Sunday 5 December 2010

Forum sastra, Birokrasi dan Kapital, review acara Mari Bicara Sastra, oleh Anna Subekti

Review LintaSastra #1 : Forum sastra, Birokrasi dan Kapital

LintaSastra merupakan program regular sastra yang diselenggarakan sebulan sekali oleh Gedung Kesenian Solo dan komunitas Sastra Pawon. Selasa, 23 November lalu telah diselenggarakan lintaSastra #1 yang bertajuk “Mari Bicara Sastra”. Acara ini dimulai pukul 20.00 WIB dengan dihadiri sekitar 35 orang dari berbagai kalangan, beberapa diantaranya bahkan merupakan orang yang awam dengan sastra.
Diskusi dimulai dengan dimoderatori oleh Bandung Mawardi, salah satu redaktur pawon. Dalam pengantar singkat Bandung Mawardi, dia mengungkapkan ketika membicarakan “Mari Bicara Sastra” berarti acara ini mengacu kepada kesusastraan di Solo selalu mengalami pergerakan. Sekecil apapun sebuah pergerakan, menjadi sangat penting karena banyak pihak menganggap bahwa sastra di Solo tidak meiliki pergerakan sama sekali.
Dalam diskusi ini juga diadakan sesi “tukar buku” dimana setiap peserta yang hadir wajib membawa buku untuk saling bertukar. Buku sebagai penanda simbolis, buku memiliki cerita dan sejarah tersendiri bagi kita semua. Dengan bertukar buku kita akan merasakan bagaimana rasanya memberi, bagaimana rasanya menerima dan bagaimana kita saling mengenal satu sama lain.
Konsep curhat dalam acara perdana ini diprakarsai oleh Yudhi Herwibowo selaku koordinator acar berdasarkan pengalamannya di Pawon. Acara tumpengan ulang tahun Pawon tahun lalu terasa sangat menarik ketika ketika dalam bentuk curhat. Dengan konsep yang dia bawakan, Yudhi Herwibowo seakan ingin penonton menangkap bahwa sastra Solo terkadang memiliki kendala teknis seperti factor tempat untuk sekedar ngobrol karena semakin banyak ruang di Solo yang telah menjadi komoditas ekonomi. Selain kendala teknis tersebut peran birokrat yang mempersulit berlangsungnya acara diskusi juga menjadi salah satu kendala untuk terus mengembangkan dunia sastra di Solo sehingga diperkirakan pada 2011 nanti acara sastra di Solo akan sangat minim.
Diskusi semakin hangat, antusiasme peserta begitu terasa dalam acara ini. Seperti dikatakan oleh salah satu peserta diskusi, dunia sastra Solo tenyata mendapat banyak hantaman, tidak hanya hantaman birokrasi tetapi juga tantanngan untuk menghadapi sastra meanstream yang lebih pada orientasi kapital. membicarakan menstream dan non meanstream ternyata tidak hanya di dunia musik, film atau yang lain, sastrapun juga demikian. Solo memiliki kekhasan sendiri yang mungkin bisa melawan kekuatan itu. Perlawanan dimaksudkan untuk menghindari kekuatan birokrasi dan kekuatan menstream.
Namun argumen itu direspon oleh Han Gagas, sebagai penulis ia lebih memilih lepas, tidak peduli dengan hal-hal menstream dan non meanstream. Anggap saja bahwa media dan institusi itu memble, menstream menjadi kabur. Akan ada banyak kekuatan yang menyebar disekeliling kita, maka sebagai penulis hendaknya tidak diragukan dengan kekuatan yang menyebar. Cukup menulis dan menulis. Yang terpenting adalah karya seorang penulis jauh lebih hebat dibanding kekuatan yang kita anggap besar. Kita akan menjadi besar secara otomatis ketika kita bisa melahirkan karya yang besar.
Kegiatan sastra merupakan salah satu media sosialisasi dimana dalam kegiatan tersebut setiap orang akan mampu mendapat kegembiraan dan menumbuhkan aura untuk menulis, seperti yang diungkapkan Yudhi TH. Namun, sangat disayangkan bila birokrasi menjadi alasan untuk tidak terus bergerak. Ya, memang butuh pergerakan untuk terus bergerak.
Kegelisahan tersebut terjawab dengan adanya tawaran dari Gedung Kesenian Solo untuk menyajikan kajian rutin bidang sastra bersama Pawon. Untuk kedepannya, acara sastra di Solo bisa dikembangkan sedemikian rupa tanpa harus ada hambatan birokrasi yang rumit dan kegelisahan-kegelisahan yang mampu menghambat dalam berkarya..

Anna Subekti

Koordinator Sastra
Gedung Kesenian Solo

Sunday 31 October 2010

Seorang Peranakan yang Suka Berbicara dan Berimajinasi Sendirian, wawancara dengan Mardi Luhung, oleh Han Gagas

