Saturday 7 August 2010

Pawon edisi 29 III/2010



Angsa di Seberang Sungai
Cerpen Miftahul Abrori

Sepasang Mata Memandang
Cerpen Budiawan Dwi Santoso

Tiga Saat Bersama
oleh Kari

Mengingat Nautilus, Menengok Lovinesha
Esai Abdul Aziz Rasjid

Memahami Teks “Sastra Sufi”
Esai Arif Hidayat

Mazhab Sastra Facebookiyah
Esai Fahrudin Nasrulloh

Puisi-puisi Rakai Lukman

Puisi Gendut Pujiyanto

Puisi-puisi Muhammad Taufan Ika Sakti

Panggung Keabnormalan
Kisah Buku Asni Furaida

Sebuah Naluri akan Kesadaran
Layar Kata Fanny Chotimah

“Ada kalanya saya marah begitu keras,
dan adakalanya saya mendekapnya demikian erat!”
bincang-bincang dengan Wijang Wharek

Kolom Terakhir : Buku Pertama

Puisi-puisi Rakai Lukman



Kupu-kupu di atas Monitor

kupukupu hinggap di monitor, sayapnya seperti selendang kekasihku, ia membatu menjelma arca, dan menepis upacara musim penghujan, sengat siang ini
sengat rinduku,
kupukupu hinggap di monitor menjengukku, pesakitan membaca raut muram senja mereda, warga desaku menghapus lelah,
seperti lelahku menanti hijrahmu ke tanah becek, tempatku menggaruh nasib, demi sesuap nasi, perjamuanmu di rumah nanti

Gresik 2010




Di Bantaran Bengawan Solo Suatu Petang

bunga bakung bengawan pesiar ke jantungku, berkendara air limbah, telortelor ikan menggelembung hampir meletus seperti amarah rindu, kecebongkecebong terdampar di bantaran menggenang di pandangku
air mata buaya membanjir, tanggultanggul pecah, desadesa terbelah air asin, lalu tubuhku telungkup dan mendayuh ke muara,
barangkali kekasih masih semedi di teratai ungu, menungguku

Gresik 2010




Anak Kecil di Beranda Siang

anak kecil yang bentangkan tangannya di beranda siang memohon receh dari saku kempesku,
ia bersanding keringat ibunya. seperti rinduku yang yatim menunggumu.
di sana selembar daun mangga lepas dari tangkai memaku tubuh dan mulutku. lalu ia berpaling menanggalkan senyuman,
seolah bertanya “sena’as itukah rindu?”
Lelaki Pedati

lelaki pedati menembus barisan gerimis
pengangkut rumput goresan mimpiku
ia lecutkan cemeti pada pundak sapi seperti lecuti amarahku
memanggul nasib yang belajar tabah
sesekali irama rindu ini bikin gaduh,
kapan akan sampai?
lelaki pedati guru sejati, pemacu nafas ke hadiratMu

Gresik 2010





LUQMANUL HAKIM, lahir di Gresik, Jawa Timur,. Bergiat di Wisma Poetika dan Sanggar Jepit, wahana penulis dan kesenian di Yogyakarta. Sempat aktif di Teater Eska, Kreseg (Kreasi Seni Arek Gresik), teater HAVARA dan ketua EXIST (MA Assa’adah bungah Gresik) dan Cinemage (Cinema Image Production) yang bergerak dalam film dokumenter, juga LPM Advokasia dan PSKH (Pusat Studi dan Konsultasi Hukum). Juga pernah menjabat sebagai ketua IMAGE (Ikatan Mahasiswa GRESIK di DIY). Sekarang partisipan KOTA SEGER (Komunitas Teater se-Kabupaten Gresik) dan PIMRED bulletin KOTA SEGER News. Pengurus harian LPSM (Lembaga Pendidikan Sosial Masyarakat) di Desa Sekapuk.Sebagian karyanya dalam antalogi bersama “Kitab Puisi I Sanggar Jepit.” Karya puisi dan cerpen dipublikasikan di daerah dan nasional, di antaranya: Majalah Sabili, Balipost, Pers mahasiswa UIN Sunan Kalijaga (Arena dan Advokasia), dll.


Mengingat Nautilus, Menengok Lovinesha, esai Abdul Aziz Rasjid

Lewat tengah hari, 21 Maret 1868, Kapten Nemo menggelar bendera hitam bertuliskan huruf emas N yang terputus–putus di atas kain tipis. Dia, lalu berpaling ke arah matahari yang mengirimkan sinar terakhirnya menjilati laut. Di Kutub Selatan, Kapten yang penuh teka-teki itu berdiri di puncak medan yang setengah porfiris setengah basalt, memandang hamparan ice-field yang menyilaukan, terkesima oleh Nautilus kapal selamnya yang terlihat seakan cetace sedang tidur.
Di lingkungan udara yang berbau belerang itu, Kapten Nemo teringat pada pelaut-pelaut yang selalu gagal menginjakkan kaki di Kutub Selatan. Dia pun lalu berucap: “Selamat berpisah, matahari! Pergilah, benda langit yang berkilau! Tidurlah di bawah laut tanpa es ini. Biarkan malam enam bulan mengembangkan kegelapannya di atas tanah milik saya yang baru ini!”
Tapi, Kapten Nemo tak ditakdirkan untuk kembali ke Kutub Selatan. Nautilus, kapal selam yang perkasa itu terseret ke dalam Maelstrom —pusaran samudera— di perairan Norwegia. Dengan sengaja atau tidak, ke pusaran itulah Nautilus telah dibawa oleh sang Kapten setelah bertualang 20.000 mil di bawah lautan, mengunjungi Suez sampai Amazon, menemukan Atlantis, memandang penduduk asli Papua, mengamati penyelam di Kreta dan menenggelamkan sebuah kapal perang bersama seluruh kelasi-kelasinya. Di ujung petualangannya, Kapten Nemo hanya berucap, “Tuhan yang Maha Kuasa! Cukup! Cukup!”, dadanya yang ditekan tampak membusung oleh tangis.

