Kemah Sastra, Apa perlunya? oleh Joko Sumantri

Gagasan mengadakan program pembelajaran sastra melalui apa yang disebut “Kemah Sastra” merupakan tekad lama dari para punggawa Buletin Sastra PAWON. Ada sejumlah alasan, selain “eksotis”, kami ingin menawarkan proses pembelajaran sastra yang santai, egaliter dan segar.

Ada persoalan terhadap apa yang selalu kita sebut sebagai “kelas”. Kami tak tahu persis buat mengistilahkannya. Tapi perhatikanlah: kelas berbentuk ruangan tertutup sebenarnya menghadirkan ancaman-ancaman, pembatasan dan sekaligus hukuman (ada yang bilang kelas mirip penjara bukan?). Orang-orang di dalamnya tidka bisa bebas bergerak. Mesti mengikuti alur kursi atau tempat duduk.

Kelas dengan ornamen di dalamnya mungkin menjaga siswa/pelajar/mahasiswa konsentrasi terhadap apa yang diajarkan. Pembelajar dipaksa mengikuti sejumlah aturan.

Tapi lama-lama, ada kesumpekan. Bukan hanya aliran udara sesempit ventilasi, melainkan kesumpekan suasana, keseragaman penglihatan dan memantik rasa bosan.

Kesadaran akan ruang belajar semacam inilah yang mendorong metode pembelajaran luar-kelas memperoleh pembenarannya. Namun oleh karena politik pendidikan semasa orde baru (mungkin juga hingga sekarang!) kegiatan belajar-mengajar di luar kelas nyaris tak diperbolehkan. Meskipun entah ada atau tidak aturan yang melarang proses belajar semacam ini, pada kenyataannya murid di sekolah-sekolah Indonesia jarang mendapat kesempatan belajar di alam terbuka.

Sastra barangkali bisa disebut negasi dari formalitas-formalitas. Oleh karena itu, program Kemah Sastra didesain untuk menerabas formalitas dan kekakuan proses ajar. Yang perlu diterabas pertama-tama adalah “meniadakan” benda pembatas semacam dinding yang melingkupi peserta dalam proses pembelajaran.

Di dunia pendidikan dikenal pembelajaran sebaya. Maksudnya, ada bukti bahwa kegiatan belajar lebih efektif manakala antara guru-murid adalah teman sendiri. Tidak ada sosok guru seperti yang kita kenal selama ini: guru dengan jarak terbentang demikian lebar dalam berinteraksi dengan muridnya sendiri.

Menyadari kecenderungan ini, Kemah Sastra diorientasikan antar orang muda sendiri, kecuali beberapa acara yang membutuhkan kepakaran dan pengalaman lebih. Egalitarianisme dikedepankan. Pertama, demi efektivitas pengajaran itu sendiri. Kedua, demi menurunkan “horor” sastra di kepala pelajar kita. Perihal kedua ini kami sadari betul karena ada keterjarakan cukup lebar antara pemahaman siswa kita terhadap sastra.

Tags:

Share:

0 komentar