Saya pertama kali mengenal nama Mardi Luhung -seingat saya- di lembar puisi di koran nasional. Seingat saya dua kali muncul. Nama itu lalu mengambang di kepala saya. Hingga suatu ketika saya menemukan nama itu lagi di lembar cerpen koran nasional yang lain. Karena cerpen adalah bidang penulisan yang saya geluti, saya membaca cerpennya itu, dan saya sedikit bengong akan imajinasinya yang ndladrah-ndladrah, mengalir dan mengocor terus. Saya mulai mengingat nama Mardi Luhung di benak saya.
Beberapa bulan lalu, saya mewawancarai Sosiawan Leak, yang dari mulutnya keluar nama Mardi Luhung, dan ingatan saya kembali keluar. Sesudahnya -beberapa minggu kemudian-, saya mengobrol dengan Sungging Raga dan dari mulutnya juga keluar nama Mardi Luhung, jadi dua orang yang saya kagumi itu memunculkan nama yang sama, kami ngerasani, ngegosip.
Suatu ketika karena keberuntungan cerpen saya dimuat Suara Merdeka, lalu saya tampilkan di FB, saya taut ke beberapa teman, dan salah satunya ke Simalakama Rindu, dan upps, dia –Simalakama Rindu adalah si Mardi Luhung, Mas Hendri sapaan intimnya- komentar banyak di FB saya, dan mulai saat itulah kami sering bertukar kabar, informasi, dan akhirnya saya ingin mewawancarai beliau. Saya meng’sms’ beberapa teman untuk meminta sumbangan pertanyaan, hal yang baru pertama kali saya lakukan karena selama ini saya selalu single fighter dalam menyusun pertanyaan.
Meminta sumbangan pertanyaan ini saya maksudkan agar lebih lengkap lanskap profilnya karena saya tahu dan menyadari keterbatasan saya dalam penulisan puisi yang selama ini lebih digeluti Mardi Luhung, juga saya ingin bentuk dan isi wawancara bisa berbeda dengan selama ini yang saya hasilkan. Sejumlah teman akhirnya menyumbang pertanyaan yaitu Bandung Mawardi, Sungging Raga, Gendut Pujiyanto, dan Sosiawan Leak. Melalui email, wawancara tertulis, akhirnya saya sampaikan:

REZIM, TRADISI SAMPAI PADA PUISI YANG TERBUKA
Soal rezim sastra di Indonesia. Keberadaannya? Efeknya, siapa-siapa saja di dalamnya? Dan Mas Mardi Luhung masuk rezim yang mana?
Ini adalah pertanyaan yang sulit saya jawab. Kenapa? Terus terang, selama ini, saya lebih banyak menulis dan berproses di kota saya yang bernama Gresik. Dan dari kota Gresik itu saya memublikasikan ke luar. Entah di koran, internet atau antologi-antologi. Dan rasanya, selama ini, saya hanya merasa, jika rezim sastra yang paling membuat saya gelagapan adalah diri saya sendiri. Yaitu ketika kemalasan menimpa dan ide menjadi kering. Sedangkan, di luar itu semua, apa pun namanya, barangkali hanya sebagai bahan bacaan saya. Bahan bacaan yang saya gunakan untuk menulis dan berproses.
Sebagian orang menyebut gabungan cerpen dan puisi cukup sebagai prosa liris, adakah kemungkinan lain yang bisa muncul dari sebuah cerpen yang digarap dengan kekuatan puisi?
Sejak semula, barangkali saya memang (sepertinya) bukan menulis puisi. Tapi menulis cerita. Dan di dalam cerita itu tentu ada tokoh, latar dan persoalan. Dan semua hal itu, jika saya panjangkan, sering disebut orang sebagai prosa liris. Tapi apakah benar itu prosa liris? Saya tidak tahu. Tapi yang jelas, ketika bentuk puisi (yang cerita dan prosa liris itu) saya udar. Tidak saya ikat dalam bait per bait. Tapi paragrap per paragrap, saya menemukan sebuah kemungkinan yang beda. Kemungkinan tentang cerita yang bertumpuk-tumpuk. Seperti sebuah igau panjang. Yang kadang-kadang, saya sendiri sulit untuk merunutkan plotnya. Jadinya, sampai kini, setiap saya menulis prosa, selalu merasa bukan sebagai pencerita. Melainkan pengigau. Dan asyiknya, di dalam igauan itu, saya enak saja untuk menjadikan yang musykil menjadi tak musykil. Begitu seterusnya. Dan sebaliknya.
Kenapa dengan puisi? Proses, dan kenikmatannya?
Puisi? Tidak ada apa-apa. Cuma barangkali, karena saya seorang peranakan, yang sejak kecil, entah mengapa sulit untuk berhadapan dengan keluarga, baik dari garis ayah (yang Cina), atau ibu (yang Jawa), maka saya suka berbicara dan berimajinasi sendirian. Bahkan, karena kesukaan ini, saya pernah punya pengalaman menarik ketika di bangku SD. Jika tak salah, waktu itu sedang pelajaran berhitung. Dan saya berimajinasi. Rasanya, saya telah menjadi super hero yang pintar bermain sepak bola. Oleh si guru ketahuan. Dan saya pun harus berada di luar kelas. Tapi kok saya malah senang sekali. Dan sejak itu diam-diam (juga ditambah segebok komik yang dihadiahkan ayah), saya pun sering menjalin cerita di otak. Cerita tentang dunia antaberantah, pendekar, sampai super hero pun saya rangkai. Nah, itu terus berlanjut, sampai kemudian, ketika saya di SMP, saya mulai menulis puisi. Puisi apa saja. Dan ketika di SMA (tahun 1984), barulah satu-dua puisi saya dimuat di majalah remaja HAI (Jakarta). Waktu dimuat ini, saya senang sekali. Sebab, oleh guru bahasa Indonesia, puisi itu dibacakan di depan kelas. Dan yang paling nikmat, yang paling tidak bisa saya lupakan sampai kini, adalah ketika si guru itu berkata: “Mari kita bicarakan puisi ini. Mumpung di kelas kita ada penyairnya,” Penyair? Wik, terus terang saya bergetar. Sebab, baru hari itulah, kosa kata penyair bersentuhan dengan diri saya untuk pertama kali. Padahal, jika boleh jujur, ketika saya mengirimkan puisi itu ke majalah remaja HAI, cuma ingin pamer kepada seorang gadis sekelas yang saya taksir. Yang kini telah menjadi istri saya.
Tradisi sastra yang Mas Mardi Luhung warisi dari daerahnya? Ceritakan.
Saya, sepertinya, tak mempunyai warisan tradisi sastra dari daerah. Ya barangkali karena saya peranakan. Tapi, karena gadis yang saya taksir, yang kini telah menjadi istri saya, dan pernah saya pameri dengan satu-dua puisi di majalah remaja HAI itu, dari pesisir Lumpur Gresik, maka saya pun bersentuhan dengan sastra Wacan. Semacam tradisi sastra macapatan pesisiran khas Gresik. Di dalam tradisi ini, saya sering menikmatinya. Bahkan, dengan seorang teman (Made Wirya) dari komunitas De Nagari Gresik, saya telah membuat dokumentasinya. Oya, di tradisi sastra Wacan ini, saya seperti bersambung dengan dunia imajinasi saya. Bayangkan, ketika si pembaca Wacan (yang bernama Nur Hasyim, umur 80 tahunan dan tinggal satu-satunya) membacakan satu-dua bait macapatnya, maka para penikmatnya bisa langsung bertanya. Dan pertanyaannya itu pun bisa geladur atau melantur kemana-mana. Mulai dari suporter ngamuk, pendidikan yang mahal, sampai percintaan yang seru. Dan kegeladuran atau kengelanturan itulah yang begitu membuat saya terpesona. Karenanya, tak heran, jika saat saya menulis puisi atau prosa, selalu saja lanturan itu berzik-zakan. Hampir tak terkira.
Dari cerpen mas Mardi yang saya baca: Sore Ini Sepedaku Menabrak Dinding (Jawa Pos) dan Ikan yang Menyembul dari Mata (Koran Tempo) bernada “tak masuk akal” semacam absurdisme, atau surealisme, seperti masuk dalam dongeng, atau mitos. Pilihan, begitu saja mengalir, atau memang begitu yang paling dikuasai?
Entahlah. Yang jelas seperti yang saya katakan di atas, sejak kecil saya selalu berimajinasi secara sendirian. Dan ketika berimajinasi itu semua bisa masuk. Apakah itu pengelana, dewa yang membawa api, lumpur yang menyerbu kota (dalam Sore ini Sepedaku Menabrak Dinding). Atau, hikayat tentang hari berdarah, wanita yang bernasib sial, tawuran, sampai pada teror bom dan nyawa penasaran (dalam Ikan yang Menyembul dari Mata). Dan apakah hal ini disebut sebagi absurditas, surealisme, mitos atau kontra mitos, sekali lagi saya tak tahu. Saya cuma merasa, setiap cerita saya buka, saya seperti diserbu itu semua. Dan saya pun tidak bisa lain kecuali menyeleksi agar tak terlalu melantur atau geladur. Karena bagaimanapun sebagai si penulis, yang sekaligus pembaca pertama bagi karya sendiri, saya pun ingin mendapatkan arah cerita. Meski kadang-kadang arah itu pun juga sering tak masuk akal. Tapi, ya, itulah yang bisa saya lakukan. Lain itu, sebenarnya ketika menulis dua cerpen itu, saya cuma ketanggor pada adegan dalam film Harry Potter sekuel pertama. Yaitu ketika si Harry menerobos tembok stasiun untuk sampai pada peron yang menuju ke sekolahan sihir (Sore ini Sepedaku Menabrak Dinding). Sedangkan, untuk Ikan yang Menyembul dari Mata, saya terbayang pada seorang lelaki tua. Yang saya temui di sebuah warung kopi di Gresik. Yang bercerita: “Jika dirinya selalu terbayang pada peritiwa berdarah yang pernah terjadi di negeri kita sekitar tahun 1965-an,” Dan di tahun itulah saya lahir. Lahir di bulan Maret. Bulan yang berbintang ikan. Ya, sebuah proses yang barangkali sederhana. Dan mengalir begitu saja. Mengalir seperti cerita si pembaca Wacan ketika ditanya tentang isi dari macapat yang telah dibacanya.
Mas masuk dalam gerbong sastrawan Angkatan 2000 dalam buku Korie Layun Rampan, komentarnya Mas. Perlukah ada sastrawan angkatan seperti itu? Enak juga ya masuk sastrawan Angkatan 2000?
Saya pikir untuk angkatan sastra, itu antara perlu dan tidak. Perlu, mungkin itu bisa digunakan bagi pembelajaran di sekolah (meski bukan hal yang paling penting). Tidak perlu, karena kadang-kadang sebuah kreativitas seorang sastrawan, tidak bisa hanya dibakukan oleh sebuah pembabakan yang resmi (waktu/penanggalan/periode tertentu). Dalam arti, si sastrawan itu bisa bersinar di tahun ini, tapi mungkin tidak untuk di tahun mendatang. Tapi justru malah bersinar lagi di tahun-tahun yang lebih mendatang. Jadinya, ketika saya nyantol di sana, saya pikir sudahlah. Tokh, waktu saya masih ke depan. Masih banyak yang dapat saya kerjakan. Jadi lebih baik, terus memerhatikan. Terus berproses. Dan terus belajar pada yang baru datang (yang kadang-kadang lebih layak untuk masuk di angkatan tadi). Dan juga yang telah lewat (yang mungkin bisa memberikan tenaga lain yang tak pernah saya duga sebelumnya).
Bisa ceritakan buku-buku Mas? Terbelah Sudah Jantungku, Wanita yang Kencing di Semak, Ciuman Bibirku yang Kelabu, dan Buwun. Di antara buku-buku itu mana yang Mas paling sukai? Kenapa?
Yang paling saya sukai adalah Ciuman Bibirku yang Kelabu dan Buwun. Sebab, di Ciuman Bibirku yang Kelabu, adalah buku saya pertama yang mungkin agak lengkap (di periode itu). Sehingga, jika boleh saya katakan, mampu untuk membuka apa yang selama proses kepenulisan puisi saya terselimuti. Sedangkan, di Buwun, ini adalah buku saya tentang sebuah pulau yang merupakan wilayah dari kota saya Gresik. Dan di buku ini, (meski tipis) tapi rasanya saya benar-benar seperti seseorang pelancong yang bisa mendengarkan apa yang ingin disuarakan oleh tempat-tempat yang telah dilanconginya. Suara-suara lirih. Tapi kadang-kadang di saat-saat tertentu malah bisa seperti lenguh kapal besar yang akan menerobos hujan dan badai.
Boleh ceritakan tentang keikutsertaan Mas dalam mengikuti Program Penulisan Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara) dalam Bidang Puisi (2002), tempat, acara, dll? Cakrawala Sastra Indonesia (2004), International Literary Biennale (2005) serta diundang dalam Festival Kesenian Yogyakarta XVIII/2006, dipilih oleh juri/panitia atau bagaimana? Hal-hal yang menarik di dalamnya.
Untuk semua acara itu, sepertinya memang ada pilihan sebelumnya. Yang saya tahu, saya langsung mendapatkan undangan dari panitia untuk mengikuti acara-acara itu. Dan yang paling menarik, ternyata ketika bertemu dengan peserta lainnya, entah yang berasal dari Indonesia atau luar Indonesia, saya dapat belajar tentang sekian puisi yang beragam. Dengan gaya yang juga beragam. Dan keberagaman itulah yang menjadi pelatuk imajinasi yang segar bagi saya. Tapi terlepas dari semuanya, ketika sepulang dari acara-acara semacam itu, selalu ada kesadaran, bahwa sebenarnya apa yang saya lakukan belumlah apa-apa. Jadi harus kembali untuk berproses. Dan berproses. Sampai kapan? Barangkali sampai batas ketika saya memang benar-benar selesai.
Komentar Mas tentang kondisi sastra kita, dari puisi, cerpen, novel, esai? Yang muda yang menonjol, mungkin, atau yang lain.
Wah, dalam dunia sastra, saya cuma mengamati puisi. Baru belakangan saja (dua tahun ini), saya sedikit-sedikit mengamati cerpen. Dan bagi saya, meski tak lengkap, ada beberapa penyair berusia muda yang bagus. Yang setiap saya membaca karyanya, saya seperti mendapatkan tenaga imajinasi baru. Penyair-penyair itu, seperti: Toni Lesmana, Tawar (mungkin Mahwi Air Tawar ~red Han Gagas), Lelaki Rumput, Kekal Hamdani dan beberapa lainnya yang saya lupa namanya. Dan tentang kondisi puisi itu, saya pikir juga cukup membahagiakan. Sebab, ternyata, puisi-puisi mereka yang bagus itu, tidak hanya terpublikasikan di koran. Tetapi juga di terbitan-terbitan kecil dan internet (misalnya: FB): sebuah dunia puisi yang langsung bisa terapresiasi oleh penikmatnya secara terbuka. Itu saja.
Han Gagas, 12 Oktober 2010

