Sunday 10 February 2008

Engkau & Sang Lain, oleh Tia Setiadi

Why should the aged eagle stretch its wings?
(T S. Elliot)

Sahabat, pernahkah engkau memperhatikan bunga teratai merah yang telah tumbuh dibawah air dan tiba-tiba mencuat kepermukaan kolam? Begitulah sebuah fragmen kepribadianmu tampil mengukuhkan presensinya diantara fragmen-fragmen lain, seperti sepotong langit yang melukis kebiruannya sendiri. Kebiruan yang dilukis itu adalah Wajah Sang Lain yang menyingkap sekaligus melenyap. Menyingkap karena wajah itu ternyata mourpheus, dengan morfologi tubuhnya yang simetris dan lengkap, dengan nama yang dapat kau panggil, dengan bagian-bagian indra yang masing-masing bisa dikenali dan dibedakan. Melenyap karena sungguhpun wajah itu berbentuk, engkau tak akan pernah tahu seutuhnya tentang kedukaannya, kebahagiaanya, nasibnya. Bisakah kau terjemahkan pandang matanya tatkala ia menerawang ke arah akanan? Atau pada satu titik dimana matanya bertemu matamu?. Adakah ia berbahagia ketika sesituasi denganmu?. Engkau hanya dapat menduga-duga.
Di sini, aku terkenang kata-kata Emanuel levinas tentang Wajah, dalam suatu wawancara singkat dengan Phlippe Nemo. “Wajah, kata Levinas, adalah makna pada dirinya sendiri. Engkau adalah engkau. Dalam arti ini dapat dikatakan bahwa Wajah itu tidak “dilihat”. Wajah tidak bisa menjadi isi yang engkau tangkap dengan pemikiran, wajah tidak bisa dirangkum, ia menghantar engkau ke sebrang”. Lantas, kita pun bertanya-tanya apa gerangan yang ada disebrang Wajah? Namun, bagaimana kita tahu apa yang di sebrang Wajah, kalau bahkan makna Wajah itu sendiri mrucut. Betapa susah sungguh/ Mengingat Kau penuh seluruh, kata Chairil Anwar dalam spenggal puisinya. Barangkali, “Kau” yang diseru oleh Chairil adalah Ia yang di sebrang Wajah itu. Maka, bila demikian halnya, setiap Wajah selalu mengandung tilas dari Sang Maha Lain. Ia nampak pada kita, seraya sembunyi. Kehadirannya mustahil direngkuh, sebab setiap Wajah membawa serta kesunyiannya sendiri-sendiri.
Namun kenapa gerangan cuma Wajah itu yang tersingkap atau membukakan diri padamu? bukan yang lainnya? kenapa elang mesti merentangkan sayap-sayapnya?, seperti sekeping pertanyaan TS.Elliot dalam sajak yang kunukil dimuka surat ini. Di sinilah letak misteri itu. Dan sebagaimana setiap misteri, ia menyangkal analisa nalar. Mendadak saja pelbagai kategorisasi tentang yang jelek dan yang jelita, yang anggun dan yang cacat, raib. Epifani Wajah itu oleh sang waktu mengetengahkan atmosfer sakral kedalam setiap rendezous. Ia menggaungkan jejak sayup-sayup dari Yang Suci. Ia menghindar dari segala penilaian. Penyair Coleridge menyatakan prosesi ini dengan frase yang indah, bahwa ia, Wajah itu, “falls sudden from heaven like a weeping cloud”.
Pada momen ketika weeping cloud itu menggelincir ke kanvas sanubari, seketika menyembul visiun-visiun baru, sebentang terra incognita, yang memberi efek ketentraman sekaligus kesakitan. Ini mirip momen puitik dan bahkan profetik. Akan tetapi, bagaimana mesti menerjemahkan visi yang menyerupai melodi? Bagaimana kata-kata mesti menanggungkan percikan imaji? Lihatlah, sahabat, kini engkau terkatung-katung diantara melodi dan visi, imaji dan kata-kata, ketentraman dan kesakitan. Dan tak mungkin bisa lari, sebab Wajah itu sudah memasuk-rasuki segalanya (Everything became a You and nothing was an It, bisik Auden). Bagai getar yang berkelebat dari atas, dari bawah, dari pinggir, dari selatan, dari utara, dari mana-mana, terus-menerus, berpendaran, ad infinitum. Mungkin momen inilah yang disebut mysterium terrible et fascinans (misteri yang menakutkan sekaligus memikat): Sebuah misteri “pewahyuan” dalam ektase waktu.
Nah, sahabat, demikianlah sekadarnya pemaknaan dariku, tentang fragmen perasaanmu pada si gadis jepang itu. Lima atau sepuluh tahun yang akan datang mungkin engkau akan sudah bersatu dengannya, mungkin tidak. Tapi bagaimana pun surat pendek ini telah bersaksi tentang engkau dan dia. Sekali-kali, di lain waktu, mungkin engkau tertarik membacanya kembali. Kini, sebelum undur dari surat ini, baiklah kunukil untukmu satu puisi Tagore yang subtil, yang boleh jadi suatu saat kau bacakan padanya:

Tangan berlekapan dengan tangan dan mata berlena
pandang dengan mata;demikian bermula rekaman kisah
hati kita
Malam purnama di bulan maret ; bau henna yang
harum diudara ; sulingku terkapar lena ditanah dan
karangan bungamu terbengkalai tidak selesai.
Kasih antara engkau dan aku ini sederhana bagai
sebuah nyanyi.
Kulitmu yang berwarna kuning muda memabukan
mataku
Karangan melati yang kaurangkai bagiku mengge
tarkan hati laksana puji.
Suatu permainan beri dan tahan, buka dan katup
kembali; beberapa senyum dan sipuan lembut serta re
rebutan manis tanpa guna
Kasih antara engkau dan aku ini sederhana bagai se
buah nyanyi.
Tak ada rahasia diluar kini; tak ada tuntutan untuk
yang langka; tak ada bayang dibalik pesona, tak ada
raba dipusat kelam
Kasih antara engkau dan aku ini sederhana bagai
sebuah nyanyi.
Kita tidak menyasar lari dari serba kata ke dalam
diam selalu;kita tidak mengangkat tangan bersumpah
janji untuk sesuatu diluar harapan.
Cukuplah apa yang bisa kita berikan dan kita dapat
Kita tidak merusak kegirangan hingga jadi berlebih
an untuk memerah anggur kepedihan dari dalamnya.
Kasih antara engkau dan aku ini sederhana, bagai
sebuah nyanyi.
( Rabindranath Tagore, Tukang Kebun, kidung bagian ke-16 )

Dengan nukilan dari puisi Tagore tersebut, aku harap, aku telah memungkas surat ini sebagus-bagusnya. Sekian dulu, jangan lupa urus jenggotmu dan sebaiknya potong sedikit rambut ikalmu. Jangan lupa pula, sampaikan salamku pada setiap gadis yang mulutnya bagai wadah mutiara dan giginya seperti barisan biji-biji mentimun. Sampaikan juga salamku buat Agus Sinta, Faisal si cowok distro, dan Sedapati yang senyumnya seksi. 

dari sahabat yang menyayangimu:
Tia Setiadi

Sebuah Surat dari Pembaca

Assalamualaikum wr wb.
Bersama surat sederhana ini, saya panjatkan doa semoga pengasuh dan segenap pengurus seluruh anggota Rumah Sastra Pawon dalam keadaan sehal walafiat.
Sebelumnya perkenalkan nama saya Miftahul Abrori, saya alumni MA Al Muayyad Mangkuyudan, Solo dan sekarang kuliah di Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta. Selama ini saya suka menulis dan alhamdulillah beberapa puisi dan cerpen saya pernah terpublikasikan lewat Solopos, Suara Merdeka dll.
Saya tak tahu persis seperti apa sih Forum Rumah Sastra? Bagaimana cara menjadi anggota, visi dan misi serta agenda acaranya seperti apa? Sepengetahuan saya Rumah Sastra adalah komunitas para penulis di Solo yang mempunyai majalah sastra PAWON, walaupun sampai saat ini saya belum pernah memegang dan membacanya.
Akan tetapi sebagai penulis pemula, saya ingin mengoptimalkan dan mengembangkan minat saya terhadap sastra lewat forum ini. Untuk itu semoga pihak Rumah Sastra bersedia membantu dan memberi penjelasan kepada saya mengenai forum ini.
Demikian semoga surat ini diterima dengan baik. Surat balasan saya tunggu dengan alamat: Jl. Slamet Riyadi 63, Solo atau lewat e-mail: miftahma@yahoo.co.id.
Atas segala perhatiannya saya sampaikan easa terima kasih.
Wassalamualikum wr wb.

Jawaban Redaksi

Terima kasih buat Mas Miftah yang susah-susah menuliskan surat dan mengeposkannya ke alamat redaksi (padahal sama-sama Solonya). Mengenai Rumah Sastra bisa dibilang sebagai ruang serbaguna. Di sini adalah “kantor” redaksi buletin sastra PAWON dan penerbit Gerilya Peradaban. Rumah Sastra juga tempat berlangsungnya Kelas Menulis Fiksi (KMF), sebuah program berbayar mengasah kemampuan menulis. Kemudian, ada taman baca (terutama buku-buku sastra) yang bisa dibaca ditempat atau disewa dengan harga super murah.
Yang terpenting, Rumah Sastra tempat berkumpulnya penulis muda Solo buat sekedar ngobrol, ketemu, mengadakan kegiatan sastra dan “menampung” tamu-tamu penulis kaliber regional dan nasional.
Kami juga sering mengadakan rapat merancang agenda sastra di sini. Barangkali jika diibaratkan, Rumah Sastra itu studio sastra sekaligus sekretariatnya para penulis.
Itu dulu penjelasannya ya, Mas Miftah? Untuk kontak bisa melalui e-mail: pawonsastra@yahoo.co.id atau SMS ke 0888 297 8004.
Ancer-ancer Rumah Sastra: di depan BNI Jl Sutami (Kentingan, Jebres) ada Gg. Kepuh, masuk terus sampai hampir mentok, kanan jalan ada rumah bergambar Chairil Anwar dan Pramoedya Ananta Toer. Itulah Rumah Sastra!