/I/
Begitulah, sekelumit cerita Jules Verne dalam novel Vingt Mille Liues Sous Les Mers1. Kegemaran Verne memperdalam pengetahuan di bidang matematika, fisika, geografi, biologi fauna & flora untuk menunjang kerja kepengarangannya, pada akhirnya mengangkat namanya sebagai pionir sains fiction. Bahkan yang menarik, alat-alat yang ia imajinasikan dan ia idamkan dalam novelnya itu lalu menjadi realita di abad ke-20. Kapal selam nuklir pertama yang berhasil diciptakan manusia dinamakan Nautilus, serupa dengan nama kapal selam Kapten Nemo dalam novel itu.
Jules Verne yang lahir di Nantes, bagian utara negeri Prancis pada tahun 1828, memang menempatkan alat-alat yang ia imajinasikan dan idamkan bukan sekadar sebagai penunjang cerita. Verne seakan ingin membuat semacam rancangan yang dapat difungsikan oleh ilmuwan di masa mendatang, maka tak mengherankan jika ia juga menjelaskan secara rinci bayangan pembuatannya. Semisal tentang peralatan yang dibutuhkan dan bagaimana kapal selam Nautilus mendapat energi di bawah laut. Simak kutipan ini:
Inilah peralatan yang harus dimiliki untuk membikin Nautilus bergerak … Beberapa telah anda kenal. Barometer memantau tingkat kekeringan atmosfir, ‘strormglass’ jika terurai, campurannya mengabarkan kedatangan badai. Kompas menunjukkan jalan saya; sextan, melalui ketinggian matahari memberitahu saya garis lintang saya; akhirnya kaca pengintip cakrawala, di saat nautilus naik ke permukaan air (hlm. 91) … Anda mengetahui komposisi air laut. Dari seribu gram diperoleh sembilan puluh enam-perseratus setengah air, kira-kira dua-perseratus duapertiga klorur sodium, dalam jumlah kecil klorur magnesium dan potasium, bromur magnesium, sulfat magnesium, sulfat dan karbonat kapur. Jadi, Anda lihat bahwa di situ ada cukup klorur sodium. Dengan sodium yang saya ambil dari air laut itulah saya menciptakan kekuatan energi dari laut (hlm. 92-93)
Apakah dengan perincian semacam itu, novel Verne akan membosankan jika dibaca? Jawabnya tidak. Karena Verne juga piawai membentuk tokoh yang berkarakter dalam novelnya, meramu konflik, memerkarakan mitos dan tentu memuat unsur-unsur filosofis. Semisal saja, ketika kapten Nemo menjelaskan mengapa ia lebih memilih kehidupan di bawah laut. Simak kutipan berikut:
“Dapat dikatakan bumi dimulai dari laut, dan siapa tahu dia akan berakhir lewat laut pula. Laut adalah ketenangan yang paling tenang. Laut bukan milik orang-orang yang lalim. Di permukaan laut, orang-orang itu masih bertindak sewenang-wenang, berkelahi, saling melahap, menyebabkan semua kengerian duniawi. Tetapi pada 30 kaki di bawah permukaan laut, kekuasaan-kekuasaan itu berakhir. Pengaruh mereka berhenti, kekuatan mereka hilang … di situ ada kemerdekaan! Di situ saya tidak mengenal majikan. Hanya di situ saya bebas!” (hlm. 81)
Teringat pada pentingnya kepiawaian memadukan sains dan pengolahan cerita dalam novel semacam Vingt Mille Liues Sous Les Mers karya Jules Verne itulah, saya kemudian ingin membicarakan novel Lovinesha (penerbit Galur & Inti Media Jogja: 2010) karya Inneke Eko2. Sebab, setelah membaca 192 halaman selama dua malam, saya kira dalam beberapa sisi, novel Inneke—jika ditulis dengan kedetailan, ramuan konflik, keberanian mengembangkan daya ucap dan wawasannya—memiliki potensi untuk menjadi penuh wawasan dan memukau semacam karya Jules Verne. Sebab, tokoh dalam dua novel itu sama-sama digambarkan secara realis dengan memuat unsur tentang peralatan yang belum berhasil diciptakan oleh manusia di zamannya—Kapal Selam dalam novel Verne dan Mesin Waktu dalam novel Inneke—untuk bukan sekedar sebagai penunjang plot, bukan sekedar sebagai penguatan hukum sebab-akibat.