Pawon Edisi Instimewa, No. 31 Tahun III/2010



Para kontributor edisi pawon kali ini :

Aku dan Angka 18:18
Cerpen Saiful Bahri

Camelia dan Seberkas Dusta
Cerpen Ir. Bambang Sukmadji

Cerita Tentang Coklat
Cerpen Santoso Rukatam

Hidup Ini Indah, Bapakku Sayang!!!
Cerpen Made Kartika Sari

Perempuan Sunyi
Cerpen Gendut Pujiyanto

Puisi-puisi Effendi Danata

Puisi-Puisi I Putu Gede Pradipta

Puisi-puisi Prayuda

Puisi-puisi AF. Kurniawan

Puisi Puisi Anna Subekti

Sandiwara Humor dan Propaganda Jepang
Esai Fandy Hutari

Sastra dan Kebutuhan Terhadap Orang Gila
Esai Bosman Batubara

Konstelasi Kesenian Tegal, Apresiasi, dan Kaderisasi
Esai Febrie Hastiyanto

Perempuan dan Seksualitas: Tafsiran The Diary of A Young Girl
Esai Sartika Dian Nuraini

Hajat Sastra Khotbah
Esai Bandung Mawardi

Perselingkuhan Lumbini Belum Selesai
Kisah Buku Tria Nin

Sebuah Oase di Taman Victoria
Layar Kata Haris Firdaus

Seorang peranakan yang suka berbicara dan berimajinasi sendirian
Wawancara dengan Mardi Luhung
oleh Han Gagas

Pada Gerimis di Sepanjang Sanggingan
Kisah-kisah dari Ubud Writer and Reader Festival 2010
Reportase Yudhi Herwibowo

Baca Dulu, Baru Nulis!
Kartun Anton WP.