Reportase dari Kongres KSI, oleh Indah Darmastuti

Catatan Kru Pawon dari Kongres Komunitas Sastra Indonesia di Kudus 

Intro:
19 Januari 2008. Kurang lebih pukul satu, bersama Saut Situmorang delapan orang anggota Pawon ( Bhre, Puitri, Indah, Ary Wibowo, si Gad (Gatot), Anton, Yudhi Her, Joxum) berangkat ke Kudus menghadiri Kongres Komunitas Sastra Indonesia Dan Seminar Nasional Komunitas Sastra. Sayang sekali Kabut tidak bisa berangkat di acara itu bersama kami. Sebenarnya tim dari Pawon ada sepuluh orang, tetapi dua orang ( Pak Wijang dan kawan Ridho) sudah berangkat lebih dahulu dengan sepeda motor. Melalui SMS, mereka memberi kabar bahwa dalam perjalanan mereka berjebak banjir di Semarang. Capek dech!!

Lagu:
Adalah sebuah keajiban ketika kami bisa menghadiri hajad besar itu, mengingat malam sebelum keberangkatan, kami sempat kebingungan transportasi. Benar kata pepatah: Di mana ada kemauan di situ ada jalan. Tetapi yang ada pada kami saat itu adalah di mana ada kenekatan di situ transport kami dapatkan. (terimakasih buat Fajar yang sudah mengusahakan.)
Di dalam mobil kami berjubel dengan tas-tas besar dan sekardus penuh Buletin Pawon serta buku-buku terbitan Gerilya Peradapan. Dalam perjalanan kami banyak bercanda atau tepatnya terus tertawa oleh gaya humor Saut yang khas. Kami melampaui kampung demi kampung, kota demi kota hingga matahari rebah di barat menyepuh langit semburat jingga dan remang petang pelan merayap menjadi gelap ketika kami sampai di kantor DPRD Kudus, tempat Kongres diadakan.
Riuh kami melaporkan kehadiran di meja penerimaan tamu. Kecuali Saut, kami segera di antar ke hotel Air Mancur untuk urusan pribadi dan menginap malam itu. Pak Wijang dan kawan Ridho sudah mendapatkan kamar terlebih dahulu karena mereka memang lebih dulu sampai di Kudus.
Setiba di hotel, ah.... sudah ada kawan Dwicipta teman seperjuangan. Yah! Seperjuangan! bedanya, perjuangan yang ia lakukan sudah membuat tulisannya keblasuk di harian Kompas dan kami masih merayakan tulisan kami di harian lokal. Oh, iya. Ketemu Ryan juga.
Aku satu kamar dengan Bhre dan Puitri. Mereka, para lelaki menempati kamar relatif dekat satu sama lain. Perasaan kami para perempuan nyaris sama ketika memasuki kamar hotel sederhana itu. Ruang dan penataan serta peranti kamar nyaris sama dengan Wisma Seni di Solo ketika kami mengikuti Workshop. Sangat-sangat lebih dari cukup bagi kami yang telah mendapatkan fasilitas dari panitia.
Usai membersihkan diri dan bersiap seperlunya, kami menunggu mobil jemputan yang akan mengantar kami menuju tempat acara. Penantian yang menyenangkan karena kami bercanda dan saling berkenalan dengan peserta lain hingga mobil datang.
Setiba di tempat, kami langsung dipersilakan makan malam. Di dalam ruang sedang berlangsung Telangkai ke RRI Pro 4 Nasional. Dialog sesi 1 (on air) dengan pembicara: Sutardji Calzoum Bachrie (Sastrawan), Parni Hadi (Dirut RRI Jakarta), Eko Budiharjo, Thomas Budhi Santoso (Direksi PT Djarum. Yang mensponsori acara), Drs. H. Ali Mufiz. MPA (Gubernur Jateng). Kami mendengar dari luar ketika mereka berdialog tentang komunitas sastra.
Kemudian masuk ke ruang usai makan malam, lalu mencoba menyimak dan menyaksikan mereka masih berdialog serta menjawab pertanyaan secara on air. Aku mengedar pandang. Dekorasi ditata demikian artistik, dengan sport light serta sound sistem mantap.
Kami masih beradaptasi dengan suasana. Duduk di bagian belakang sambil sesekali melongok-longok untuk mencari siapa tahu ada yang kenal....hehhe...
Pukul 19.20 hingga pukul 20.00, acara diisi sambutan-sambutan :
Ketua Panitia: Wowok Hesti P.
Ketua pembina KSI: Parni Hadi.
Direksi PT Djarum: Suwarno.
Bupati Kudus. Ir H.M Tamzil, MT.
Gubernur Jateng Ali Mufiz. Baru kemudian sambutan mentri sekaligus membuka kongres KSI dan Seminar Nasional Komunitas Sastra.
Malam semakin larut. Para sastrawan senior dan yunior merayakannya dengan menyimak pembacaan pantun, gurindam, juga puisi yang dibawakan oleh Sutardji C.B yang bersahaja, Thomas Budhi Santoso yang kalem, Irmansyah Sang Penyair eksentrik, Fatin Hamama yang lembut dan anggun, Sihar Ramses yang tenang dan masih banyak penyair-penyair lain. Acara dilengkapi dengan monolog Sujiwo Tejo dengan saksofonnya. Ada tari Kretek nan halus dan memukau. Juga pentas teater Djarum.
Awalnya kami memutuskan untuk menuntaskan acara, tetapi karena tubuh kami terlalu lelah setelah berjam-jam melakukan perjalanan, kami sepakat memilih kembali ke hotel. Tetapi meskipun lelah, kami menyambut gembira ketika ada yang mengusulkan kembali ke hotel dengan jalan kaki. Kami ingin menikmati malam di kota Kudus yang sudah menjadi sepi. 200m tak terlalu jauh untuk kaki kami.
Gerimis masih turun kecil ketika kami menyusur jejalanan Kudus. “Perempatan ke dua belok kanan pada simpang tujuh ada sebuah bundaran. Tetap ambilah kanan.” Begitu kata seseorang yang memberi petunjuk jalan. Iring-iringan itu dipimpin oleh Bhre dan Ary Wibowo dan barisan ditutup oleh Puitri dan si Gad. Hingga kami tiba di hotel dan sibuk dengan dunia masing-masing. Kami para perempuan langsung mencoba kaos dan sibuk membuka-buka Tesaurus Bahasa Indonesia serta membuka-buka makalah dan buku puisi Thomas dan Leak, Souvenir dari panitia. Kami masih saling berkomentar yang intinya sebuah kegembiraan. Hingga akhirnya satu persatu dari kami terlelap. 

