Sunday 20 July 2008

Surat, Kolom Akhir Yunanto Sutyastomo

Saat kami mengerjakan Pawon kali ini, ada beberapa peristiwa penting terjadi. Yang pertama tentu saja perubahan komposisi redaksi Pawon. Yang kedua harga BBM naik, heran masih saja ada kenaikan BBM, dan demontrasi pasti terjadi disana-sini. Kita ternyata masih saja hidup dengan penuh gejolak disana-sisni.
Berbicara soal gejolak, kita jadi ingat betapa bergejolaknya hati kita saat pertama kali menerima surat cinta. Bisa jadi hal ini mengingatkan kita pada lagunya Vina Panduwinata yang bercerita tentang Surat Cinta. Tapi itu mungkin cerita beberapa tahun yang lalu. Kini jelas tidak mungkin ditemukan surat cinta dari seseorang kepada pacarnya.
Surat memang media yang memiliki fungsi bermacam-macam. Tidak saja sebagai media untuk menulis, tetapi kadang kala surat berperan dalam sejarah hidup manusia. Kita mengenal Surat Kepercayaan Gelanggang sebagai bagian penting dalam sejarah kebudayaan. Demikian juga dengan Kumpulan Surat-Surat HB Jassin dengan berbagai sastrawan yang berbeda pemikiran bisa menjadi bukti perkembangan sastra kita.
Surat-surat yang bersifat publik tanpa disadari memiliki peran penting dalam pendidikan langsung kepada masyarakat. Tentu masih ingat dalam pikiran kita surat terbuka Romo Mangun kepada Presiden Habibie (kala itu) yang berisikan berbagai persoalan bangsa. Salah satu isi surat itu adalah mengingatkan kita tentang kemerdekaan. Salah satu bagian dari surat Romo Mangun adalah bercerita tentang Timor Timur (kini Timor Leste). Dari Timor Timur Romo Mangun mengajak kita semua untuk memahami makna kemerdekaan, makna hak sebuah bangsa dan belajar tentang kesalahan sebuah bangsa.
Tentu masih banyak surat-surat lain yang memiliki peran dalam sejarah bangsa ini, seperti surat Hatta kepada Soekarno. Tapi kini mungkin surat harus berada dalam tepian dulu, kalau saja kita sadar betapa pentingnya sebuah surat, pasti dia akan kembali lagi.
Kapan anda akan menulis surat buat teman-teman ? Atau mau menulis surat untuk Pawon ? Bergegaslah.

Pembelajaran dari Sayembara, oleh. Sanie B Kuncoro


Mengikuti sayembara penulisan fiksi, serupa mengikuti sebuah lelang tertutup. Peserta tidak akan mengetahui siapa pesertanya, berapa jumlah pengikutnya, apalagi kekuatan peserta lain sebagai lawan tanding.

Berbeda dengan pertandingan olahraga, di mana masing-masing peserta saling berhadapan sehingga bisa saling mengukur kekuatan lawan, sehingga memungkinkan dilakukannya strategi baru ataukah menambah atau menyimpan kekuatan. Maka cara terbaik mengikuti sayembara tersebut adalah dengan mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya sehingga memperoleh hasil maksimal.

Keuntungan dari mengikuti sayembara semacam ini adalah, kita tidak perlu malu bila mengalami kekalahan, karena tidak akan ada yang mengetahuinya. Kecuali apabila kita mengumumkan keikutsertaan kita. Namun kekalahan bukanlah sebuah akhir. Kita bisa belajar dari kekalahan terdahulu untuk menyusun kekuatan guna mencapai kemenangan di masa mendatang. Begitu juga kemenangan. Kemenangan bukanlah hasil final atau sebuah puncak. Kemenangan justru memunculkan hasrat untuk kembali melakukan sebuah pencapaian.

Saya belajar dari sebuah kemenangan.

Lomba penulisan yang pertama kali saya ikuti adalah Lomba Penulisan Laporan dari Daerah, yang diselenggarakan oleh majalah HAI pada tahun 1982. Saya masih murid SMA ketika itu dan menulis tentang para petani yang kehilangan tanahnya karena terbelit hutang. Para petani itu akhirnya menjadi buruh tani dengan menggarap sawah bekas miliknya. Laporan berjudul "Padi tak Sekuning Dulu Lagi" ini menjadi juara pertama. Hadiahnya uang tunai Rp 100.000,- dan mesin tik. Sebuah nilai yang cukup besar pada masa itu.

Saya surprise, sama sekali tidak menyangka, meski tentu saja sangat bahagia dengan kemenangan itu. Lalu kemudian saya sampai pada sebuah pertanyaan, mengapa saya menang? Saya mencari jawabannya dengan membaca seluruh karya pemenang. Lalu saya menemukan sebuah perbandingan. Karya saya ternyata berbeda. Pada umumnya ternyata peserta menterjemahkan makna laporan dari daerah itu adalah sesuatu yang khas dan unik dari suatu tempat tertentu. keunikan itu disajikan secara polos, tanpa tambahan analisa atau ulasan tentang dampak sosial dan ekonomi.

