Tuesday 29 June 2010

Bedah buku Mengapa Mataku Cuma Satu? - Jo Pakagula

untuk memberi semangat dan doa bagi kesembuhan pak jo pakagula ketua dari HPK (himpunan penulis karanganyar), pawon membuat acara bedah buku anak Mengapa Mataku Cuma Satu?
di selasar Wisma Seni taman budaya jawa tengah tanggal 29 juni 2010, pukul 19.00 - 22-00 wib lebih.

ini merupakan bedah buku adanak pertama yang dilakukan pawon dan mungkin tbjt... :)





Sunday 27 June 2010

Kelatahan Kita dalam Berbahasa dan Mempelajari Sastra, esai Arif Saifudin Yudistira

”Kita dibaca bahasa atau kita membaca bahasa???”
[Afrizal Malna dalam sebuah diskusi]

Sejarah bahasa indonesia melampui proses yang panjang dalam menentukan format bernama “bahasa indonesia” yang saat ini berubah menjadi kecenderungan yang kaku, tersistem dan baku. Kebakuan dan kekakuan ini cenderung membuat bahasa menjadi sesuatu yang sukar difahami atau justru sebaliknya menjadi seakan-akan begitu mudah dipelajari.
Keadaan ini menciptakan kelatahan kita dalam memahami bahasa yang cenderung merupakan bahasa kita sehari-hari. Kelatahan ini muncul ketika kita menemukan kesulitan-kesulitan ketika bertemu dengan pemaknaan dan pembacaan kita tentang makna ”puisi”.
Sepertinya puisi memang menjadi sempit atau disempitkan ketika berhadapan dengan logika-logika pengajaran kita di kelas. Lihat saja pengalaman kita ketika disuruh membuat puisi dengan kata gunung, ibu, keluarga, dan lain-lain.
Sekolah cenderung gagap dan bingung bagaimana kemudian metode terbaik mengajari anak-anak mempelajari pelajaran dengan tajuk ”bahasa indonesia”. Tidak hanya itu, pereduksian bahasa muncul lebih-lebih ketika dihadapkan pada soal-soal ujian nasional yang cenderung menggunakan metode rumus-rumus.Bahasa menjadi hal yang aneh tapi nyata ini dihadapi oleh para guru-guru dan dosen-dosen kita dalam memberikan pengajaran bahasa indonesia.
Kelatahan ini berlangsung melalui proses yang lama, sejak pendisiplinan pemerintah kita baik sebelum orde baru apalagi pada masa orde baru. Pendisiplinan ini dipegang pemerintah sebagai otoritas dalam mempergunakan bahasa sebagai alat kuasa pada waktu itu. Munculnya kamus besar bahasa indonesia jilid I dan sebagainya, munculnya cara mengarang, munculnya cara membuat pantun yang baik dan benar adalah berbagai contoh pendisiplinan bahasa pada waktu itu.
Pertanyaannya kemudian bagaimana kita berbahasa tanpa mengalami kelatahan-kelatahan tadi. Proses berbahasa memang tidak berlangsung sedemikian cepat. Kelatahan adalah bagian dari prosesi sejarah yang memang tidak bisa terelakkan. Afrizal malna menawarkan bagaimana ketika kita kembali pada sesuatu yang alami, mencari yang alami dari tubuh kita yang merupakan salah satu pusat bahasa.