Interlude:
“Selamat pagi Kudus, selamat pagi semuanya. Terimaksih Tuhan atas anugerahMu. Semalam tlah berlalu. Kini kami menyambut hari baru.”
Aku keluar sekadar menikmati dan merayakan pagi di Kudus. Ah! Di meja depan kamar kami sudah tersedia tiga gelas teh dan tiga bungkus nasi oseng tahu. Bergantian kami mandi, bergantian kami sarapan. Kemudian berkumpul menunggu mobil jemputan.
Di lokasi tersedia menu sarapan juga. Lontok tahu dan menu lainnya. Meski di hotel sudah sarapan, kami tetap menikmati juga sebelum mengikuti sesi berikutnya. Joksum melobi panitia untuk meminjam meja supaya kami bisa menata Pawon dan buku terbitan Gerilya Peradapan. Dan luar biasa!! Satu kardus penuh (+- 250 eksemplar) habis terjual. Hari itu (Minggu 20 Januari ) banyak hadir guru-guru dan praktisi pendidikan. Tanggapan mereka atas buletin dan buku-buku yang kami tata di meja sungguh luar biasa menyenangkan. Sehingga harapan kita untuk menyastrakan sekolah mendapat peluang. Apalagi Puitri dengan begitu semangat membagikan selebaran ‘Kemah Sastra’. Pagi itu memang indah.
Dan kami masuk ruang. 

Lagu:
Perayaan Komunitas.
Di depan sudah duduk Idris Pasaribu, Anis Saleh Baasin dan Micky Hidayat. Yang membicarakan komunitas Sastra di Sumatra, Kalimantan dan Jawa. Tentang perkembangan dan corak komunitas sastra di wilayah itu. Di Riau sangat minim akan komunitas sastra. Inti dari pembicaraan itu adalah: Kehadiran komunitas-komunitas sastra jelas membantu memasyarakatkan sastra di Indonesia.
Kemudian acara disambung dengan ‘Komunitas Sastra Sebagai Basis Ideologi Kesusasteraan Indonesia’ dengan pembicara: Dendy Sugono, Ahmadun Y.H, Shihi Sawai dan Adi Suyitno. Dimoderatori S Prasetyo Utomo.
Pada sesi ini antara lain mengulas: berbagai macam ideologi di komunitas sastra pada Pasca-Orde Baru dilahirkan dengan interaksi dengan kondisi sosialnya. Keanekaragaman Ideologi didukng oleh karakter komunitas sastra yang terbuka lantas merangkul ambiguitas dalam batas ideologi maupun keanggotaannya. Kolektivitas yang terbuka berpotensi menciptakan sarana komunitas sebagai peluang untuk mensiasati berbagai ideologi dan sudut di dalamnya untuk tujuan yang berbeda. Sehingga bisa saling menggenapi dan memberi bentuk pada komunitas sastra atau personal yang bersangkutan.
Cukup ramai diskusi karena banyak guru yang berebut ingin bertanya, pertanyaan itu antara lain: bagaimana cara supaya sastra mendapat peluang sama dengan mata pelajaran lain seperti matematika, fisika Dll. Pada umunya para guru merasa mata pelajaran sastra sedikit di kesampingkan. Dengan bukti masih disatukan dngan bahasa. Mereka berpendapat, mestinya sastra menjadi mata pelajaran yang terpisah.
Sama seperti sesi-sesi yang lain. Yaitu kurang waktu. Masih banyak penanya tetapi waktu ak memungkinkan. Karena waktu sudah membawa kami pada makan siang.
Seminar dilanjutkan dengan ‘’Komunitas Sastra Sebagai Basis Penciptaan Estetika. Oleh Maman S. Mahayana dan Korrie Layun Rampan. Langsung disambung dengan ‘Sastra dan Kebutuhan Masyarakat Pembaca’ hadir pembicara: duet maut Habiburrachman El-Shirazy - Saut Situmorang. Tetapi sayang sekali kami tidak bisa mengikutinya hingga selesai karena harus pulang ke Solo.