Hal ini kemudian membuat laporan saya menjadi berbeda karena saya mengungkap kisah tentang persoalan petani, yang umum terjadi di berbagai daerah di Indonesia sebagai negara agraris. Saya mengupas sebuah masalah yang relevan secara nasional, bahkan tetap aktual hingga saat ini, bahkan setelah lebih dari dua dekade laporan itu dibuat. Analisa dampak sosial yang saya tambahkan menjadikan laporan itu terasa manusiawi.

Pelajaran pertama yang saya peroleh ketika itu adalah, bahwa saya mendapatkan sebuah strategi untuk memenangkan sesuatu. Bahwa kemenangan itu bisa dirancang.

Sesudah itu saya rajin mengikuti berbagai lomba penulisan, khususnya fiksi. Tidak semuanya menghasilkan kemenangan maksimal sesuai harapan, namun itu tidak membuat saya putus asa dan berhenti mengikuti sayembara. Setiap kali saya selalu membaca naskah para pemenang, mempelajarinya dengan cermat dan menjadikannya sebagai standar untuk pembuatan naskah saya guna mengikuti lomba serupa di tahun selanjutnya.

Kekalahan semacam itu tidak membuat saya putus asa, mempertanyakan kemenangan peserta lain ataupun meragukan penilaian juri. Saya percaya setiap lomba memiliki kriteria dan setiap juri memiliki cara penilaian yang berbeda. Hal-hal semacam inilah yang harus dicermati dan ditelisik dengan telaten.

Semua usaha itu membuahkan hasil yang signifikan, meski tidak selalu mencapai target maksimal yang saya harapkan. Namun sejauh ini, apa yang saya peroleh tidaklah terlalu mengecewakan. Karena bukankah kita senantiasa layak berusaha, meski Tuhan jua yang menentukan?

Lepas dari semua itu, janganlah berhenti oleh karena sebuah atau berkali-kali kekalahan. Terus berjuanglah untuk menuju pada sebuah kemenangan yang niscaya teraih pada suatu hari nanti.



Sani B Kuncoro, penulis fiksi. Sering memenangkan lomba penulisan fiksi, saat ini tinggal di Solo.