/III/
20 September 1980. Nesha menulis catatan hariannya dalam diari yang sampulnya bertuliskan LOVINESHA. “Dia bilang…dia hanya ingin menunda punya anak, sampai aku berumur 40 tahun! Ya Allah, apa artinya ini!!!”
Sebuah catatan yang mengejutkan, mungkin pula tampak konyol. Apalagi bila alasan keputusan hadir dari seorang suami dan tak dimengerti oleh sang istri, “Ya Allah, apa artinya ini!!!” Bukankah anak adalah berkah tak terkira dalam hubungan rumah tangga. Lalu mengapa mesti menunggu sampai 40 tahun? Lalu apa yang sebenarnya terjadi?
Empat tahun kemudian, tepatnya 29 Agustus 2009. Nesha meneruskan catatan di diarinya: “Dhias sayang, aku sudah tahu dari ayahmu tentangmu. Aku tak percaya. Tapi apa si yang Vino pikirkan waktu membuat mesin begitu… Tidak seharusnya dia mengorbankan kamu untuk membantu kami. Kalau seandainya Vino tidak berpikir cepat dan mengetahui kalau kamu itu anak kami dua puluh tahun yang akan datang, kemungkinan besar kamu akan kehilangan banyak waktumu di sana.”
Dalam catatan itu, ada seseorang yang memutuskan untuk mengubah sesuatu di masa lalu, sedang di pihak yang lain ada yang tak ingin mengubah masa depan. Masa lalu itu adalah orang tua bernama Nesha dan Vino, masa depan itu adalah seorang anak bernama Dhias. Ada perantara yang kemudian berhasil mempertemukan keluarga itu di masa lalu: Mesin Waktu yang dibuat demi LOVINESHA.
Tapi, mesin waktu itu tak menghasilkan kebahagiaan yang final, ada hal yang mampu diubah dan tak mampu diubah. Nesha dan Vino memang kemudian menikah di usia 20 tahunan—sebab sebelumnya mereka menikah di usia 40 tahun—karena sang Anak kembali ke masa lalu bersama mesin waktu untuk mengubah takdir pernikahan orangtuanya. Tetapi pada akhirnya sang anak, Dhias namanya ditunda kelahirannya sampai 20 tahun kemudian.
Pasalnya: Bila Dhias lahir sebelum usianya ibunya 40 tahun, maka Dhias dimungkinkan akan tiba di masa depan dengan keadaan berbeda. Maka, di sinilah menariknya, ibunya sebenarnya memilih mati saat melahirkan anaknya di usianya yang menuju renta3. Lewat Diary, ibu Dhias menuliskan pesan yang sebenarnya mengharukan walau ditulis dengan kesan ceria: “Ibu mohon, kunjungi ibu kalau ada kesempatan. Oke, sayang.”
Begitulah, sekelumit cerita yang dikisahkan Inneke Eko dalam novel Lovinesha. Berpangkal pada seorang anak yang menggunakan mesin waktu ciptaan ayahnya untuk mengubah takdir keluarga. Dalam novel Lovinesha, mesin waktu menjadi pintu, namun sayangnya ada yang terasa absen disana: kurang adanya kesungguhan untuk perhatian menggambaran secara detail guna menunjang kekuatannya sebagai imajinasi yang dapat mendudukkan potensi keluasan wawasan dan keberanian berpikir si juru cerita untuk memperkuat novelnya. Tak ada penggambaran rinci bagaimana mesin ini mesti dibuat. Inneke hanya menggambarkan wilayah permukaan. Simak paragraf ini:

Lampu-lampu aneh itu itu pastinya bukan lampu biasa. Entah cahaya dari mana. Hingga efek cahaya merah tadi membuat dia terperanjat kagum. Selama dia menggeluti sains, belum pernah ia melihat cahaya begitu (hlm. 32) … Kertas-kertas berisi sketsa dan juga kerangka-kerangka mesin. Di situ dia menemukan catatan bagaiman ayahnya membuat mesin pertama kali. Cara kerjanya, dan pembuatannya seperti apa (hlm. 33).
Cara kerja, gambaran sketsa juga kerangka-kerangka dan unsur-unsur pembuatan memang tak tampak untuk lebih dijelaskan. Maka, dapatlah diasumsikan bahwa mesin waktu hanya sekedar menjadi penunjang cerita. Yang saya sesalkan, Inneke sudah menyinggung Novel bertajuk The Time Machine karya H.G. Wells yang mencetuskan ide tentang perjalanan waktu dan kemungkinannya untuk menjadi kenyataan lewat pembenaran teori relativitas Einsten (hlm.39), sayangnya novel itu hanya dijadikan sebatas informasi, bukan referensi yang memperkuat, memperkaya cerita.

/III/
Dalam novel ini, mendudukkan pengimajinasian mesin waktu sebagai pusat cerita yang memperkaya kekhasan keluasan wawasan, kepiawaian dalam pengucapan juru cerita, atau keberanian untuk menyumbang masukan bagi penelitian ilmuwan di masa depan, agaknya harus dilupakan. Tapi, mungkin pula pernyataan saya akan terjawab tuntas ketika Dhias dalam cerita selanjutnya hendak menggunakan mesin waktu untuk bertemu dengan Albert Einsten (hal 192), dan menjelaskan dengan rinci tentang mesin waktu di antara petualangan-petualangan seru macam Kapten Nemo dalam Nautilus.
Untuk saat ini, saya lebih cocok, untuk menengok novel Lovinesha sebagai novel yang memiliki ciri sebagai novel populer4 ketimbang novel serius, sebab setelah mencermati indikator dalamnya yang menyangkut unsur-unsur intrinsik novel, Lovinesha cenderung lebih mengangkat gambaran lika-liku keusilan dan kenakalan remaja di usia pubertas–tokoh-tokoh pentingnya bertemu sebagai siwa SMU dan latar peristiwa banyak di sekolah—dengan sifat khas remaja semacam mudah berkelahi dan minggat (ditampakkan lewat tokoh Vino) saat terjadi konflik semacam rebutan kekasih atau pertengkaran dengan orang tua. Penggambaran kekhasan remaja yang umum itu membuat tak ada kemungkinan lain bagi pembaca untuk memperoleh gambaran yang unik dan berbeda tentang remaja.
Garis besar yang saya tandai dalam Lovinesha, adalah pesan tentang upaya-upaya perencanaan manusia dalam mengidamkan keidealan hubungan keluarga. Dimana, setiap perencanaan tak mesti menghasilkan kebahagiaan yang final, harapan tak seratus persen berkesesuaian dengan kenyataan.