Coda:
Masih banyak acara yang terpaksa kami tinggalkan. Pentas Sastra, Wayang Klitik, pembacaan puisi dan peluncuran buku Catatan Perjalanan KSI.
Kembali berjubel di mobil. Meski tanpa Saut, perjalanan tetap ramai oleh canda dan obrolan-obrolan ringan.
Banyak yang sudah kami dapatkan. Terpetik dari hati sepotong doa: semoga kita sama-sama sukses. Bukan hanya tim yang berangkat ke Kudus, tetapi kita semua, teman0teman seperjngan. Dan apa yang baik di antara kita, biarlah terpelihara sampai kita menjadi tua. Tetap berbagi semangat, saling mendukung dan mendoakan. Terserah Tuhan akan jadikan kita seperti apa. ( Dimastuti)

Halaman Belakang, Kolom Akhir Yunanto Sutyastomo


Namanya Supri, usianya sekarang mungkin sekitar 20-an akhir. Saya ingat ketika dulu dia selalu bercanda dengan seolah-olah tampil sebagai Buto Cakil, sebuah peran yang selalu ada setiap pentas wayang orang atau kulit. Lawan yang selalu dihadapi adalah Arjuna, anak ketiga dari keluarga Pandawa yang ganteng, dan beristri banyak. Dalam pertarungan tersebut Buto Cakil selalu kalah.
Pertarungan yang sebenarnya juga dihadapi Supri dalam kehidupan, dan kini bisa jadi kekalahan yang sama mungkin menimpanya. Setelah sekian lama saya tidak ketemu dia, kami berpisah saat sekolah dasar dulu. Setamat SMA dia bekerja pada kakaknya yang bernama Hari, seorang juragan pangkalan minyak di Bekasi. Hari adalah cerminan manusia urban yang mampu beradaptasi dengan kota. Berangkat dari pegawai SPBU kemudian menjadi jurangan minyak. Lompatan yang diakuinya sendiri bukanlah jalan lurus. Banyak hal yang dilakukan agar dia sampai seperti sekarang, dan untuk itu dia membutuhkan seseorang yang mampu melindungan usahanya. Ketika diketahuinya Supri, sang adik tertangkap basah di kampung sedang mencuri radio tape mushola. Maka terbayang bahwa ada potensi Supri untuk menjaga usahanya yang juga menjadi tumpuan keluarga besar.
Jadilah Supri centeng pangkalan minyak milik Hari. Tidak banyak kabar berita tentang Supri setelah dia pindah ke Bekasi, sampai kemudian saudara kami Mas Lilik pulang. Mas Lilik adalah seorang polisi di Polda Metro Jaya. Dari Mas Lilik, kami tahu kalau Supri dipenjara sebagai tumbal kakaknya yang korupsi uang setoran minyak. Hal ini dilakukan Hari untuk menjaga nama baiknya.
Ketika saya mencoba membayangkan Supri, betapa jauh halaman hidupnya. Tidak pernah terbayang dalam pikiran saya rentang hidup yang harus dia jalani. Saya selalu ingat sewaktu dia menjadi Cakil, betapa gemulai gerakan tubuhnya terutama tangan yang seolah siap memukul Arjuna. Dan seandainya catatan masa lalunya adalah sebuah garis lurus untuk esok hari, saya membayangkan ketemu dia pentas Wayang Orang di Sriwedari atau di Barata.
Kisah Supri menyadarkan saya betapa hal yang sama dialami banyak Manusia Indonesia. Hal yang sama mungkin akan memenuhi setiap halaman hidup keluarga-keluarga Indonesia, terlebih mereka yang tinggal di desa. Tidak banyak pilihan untuk sebuah perbaikan ekonomi masyarakat desa. Diskriminasi terjadi dalam beberapa dekade terakhir ini. Adalah ironi, desa merupakan sumber bahan pangan utama, tapi separuh lebih masyarakat di desa harus ke kota-kota besar untuk mencari makan.
Apa yang terjadi pada Supri saya temukan juga pada seseorang yang bernama Yu Turi. Saya tidak tahu pasti kenapa dia dipanggil Yu Turi, mungkin saja dia sering memetik daun turi. Yu Turi pada awalnya bekerja sebagai penjual koran bekas. Tapi dia akhirnya tersingkir, tidak mampu bersaing dengan mobil rongsong yang setiap hari berkeliling kota. Masih untung Yu Turi ditampung saudara jauh kami, dia bekerja di katering Mbak Tinuk.
Ironi pembangunan selalu menimpa mereka yang lemah. Dalam piramida kekuasaan, mereka menjadi paling bawah. Pada persoalan kesejahteraan mereka menerima yang paling kecil. Dan kalau melihat kondisi saat ini , mungkin masih akan banyak cerita luka yang terjadi. Supri dan Yu Turi di kehidupan bangsa ini seolah menjadi halaman belakang, dan kita tidak perlu bertanya lagi siapa yang ada di halaman depannya.