Ia mengungkapkan ini dengan bagus dalam puisinya ”Dada”........menulis mengapa harus menulis,bagaimana harus ditulis.....Lebih lanjut ia mengatakan Membaca mengapa jadi membaca, menulis jadi mengapa menulis?.Sehari. Aku bermimpi menjadi manusia. Ia mencoba menjelaskan bagaimana kemudian kita mempertanyakan kembali pada kita, apakah sampai saat ini kita hanya bermimpi dengan yang namanya bahasa.
Bahasa, menjadi begitu penting untuk diperkarakan, sebab ia bukan hanya sekedar alat komunikasi semata, tapi ia juga merupakan cara pengungkapan perasaan manusia yang terdalam dalam menyatakan sebuah perasaannya.
Kelatahan kita dalam mempelajari bahasa adalah keniscayaan yang harus dihentikan. Membaca sejarah kebahasaan kita menjadi jarang dipelajari oleh para guru-guru kita, oleh para pemegang otoritas bahasa melainkan baru pada tahap penghargaan sebuah karya sastra,pemujaan pada logika-logika kaku dalam dunia pelajaran dan pengajaran kita. Sepertinya kita akan terpenjara dalam bahasa seperti yang diungkapkan oleh afrizal, bahasa adalah penjara.
Selama kita tidak mau melepaskan diri dari cara-cara kuno, kaku maka kelatahan itu akan menjadi sebuah hal yang dianggap wajar. Mempelajari dan menemukan kembali bagaimana ”bahasa kita” adalah sebuah keharusan yang dikerjakan oleh institusi-institusi kebahasaan, sampai pada institusi pendidikan yang memegang otoritas dalam pengajaran dan pempublikasian dalam kebahasaan.
Kemauan dan kemampuan kita untuk keluar dari logika-logika baku, akan cenderung mempermudah kita dalam menentukan dan merumuskan kembali corak kebahasaan kita di negeri ini. Dan menumbuhkan kembali semangat dan budaya kebahasaan diantaranya menulis maupun membaca teks-teks sastra ataupun produk kebahasaan kita.
Sehingga kelatahan kita dalam berbahasa menjadi sebuah keharusan kita di era yang penuh dengan pertentangan dan perebutan pengaruh orang dalam menyebarkan eksistensi kebahasaan, sebut saja bahasa inggris. Jangan sampai kita menjadi latah ketika memahami dan mempelajari bahasa indonesia, dibanding ketika kita belajar dan memahami bahasa lain. Begitu.

