Sastra dan Sejarah, oleh: Rifqi Muhammad


Dalam dunia kesusastraan Indonesia, agaknya tidak sedikit novel-novel yang bercerita mengenai sejarah. Wajar memang, sebab selain memiliki keleluasaan, genre sastra inilah yang memungkinkan untuk ditulis dengan menggunakan repertoar (repertoire) peristiwa historis. Di samping itu, novel juga ditunjang oleh kemampuannya untuk mengekspresikan secara rinci dan gamblang semua unsur sastra yang mencakup tema, fakta, dan sarana. Secara sederhana, bisa kita pahami bahwa genre sastra yang satu ini berkisah tantang cerita lampau. Hal yang tidak berbeda degan ilmu sejarah. Meski terkesan kaku karena terbalut kaidah metodologis, pada dasarnya ilmu sejarah adalah cerita.
“Serupa tapi tak sama”, demikianlah kiranya kata yang tepat untuk kedua kategori tersebut. Bila keduanya bersanding, maka akan ada banyak kemungkinan. Di samping keduanya bisa bersanding secara mesra dan saling melengkapi, namun tak menutup kemungkinan antara keduanya malah saling bertolak belakang. Hal itu tentu berkat beragam faktor yang membentuk entitas itu sendiri. Di satu sisi novel bisa bebas mengutak-atik cerita tentang lampau. Sebaliknya, ilmu sejarah hanya diperkenankan untuk menguak cerita sebenarnya dengan kebenaran yang harus bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Konsekuensinya, cerita yang diangkat oleh sastra—dalam hal ini adalah novel sejarah—bisa benar-benar terjadi, sedikit melenceng, bisa pula berbeda sama sekali. Sedangkan sejarah, memiliki kaidah keilmuan dan metodologi yang harus dipatuhi.
Tak bisa dielak, karena memiliki medan yang sama, persinggungan antara sejarah dengan sastra menjadi sebuah keniscayaan. Dalam fenomena konkret, tak jarang keduanya harus terlibat tarik ulur kebenaran dalam konteks cerita yang mereka usung. Sebab, tak hanya cerita produk sejarah, produk sejarah cerita yang diungkap oleh sastra juga terkadang diakui kebenarannya. Meski memang meninggalkan banyak kesan tanya. Sebab, pada dasarnya kita kadang kesulitan membedakan mana yang riil dan mana yang ilusi. Namun, pada dekade-dekade terakhir, agaknya hubungan antara sastra dengan sejarah banyak menjadi hubungan pertentangan.
Beberapa kasus mengenai fenomena tersebut banyak terjadi. Saat munculnya novel Rahasia Meede karya ES Ito misalnya. Novel yang berkisah tentang rahasia harta karun VOC ini merekonstruksi banyak hal, mulai dari rahasia kebangkrutan VOC, sampai adanya hutang negara saat merdeka. Tak ayal, novel ini menjadi perdebatan hangat di kalangan akademisi ilmu sejarah. Contoh lain misalnya novel Da Vinci Code karya Dan Brown. Meski sebetulnya bukan karya novelis Indonesia, namun novel ini sempat mewarnai dinamika sastra Indonesia. Dalam konteks tumpang tindih kebenaran sejarah, novel ini sempat membuat kalangan gereja kebakaran jenggot. Ia mampu menggurat kebenaran cerita yang berbeda dari yang selama ini diamini oleh kalangan gereja. Novel ini menggoyangkan iman jemaat kristiani dengan mengungkap cerita penyembunyian beberapa kanon kitab suci oleh gereja. Pada titik ini, seakan terjadi pertentangan yang membawa kemenangan sastra dan sementara ilmu sejarah kian dipertanyakan. Benarkah demikian?
Laiknya media penyampai pesan yang lain, pada dasarnya sastra pun memiliki kekuatan daya gebrak yang luar biasa. Sebagaimana contoh di atas, saking kuatnya kekuatan sastra, kemapanan sejarah, bahkan dunia keilmuan, mampu kalap dibuatnya. Hal serupa juga dikatakan Hari Leo, “Sastra memiliki kekuatan besar untuk mempengaruhi masyarakat secara luas”. Padahal sebetulnya—kalau boleh dibilang—sastra merupakan sesuatu yang remeh-temeh. Sastra hanyalah ide dan seluruh pemikirannya penulis dapat dituangkan dalam buah cerita. Namun, muatan ide, mulai sederhana hingga luar biasa, inilah yang kemudian sangat menakutkan. Terutama apabila hal itu menyangkut sesuatu yang sensitif yang sudah tertanam mapan, misalnya agama. Belum lagi apabila sastra tersebut lebih bisa meyakinkan pembaca dengan pola penceritaan yang dipenuhi dengan logika dan data. Tentunya hal tersebut akan bisa memberikan akibat yang tidak sedikit.
Pada kasus-kasus pertentangan antara sastra dan sejarah, tampaknya bisa dikatakan, seakan-akan para novelis sejarah hendak mengajak kita untuk mengukur-ukur sejarah. Rasa-rasanya semacam terbuka persaingan antara keduanya untuk menguak fakta sejarah di sana-sini. Pada satu sisi, sejarah mengorganisasi data-data yang ketat sebagai senjata pengungkap. Sedangkan pada pihak lain, sastra mengatasinya logika ceritanya dengan imajinasi yang memadu. Bisa dibilang, —meminjam istilah Doni Gahral Adian— ini adalah persandingan antara epistemologi dengan estetika.