Puisi-puisi Agus Manaji

GELAP MALAM MENGENALI KITA
- Nurul Aini Sinta Dewi...

Reremah sisa cahaya membentur dinding-dinding rumah kusam.
Mendung merundung, mengaji kesedihan. Gelap malam luruh
di kejauhan. Pertemuan demi pertemuan kita hanya mengupas kabut rindu
di mata, selebihnya luka kembali kambuh, bagai perih daging tumbuh. Mataku
terlampau rapuh untuk nyala merah kerudungmu. Tapi jalan-jalan resah kota,
juga kelam mendung di matamu itu, begitu nyata mengusik
ufuk-ufuk sepiku. Apakah kita hanya bayang-bayang dari warna-warni cinta?
Kau tak mengerti. Aku tak mengerti. Tak seorangpun, Sayangku,
menyapa kita di sini. (Mungkin karena kita pun tak mengenal luka
mereka.) Meski, gelap malam mengenali kita, akhirnya; kenyataan membakar
namamu dan namaku. Desir sesal, memagutku ragu. Helai-helai rambut halus
yang menyembul dari tepian kerudungmu mengarsir murung wajahmu,
memancung linglung nafasku. Berdosakah kita yang mendamba
sebentuk keluarga, menghamba demi kesetiaan sederhana?
Reremah sisa cahaya pada dinding-dinding rumah kusam
karam. Mendung merundung, mengaji kesedihan. Gelap malam
telah tiba di simpang jalan. Aku mesti mengantarmu pulang. Sungguh,
bukankah takkan sepilu ini bayang-bayang, Sayangku?

Desember 2007.


SEPERTI MALAM-MALAM FEBRUARI
- Nurul Aini Sinta Dewi

Kuulungkan beberapa patah kata ke tambir
sepi. Lalu, kaupun tuturkan kisah getir
yang bertahan menyimpan cahaya lirih
sepanjang musim di jalan-jalan kotamu.
Seperti malam-malam Februari
yang memerdekakan awan-awan hitam kumulonimbus,
bersila aku dalam remang, mengaji riwayatmu yang timbul hapus
disapu gelombang amarah para penghuni gua dendam
mengaji juga isyarat
sejak lambai gaun hijaumu
hingga wajahmu teduh yang sungguh
tak lagi berjarak dari kelahiran
dan kematianku.
Dan ketika tiba-tiba kau terbatuk
aku terlempar pada hening Mustofa
saat khusyuk menyimak nasihat Musa
sepulang dari sidratul muntaha.
Telanjang kita untuk linang airmata.
Kau labuh hati agar fasih
menyanyikan puisi cinta-puisi luka.
Pada nukilan kisahmu
gelisahku membara rindu.

Yogyakarta-Gamplong, 2007.


KUCURI TEMPIAS CAHAYA MATAHARI SENJA DARI MATAMU
Nurul Aini Sinta Dewi

Selalu kusinggahi wajahmu, bersekutu dengan angin nakal
mengembarai sabana pipimu; jejak-jejak kesedihan
menanam kenyataan di situ, dan garis-garis wajah bersilangan
dinyalakan sapuan tipis pupur merah jambu. Sungguh,
kerap kucuri tempias cahaya matahari senja dari matamu.
Kumakmumi nafasmu, sembari menawafkan airmata
sepanjang lengkung orbit rindu, memiuh warna pelangi keinginan
dengan serakan debu jalanan. Sebab tak selamanya kita
bisa berontak. Tak semua mimpi pula percik menitik.
Dan karena langit begitu jauh dan angkuh, kasihlah geliat debu
dan rumputan, kasihlah mataair keajaiban, aku pun mencintaimu.

2007.