*****

Penulis adalah alumnus LPMF FIGUR belajar di universitas muhammadiyah surakarta

Kuwalat, cerpen Joko Utomo

Desa Jampi Sari yang biasanya sunyi, pada hari-hari ini sontak menjadi ramai. Hampir tiap waktu semua warga membicarakan rencana Pak lurah yang mau menjadikan tanah desa yang dulunya adalah tanah kuburan menjadi kantor dan balai pertemuan desa.
Bukan masalah peralihan fungsi tanah itu yang bikin ramai dan menjadi kontroversi. Namun keputusan Pak Lurah yang tidak mau melakukan upacara adat untuk memohon dan meminta ijin kepada yang mbaurekso atau penunggu tanah kuburan yang daerah miliknya akan diubah menjadi kantor dan balai pertemuan desa itu yang bikin warga menjadi uring-uringan.
Padahal, sesuai dengan adat dan kebiasaan atau tata cara yang berlaku di desa Jampi Sari ini, setiap mau mendirikan suatu bangunan, terlebih dahulu selalu dilakukan upacara permohonan kepada yang mbaurekso atau “Kyai Jampi Sari” yang diyakini dulunya adalah cikal bakal semua penduduk di Desa Jampi Sari ini. Tujuannya adalah untuk memohon keselamatan agar selama proses pembuatan bangunan tersebut tidak diganggu serta selalu diberi perlindungan dan pengayoman.
“Pasti akan terjadi sesuatu pada diri Pak Lurah atau semua warga desa Jampi Sari ini!” ujar Mbah Marto yang merupakan dianggap sesepuh oleh penduduk Desa Jampi Sari.
“Iya, saya takut akan terjadi malapetaka di desa kita. Entah itu lindu, banjir atau kebakaran!” sahut Pak Karto yang juga merupakan penduduk senior, meskipun usianya lebih muda dari Mbah Karto.
”Kemarin saya telah bertemu dengan Pak Lurah di rumahnya. Telah saya peringatkan tentang resiko yang akan menimpa diri Pak Lurah atau semua warga Desa Jampi Sari ini. Namun tetap saja keputusan Pak Lurah tidak berubah!” cerita Mas Prapto, tokoh pemuda desa.
Yu Padmi yang warung makannya dijadikan tempat obrolan ngalor-ngidul itu ikutan nimbrung,
”Saya bahkan telah menyiapkan beberapa ayam blirik saya untuk dijadikan ingkung dan sesajen serta hasil panen suami saya untuk kenduri. Tapi apa boleh buat, karena kendurinya batal ayamnya saya sembelih dan makan sendiri bersama suami saya. Dan sisanya saya jual lagi. Kalau ada yang mau silahkan ambil. Harganya seribu limaratus per potong!”
”Mau promosi ya?!” sahut Kang Parto. ”Saya ambil dua potong. Bayarnya minggu depan!”
”Aku juga ngebon dulu!” teriak Paijo yang mulutnya masih penuh dengan nasi sambil menyorongkan piringnya yang sudah penuh dengan tulang ayam pada Yu Padmi.
”Uuuuu ........!” cuma suara itu yang keluar dari mulut Yu Padmi. Wajahnya yang cemburut menunjukan kalau dia tidak dalam suasana yang gembira. Namun untuk marah pun Yu Padmi tidak tega kepada tetangganya sendiri.
Akhirnya obrolan non formal itu pun bubar dengan sendirinya. Semua orang meninggalkan Yu Padmi sendirian dengan muka yang masih cemberut karena banyak yang ngutang di warungnya. Warung Yu Padmi yang terbuat dari gedhek dan sudah sedikit reyot itu kembali sunyi.
Keputusan Pak Lurah sudah bulat. Tidak ada upacara persembahan sesaji maupun kenduri atau ritual tetek bengek lainnya untuk pembangunan kantor dan balai pertemuan desa.
”Selain pemborosan, hal itu juga termasuk perbuatan syirik dan musyrik. Suatu hal yang jelas-jelas dilarang oleh ajaran agama kita!” kata Pak Lurah dengan mantap dan lantang pada suatu kesempatan ketika diadakan acara rembuk desa.
Akhirnya tidak ada satupun warga yang protes terhadap keputusan Pak Lurah yang terkenal dengan sifat arogannya itu. Semua warga desa hanya berani protes dengan cara belakang atau bisik-bisik dan nggresula saja antar sesama warga desa.
Di sebuah tempat rahasia ada sebuah pertemuan yang rahasia juga. Pertemuan antara Pak Lurah dan seorang bos pemborong bangunan yang ditunjuk langsung oleh Pak Lurah sendiri untuk membangun gedung kantor dan balai pertemuan desa.
Dalam pertemuan itu diatur strategi bagaimana cara membangun gedung tersebut dengan biaya seirit dan seefisien mungkin. Meski dana yang turun dari kabupaten tidak irit, namun Pak lurah dan bos kontraktor itu ingin semuanya serba irit. Sebabnya adalah istri Pak Lurah juga ingin dibuatkan bangunan seperti kantor atau balai pertemuan desa, namun dengan bentuk yang berbeda. Karena bangunan ini akan digunakan untuk tempat tinggal. Bukan untuk kantor apalagi balai pertemuan desa. Dananya tentu saja diambilkan dari dana yang seharusnya untuk pembangunan kantor dan balai pertemuan desa.
Sedang untuk bos kontraktor sendiri, ingin semuanya serba irit karena demi keuntungan yang berlipat ganda. Bos kontraktor ingin menerapkan ilmu ekonomi yang dulu dipelajarinya waktu masih kuliah dulu. Dengan biaya seirit mungkin harus didapatkan keuntungan yang sebesar mungkin. Tidak peduli dengan kwalitas bangunan maupun kekuatan bangunan yang diborongnya.
Pada hari yang sangat cerah, di atas tanah bekas kuburan desa Jampi Sari telah berdiri bangunan yang rencananya akan diresmikan oleh Bapak Bupati pada hari ini. Kantor dan balai pertemuan desa yang baru itu telah dihias dengan rumbai-rumbai janur atau daun kelapa muda yang berwarna kuning. Musik campursari juga telah dimainkan dengan penuh semangat untuk mengiringi penyanyi yang juga tidak kalah semangatnya mendendangkan lagu-lagu yang dipopulerkan oleh Didi Kempot atau Cak Diqin maupun penyanyi campursari beken lainya. Suasana musik yang menghentak-hentak menambah riuh rendahnya warga desa Jampi Sari yang sedang bersuka cita menunggu kedatangan Bapak Bupati ke desa mereka.
Namun sepuluh menit sebelum Bapak Bupati datang, suasana jadi berubah total. Kantor dan balai pertemuan desa baru yang nampak megah meski dibangun dengan asal-asalan itu tiba-tiba rubuh. Tanpa sebab yang pasti, bangunan yang belum sempat diresmikan oleh Bapak Bupati itu telah rata dengan tanah.
Pak Lurah yang kebetulan sedang berada sendirian di dalam bangunan itu berteriak dengan keras dan mengaduh kesakitan. Ternyata kepalanya tertimpa oleh genteng dan batu bata yang jatuh. Darah terus bercucuran. Di rumah sakit, oleh dokter yang merawatnya, Pak Lurah yang masih mengenakan baju safari itu dinyatakan kepalanya gegar otak. Dimungkinkan dia akan mengalami lupa ingatan atau gangguan jiwa dan kelumpuhan total seumur hidupnya.
Pada suatu malam setelah kejadian atas rubuhnya kantor dan balai pertemuan desa yang baru, di warungnya Yu Padmi warga desa membicarakan tentang kondisi yang dialami oleh Pak Lurah. Mereka berbicara pelan-pelan namun masih terdengar dengan cukup jelas.
Mereka mengambil kesimpulan kalau Pak Lurah kuwalat karena tidak melakukan ritual adat minta ijin pada yang mbau rekso tanah bekas kuburan desa ”Kyai Jampi Sari” ketika akan membangun kantor dan balai pertemuan desa.