Catatan
1 Dalam edisi Bahasa Indonesia, novel ini berjudul 20.000 Mil di Bawah Lautan. Terj. Nh. Dini. Diterbitkan oleh Enigma Publishing: 2004.
2 Lovinesha merupakan novel perdana Inneke Eko, novel ini diberi kata pengantar berjudul “Telah Lahir Penulis Berbakat” oleh Ahmad Tohari. Inneke sendiri masih tercatat sebagai mahasisiwa FKIP Program Studi Pendidikan Matematika dan bergiat di Komunitas Sastra Bunga Pustaka Purwokerto.
3 Baca hlm 26, paragraf tiga, novel Lovinesha. Di paragraf itu Dhias menceritakan bahwa ibunya meninggal sehari setelah dia lahir.
4 Uraian lengkap tentang ciri novel Populer dapat dibaca dalam buku 9 Jawaban Sastra Indonesia. Sebuah Orientasi Kritik yang ditulis Maman S. Mahayana (Bening Publishing, Jakarta Timur, 2005)



Abdul Aziz Rasjid, peneliti Beranda Budaya. Tinggal di Purwokerto, aktif menulis esai dan kritik tentang kesusastraan. Beberapa tulisannya dimuat di Kompas, Jawa Pos, Suara Karya, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Suara Merdeka, Seputar Indonesia, Lampung Post, Radar Banyumas, Radar Tasikmalaya, Jurnal Yin-Yang, Majalah Sastra Littera (Taman Budaya Jawa Tengah), Buletin Sastra Pawon, dan sejumlah antologi bersama.

Angsa di Seberang Sungai, cerpen Miftahul Abrori

Mata merah sayu itu menahan kantuk setelah semalam mendapat jatah piket redaksi. Sigit tampak kegerahan memandang layar komputer di ruang redaksi harian Garda Metro, sebuah koran nasional yang mempunyai anak cabang di kota ini. Rupanya deadline hari sabtu membuat ia tak berkonsentrasi penuh untuk menyelesaikan feature untuk edisi minggu. Sebagai wartawan rubrik Budaya dan Humanioria yang terbit setiap minggu ia seharusnya mempunyai waktu yang leluasa untuk mengatur jam menulis. Ide kreatifitasnya rupanya terpacu ketika mendekati deadline.
Sigit Ardian menyiapkan sebuah tulisan tentang pementasan teater monolog yang semalam ditontonnya di Taman Budaya. Putu Wijaya, seniman senior itu yang menjadi aktor tunggal pementasan malam itu. Sigit berhasil bertemu langsung dengan Putu Wijaya dan melakukan wawancara eksklusif yang akan dimuat di rubrik Tiang Budaya. Pikirannya mulai mengkerut. Pekerjaan menulis memang membutuhkan konsentrasi penuh. Ia memilih membekukan isi otaknya, mencoba mengendapkan ingatan lalu menyaring menjadi sebuah tulisan.
Menjadi wartawan bukanlah pilihan utamanya. Awalnya ia hanya menyukai sastra dan memulai menjadi penulis lepas dengan mengirim puisi dan cerpen ke berbagai media. Wintarto, seorang novelis yang juga redaktur sastra Garda Metro memberitahu kalau korannya membutuhkan wartawan budaya. Mungkin inilah saatnya ijasah S1 nya berfungsi.
Ia membuka folder MyFiles, folder yang berisi foto Dyah, seorang gadis yang diam-diam sering berdiri mematung sambil menajamkan pandangannya tepat ke arah kantor Garda Metro. Wajahnya yang ayu di suatu pagi memaksa Sigit untuk mengabadikan dengan kamera LSR nya. Sudah seminggu ini gadis di seberang jalan itu menatap kosong. Kata Hendrajaya, rekan wartawan sekantornya, perempuan itu kelahiran Wonogiri dan bekerja di warung kelontong. Hendra yang memberi tahu tentang namanya. Sempat terbersit khayalan nyelenehnya untuk memacari Dyah mengajaknya nonton teater di taman Budaya atau menonton wayang orang di Gedung kesenian. Ah, gadis sekarang mana suka dengan tontonan yang bernilai seni tinggi itu, atau tontonan yang ketinggalan jaman. Tapi sigit bisa juga mengajaknya menonton konser musik, Slank, Ungu, Dewa yang juga sering mampir ngamen di kota ini.
Dua hari lalu Sigit sempat mampir di warung itu. Saat itu Dyah memang tampak gelisah. Apa benar kata Hendra, kalau Dyah memperhatikanku?. Gadis berkulit putih itu tampak memerah kedua pipinya ketika menyadari Sigit memperhatikan wajahnya. Saat itu Sigit hendak membeli rokok, dan..., sebuah pemandangan yang luar biasa yang membuat mata Sigit tak berkedip. Ketika Dyah melayani seorang ibu muda yang membeli beras. Gadis itu menimbang beras yang timbangannya berada di lantai. Gadis itu menunduk. Kontan saja payudaranya yang masih putih kencang bergelayut di sela-sela kerah kaos hijaunya. Ide nakalnya muncul jika kamera ada ditangannya pastilah diabadikan momen indah ini. Sang ibu rupanya bersahabat dengan Sigit sehingga tidak mengusik konsentrasinya menikmati karunia Tuhan tersebut
Gila, benar-benar gila. Tulisan yang seharusnya hari ini jadi, lalu tinggal diemail ke redaktur dengan dilampiri beberapa foto, tak diselesaikannya. Ia hanya mengirim pesan ke redaktur kalau 4 jam sebelum deadline tulisannya baru dikirim.

