletin sastra alternatif sulit berkembang.

Pilihan model penyajian yang sekarang terjadi harus dihitung ulang dengan tepat. Model buletin sastra alternatif cetak seringkali menghadapi resiko terisolir oleh wilayah distribusi dan biaya. Sementara daya beli masyarakat menurun akibat kesulitan ekonomi. Namun pilihan buletin sastra alternatif dengan cetak memiliki keunggulan dalam mendapatkan pembaca-pembaca alternatif jua, yakni segmen ekonomi kecil, pedesaan dan kaum pinggiran yang kurang mengenal teknologi. Maka tak elak lagi, buletin sastra cetak berkembang dalam sksla wilayah region yang kecil, belum meluas secara nasional.

Sementara pada model penyajian lain adalah dengan menggunakan teknologi internet atau membuat buletin sastra alternatif dalam bentuk website. Ini model alternatif yang memiliki daya jangkau luas, nasional bahkan internasional. Bisa dikonsumsi oleh jutaan orang, namun sayang disisi lain dia akan susah diakses oleh konsumen yang kurang beruntung akan mengenal teknologi.

Dua model penyajian bisa digabungkan dan harus ditata kelola secara maju dengan mendasarkan pada nilai kolektifitas penggeraknya. Selain penyajian, yang harus diperhitungkan adalah mekanisme distribusi dan cara mengkonsumsinya. Sebagai alternatif pilihan, buletin sastra harus berani melawan mekanisme pasar yang dikembangkan oleh ”pedagang” media saat ini.

Artinya distribusi bisa menggunakan tenaga konsumen, sekaligus kontributor tulisan dan harga relatif terjangkau. Contoh distribusi ini telah dijalankan oleh buletin sastra Pawon. Sementara bila menggunakan teknologi internet, usaha kolektifitas konsumen juga harus dimaksimalkan sehingga budaya kolektifitas ”punggawa” buletin sastra terjalin dengan baik. Ini usaha melawan dominasi Budaya dagang saat ini dan usaha untuk share kemampuan.

Disinilah letak Alternatif sesungguhnya dalam menjalankan fungsinya sebagai buletin sastra ditengah kancah kehidupan sosial, politik dan ekonomi. Alternatif sebagai pengembang seni-budaya dan alat altenatif menyadarkan masyarakat dalam menghadapi realitas kehidupan sekaligus alternatif mekanisme pasar yang dominan disistem ekonomi rakyat. Disini pula letak kekuatan alternatif buletin sastra sehingga naik dan terjaga eksistensinya ditengah masyarakat sastra maupun sosial.
Dari membaca orang akan bergulat pada pertarungan pikirannya lalu menyimpulkan, apakah akan mengikuti apa yang dia baca atau akan tetap pada apa yang disadarinya sekarang.


Semoga berarti.................

Jakarta, 19 desember 2007