*****

Joko Utomo, tinggal di kampung Kratonan Solo. Untuk menghubunginya email : javana2300@yahoo.com, dan add fb : javas2100@yahoo.com

Menulis Puisi Itu Berbahaya!, bincang-bincang dengan Sosiawan Leak



Menemui Sosiawan Leak di rumahnya yang menyudut, lengang, karena agak terpencil menciptakan keintiman yang gayeng. Malam telah turun lebih sempurna, beserta Yudhi Herwibowo, saya menemui di lantai atas rumahnya yang bermotif etnik dan lapang. Sebelumnya seorang putrinya menyalami kami dengan takzim, lalu disusul anak laki-lakinya, disertai sapaan senyuman dari istri profil kita kali ini, perempuan berkerudung yang nampak habis sibuk di sebuah ruangan. Keadaan rumah yang bersih tertata rapi dengan anggota keluarga dan perilakunya yang santun lumayan menggeser persepsi awal saya tentang Mas Leak yang lebih sering nampak kusut dan kurang rapi. Begitulah Leak dimana-mana akan selalu apa adanya.
Memutuskan Sosiawan Leak sebagai profil adalah suatu perubahan bagi Pawon yang selama ini selalu mengangkat penulis perempuan, kini lebih berorientasi –setidaknya dalam waktu dekat- untuk mendekatkan pembaca Pawon pada penulis/sastrawan Solo sendiri baik laki-laki maupun perempuan.
Setelah berbincang-bincang ngalor-ngidul, tanpa alat rekam, hanya berbekal coret-coret kertas, saya mulai menyelingi dengan melemparkan pertanyaan:

Sejarah kepenyairan Anda?
Saya memulai menulis puisi sejak tahun 1987. Masa itu menulis puisi berbahaya.

Kenapa berbahaya?
Puisi-puisi saya adalah berusaha menangkap apa yang terjadi di masyarakat, kahanan sejatine, ada ketidakberesan di negara ini oleh rezim Soeharto.

