Friday 4 April 2008

Ayam Kampung, cerpen M. Ikhsan

Terpengaruh oleh ilmu pengetahuan populer, aku lebih menyukai ayam kampung daripada ayam RAS. Konon kadar kolesterol ayam kampung lebih rendah daripada ayam RAS. Selain itu tidak ada zat aditif seperti hormon pemacu pertumbuhan ataupun obat-obatan. Siang itu untuk sedikit memanjakan tubuh aku nongkrong di warung ayam bakar kampung yang terkenal lezat di kotaku. Warung itu walaupun sederhana tetapi banyak dikunjungi orang-orang berdasi dan bermobil mewah. Aku tidak keki dengan kehadiran mereka, soalnya di situ kulihat juga beberapa pengunjung berkasta sepertiku, pemakai sepeda motor.
Setelah memesan ayam bakar kampung, aku mengikuti ritual menunggu yang tidak jauh berbeda dengan orang-orang berdasi itu, memencet tombol HP dengan ibu jari. Bedanya HP mereka lebih canggih, sedang HP-ku sekedar bisa untuk menelpon dan SMS saja. Aku dikarunia oleh Tuhan dengan penglihatan yang tajam. Siang itu aku merasakan hal yang tidak mengenakan di warung itu. Seorang anak kecil yang kumal tampak duduk di sudut warung sambil memendam kesedihan yang dalam. Tangis kesedihannya disertai kelelahan pertanda dia telah menangis sejak lama. Anak kecil itu duduk di trotoar ditopang tangan kirinya dengan tubuh agak miring. Kedua lututnya ditekuk bersimpuh. Tidak banyak orang yang mau memperhatikan kehadirannya. Di kotaku pemandangan anak gelandangan yang kelaparan bukanlah pemandangan yang aneh. Bahkan banyak pemandangan tersebut adalah pemandangan artificial atau pemandangan buatan untuk mengetuk belas kasih kita.
Aku melanjutkan mengetik SMS untuk anak istriku sambil sekali-kali memperhatikan anak kecil itu. Di sampingku seorang lelaki bertubuh tambun bermata sipit sedang menikmati hidangan ayam bakar yang sudah tersedia. Dia berambut panjang diikat, bercelana pendek dan yang kutahu mobilnya AUDI yang terawat baik. Dari cara dia makan aku tahu dia sangat menikmati daging ayam yang disantapnya. Sesekali terdengar sendawa yang bagi orang kaya sopan-sopan saja. Tetapi kalau sendawa itu keluar dari mulutku pastilah orang-orang perlente itu akan menegur dengan pandangan matanya. Tetapi sekali lagi, aku dikaruniai pandangan mata yang tajam. Aku menangkap sebuah pemandangan yang aneh. Setiap orang tambun itu puas dengan daging ayam yang dimakannya, kulihat anak itu semakin menjadi-jadi tangisnya. Orang tambun itu tidak menyadari dan larut dalam kelezatan ayam kampung. Pemandangan itu telah membuat selera makanku hilang. Aku segera menghampiri anak kecil itu untuk sekedar ingin tahu kenapa dia begitu tersiksa setiap daging ayam itu digigit, dikunyah dan dilumat orang tambun itu.
Kupegang pundak anak itu. Tetapi dia tak menghiraukanku, perhatiannya tetap saja tertuju kepada orang tambun yang sedang menyantap ayam bakar. Aku mencoba sabar menunggu sampai orang tambun itu selesai makan. Anak kecil itu tampak lemas melihat ayam bakar ludes dimakan orang tambun itu.
“Nak, kenapa kamu bersedih melihat bapak itu makan ayam bakar. Kamu pasti lapar dan pengin makan ayam bakar seperti bapak itu ya?
Dia hanya menggelengkan kepala dan terdiam. Aku yakin dia sangat kelaparan dan kelelahan.
“Nak, mau kubelikan nasi dan ayam bakar seperti yang dimakan bapak itu?”
“Saya lapar, tetapi saya tidak mau makan ayam, saya mau makan lauknya tahu dan tempe saja.”