*****

“Kau suka gadis itu?” tuduh Hendra yang siang itu berada di kantor.
“Su-ka?”
“Layar komputer itu sudah jadi buktinya”
Sigit tak bisa mengelak. Ia baru saja menjadikan foto Dyah sebagai desktop komputernya.
“Lihat, di seberang sana. Ia sedang menatap ke arah kita”. Ujar Hendra
“Dyah itu angsa betina yang tak tahu bagaimana cara menyeberangi sungai untuk menemuimu. Lihatlah tatapan matanya yang kau tangkap dengan kameramu”. Tambahnya.
“Dia hanya seorang penjaga toko”
“Lalu kenapa?, dia kuli, kau juga kuli, kuli tinta apa bedanya?”
Beda status bukan menjadi persoalan bagi Sigit. Ia mendambakan seorang kekasih yang bisa mandiri. Toh diam-diam Sigit mulai jatuh hati kepada Dyah. Ia mendamba seorang pacar lebih tepatnya calon istri. Di usianya yang mulai menapaki usia 30 sudah tak wajar kalau hanya mengenal wanita untuk having fun. Lalu apa angsa betina di seberang sungai itu benar-benar menantinya?
Dua bulan berlalu. Setelah cuti lebaran Sigit kelimpungan mencari gadis asal Wonogiri itu. Iseng-iseng ia menanyakan kabar Dyah ke pemilik toko. Seperi kerupuk rambah yang tersiram air, tubuh Sigit lunglai mendengar kalau gadis itu kembali ke daerah asalnya dan tak kan kembali bekerja di toko itu. Hilang sudah impiannya.
Menjelang dini hari Sigit masih berada di kantor. Baru saja ia mendapat tugas meliput konser musik, yang seharusnya menjadi jatahnya Hendra.
“Apa benar konser musik di GOR semalam kamu yang nulis, Git?”. Tanya pak Agung, pemred Garda Metro.
“Iya, pak”
“Kenapa kamu menyebut konser tersebut sepi dan tak menarik. Editlah tulisanmu sebelum masuk bagian percetakan?”
“Kapasitas ribuan kalau hanya diisi 200an penonton, apa itu tidak sepi pak?. Hujan membuat pecinta musik di kota ini memilih diam di rumah ketimbang hujan-hujanan melihat konser?”
“Tapi disini jelas-jelas kamu menyebut Event Organizernya. Itu bisa menjatuhkan. EO kalau sudah jatuh susah bangkit lagi”.
“Anda lebih tahu pak, mana berita yang layak dipublikasikan dan yang tidak.”.
Sigit tetap keukeh dengah pendiriannya dan tak mau mengedit tulisannya. Keesokan harinya ia tersenyum menang ketika membaca tulisannya tidak dirubah editor.
Sekitar jam 08 pagi Sigit mengikuti rapat proyeksi di kantor dengan beberapa redaktur. Kegiatan rutin ini untuk membahas isu liputan juga pembagian tugas kepada wartawan. Sigit mendapat tugas meliput acara bedah buku di Cafe De Five pada jam 9, sebuah tugas yang sudah menjadi langganan Hendra. Cafe De Five adalah cafe yang beroperasi 24 jam. Tidak biasanya acara bedah buku di kafe. Siang pula. Di rapat tersebut Hendrajaya tanpa alasan jelas mengajukan surat pengunduran diri sebagai wartawan Garda Metro.
Sigit baru selesai memarkir motornya lalu menuju cafe.
“Heh, kamu wartawan Garda Metro?” seorang lelaki berperawakan tinggi tak ramah menyambutnya. Badannya tak terlalu kekar tapi 4 lelaki yang duduk di samping kiri yang kemungkinan besar adalah temannya seperti bersiap menerkam.
“Iya, benar”.
Tidak ada tanda-tanda kalau cafe ini akan digunakan untuk acara bedah buku. Sigit mengira ke 5 lelaki itu adalah gerombolan preman. Mungkin ada kaitannya dengan berita yang “menjatuhkan’ EO musik kemarin
Lelaki itu menarik kerah jaket lusuh sigit. Kepalan tangan kanannya menghantam perut Sigit lalu berpindah ke wajahnya. Sigit pasrah. Ia tak mau melawan. Ia tak ingin nyawanya melayang digebuki preman lalu hidupnya to be continued at akhirat.
“Berani berbuat harus berani bertanggungjawab. Kamu telah mempermalukan kami. Giliran kami yang akan mempermalukan anda.” Ancam lelaki itu.