Anda seangkatan dengan Wiji Thukul yang lenyap itu?
Wiji Tukul dalam arti proses lebih dulu, ia sekitar tahun 1983. Tapi selanjutnya kita bersama-sama.

Pak Wijang?
Ada Wijang juga. Pangkat Warek Al’Mauti itu diberi oleh Rendra (terkekeh~ kami juga).

Berarti boleh dikatakan anda bertiga seangkatan dan yang paling menonjol?
Sebenarnya banyak juga yang ingin bahkan bercita-cita menjadi penyair, sok nyair, dengan gaya yang aneh, perilaku yang tak biasa tapi esensinya tak ada, karya tak berisi, dulu seorang penyair terasa hebat di Jaman Soeharto apalagi di kalangan mahasiswa, tapi sebenarnya yang penyair dengan muatan karya yang baik amat jarang.

Perjalanan anda baik sebagai penyair, aktor, maupun sutradara?
Saya pernah jadi aktor di kelompok Teater Gidag-Gidig (Solo), TERA (Teater Surakarta), Teater Keliling (Jakarta), Wayang Suket (Solo). Di teater keliling ini saya bermain di perusahaan-perusahaan minyak. Saat itu gajinya besar sehingga bisa untuk menutup biaya kuliah saya.
Untuk drama saya pernah menulis lakon dan menyutradarai-nya untuk Teater Peron dan Thoekoel. Sejak tahun 1998 membentuk dan menjadi sutradara Kelompok Tonil Klosed (Kloearga Sedjahtra).
Sebagai penyair, pernah diundang di beberapa event sastra nasional, seperti “Konggres Sastra Indonesia” di Kudus, “Temu Sastrawan Indonesia” di Jambi, Revitalisasi Budaya Melayu di Tanjung Pinang, Festival Kebudayaan Aceh, Ubud Writers & Reader Festival dll. Puisi telah dimuat di berbagai media dan antologi event sastra, di samping ada yang terkumpul dalam “Umpatan” (1995), “Cermin Buram” (1996) dan “Dunia Bogambola” (2007).
Juga ber”Deklamasi Keliling” Jawa Tengah & Jawa Timur (1994), serta “Deklamasi Keliling Sumatra” (1995). Baca Puisi di Kampus & Ponpes Jawa Timur bareng WS Rendra & Brigitte Olenski (2002). Baca Puisi & Diskusi “Membaca Indonesia” dengan Martin Janskowski (Berlin, Jerman) & Dorothea Rosa Herliany di Madura, Surabaya, Solo dan Kudus (2006). Baca Puisi & Diskusi “Membaca Kota-kota” bersama Martin Janskowski (Berlin, Jerman) di Pati, Yogja, Semarang, Purwokerto, Wonosobo, Indramayu, Kediri dan Surabaya (2008). Baca Puisi & Diskusi “ JOHAN WOLFGANG von GOETHE, Perintis Dialog Islam-Barat” menyertai Berthold Damhauser (Bonn, Jerman) & Dorothea Rosa Herliany di Kudus, Semarang, Solo dan Magelang (2010).
April 2002 saya diundang di “Festival Puisi Internasional Indonesia “ yang diselenggarakan di Makassar, Bandung & Solo. Lalu, Mei 2003 diundang di Festival Puisi Internasional “The Road” (Bremen, Jerman). Saat itu pula diminta Universitas Hamburg & Universitas Passau (Jerman) untuk baca puisi dan menjadi narasumber diskusi.
Bulan Februari 2010, saya membuat “atisejati”, kelompok musik yang berpijak pada eksplorasi bentuk musik akustik dan kekuatan lirik.

Lebih enjoy mana drama-teater dibanding puisi?
Puisi, saya enjoy karena lebih leluasa dan terlunaskan. Dalam drama dan teater bila ada satu aktor tak datang kita akan ribet dan terganggu kerjanya. Pekerjaan bersama terkadang tidak lunas. Tapi puisi selalu melunaskan segala hal.