“Oh, baiklah tunggu ya, saya pesankan!”
Aku semakin heran dengan sikap anak itu. Kukira dia sangat ingin menikmati ayam bakar seperti yang disantap bapak tambun itu, tetapi dugaanku salah. Aku mengurungkan niatku untuk bersantap ayam bakar di warung itu. Aku meminta kepada pelayan untuk membungkus saja pesananku. Sebungkus nasi berlauk tempe dan tahu dan air mineral kuberikan kepada anak itu. Dia tampak tergesa-gesa menghabiskan nasi itu seolah-olah kesedihannya telah hilang. Aku tetap penasaran dengan dia. Kutunggui dia sampai selesai menghabiskan nasi dan air mineral itu.
“Nak, kenapa kamu tadi sangat sedih?”
Pertanyaanku seolah mengingatkan kembali kesedihannya. Dia mulai meringis menangis tanpa meneteskan air mata. Mungkin air matanya telah kering.
“Ayam saya, ayam saya dimakan bapak gendut tadi.”
“Bagaimana kamu tahu itu ayam kamu?”
“Ibu menjual ayam kesayangan saya untuk menebus obat. Kata ibu tidak ada yang bisa dijual lagi selain ayam saya. Ayam itu adalah salah satu sahabat saya selain si Meong. Saya sangat sedih berpisah dengan Thole. Saya mengikuti si Thole. Saya menyusup naik mobil yang membawa si Thole. Saya mengikuti terus sampai di warung makan itu. Saya mengawasi si Thole sampai si Thole disembelih dan digantung di situ. Saya mengamatinya terus sampai akhirnya si Thole dibakar dan dimakan bapak gendut itu.”
“Ya sudah, nanti kubelikan lagi ayam kampung untuk kamu pelihara.”
“Tidak!!! Thole dan Meong adalah sahabat saya, Thole tidak bisa digantikan oleh ayam yang lain. Di saat teman-teman saya menghindar dari saya karena takut tertular penyakit, hanya Thole yang tetap setia bermain dengan saya. Dia tidur dan makan setiap hari dengan saya, dia lebih dari sekedar ayam.”
“Kamu sakit apa?”
“Tidak tahu!!! Kata ibu sakit saya menular dan harus minum obat terus. Kenapa harus Thole yang dijual, bukannya si Meong?”
“Orang beli kucing untuk apa?”
“Kalau Thole yang dijual pasti akan disembelih, tetapi kalau Meong yang dijual pasti akan dipelihara dengan baik, diberi makan lebih enak daripada di rumah saya.”
Aku tersenyum mendengar kepolosannya. Aku mencoba menghibur.
“Nak, ayam kamu akan masuk surga, kamu suatu saat nanti akan bertemu dia di surga. Sekarang kamu pulang saja. Ibumu pasti cemas menunggumu.”
“Saya tidak tahu jalan pulang.”
“Apaaa? Coba ceritakan alamat rumahmu?’
“Saya tidak ingat letak rumah saya, saya tidak pernah pergi jauh dan saya tidak bisa membaca dan menulis.”
Aku ikut bingung seperti dia. Bagaimana aku menolongnya sedangkan dia sendiri tidak ingat letak rumahnya. Mau membawanya dia pulang takut anak-anakku tertular penyakitnya. Selain itu rumahku sudah penuh dengan penghuni. Dia mulai panik dan memanggil-manggil ibunya. Tangisnya semakin menjadi, menarik perhatian pengunjung warung makan itu. Akhirnya anak itu kubawa ke panti asuhan dan melaporkannya kepada polisi.
Dari kejauhan kulihat anak itu menangis dan menangis memanggil nama ibunya, si Thole dan si Meong. Bungkusan ayam bakar yang kubeli dari warung kuberikan kepada tukang kebun panti asuhan. Sejak saat itu aku tidak mau lagi makan ayam kampung. Aku takut memakan sahabat kesayangan seseorang, sahabat orang-orang miskin. Aku lebih suka memakan ayam RAS hasil dari peternakan orang-orang kaya.
***
Purwokerto, 19 Januari 2006

No comments:

Post a Comment