Kematian Harmoni
Kolom akhir Indah Darmastuti

Aku dan Angka 18:18, cerpen Saiful Bahri

Tak banyak yang tahu, begitupun diriku mengapa angka 18:18 selalu terlihat saat aku melihat jam di ponsel warna hitam punyaku. Awalnya aku menganggap itu hanya kebetulan belaka. Namun semua itu berubah saat aku sadar ternyata angka 18:18 punya arti yang cukup besar dalam hidup yang kujalani. Ia, angka itu benar-benar membuatku termenung penasaran. Hampir saja aku menganggap bahwa angka itu angka keberuntungan, atau paling tidak dibalik angka itu pasti ada sesuatu yang harus kucari maksudnya.
Mas, besok acaranya dimulai jam 18:18.” Mengapa harus 18:18? Apakah tak ada jam selain angka itu. Bukankah biasanya acara sering dimulai jam 19:00, atau paling lambat jam 20:00? Aku tak habis pikir, entah mengapa dua hari terakhir ini aku sering bersinggungan dengan angka itu. Belum habis rasa penasaranku, aku dikejutkan oleh suara gaduh dari luar kosku. Ternyata di sana ada motor kecelakaan. Kulihat ternyata yang kecelakaan adalah seorang perempuan setengah baya kira-kira seumuran kakakku. Namun bukan itu yang aku kejutkan, percaya atau tidak, ternyata plat nomor motornya AB 1818 MU. Semakin lengkaplah penderitaanku memikirkan angka itu. Ya Tuhan mengapa angka ini selalu menghantuiku. Sudah dua peristiwa hari ini yang semuanya bersinggungan dengan angka 18:18. Aku yakin dibalik itu pasti ada rahasia. Rahasia yang hanya bisa tersingkap bila aku memikirkan dan mencari tau apa maksudnya.
Setelah kegaduhan usai, aku kembali masuk kamar. Aku bertekad untuk segera menggarap skripsiku biar cepat selesai, karena dua minggu lagi akan diseminarkan di depan penguji. Dan sekarang skripsiku tinggal bab terakhir saja. Aku harus segera seminar, karena aku sudah tidak tahan mendengar “ocehan” orang tuaku yang sudah tidak sabar melihatku menjadi sarjana. Tiap kali ibuku telpon, pasti yang ditanyakan pertama kali kapan aku lulus. Selalu itu yang ia tanyakan. Akupun terbebani dengan pertanyaan itu. Karena aku sadari, tinggal aku saja seangkatan yang sampai sekarang masih setia ke kampus. Padahal teman angkatanku yang lain, sudah menjadi sarjana semua. Bahkan ada diantara mereka yang duduk di kuris DPR.
Kurebahkan tubuhku dikasur tipis yang selama ini selalu setia menemani tidurku di kos sederhana ini. Kubaca buku karangan Hans George Gadamer yang memang menjadi refrensi utama skripsiku. Belum dua lembar kubaca buku, ponselku berdering. Ternyata dosen pembimbing skripsiku nelpon. “Rid, skripsimu yang halaman 18 direvisi, isinya tidak cocok dengan judul” ucapnya singkat. Aku tercengang sebentar. Ah…! Mengapa harus ada angka 18 nya. Gara-gara itu, aku pun berhenti membaca buku. Kuambil sebatang rokok yang mulai tadi terkapar di meja dekat komputer. Kusulut rokokku, kuhembuskan asapnya kelangit-langit kamar, kulepaskan penat sesaat akibat angka aneh yang beberapa hari ini selalu hadir.
***
Siang ini aku berencana bertemu dosen pembimbing di kampus. Biasa, anak semester tua sepertiku ke kampus biasanya cuma mau ketemu dosen, atau paling tidak nongkrong di kantin kampus. Biasanya aku memilih nongkrong di pojok kantin, karena di sanalah biasanya aku mendapat inspirasi. Ia, inspirasi apapun selalu kucari di sana. Kemarin, saat aku pusing mencari judul skripsi, akhirnya judul itu kutemukan di pojok kantin biasa aku nongkrong. Disana pula, dulu saat teman-teman angkatanku masih belum lulus, dijadikan markas setelah mendengar kuliah dari dosen. Sungguh..! pojok kantin kampus memang benar-benar tempat istimewa. Di tempat itu pula aku menemukan seseorang yang kucinta dan sampai sekarang masih menjalin hubungan. Di pojok kantin itu pula aku pertama kali menginjakkan kakiku di kampus. Karena memang saat pertama kali aku kuliah, aku tidak langsung masuk. Namun aku ke kantin dulu. Dan kebetulan saat itu hanya tempat duduk yang di pojok yang kosong. Hingga akhirnya tempat itu benar-benar menjadi tempat istimewa hingga kini atau bahkan mungkin selamanya.
Namun hari ini sengaja aku tidak mampir ke tempat sakral itu. Aku harus segera bertemu dosen pembimbing, kuingin menanyakan halaman 18 yang harus direvisi. Kulangkahkan kakiku menuju lantai tiga Fakultas Filsafat. Di ruang pojok sebelah kiri itulah ruang kerja dosen pembimbingku. Perlahan aku masuk.
“Siang, pak.”
“Kamu, Rid, duduklah!”
“Kenapa halaman 18 eror begini? Kamu nggak serius mengerjakannya?”
“Eror bagaimana, Pak? Saya serius kok mengerjakannya.”
“Coba diteliti lagi, sekalian direvisi isinya.”
Aku meninggalkan ruang kerja Pak Mansur sambil membawa copy skripsi yang harus kurevisi. Kepalaku pusing sekali. Padahal dua minggu lagi skripsiku harus selesai dan diseminarkan. Tanpa pikir panjang lagi aku langsung bergegas ke kantin kampus. Seperti biasa aku duduk di pojok. Kupandangi para mahasiswa di sekelilingku, siapa tahu ada di antara mereka yang aku kenal. Namun tak ada satupun di antara mereka semua yang aku kenal. Terpaksa aku duduk sendiri. Setelah pesanan secangkir kopi sudah berada di depan mata, aku membuka halaman 18 yang harus kurevisi. Setelah kubaca dan teliti, menurutku tak ada yang salah dengan isinya. Namun setelah aku teliti dengan cermat, ternyata penulisan halamannya salah. Disamping kiri dan kanan aku tulisi halaman 18 semua. Jika dua angka itu dikumpulkan, maka akan jadi 1818. Ah…! Peristiwa apa lagi ini, mengapa angka 1818 selalu menjadi masalah.