Saya jadi ingat Mas Timur dengan pakaian kebesarannya, atau Mas Rendra dengan gaya pesoleknya, Wijang juga dengan baju kepenyairannya yang berwarna kotak-kotak hitam putih itu, atau Afrizal Malna yang pelontos, lalu melihat anda gondrong. Apa-kah seorang penyair memang berciri khas masing-masing dalam arti fisik?
Saya gondrong lebih karena balas dendam. Orang tua melarang gondrong, jadi awalnya karena itu. Lagi pula saya ketika bercermin, nampak lebih ganteng dengan rambut panjang ini (terkekeh lagi)

Masa Mas Leak dulu sampai sekarang dengan bangunnya sastra di Solo sekitar satu dekade. Ada jeda yang kosong, bagaimana anda memandang hal ini?
Saya tidak merasa bahwa regenerasi, penyemaian dalam arti harus nyantrik, ngenger, belajar dengan rutin dan formal untuk orang lain yang ingin belajar berpuisi adalah sebuah kewajiban. Bahkan pada keluargapun saya sterilkan dari dunia sastra. Ketika saya menulis ada istri atau anak yang melihat saya stop atau menyuruhnya pergi. Saya tak mengajak anak sulung saya kemana-mana belajar berpuisi, berkenalan dengan sastrawan besar untuk koneksitas misalkan, saya tak melakukan itu, hal yang sangat lazim dilakukan oleh orang lain terutama dalam seni tradisi. Berpuisi menurut saya adalah pilihan sadar seseorang, dan bagi saya habis aqil balik anak saya boleh berpuisi seperti bapaknya. Jadi saya tak bisa semena-mena menarik anak ke dalam dunia saya, ini menyangkut psikologi dia. Tapi, walau saya sterilkan, saya pernah melihat puisinya di mading sekolahnya SMP Al Islam yang menurut saya cukup baik. Ia juga suka menggambar.

Saya pernah melihat Mas Leak pentas di Teater Arena TBS membawakan puisi yang telah anda “naiki” hingga ke Jerman, boleh cerita?
Puisi itu berjudul Phobia, kucipta tahun 2003. Mas Willy (panggilan Rendra) menyukai puisi itu dan karenanya menyebutku sebagai Penyair Gelombang Baru, baru dalam arti membawa tema keterasingan manusia akibat perkembangan teknologi komunikasi yang teramat cepat dan mewabah.

Boleh cerita awal mula perjalanan anda ke Jerman?
Sebelumnya saya sudah sering main ke kantung-kantung kesenian, pada tahun 2002-2003 saya sering diundang ke Jakarta membacakan sajak dan monolog di gedung kesenian, kadang juda sama Mas Arswendo. Sering ketika di Jakarta saya tidur di Bengkel Teaternya Mas Willy yang di masa-masa itu ada kegiatan Poetry On The Road di Bremmen Jerman atau festival sastra Internasional. Ada beberapa nama penyair nasional seperti Joko Pinurbo, Afrizal Malna, Soetardji, dan lain-lain juga Matori Al-elwa. Saya dan Matori inilah yang diadu dan dari sekian penyair itu justru saya yang terpilih ke sana yang akhirnya berlanjut hingga sekarang.

Kenapa anda terpilih?
Muatan puisi saya dan hukum panggung yang saya jalankan dengan baik. Puisi itu ya yang ada di buku, tapi kalau di panggung ya harus menguasai hukum panggung dengan baik. Sebagaimana novel yang difilmkan. Isi novel dengan film yang berdasar novel itu bisa dan boleh saja berbeda. Puisi di buku dengan puisi di panggung bisa menjadi berbeda karena biar ngeh di hadapan penonton dalam rangka menguasai hukum panggung itu.