*****

Belum sempat Sigit mandi pagi handponenya berdering. Astuti sekretaris redaksi yang menghubunginya.
“Mas sigit, segera ke kantor mas. Seseorang meminta pertanggungjawaban anda”.
“Pertanggungjawaban apa?” Tanya Sigit kaget.
“Wanita hamil meminta pertanggungjawaban anda!”
Secepat kilat Sigit menuju kantor. Sesampainya di kantor Sigit dikejutkan dengan apa yang dilihatnya. Dyah memandang tajam ke arahnya. Sigit sudah lama merindukan tatapan seperti itu. Angsa di seberang sungai itu kini menghampirinya. Saat ia melihat perempuan itu mengenakan pakaian longgar dan perutnya agak membuncit, Sigit kelabakan.
Lima lelaki yang kemarin mengeroyoknya di café berada di belakang Dyah. Sedang beberapa awak redaksi memandang ke arah Sigit, seakan tak menyangka salah satu wartawannya telah menghamili anak orang. Tentu ini merupakan berita besar jika saja yang melakukannya bukan wartwan dari Garda Metro atau justru tambah besar karena seorang wartawan justru menjadi berita bagi korannya sendiri.
Dyah mendekati Sigit.
“Hen-., Hendra mana?” Katanya terbata-bata.
“Hendra tidak ada di sini. Dia sudah keluar dari Garda Metro”.
Wanita itu menangis. Lima preman itu sudah bersiap menghajar sigit.
“Bukan, bukan dia pak”. Teriak Dyah.
Dalam tangisnya Dyah mengatakan kalau selama ini ia pacaran dengan Hendra. Lelaki itu menanam benih di rahimnya dan tak mau bertanggung jawab. Bahkan ketika Dyah meminta pernikahan karena tak mungkin anaknya lahir tanpa Bapak, Hendra malah menyuruh Dyah untuk menikah saja dengan Sigit. Karena Hendra tahu kalau Sigit secara diam-diam menaruh harapan kepada Dyah.
Ah, rupanya angsa itu selama ini jinak di tangan Hendra, temannya yang hendak menjerumuskannya dalam kubangan. Dan angsa itu kini sedang mencari pejantannya yang telah menyeberang di sungai lain yang tak tak dapat diterka muaranya.

******

Bumi Mangkuyudan, Awal Oktober 2009

Miftahul Abrori, lahir 13 Juli di Grobogan. Karyanya berupa artikel, cerpen dan puisi terpublikasikan lewat Suara Merdeka, Solopos, Joglosemar dan berbagai media lokal. Cerpennya Sanur dibukukan dalam Antologi Seputar Pusar (Kelindan, 2008) Juga Cerpen Mengeja September terangkum dalam Antologi Cerpen Joglo 7 “Mengeja Setember”: (TBJT, 2009). Aktif di Majalah Gradasi, dan komunitas Thariqat Sastra Sapu Jagad. Email : miftahma@yahoo.co.id

Tuesday 3 August 2010

“Ada kalanya saya marah begitu keras dan adakalanya saya mendekapnya demikian erat!” bincang-bincang dengan Wijang Wharek


Aku menyusuri jalan terjauh dibanding selama ini yang pernah kutempuh. Jalan besar dan panjang dengan berbagai kendaraan lalu lalang di kanan kiri. Tubuhku masih agak sakit namun janji adalah janji, aku meneguhkan diri untuk berlanjut, jadwal yang mundur 1-2 jam malah membuatku lebih leluasa menaiki kendaraan. Melewati stadion Manahan di Kota Solo dan terus melaju hingga resort terbesar di Solo, Lor In, motor berbelok sebentar ke belakang kantor Bulog menjemput esais kita, Bandung Mawardi, dibelakang motor saya ternyata Poetri telah melaju dengan pelan, sendiri.

Bertiga kami menembus kota menuju barat, melalui Kertasuro, menuju Delanggu, tempat di mana profil kita kali ini tinggal. Dia adalah Wijang Jati Riyanto, nama beken penyair ini: Wijang Wharek Al Ma’uti, siapapun seniman yang bersentuhan dengan Taman Budaya Jawa Tengah/TBS di Kota Solo pasti mengenalnya. Sosoknya gagah, tinggi besar, rambut beriak dan panjang, kulitnya liat kecoklatan, tampang murah senyum dan juga kadang dingin -terutama ketika sedang menatap aksi di panggung Teater Arena.

Menuju rumahnya bagai menemukan oase karena sungguh begitu nyaman. Memangku jalan yang sepi, diseberangnya sawah begitu membentang, ada hutan bambu nampak di kejauhan, dan selokan berair bening dan sesekali bergemiricik menambah lokasi berikut rumahnya terasa damai, khas desa, dan sejuk.

Apalagi bangunan di sisi kiri rumah berupa pendhapa jadi menambah kesan lapang dan longgar, mirip pendapa TBS dalam ukuran yang lebih kecil. Sedangkan sisi kanan adalah rumah tinggal dengan kontur yang dibuat sedikit naik turun, permainan lantai keramik yang berbeda warna, posisi ruangan, gambar-gambar, termasuk pigura-foto kartunis Nasirun Purwokartun, juga ragam foto pernikahan Pak Wijang menawarkan aroma rumah seniman yang kental.
Sambil makan siang dengan menu yang beragam: pecel, sayur bobor, selirang pisang, kopi, teh, gorengan, air putih, wah lengkap, dan maknyus kami mengobrol ngalor ngidul, dan sejurus kemudian telah kususul dengan pertanyaan-pertanyaan wawancara.