Aku pun menutup skripsiku, kuhabiskan secangkir kopi yang tadi kupesan. Setelah itu, tanpa pikir panjang lagi aku pun pulang ke kos. Aku harus mempersiapkan diri untuk acara nanti malam. Pas jam 18:18 aku harus menghadiri acara pelatihan, dan aku ditunjuk sebagai trainer dalam acara itu.
***
Setengah jam kemudian aku sampai di kos. Kurebahkan tubuhku, aku ingin melepas lelah dan mengeringkan keringat yang membasahi tubuh dan bajuku. Kubuka bajuku, karena memang cuaca siang ini panas sekali. Saat kupandangi langit-langit atap kos, aku teringat pada semua peristiwa yang semenjak beberapa hari ini membuatku pusing. Dari kebiasaanku yang selalu kebetulan melihat jam di ponsel selalu menunjukkan angka 18:18, hingga undangan pelatihan yang juga jam 18:18, tak luput pula kecelakaan kemaren serta skripsiku yang semuanya berhubungan dengan angka itu.
Fantasiku melayang entah kemana. Aku terus mencari maksud dibalik itu semua. Namun sampai aku memejamkan mata, jawaban itu belum juga datang. Aku hampir putus asa dalam lamunan, ingin rasanya kuberteriak kencang. Namun aku sadar ini bukan hutan, melainkan kos yang di sekelilingnya banyak orang tinggal. Aku hanya bisa berteriak dalam hati, mempertanyakan dan meluapkan kegelisahan dalam hati. Hanya itu yang bisa aku lakukan. Tak puas dengan itu, aku pun bangun dari rebahku. Kuambil spidol. Kemudian kutulis di papan: 1818, Apa Maksudmu Menghantuiku?
Semoga saja aku tidak jadi pobhia dengan angka itu. Sungguh angka itu saat ini memang mempengaruhi suasana psikologisku, aku tidak bisa konsentrasi pada skripsi, mempersiapkan untuk acara nanti malam pun aku tidak semangat. Oh Tuhan, mengapa aku harus dipusingkan oleh angka-angka. Bagiku memikirkan filsafat lebih mudah daripada memikirkan angka-angka ini. Masak waktuku harus dihabiskan untuk hal tak penting ini. Bukankah masih banyak hal penting yang bisa aku lakukan. Bodohnya aku. Sudahlah, biar angka-angka itu aku buang dari fikiranku. Aku harus sadar, bahwa angka-angka itu hanya kebetulan dan tak punya maksud apa-apa.
***
Malam yang sangat melelahkan. Aku harus men-training 18 peserta dalam acara pelatihan yang baru saja selesai. Saat kulihat jam di ponselku, ternyata sudah menunjukkan angka 00.00. Ah…! Ternyata hampir setengah malam aku menghabiskan waktuku di acara pelatihan. Tapi bagiku itu bukan masalah, karena disana aku membagi pengetahuan dengan peserta yang lain. Daripada aku habiskan waktuku untuk memikirkan angka-angka tak berguna.
Setelah pamit pada pantia, aku pulang. Sesampainya di kos, aku segera membereskan revisi skripsiku, sekalian menyelesaikan bab terakhir. Jika besok Pak Mansur menyetujui semuanya, sekalian aku akan mengurus surat seminar biar cepat lulus.
Kunyalakan komputerku. Aku buka halaman 18 yang harus kurevisi. Kuhapus angka 18 di samping kiri, kemudian aku edit tulisan paragraf yang menurut Pak Mansur bermasalah. Percaya atau tidak, untuk membereskan halaman 18 harus memakan waktu 18 menit. Tekadku untuk membuang angka-angka itu dari benakku memudar. Dari jumlah peserta pelatihan yang 18 orang, hingga 18 menit untuk merevisi skripsi halaman 18, itu sudah cukup menghancurkan tekad yang baru tadi siang aku bangun.
Namun malam ini aku sudah bertekad menyelesaikan bagian bab terakhir. Aku tak banyak ambil pusing dengan dua peristiwa yang baru saja aku alami. Biarkan itu berlalu. Karena malam ini aku sudah bertekad untuk menghabiskan waktuku untuk skripsi. Tak ada waktu untuk memikirkan angka-angka itu. Aku berusaha untuk konsentrasi penuh, agar kesimpulan skripsiku benar-benar merepresentasikan semua isi yang aku tulis.
Akhirnya satu jam berlalu, skripsiku selesai. Besok tinggal diserahkan pada Pak Mansur, jika direkomendasi, dua minggu lagi akan seminar. Dan pertengahan semester ini aku akan di wisuda. Rasa puas sekarang benar-benar menyelimutiku. Aku sedikit bisa menghapus memoriku dari peristiwa-peristiwa yang terjadi mulai kemaren. Kumatikan komputer. Kurebahkan tubuhku, lalu kupejamkan mata yang sejak tadi mengajakku melayang ke dunia mimpi.
***
Mungkin karena kelelahan, aku pun bangun jam 09:15. Tanpa pikir panjang lagi aku langsung mandi. Aku harus segera ke kampus menyerahkan skripsiku pada Pak Mansur. Seperti biasa, cuaca masih panas. Namun itu tidak menyurutkan tekadku ke kampus. Aku harus segera mendapatkan rekomendasi agar skripsiku bisa segera di seminarkan.
“Bagus, skripsi kamu bisa segera di seminarkan,” ucap Pak Mansur setelah membaca bab terakhir dan halaman 18 yang kurevisi.
“Pak, sekarang saya punya masalah.”
“Masalah apa?”
“Akhir-akhir ini saya selalu dipusingkan dengan angka 1818.”
“Maksudnya?
“Sudah dua hari, beberapa peristiwa yang saya alami selalu berhubungan dengan angka itu”
“Terus?”
“Ya…apakah itu ada maksudya, pak?”
“Rid, angka-angka itu simbol, dan di balik simbol pasti ada pesan”
“Tapi saya bingung pak mencari pesan dibalik simbol itu”
“Gunakanlah hermeneutika Gadamer, skripsimu kan membahas itu”.
Aku hanya bisa menganggukkan kepala. Kemudian aku bergegas ke ruang tata usaha untuk mengurus rekomendasi seminar skripsiku. Ternyata angka itu benar-benar simbol untukku. Mengapa tidak, ternyata skripsiku di rekomendasikan untuk di seminarkan pada tanggal 18 Januari. Ah…! Aku semakin tak habis pikir, mengapa semuanya harus dihubungkan dengan angka itu. Jika tidak 18:18, pasti 1818 atau paling tidak, hanya 18. Bahkan mungkin Gadamer pun tidak bisa mencari pesan di balik angka itu.[]