RABU HENING DI BIBIRMU

Rabu bening di matamu
tak lain retina yang telaga
membasuh kenangan luka
harapan dan senyum kota.
Rabu hening di bibirmu
tak bukan lidah yang yoga
atas timbunan angka dan kata
luruh, menjelma ruh eksitasi
yang purnama.
Membaca Rabu di mata di bibirmu
terbentang berjuta tahun cahaya
menempuhmu.

2007


DEBUR MARET TERULUR

Debur Maret terulur, menjangkau samudera bagi kenangan
tak terkubur. Hilal menunjam punggung awan; sepetik fragmen
cinta yang lirih dan pedih, sebab orang-orang hanya lalu
dan enggan merintih. Tak ada keajaiban lagi, kini,
kecuali legit senyummu. Di bening matamu, Sayangku,
yang setemaram mata ibuku, kulihat satu tanggal mengombak
dan karam pada ufuk tak terukur. Debur Maret telah terulur,
membasahi lagi ingatan pilu tentangmu. Biarlah kusunyikan namamu
dalam rimbun sajak, sembari menyimak teriak gagak. Dan seperti nelayan
membaca rasi-rasi bintang, kusadap cahaya purba yang menghuni
lembah. Sembari menghempas tubuh ke tubir waktu. Menyurung ruh
sepenuh rindu. Menjelma angin mengibar kerudungmu,
agar tersenyum rahasia itu.

2007

Puisi-puisi Rudi Hartono

Nyanyian Sepasang Pecinta

Siang nanti kita berjanji bertemu,
antara jalan penuh asongan yang masih terukir mungil namamu di situ.
Kita sepakat mengemasi segenap remah-remah luka, berwarna merah saga,
sebelum pamitanmu ketika itu, seperti warna darah bumi kita.
Aku harap kau di hadapanku nanti merona dan cantik berkerudung putih,
rapi dan wangi.
Tapi jangan kau kenakan segenap pakaian sunyi di tubuhmu
karena aku tak mau melihatnya.
Aku tak pernah bisa menjawab apa yang kau pertanyakan
karena rasa sayang tak ada alasan, tak terstruktur, dan tak berkerangka.
Jalan itu tetap saja kita lewati
meskipun bekas luka karena kesombongan cuaca
masih menyayat di bibir kita.
Bila nanti kau datang dengan kereta kupu-kupu
kemudian turun dari suara udara
dengan senyum kecil cahaya di balik dadaku kau kusambut.
Desiran angin belum juga datang padaku,
hanya bisikan kerikil kecil membawa kabar lewat di bawah mataku.
Aku tak akan datang, Sayang

Sukoharjo 2006


Wajahmu di Dalam Telephone

Hallo, siapa yang bertanya tentang pagi?
padahal aku sendiri terpatri membukanya setiap hari.
Apakah benar kau bidadari hati yang terbang hinggap tepat di dadaku?
Sementara itu aku terus bertanya
karena hanya ada nomor rahasia di setiap sudut kepak-kepak jemari
dan tombol penyampai pesan
sebagai isyarat bahwa kita harus segera mengemasi janji
karena bertemu pun tak mungkin lagi
Hallo, siapa di situ?
Kekasihku kah?
nafasmu dalam hatiku terlunta oleh desahan suaramu
seperti waktu kita bercinta, remuk redam digerus nuansa kita.
Wajahmu di dalam telephone seringkali membuyarkan konsentrasi
setiap kali ku tanya di mana kau berada
Hai, tak ada bisikan apapun dari mulutmu
yang ada hanya nada sela mengikuti denyut jantungku
yang tak berirama dan tanpa titk koma, melaju semakin lambat
karena pertanyaan yang tak kunjung lega
tetap saja aku pegangi gagang telephone yang sudah lama mati suri
karena aku yakin wajahmu masih tertinggal ayu
di sela-sela nada tunggu yang akhirnya pilu
Kupunguti sisa-sisa riasanmu yang masih lengket tanpa jawab

Surabaya, Agustus 2006


Renungan Takutku Padamu, Marti
Marti,
Aku takut mencintaimu
aku takut dengan kelemahanku yang terus memberontak
dari lingkaran genggamanmu
Perjuanganku memang tak secantik wajahmu yang tanpa cacat
Demi kepompong yang tak pernah bisa bermimpi
tak ada hak untuk bermimpi,
adalah hal yang sama denganku
Ujung lancip daun Teki mengundang langkah lunglaiku,
terjal dan sedikit bergelombang,
tapi dengan lidah ranummu aku terpaksa nodai fajar tadi
dengan selembar puisi ini
agar kau tahu aku tak berhak menjadi kupu-kupu
Marti
Aku takut mencintaimu
adalah sama dengan hantu yang menjaga di pundak kiriku
cukup kau yang tahu
bahwa angin membawaku dalam renungan ketakutanku

