Dilahirkan Kembali lewat Puisi Cinta, oleh Ragil Supriyatno Samid


Hampir bisa dipastikan bahwa bentuk puisi yang pertama kali digubah oleh semua penyair di awal karier kepenulisan mereka adalah puisi lirik. Puisi sebagai penampung segala luapan perasaan si penyair yang ditulis dengan bahasa yang lugas, yang menceritakan peristiwa-peristiwa kecil dan intim yang dialaminya serta, banyak mempergunakan gambaran-gambaran alam sebagai simbolisasi makna dalam tulisan; secara sederhana, begitulah ciri dari puisi lirik. Tema dalam puisi lirik dipenuhi oleh hal-hal universal seperti cinta, keriduan, perpisahan, kesendirian, kesunyian dan keterasingan.
Dari kesuntukan dalam mengakrabi puisi lirik atau biasa disebut sajak-sajak konvensional seperti itu. barulah kemudian mereka berangkat lebih jauh dan lebih dalam lagi mengeksplorasi bentuk kebahasaan dan kata-kata yang mereka pakai sebagai medium ekspresi mereka. Sampai akhirnya menemukan visi kepenyairan dan ciri khas bahasa-ungkapnya masing-masing.
Seperti Afrisal Malna yang mampu menghidupkan benda-benda mati dan remeh-temeh di lingkungan keseharian sebagai metafor puitiknya. Ada Rendra, dengan Puisi Pamfletnya, yang sampai pada visi mempergunakan puisi sebagai alat protes dan korektif terhadap ketimpangan sosial-politik yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Juga, yang akhir-akhir ini kembali hangat dibicarakan karya-karyanya yaitu, Sutardji Calzoum Bachri (SCB), yang terkenal dengan kredo puisinya “membebaskan kata dari beban makna”, sehingga seringkali pencapaian bentuk karya puisinya dinamakan puisi mantra.
Namun, setiap tanjakan pasti memiliki turunannya. Di balik puncak gunung yang gersang dan beku pasti ada ngarai dan lembah yang hijau. Begitu pula, di tiap puncak (klimaks) kreatifitas seseorang pasti ada anti-klimaksnya. SCB yang mendapati puncak dari eksplorasi puitik lewat puisi-puisi mantranya, sebagaimana yang terangkum dalam buku antologi puisinya yang berjudul O Amuk Kapak (1981), akhirnya kembali menulis sajak-sajak konvensional yang lebih komunikatif, yang terasa lebih mudah terpahami maknanya oleh para pembaca awam, pada waktu belakangan (baca puisi SCB yang berjudul Idul Fitri di http/geocities/tamansastra/).
Begitu juga dengan Acep Zamzam Noer yang telah puluhan tahun ngebut mendaki puncak kepenyairannya dengan puisi-puisi yang beraroma spiritual dan religius yang kental, pada akhirnya pun kembali menulis sajak-sajak cinta yang profan dan sekuler (picisan?). Seperti sajak-sajaknya yang terhampar dalam buku antologi puisinya yang terbaru Menjadi Penyair Lagi (2007).
Sehingga kalau kita jeli melihat, puisi lirik pada akhirnya menjadi semacam sangkanparan-nya para penyair. sebuah bentuk penulisan yang menandai awal dan akhir dari putaran roda (cokromanggilingan) atau siklus proses kreatif dalam dunia kepenyairan mereka.

Kelahiran Kembali
Bagi Acep, dengan kembalinya ia mengakrabi puisi lirik, tidaklah kemudian menjadi semacam kematian dari perjalanan kepenyairannya. Namun, ia malah merasa seperti dilahirkan kembali menjadi seorang penyair. Seperti yang diungkap dalam petikan puisinya berikut ini: Kini aku sendirian di hotel ini dan merasa/ Menjadi penyair lagi. Helai-helai rambutmu yang kecoklatan/ kuletakan dengan hati-hati di atas meja/…lalu kutulis puisi/ ketika kurasakan bibirmu masih tersimpan dimulutku/ ketika suaramu masih memenuhi telinga dan pikiranku/ kutulis puisi sambil mengingat-ingat warna sepatu/… serta ikat pinggangmu/ yang dulu kau tinggalkan di bawah ranjang/ sebagai ucapan selamat tinggal. (“Menjadi Penyair Lagi”, hal. 66)
Penyair, seperti juga orang lain pada umumnya, tentu akan merasa sakit pula kalau dikhianati dan dipecundangi. Tetapi bukan lantaran ini ia kemudian harus frustasi dan menarik diri dari kehidupan. Bagaimana pun sakitnya hidup ini tentu harus terus dihadapi dan dijalani. Karena setiap peristiwa yang dialami pasti menyimpan makna yang bila diresapi dengan baik akan jadi hikmah dan pelajaran untuk kehidupan mendatang.
Peristiwa yang dialami oleh aku-lirik pada puisi di atas, dalam telaah sastra, dimaksudkan si penyair sebagai suatu personifikasi atas pola hubungan manusia yang lebih kompleks. Semisal, antara rakyat dan wakil rakyat atau para pemimpinnya; dalam pembacaan secara keseluruhan isi puisi tersebut akan kita dapati pernyataan tersirat si penyair yang ingin mengatakan, lewat perumpamaan, bahwa: orang yang paling dekat, intim, serta merasa paling kita kenal pun ternyata mampu mengkhianati dan meninggalkan kita, apalagi, mereka yang hanya kita kenal lewat kampanye-kampanye politik di stadion, koran-koran dan televisi, atau malah yang baru kita tahu wajahnya di lembar coblosan. Mereka ini, ketika telah terpilih, bukan saja hanya bisa mangkir dari janji-janji muluknya diajang kampanye akan tetapi juga bisa lebih jauh lagi dengan berbalik menindas rakyatnya (sekaligus massa pemilihnya sendiri) dengan kebijakan-kebijakan yang menyimpang jauh dari kebutuhan riil masyarakatnya.
Karena itu, lanjut Acep, penyair tidak akan menangis karena dikhianati juga tidak pingsan bila mulutnya dibungkam. Tetapi ia hanya akan mati bila kehilangan tenaga kata-kata atau kata-kata saktinya berubah menjadi prosa.
Lewat pengakraban dan pemaknaan kembali peristiwa-peristiwa kecil yang dialami lalu disampaikan dengan gaya bertutur yang lugas seperti itu, Acep akhirya seperti mendapati kembali nyala api kepenyairannya yang mungkin, setelah tiga puluhan tahun lewat, sempat meredup.