Wednesday 9 July 2008

Sayembara Sastra, Rangsangan Menulis, dan Pencapaian, oleh: Haris Firdaus


Tahun 1998, saat Kongres Bahasa Indonesia VII, penyair Taufiq Ismail pernah menyebut jarangnya sayembara sastra sebagai salah satu persoalan dalam perkembangan sastra Indonesia saat itu. Tapi, soal jarangnya sayembara sastra ini, kalau kita melihat realitas sekarang, justru tak perlu dikhawatirkan lagi Sebab, beberapa tahun terakhir ini, sayembara sastra memang mengalami peningkatan jumlah dan ragam dengan presentase yang bisa dibilang luar biasa.
Raudal Tanjung Banua, tahun 2004, pernah menyebut bahwa fenomena sayembara sastra adalah fenomena yang amat marak dalam perkembangan sastra Indonesia mutakhir. Pada tahun itu saja, berdasar catatan Raudal, beragam sayembara sastra diadakan: mulai dari Krakatau Award Dewan Kesenian Lampung, lomba cerpen oleh Creative Writting Institute (CWI) dan Depdiknas, Sayembara Menulis Cerpen Horison, Sayembara Penulisan Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta, dan banyak lagi.
Tentu saja, sayembara sastra bukan fenomena baru dalam pertumbuhan sastra kita. Tahun 1950-an, misalnya, Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) biasa memberi penghargaan pada karya sastra yang dianggap “terbaik” saat itu. Meski penghargaan macam itu tak bisa seratus persen disebut sebagai “sayembara” karena karya yang diberi penghargaan memang tak dibuat dengan ketentuan khusus seperti laiknya dalam sayembara yang “biasa”, tapi penghargaan macam itu menggunakan sistem penjurian: salah satu penanda penting dalam sebuah sayembara.
Pada tahun 1960-an, ada yang khas dari sayembara sastra di Indonesia, yakni kentalnya nuansa politis yang mewarnai jalannya proses sayembara. Tahun 1960, Moh. Rustandi Kartakusumah menolak penghargaan BMKN yang diberikan padanya. Segera setelah penghargaan itu diumumkan di Bandung, Rustandi segera menyatakan penolakannya. Alasannya: ia meragukan mutu juri.
M. Poppy Hutagalung pada sekitar dekade itu juga pernah menolak penghargaan dari Majalah Sastra yang dipimpin HB. Jassin. Ketika Sastra memilih puisi Poppy Hutagalung sebagai puisi terbaik dalam majalah itu, ternyata Poppy menyatakan penolakannya. Padahal Sastra adalah sebuah majalah sastra yang amat bergengsi di Indonesia saat itu. Belakangan, konon ditemukan bukti bahwa Pramoedya Ananta Toer ternyata ada di balik sikap penolakan Poppy.
Meski dua penolakan itu kelihatannya hanya berkait dengan persoalan juri, ada soal lain yang lebih memengaruhi penolakan itu: ketegangan politis antar kelompok sastrawan. Perdebatan antara humanisme universal dengan realisme sosialis saat itu—yang pada akhirnya menjadi “polemik politik”, bukan sekadar “polemik kebudayaan”—memang begitu gencar dan akhirnya berdampak pada banyak hal, termasuk pada sayembara sastra.
Padahal, sayembara sastra sering dilihat sebagai sesuatu yang “bebas” dari kepentingan politis. Bagaimanapun, kebanyakan kita akan mengafirmasi kalau secara ideal sayembara sastra memang seharusnya hanya memergunakan ukuran estetika sastra dalam proses pengambilan keputusannya.
Sayembara sastra yang hanya menggunakan ukuran estetika sastra sebagai dasar pengambilan keputusannya adalah sayembara yang langsung atau tidak akan memberi sumbangan bagi keberlangsungan sastra Indonesia. Di saat jumlah sastrawan mengalami lonjakan, sayembara dibutuhkan karena dua hal.
Pertama, ia akan merangsang para sastrawan—terutama yang muda atau yang masih berstatus “calon”—untuk terus menulis. Meski saat ini jumlah media untuk mensosialisasikan karya jauh meningkat dibanding dulu ketika sastra Indonesia baru tumbuh, tapi tak selamanya ruang sosialisasi tersebut memberi pilihan yang menguntungkan bagi sastrawan muda atau “calon sastrawan”.
Koran atau majalah sastra, meski jumlahnya mengalami peningkatan, kadang masih merupakan media yang “tak ramah” bagi mereka. Sedangkan internet—melalui blog dan milis—memang menawarkan media sosialisasi yang jauh lebih terbuka dan bahkan tanpa saringan apapun tapi mensosialisasikan karya di internet seperti berteriak di sebuah pasar yang sibuk dan penuh teriakan orang lain.
Artinya, menyebarkan karya lewat internet memang mudah tapi tak selamanya karya itu akan serta merta dibaca orang atau dihayati sampai si pembaca menangis. Di milis-milis sastra yang jumlah anggotanya bisa ribuan orang, lebih banyak karya sastra yang diacuhkan saja atau bahkan dihapus dari folder inbox email segera setelah karya itu diterima. Jumlah karya yang diberi perhatian dan dibahas secara interaktif dalam sebuah milis atau blog biasanya amat sedikit.
Di tengah “dilema” itulah sayembara sastra seharusnya ditempatkan. Ia menjadi ruang yang—meski terbatas—bisa memberi rangsangan yang besar pada orang untuk menulis. Jumlah hadiah yang cenderung besar dan tenggat waktu yang jelas biasanya menjadi daya tarik utama sayembara jika dibanding media sosialisasi karya lainnya. Kelebihan itulah yang membuat beberapa penulis lebih merasa “cocok” dengan model sayembara ketimbang cara sosialisasi karya lainnya.
Selain merangsang untuk terus menulis, sayembara sastra juga memudahkan seorang penulis untuk tahu seberapa tinggi atau jauh “pencapaian” yang sudah ia buat. Seorang sastrawan yang baik adalah mereka yang bukan hanya terus menulis tapi juga terus berusaha melakukan estimasi atas “pencapaian estetika” yang berhasil digapainya. Ia adalah orang yang berusaha membandingkan apakah karyanya yang sekarang mengalami peningkatan estetik atau tidak.
Salah satu alat mengukur pencapaian itu adalah sayembara sastra. Meski tentu saja tidak bisa dijadikan satu-satunya patokan, sayembara sastra bisa menjadi ukuran apakah karya kita sudah jauh lebih bermutu atau belum.
Tapi yang perlu ditegaskan adalah sayembara hanya merupakan alat, bukan tujuan. Sayembara bisa sesekali diikuti, tapi tak boleh menjadi sarana utama dalam karir kepenulisan seseorang. Kalau kemudian ada penulis yang hanya menulis tiap kali hendak mengikuti sayembara, tentu saja itu suatu yang hal yang menggelikan. Bila ada penulis yang demikian, saya kira, lebih baik ia berhenti menulis saja.
Sukoharjo, 7 Mei 2008

Friday 4 July 2008

Kami Tidak Mati, Kawan-kawan!

tulisan ini singkat saja. ditujukan kepada kawan-kawan yang mendengar bahwa Buletin Sastra Pawon yang kalian cintai telah mati atau ambruk atau apalah. kami ingin menegaskan; Pawon tidak mati. sama sekali tidak. kami masih hidup. Pawon Edisi 17 telah terbit. isinya tentang saymebara sastra.

isi Pawon Edisi 17:
esai haris firdaus
esai sanie b kuncoro
esai bandung mawardi
cerpen windy windia
puisi salman ali masturi
puisi nico
puisi ginanjar rahardian
profil widzard alghifary
kolom yunanto sutyastomo

edisi itu akan segera diposting di blog meski agak telat. Pawon Edisi 18 terbit pertengahan bulan.

demikian,
terima kasih
HARIS FIRDAUS
(pengelola blog pawon)