Melihat perkembangan puisi sekarang dibanding jaman anda dulu?
Puisi-puisi sekarang saya amati memang lebih bernas tapi tidak macth dengan kehidupan. Penyair menurut saya harus nyemplung dalam masyarakat. Puisi-puisi sekarang banyak berbahan baku dari buku, televisi, dan internet. Saya lebih berbahan baku kahanan dengan jalan lelaku, laku rasa. Kahanan adalah bahan baku utama, nomer satu, sedang buku, televisi dan internet itu yang kedua. Nyemplung ke masyarakat menghirup fenomenanya, rentetan kejadian, keluh kesahnya, pikiran-pikirannya juga alam raya ini yang sudah tak lagi bisa terprediksikan. Masa hujan masih berlangsung hingga bulan Juni padahal dalam teori April-Oktober harusnya sudah kemarau, seperti itu.

Saya merasa karya penulis puisi Solo masih kalah jauh dengan penulis puisi kota lain terutama Jogja dan Makasar, ini bisa dilihat setidaknya di koran minggu. Apa komentar anda?
Saya juga merasa demikian, tapi saya tak khawatir, mungkin memang ada jalan lain. Tapi melihat kondisi sastra yang ramai beberapa tahun terakhir ini juga para penyairnya itu adalah perjalanan yang benar mungkin yang perlu diperdalam adalah kepekaan membaca kahanan tadi. Melalui koran dan buku itu jalan yang benar, saya juga menempuhnya. Kadang ingin puisi saya dimuat koran ya seperti absen gitu, artinya seperti untuk memenuhi keinginan publik.

*****

Sosiawan Leak lahir di Solo, 23 September 1967 dengan nama Sosiawan Budi Sulistio. Ia merampungkan kuliah di Administrasi Negara FISIP UNS Solo tahun 1994. Leak adalah panggilan dari teman-temannya ketika SMA karena bakat alaminya sebagai adventourir, mengelana, hingga beberapa kali ke Bali dengan nggandhul truk, dll.
Setelah mewawancarai beliau, saya dimintanya membuka blog kalau-kalau saya memerlukan hal lain. Benar juga, dalam blognya saya menemukan naskah lakon yang sangat sungguh asyik, banyolan-banyolannya nyentrik dan sebagian besar orisinil. Penyair yang suka bercocok tanam ini memang bergaul dengan semua model orang, tak terbatasi segmen apapun, bila dia disuruh memilih dia akan lebih menyukai bergaul dengan masyarakat lumrah, dan bukan dari kalangan sastrawan –yang pusingnya sama, katanya- dan dari hasil pergaulannya sangat jelas tampak, minimal, dalam lakon-lakon yang ia tulis dengan jernih, memikat, dan apa adanya.
Di blognya pula ada kisah menarik tentang perjalanannya selama di Jerman yang serba teratur dan penuh pelayanan terbaik yang didibandingkannya dengan Indonesia yang serba semrawut dan sangat merugikan konsumen.
Jika anda ingin lebih memperdalam mengenai profil kita kali ini atau kurang puas dengan sajian wawancara dan profil tulisan saya ini, silakan mengunjungi Blog Sosiawan Leak dan facebooknya.

Han Gagas, 7 Juni 2010




Beralas Sajadah Kutulis Puisi
Sosiawan Leak

timpuh di sajadah
kutulis sajak
tentang pelacuran,
pornografi dan kehidupan malam.
tapi tidak ada mesias apalagi tuhan
kitab suci terbakar bersama tembakan
dan huru hara kartun nabi.
timpuh di sajadah
kutulis sajak
tentang mata anakku yang terpejam
kecapaian di tengah malam
entah karena mimpi atau lantaran permainan siang hari
tentang wajah ibunya yang dirajang-rajang usia
lantaran pekerjaan rumah, kenekalanku yang meremaja
atau kesibukan kerja.
tapi tidak ada malaikat
surga terbakar kenaikan harga
neraka menggurita di mana-mana
di tiap trafick light dan pojok kota
merdeka dan sentosa!
kaki tangannya menjelma tuhan, nabi, kitab suci
juga malaikat dan surga
bahkan juga puisi, timpuh dan sajadah ini.

Pelangi Mojosongo, Solo, Maret 2006