Sebagai konfirmasi dari tulisan Mas Leak (Sosiawan Leak) bahwa pangkat belakang nama anda pemberian dari Sutarji Calzoum Bahri, benarkah? (dalam edisi Pawon terakhir keliru tertulis WS. Rendra)
Waktu itu saya diundang di TIM membacakan puisi yang judulnya lupa, disitu ada syair, ada kata maut, tapi kuucapkan dengan tekanan ma’ut gitu yang terasa sangat eksplosif mungkin ya di telinga para audience saat itu juga diantaranya Sutarji itu. Ma’ut, ma’ut, gitu jadinya kok bunyinya mantap tenan. Sedangkan Warek itu karena dulu saya suka sekali nongkrong di warung depan tepi jalan raya delanggu yang ramai, saya langganan disitu, warungnya bergaris-garis gitu, lorek-lorek, makanya digeser sedikit jadi warek, mantap kan. Dijadikan satu Wijang Warek Al Mauti. Bunyi di telinga jadi terasa magis, sangar, dan kuat!

Selain puisi pernahkah Mas Wijang menulis prosa?
Satu-satunya cerpen saya menjadi pemenang lomba di FKIP UNS, juara dua apa tiga ya, yang kemudian dimuat di Koran lokal Semarak, di Bengkulu.
Sedangkan novel, hahahaha (semua tertawa), novel saya berjudul: Nyanyian Kabut, Fragmen Perjalanan Cinta Seorang Seniman, yang picisan, hihihi.
Mas Wijang memanggil Mbak Nurni, istrinya, untuk mengambil manuskrip novel itu. Lalu berturut-turut kami: Bandung, Poetri, dan aku membolak-balik sekilas novel itu yang terasa nyamleng karena masih diketik dengan mesin ketik manual dengan judul besar-besar dari rugos! Huahahaha.
Kabut berkata: sudah menjadi takdir judulnya Nyanyian Kabut, eeee, takdirnya bertemu dan berkawan dengan Kabut (sapaan Bandung Mawardi) benar! Haha

Bisa ceritakan proses kreatif Mas Wijang, awal-awalnya?
Sejak akhir tahun 70-an, saya menggeluti dunia kesenian dengan berdeklamasi, bernyanyi dan bermain sandiwara di panggung-panggung acara kampung. Juga menyukai nonton film bioskop, pertunjukan kethoprak tobong dan wayang kulit purwa yang ada di kampung, bahkan sering menonton pertunjukan wayang sampai ke desa tetangga.
Ketika SMA sering menulis puisi untuk dideklamasikan pada acara-acara yang diselenggarakan di kampung. Selepas SMA, setelah menganggur dan kuliah setahun di Teknik Sipil UTP, mulailah tumbuh pemberontakan di diriku dan kuanggap dunia kesenian adalah wilayah merdeka yang bisa mewadahi gelora jiwa seni yang menggebu-gebu dan tak terbendung lagi. Akhirnya, aku pindah kuliah dan memilih menjadi mahasiswa Fakultas Sastra dan Filsafat, jurusan Sastra Indonesia UNS Solo 1984.
Mas Wijang mengaku dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang keras. Kudu tertib, ora neko-neko, dan kudu mriyayeni. Maklum, konon Eyang-nya masih keturunan “darah biru”. Jadi, segalanya serba diatur dan apabila melakukan sesuatu harus perfect. Salah sedikit saja pasti dipala/dipukul. Bahkan, pilihannya untuk berpenampilan seniman dan gondrong sampai membuatnya ‘terusir’ dari rumah dan memilih kos di sekitar UNS.

Pas kuliah jiwa berkesenian lebih berkembang, ya?
Sejak di UNS saya mulai aktif menyaksikan pertunjukan sastra dan teater yang digelar di Solo juga mengikuti berbagai diskusi dan sarasehan. Semua demi menambah wawasan. Saat itu juga mulai doyan membaca buku-buku apa saja, terutama sastra, budaya, filsafat, dan politik, serta bergaul dengan berbagai kalangan seniman, budayawan dan networker kebudayaan.
Saya terlibat menggagas lahirnya beberapa kelompok kesenian seperti TESA-UNS (1987), Forum Penyair Muda Surakarta (1989), Forum Penyair Surakarta (1991), Kelompok Revitalisasi Sastra Pedalaman (1993), Forum Penyair Jawa Tengah (1993), Forum Sastra Bengkulu (1993), Himpunan Pengarang Indonesia Aksara cabang Bengkulu (1994), Paguyuban Seniman Kreatif Bengkulu (1996), dan penerbitan buletin Pawon Sastra Surakarta (2007).
Pak Wijang, Kabut/Bandung Mawardi, Ridho Al Qodri, Poetri Hati Ningsih, Joko Sumantri, dan saya (Han Gagas) saat di Wisma Seni TBS melahirkan nama untuk sebuah buletin di Solo yang hingga kini terus berlanjut yaitu Pawon, yang sekarang dikoordinatori oleh Yudhi Herwibowo.