Surabaya, Agustus 2006


Cintaku Tumbuh di Meja Ini

Daunan kering di atas meja beton
memberi sedikit harapan
bahwa kita mungin satu nasib.
wajahmu membatu, layu
di bawah pohon nangka sedikit datang cahaya lewat di sela-sela ranting tua
aku memandangmu
hanya ada hening dan kekosongan, sisanya cintaku padamu
Bisikan daun itu memberi isyarat
bahwa kita harus pergi ke singgasana tempat kita nantinya bercengkrama
Banyak mata menyalahkan kita
persetan dengan mereka
yang aku tahu aku cinta, dan kau suka
Dalam kebersamaan ini aku sendiri yang membayangkanmu,
bukan orang lain
sebut saja itu kelebihanku yang sah untuk memelukmu
Dinda
Ada semut mengganggu cumbu kita
pura-pura tak melihat
dan selalu berusaha keras untuk tak kelihatan di depan kita
dari mana datangnya duri yang sering mengadu kita?
tak terasa memang, namun perlahan menggerogoti yakinku di atas kulit lembut lekuk dadamu
Yakinku berseru untuk tidak meninggalkan jejakmu
tanpa arah dan waktu kupastikan cintaku menjemputmu

Surabaya, Agustus 2006


Ketika Tak Bersamamu

Aku datang,
datang pula hamparan luas remah-remah rambutmu menyambutku
Lekuk bibirmu mengatup
tapi berbisik pada lembaran frase-frase pertanyaan
yang rambatan waktupun putus asa menyenggamainya
Menunggumu tiada bermula
akhirnya burung gereja berumahkan rambut kumalku
Penyesalanmu memang kelemahanku
janjiku tak mampu membayar titipan rindumu
barang kali kau ingin menebus dongeng-dongeng pengantar tidurmu
yang kemarin sempat kau pinjamkan pada malamku
jemari kesabaranku tak mampu lagi
menampung rajutan lagu
yang tumbuh subur di pelataran tangga nada
mendayu kesedihan yang kita sepakati bersama
Aku harap kau tetap ada dan bersuara
dan aku pasti mendengarnya,
suaramu serupa gelombang tetap kunanti menyapu iga lemahku

Juni 2006

Tanpamu
Angin hinggap di awang-awang
turun melintasi ranting-ranting dadaku
Kapan hatiku berwarna langit?
Aku tak tahu, biarlah jadi rahasia dunia
Seokor dara kecil menangis,
air matanya mekar menjelma mawar
sambil menggumam seakan diam
“tanpa kepemilikan atas dirimu membuatku tak kesepian”
Maret 2007
Karena Itu
Air matamu karena puisiku yang kucintai
Langkahmu yang menghampiriku yang kusayangi
Adalah kau yang kulingkari pelangi berbentuk hati
Sekali lagi, aku mencintaimu karena itu.
Juli 2007
Sayang Tak Untuk Beralasan
Bekas tatapan matamu masih tertinggal rapi di serambi rumahku,
saat kau pejamkan mata, lalu pergi, udara menciumimu.
Sama halnya kau yang menjelma udara yang kuhirup tanpa setahuku.
Itulah sebabnya aku memikirkanmu
Juli 2007
Perempuanku
Perempuanku, jika kau bidadari terbanglah ke sini!
Aku hampir terlelap karena mengenangmu
Tak mungkin ku akhiri.

Agustus 2006
 

Cinta Itu Diam

Langit terlipat rapi di rambutmu,
yang tadi sempat ku sentuh dengan jemari kesabaranku.
Kau mengingatkanku
pada daun yang belum selesai kurajut,
pada gelombang yang mengombang-ambingkan argumenku
bahwa kau telah bersemayam dalam ruang 3 X 4 inci di bilik jantungku.
Sisanya cintaku padamu yang belum sempat kusampaikan
Sept 2007
Selamat Malam, Sayang
Kau tidurkan matamu yang mulai rapuh dihunus hujan yang masih tersisa, dan ada wangi tanah ,
lainnya mimipimu yang masih kau rencanakan,
denagn harapan paginya kita bertemu diperaduan.
Kapan kita mengakhiri kekejaman ruang dan waktu ini?
Tanyamu pada rindu di dadamu.
Oktober malam 2007
Kursi Pengantin
Ketika mengingatmu sudah habis dilumat udara,
kau belum datang juga
Kursi pengantin kita masih kosong,
hanya lalat-lalat biru lewat di atas kepalaku
menyampaikan cintamu yang tertunda.
Kamarku sudah aku beri bunga yang kupetik dari rambutmu,
dan kursi ini tumbuh melati,
ingin segera kau duduki
dan sejahtera menatap senyumku yang ranum
yang pernah kau ciumi dan kau kagumi.
Kamu adalah lumut di otakku, dan menjalar keseluruh tubuhku.

Penghujung 2007


Penulis: Rudi Hartono, kelahiran Sukoharjo 1 April 1985. Mahasiswa UNS Surakarta, jurusan Sastra Indonesia angkatan 2003. Karya-karyanya pernah dimuat di Pendapa 3 dan Buletin Fillitra (buletin milik jurusan Sastra Indonesia).HP: 085 62 99 44 98.