Kalau kita tilik lebih lanjut, sebetulnya pergulatan sastra dan sejarah bukanlah hal yang baru dalam dunia kesusastraan kita. Beberapa novel tantang sejarah telah banyak beredar, misalnya trilogi Rara Mendut, Genduk Duku, Lusi Lindri karya Mangunwijaya, novel-novel karya Pandir Kelana dan Trilogi Gadis Tangsi Suparto Brata. Namun fenomena menarik seputar tumpang tindih, tarik menarik, atau arogansi kebenaran, baru muncul pada dekade-dekade terakhir.
Meski demikian, bukan berarti sastra atau novel-novel sejarah terdahulu tidak menyisakan kesan zaman. Mereka juga menoreh goresannya masing-masing, tetapi tidak berada dalam koridor yang saya maksudkan. Novel-novel tersebut pada umumnya berjalan dengan membawa semangat zamannya masing-masing. Ia menjadi solusi atas keadaan sosial dan tidak banyak menyisakan kontradiksi. Misalnya, cerpen karya Ki Panji Kusmin “Langit Makin Mendung” yang pernah menghebohkan sastra Indonesia pada periode 60-an. Karya Senja di Jakarta milik Mokhtar Lubis yang dinilai mengkritik Soekarno. Novel lain misalnya Para Priyayi dan Jalan Menikung, serta Sri Sumarah karya Umar Kayam. Bahkan novel yang terakhir, digunakan sebagai jalur singkat untuk orang (asing) yang ingin mengetahui seluk beluk orang dan budaya Jawa. Dalam konteks ini, fenomena sastra terdahulu malah mencerminkan adanya korelasi positif antara sastra dan sejarah.
Kalau melihat sastra sejarah yang kini banyak beredar, seakan semacam ada perubahan kesan antara yang dulu dengan sekarang. Namun agar lebih bisa membedakan, mari kita bergumul terlebih dahulu beberapa novel berikut. Dalam ramuan fiktif Genduk Duku Karya Mangunwijaya, diungkap tahun-tahun terakhir pemerintahan Sultan Agung. Untuk novel tersebut, meskipun guratan fakta dan data historisnya diakui, namun kebenarannya tidak dipertentangkan dengan kebenaran produk sejarah. Bahkan tak jarang novel tersebut digunakan untuk sumber-sumber historis. Pola yang sama juga terjadi pada novel-novel lain. Misalnya novel Lusi Lindri yang memantau suasana dalam fakta historis raja kejam Kerajaan Mataram, Sultan Mangkurat I (abad 17). Dramatisasi Nuansa zaman yang diciptakan pun diakui dan tidak ditentangkan dengan data-data studi sejarah.
Mencermati kisah-kisah di atas, sebetulnya ada kemungkinan bagi keduanya untuk tidak saling mengagahi. Keduanya bisa berjalin kelindan secara serasi dan bersama-sama berjalan membawa cerita-cerita lampau. Dalam hal ini, ramuan fiktif dan data-data kaku sejarah bisa bersanding dan saling melengkapi. Meskipun demikian, tampaknya tetap ada persoalan yang membuatnya berjarak. Beberapa hal yang sekiranya bisa menjadi persoalan misalnya pertanyaan apakah “sejarah” dalam sastra dapat menjadi sumber sejarah atau apakah gengsi ilmiah mau mempertimbangkan dan memperhitungkannya? Beberapa persoalan sejenis tetap akan muncul. Namun demikian, yang sebetulnya penting, antara keduanya tetap terjadi integrasi dan tidak membawa akibat kebingungan sosial akibat saling menggagahi.
Sayangnya, kini di tengah munculnya novel-novel sejarah, perbedaan nuansa antara sejarah dengan sastra bisa memantik persoalan. Sastra-sastra sejarah sekarang muncul, sering menimbulkan akibat kontradiktif dengan pemahaman kebenaran sejarah yang sebelumnya tertata dalam masyarakat. Tak ayal, keberadaan kebenaran sastra banyak dibincangkan dan dipertanyakan. Minimal, pertanyaan batasan antara rekayasa imajinatif dengan data nyata selalu di kulik-kulik. Akibatnya kita menjadi sulit memposisikan bagaimana realita fiksional dalam fakta sejarah. Beberapa hal tersebutlah yang semakin membentangkan sejarah dan sastra.
Meskipun ada beberapa kalangan yang bersepakat mendamaikan keduanya. Namun hal itu tetap membawa kesan distingsi. Sastra hanya didudukkan sebagai fakta mental. Ia bisa dipertimbangkan bila mampu melewati berbagai filter, baik itu proses komparasi, evaluasi, dan lain-lain. Setelah lolos barulah ada kemungkinan bagi sastra untuk digunakan sebagai salah satu sumber sejarah. Pada hal ini, seakan sastra didudukan pada level rendah.
Padahal, pengarang sastra adalah “koki” fiksi. Di tangannya, fakta(data mentah) diolah agar siap saji. Dengan rumus tertentu, koki itulah yang kemudian membubuhi data dengan aroma-aroma dan performa memesona. Alhasil, makin tinggi imajinasi koki fiksi, tinggi pula kelezatan, banyak pula orang-orang dibuatnya terlena. Praktis, makin mengundang selera [baca]. Padahal, kalau kadar bumbu terlalu banyak, semakin besar pulalah jarak terbentang kemungkinan kebenaran karya sastra tersebut diakui sebagai sesuatu yang “menyejarah”.
Entahlah, apakah dalam dunia sastra hal tersebut layak menjadi perdebatan yang penting atau bukan. Meskipun tampaknya memang tak mengurangi kadar kemungkinan menyejarahnya karya tersebut namun sebetulnya pengakuan terhadap cerita sejarahnyalah yang terkurangi.


Rifqi Muhammad, lahir di Pekalongan, 4 April 1987. Alamat Jl Kembang Merak No B-21, Bulaksumur, Yogyakarta. Aktivitas di BPPM Balairung UGM dan Komunitas Kembang Merak. Email rifqimail@gmail.com.

Tags:

Share:

0 komentar