Sejarah karya-karya Mas Wijang?
Puisi, cerpen, esai, dan reportase budaya pernah dimuat di media massa antara lain: Republika, Swadesi, Warta Pramuka, Mitra, Suara Merdeka, Wawasan, Kompas Jawa Tengah, Bernas, Minggu Pagi, Semarak, Bengkulu Pos, Haluan, Taruna Baru, dan Riau Pos.
Sedang puisi-puisi pernah dibukukan dalam antologi bersama, seperti Dua Potret (FS UNS, 1987), Upacara Kamar (FKIP UNS, 1989), Pertemuan Pertama (Forum Penyair Muda Surakarta, 1989), Ekstase dalam Sketsa (Forum Penyair Muda Surakarta, 1991), Gelar Syair Mengalir (Unit Seni & Film, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 1991), Mozaik 2 (Forum Penyair Surakarta, 1991), Panorama Dunia Keranda (Forum Penyair Surakarta, 1991), Temu Penyair dan Parade Puisi se Jawa Tengah (1993), Pesta Penyair Jawa Tengah (Forum Penyair Jawa Tengah, 1993), Kicau Kepodang 2 –Penyair Jawa Tengah- (Taman Budaya Jawa Tengah, 1993), Revitalisasi Sastra Pedalaman (RSP, 1993), Riak 3 (Forum Penyair Bengkulu, 1993), Monolog (Forum Sastra Bengkulu, 1994), Pusaran Waktu (Bengkel Puisi Jambi, 1995), Tabur Bunga Penyair Indonesia (Lingkar Sastra Blitar, 1995), Bunga Rampai Dialog Budaya Parade Karya se Sumatera Jawa (Taman Budaya Bengkulu, 1995), Refleksi Setengah Abad Indonesia Merdeka (Taman Budaya Jawa Tengah, 1995), Besurek (Taman Budaya Bengkulu, 1996), Puisi –Antologi Puisi Penyair se Sumatera- (Taman Budaya Jambi, 1996), Dari Bumi Lada –Temu Penyair Sumatera, Jawa, dan Bali- (Dewan Kesenian Lampung, 1996), Mimbar Penyair Abad 21 (Dewan Kesenian Jakarta, 1996), Puisi-puisi Dari Pulau Andalas (Taman Budaya Lampung, 1999), Ekstase Dzikir Putih –Aku Mabuk Engkau- dan Obituary Sebuah Negeri Tanpa Kemerdekaan (manuskrip tunggal, Forum Sastra Bengkulu, 1999), 18 Penyair Jawa Tengah: Proses Kreatif dan Karyanya (Taman Budaya Jawa Tengah, 2005), Tanah Pilih (Bunga Rampai Puisi Temu Sastrawan Indonesia I, Jambi, 2008), dan Kenduri Puisi (Ombak, 2008).

Aktivitas diluar menulis puisi?
Saya beberapa kali menjadi pembicara dalam diskusi sastra, juri lomba baca puisi dan cipta sastra. Beberapa kali juara lomba baca puisi di berbagai kota. Selain itu, pernah menggeluti dunia teater dan terlibat dalam pementasan Dukun Tiban (1980), Samadi (1985), Dokter Gadungan (Moliere, 1988), Oemar Khayam (Harold Lamb, 1988), teatrikalisasi cerpen Maria (Putu Wijaya, 1988), Bom Waktu (N. Riantiarno, 1989), Gandrung Kecepit (1989), Klilip ing Medhang Kamulan (Wiswakarman, 1989), teatrikalisasi puisi Nyanyian Angsa (WS Rendra, 1990), Akal Bulus Scapin (Moliere, 1990), Oedipus di Kolonus (Sophokles, 1991), musikalisasi puisi Ekstase Dzikir Putih (Wijang Wharek AM, 1991 dan 1993), teatrikalisasi novel Masyithah (Rosihan Anwar, 1994), Airmata Gugat –kolaborasi puisi tari- (Wijang WAM, Intan HS, Iwan Gunawan, 1996), Kosong (Edi Ahmad, 1999), Neng-Nong (M. Udaya Syamsuddin, 1999), Sayembara Putri Gading Cempaka (Agus Setyanto, 1999), Song of Sang –kolaborasi puitik- (Wijang WAM, Sosiawan Leak, Max Baihaqi, Tria Vita Hendrajaya, 2004), pentas Novel “Wajah Sebuah Vagina” karya Naning Pranoto (alih teks Wijang WAM, 2005), pentas novel “Ronggeng Dukuh Paruk” karya Ahmad Tohari (alih teks Wijang WAM, 2006).
Dalam catatan yang diberikan Mas Wijang pada saya masih banyak seabreg aktivitas berkeseniannya dibanding keterangan di atas.

Yang paling membanggakan?
Diundang DKJ dalam Mimbar Penyair Abad 21 tahun 1996. Kedua, diundang Perkampungan Penulis Melayu Serumpun (Daik Lingga, Kepri, 1999) yang diikuti oleh peserta dari Malaysia, Singapura, Brunei, dan Thailand.

Wijang Warek Al’Mauti juga membidani lahirnya gerakan Revitalisasi Sastra Pedalaman bersama Kusprihyanto Namma, Triyanto, dan Sosiawan Leak. Gerakan ini di dukung oleh Halim HD –seorang networker kebudayaan- sehingga membesar dan begitu banyak mendapat tanggapan baik dari dalam negeri bahkan juga para pakar luar negeri, yang juga menelitinya. Gerakan yang dimulai dari Solo ini merupakan perwujudan kegelisahan terhadap pusat sastra baik dari segi kota maupun media yang sering menghambat penulis baru.
Wijang menikah dengan Nurni dan dikaruniani dua orang putra bernama Raja Demokrat Sinar Jagad dan Raja Mahasakti Surya Bumi.
“Ada kalanya saya marah begitu keras dan ada kalanya saya mendekapnya demikian erat!” Ujar Mas Wijang ketika menyatakan perasaannya dalam mendidik anak-anaknya.

Setelah panjang lebar kami mengobrol, karena waktu yang menjelang sore akhirnya kami pamit pulang. Mbak Nurni yang berdarah minang menyilakan kami dengan lembut dan ramah begitu pula Mas Wijang mengantar kami hingga beranda dan tepi jalan. Kami bertiga menembus jalan desa lalu menyusur jalan menggilas jalur Solo-Jogja lagi.


Han Gagas, 28 Juli 2010