Saiful Bahri, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, aktif di Komunitas Sastra Maoes Boemi Paguyuban Alumni Nurul Jadid Yogyakarta (PANJY). Alamat: Komplek polri gowok c.5 146 Sleman Jogjakarta. Telpon: 085228735644

Puisi-puisi Effendi Danata


KESEDERHANAAN YANG KITA BICARAKAN

di sepanjang sungai
tiba-tiba aku ingin bercermin
mencumbuimu dalam imajinasi
dengan dingin merangkul tubuh

aku menyaksikan
kau menawarkan rindu
yang terkelupas di bibirmu
menikam gairah
melintas keheningan

ada banyak jarak
pada kesederhanaan kubisikkan
dan kata-kata telah kusam
menyentuh telingamu

Lendek, 19 Agustus 2010



JADI SUNYI

aku pernah menyingkap air mata
di sudut bibirmu
mencari sunyi
pada detak jantungmu
kian memuncrat

aku pernah memelukmu
dengan sesungging senyum
mengharap nuranimu
jadi sunyi

Lendek, 22 Agustus 2010


MEMBURU

kutengadahkan jiwa pada matahari
agar mengelupas jadi keringatmu
yang panas

kau memetik hidup
memburu nyawa
isyarat pergulatan hawa
menjulur-julur ke lidah nafsu

seumpama malaikat menawarkan
segelas susu dan roti
kau memintaku mencipta nafas
dengan suara tak lebih jelas
dari suara sesenggukan
kemudian aku tenggelam
di pinggir genangan air matamu
yang tak lagi setia

Lendek, 24 Agustus 2010



PERJALANAN ARAH ANGIN

I
burung burung memutar di udara
dengan suara sukar ditebak
dan laut bercerita tentang
pengembara memercik
kenagan lampau

di anjungan
seorang penyair rebah
dalam jantung
gadis berambut biru
di matanya beribu lamunan menjerit
mendesak takdir secepatnya sampai
ke seraut wajah

"mengapa arah angin tertahan" tanyanya
pada takdir tak kunjung tiba
juga pada gelombang yang tak
menuju menuju tepi

seberkas cahaya menuju barat
melesat cepat
meraba raba jalan belum dikuasai kelam

dan sebentar lagi nyawa tak bertuan
segera tiba

II
waktu menari tenang di seberang
seorang gadis biru
leluasa memainkan sepi

birunya melilitkan luka rahasia

Kayangan,
rasanya membuka mulut lebar lebar
menanti kapal berlabuh
di punggung dermaga

"kemana kutautkan batin menyala-nyala" bisiknya
kepada angin yang juga juga belum mampir
tapi di timur cahaya membawa ketakutan
suara laut lebih murung
dari kabut yang memelas

dan di udara
tampak burung burung
masih saja memutar

Lendek, 25 Agustus 2010


Effendi Danata, Lahir di Bima kemudian dibesarkan di sebuah
perkampungan nelayan desa Hu'u, Dompu. Selain mengajar teater di SMAN
1 Masbagek dan SMAN 2 Selong Lombok Timur, juga mengelola komunitas
sastra Rumah Sungai Lombok Timur dan menjadi pemimpin redaksi bulletin
EMBUN. beberapa karyanya diterbitkan dalam buku antologi puisi bersama
"Lampu Sudah Padam" (KRS,2010). Kini bermukim di Lendek, Padamara,
Lombok Timur, NTB. HP : 081918337284 Email :
pradanata.fendi35@gmail.com