Leburnya yang Profan dan Transenden
Saini KM pernah mengatakan, berpuisi bagi Acep adalah upaya yang bersungguh-sungguh di dalam melakukan pengembaraan dan petualangan rohani. Ia sekaligus memasuki dua dunia yaitu, dirinya sendiri dan lingkungannya, baik itu lingkungan manusia, lingkungan alam dan lingkungan spiritualnya (Jalan Menuju Rumahmu, 2004). Apa yang kemudian dapat dicerap dari interaksi dua dunia itulah yang merupakan makna dari pengalaman puitik Acep.
Jejak-jejak pengembaraan spiritual inilah yang memang menjadi kekuatan dari sebagian besar puisi Acep selama ini. Lewat kepiawaiannya dalam mengelola energi kreatif ini membuat ia kemudian mampu melebur hal-hal bersifat duniawi menjadi suatu aktifitas spiritual atau sebentuk pemujaan terhadap sang Khalik.
Kecenderungan ini tetap terbaca pada puisi-puisi yang ada dalam buku ini. Salah satunya berjudul “Sajak Nakal”.

Doa-doaku
Menyelinap ke dalam
Kutangmu. Seperti tangan
Tanganku
Nakal
Seperti doa
(……………..)

Aktifitas dan luapan gairah pada lawan jenis dipakai sebagai simbol (metafor) dari angan dan perasaan si penyair yang menggebu-gebu, yang menggapai-gapai Tuhannya.
Dari sini juga bisa kita dapati semacam penjungkirbalikan dari adat-kebiasaan religius yang terlanjur mapan, yang ingin dikritisi, atau ditambah-maknai lagi oleh Acep. Doa sebagai media bagi komunikasi manusia dengan Tuhannya tidak hanya harus dilakukan dengan nyepi sendiri, telapak tangan menengadah, kepala tertunduk lesu sambil berceracau memohon-mohon. Namun, gairah percintaan dua insan manusia yang apabila dilakukan dengan dasar cinta tulus, suci dan rasa keikhlasan untuk memberi dan menerima tanpa unsur pemaksaan maupun penindasan, demi menuju puncak kenikmatan bersama; maka ini juga adalah doa: sebagai implementasi rasa syukur terhadap nikmat yang diberikan oleh sang Maha Pengasih dan Penyayang, dari umatnya yang bersekutu dalam cinta. Berdoa memohon kebaikan dan kemurahanNya tak akan jadi apa-apa bila kita sendiri tak mampu berbuat baik dan murah hati terhadap sesama ciptaanNya.
Ada pesan cinta yang menggaung panjang dalam setiap puisi Acep. Ia ingin mengingatkan pada kita bahwa segala ketimpangan dan kekisruhan sosial, pertumbahan darah dan kerusakan lingkungan yang semakin parah dan semacamnya yang masih terus terjadi ini merupakan akibat dari mulai hilangnya rasa cinta-mencintai antar manusia dan lingkungannya; yang berarti juga mulai pudarnya kecintaan kita kepada sang Pencipta.
Karena itu, lewat puisi-puisi cinta ini, harusnya bukan hanya Acep seorang yang mendapati sebentuk kelahiran kembali tetapi kita (para pembaca) juga mesti mendapatinya. Terlebih bagi yang sedang menikmati ramadhan yang penuh hikmah ini, kita berhak menjadi pemenang dan kembali fitri bila mampu memaknai lebih dalam arti cinta dalam kehidupan ini. Hingga terlahir kembali menjadi seorang pencinta sejati: yakni orang yang mampu memancarkan laku dan rasa cinta-kasih dalam lingkungan keseharian. Sebagai bukti bahwa kita adalah makhluk ciptaan Sang Ar’rahman-Ar’rahim. Semoga!



Ragil Supriyatno Samid, lahir di Kupang, 25 Januari 1979. Alamat Jl. Diponegoro 3 Malang, Jawa Timur 65111. Bergiat di Mozaik Community. Email ragils_id@yahoo.com.

Tags:

Share:

0 komentar