Saturday 30 October 2010

Sandiwara Humor dan Propaganda Jepang, esai Fandy Hutari

Pada saat Jepang menduduki Indonesia (1942-1945), seluruh aktivitas dan media dipergunakan untuk kepentingan politik mereka: propaganda perang. Seluruh media massa, film, surat kabar, buku, pamflet, poster, foto, siaran radio, pidato, seni pertunjukan tradisional, termasuk seni sandiwara modern dimanfaatkan untuk melaksanakan skema propaganda yang diatur oleh Sendenbu (Departemen Propaganda). Sandiwara modern, dalam segala bentuk?baik pertunjukan, radio, maupun lakon?ikut digiring untuk keperluan itu.
Pada masa pendudukan Jepang mulai dikenal satu bentuk sandiwara yang boleh dibilang baru, yaitu sandiwara humor. Waktu itu dikenal dengan “sandiwara leloetjoen”. Humor adalah suatu kualitas persepsi yang memungkinkan kita mengalami kegembiraan, bahkan ketika kita sedang menghadapi kesusahan. Humor bisa diekspresikan dalam berbagai media, misalnya kata-kata, audio-visual, maupun pagelaran sandiwara di atas panggung. Sandiwara humor dikenal di Indonesia pada masa Jepang. Bentuk sandiwara ini juga didorong perkembangannya oleh Jepang dengan tujuan yang sama: propaganda perang. Menurut Aiko Kurasawa (1993: 248), sandiwara humor merupakan lakon pendek, biasanya terdiri dari satu babak. Lazimnya, pemain utamanya seorang penduduk yang bodoh, tetapi berhati baik dengan seorang bijaksana yang memberi penerangan mengenai kebijakan dan peraturan baru yang dikeluarkan pemerintah, dalam hal ini pemerintah pendudukan Jepang. Di masa Jepang, lakon sandiwara humor terkumpul di buku Panggoeng Giat Gembira: Koempoelan Sandiwara dan Leloetjoen yang terbit sebanyak tiga jilid. Dari tiga jilid tersebut, ada enam lakon sandiwara lelucon, yaitu “Djarak” karya D. Djojokoesoemo, “Gendoet dan Kampret” karya A. Kartahadimadja, “Bekerdja” karya Ananta Gaharasjah1, “Ajo...Djadi Roomusha!” karya Ananta Gaharasjah, “Huzinkai” karya Anak Masjarakat2, dan “Bebek Bertoeah” karya Aki Panjoempit. Selain itu di majalah Djawa Baroe3 terdapat dua lakon sandiwara lelucon, yaitu “Gerakan Hidoep Baroe” dan “Kumityoo Istimewa” karya Ananta Gaharasjah. Buku ini satu-satunya referensi terlengkap sandiwara humor jaman Jepang.

Pesan Propaganda
Saya akan membedah sedikit mengenai isi masing-masing lakon sandiwara humor yang kesemuanya bermuatan propaganda politik ini. Pesan propaganda dalam lakon “Djarak” terlihat pada nasihat seorang tokoh bernama Tembak, kepada Pak Bopeng tentang manfaat biji buah jarak bagi pemerintah. Pak Bopeng berkarakter bodoh sedangkan Pak Tembak seorang yang cerdas. Pemerintah memerlukan biji jarak sebagai minyak pesawat tempurnya, untuk itu penduduk wajib menyerahkan atau menjual murah buah jarak pada pemerintah. Tembak juga menjelaskan tentang pentingnya petani dan hasil bumi dalam masa peperangan (Djojokoesoemo dalam Panggoeng Giat Gembira Djilid I, 2605: 26-28).
Dalam lakon “Gendoet dan Kampret” pesan propagandanya tergambar pada nasihat yang diberikan oleh Kumicho, seorang kepala kampung dalam Tonarigumi4, dan Kucho, seorang kepala desa, kepada Pak Gendoet. Diceritakan bahwa Pak Gendoet adalah orang yang selalu berfoya-foya, kerjanya hanya main dadu dan pergi ke ronggeng, sehingga kurang memperhatikan keluarganya. Anaknya, Gendoet, membolos sekolah dan ketahuan oleh Kumicho sedang main kelereng bersama Kampret, sedangkan istrinya kehabisan uang belanja, karena duitnya habis untuk main dadu dan ronggeng. Pak Gendoet dinasihati agar memperhatikan pendidikan anaknya, ia diberi contoh supaya meniru Bang Saripin yang anaknya jadi guru, dan Bang Moein yang anaknya jadi Heiho5 (Kartahadimadja dalam Panggoeng Giat Gembira Djilid I, 2605: 29-32).
Lakon “Bekerdja” pesan propagandanya terlihat ketika Bang Djangkoeng memberi nasihat kepada Pak Gendoet yang pemalas tentang arti penting bekerja di dalam zaman peperangan. Pak Gendoet, yang kerjanya hanya tidur saja, baru sadar akan pentingnya bekerja ketika dinasihati oleh Kumicho, seorang yang sangat disegani di desa dan ketua Tonarigumi, yang dibawa oleh Bang Djangkoeng ke rumahnya (Ananta Gs dalam Panggoeng Giat Gembira Djilid I, 2605: 13-25). Sebuah komentar yang tertulis dalam buku Panggoeng Giat Gembira menyebutkan bahwa lakon sandiwara lelucon “Bekerdja” merupakan “seboeah lakon jang telah dipertoendjoekkan oleh Rombongan Sandiwara Keliling-Poesat Keboedajaan6, sampai kedesa-desa dengan samboetan baik sekali”. Sedangkan lakon sandiwara lelucon “Djarak” dan “Gendoet dan Kampret” “termasoek leloetjon jang senantiasa dapat samboetan meriah dari persediaan Rombongan Sandiwara Keliling-Poesat Keboedajaan, Djakarta”.
Lakon “Ajoo...Djadi Roomusha!” karya Ananta Gs pesan propagandanya terlihat ketika tokoh Pak Gendoet, Toean Moeda, dan Pak Krempeng gembira setelah mendaftarkan diri sebagai Romusha7 sukarela. Pada awalnya terkesan mereka sedikit terpaksa untuk mendaftarkan diri menjadi Romusha. Lakon ini memberi penerangan tentang kegembiraan dalam bekerja secara sukarela (menjadi Romusha) untuk memperkuat pertahanan di garis belakang (Ananta Gs dalam Panggoeng Giat Gembira Djilid II, 2605: 17-22). Dalam lakon “Ájoo...Djadi Roomusha!” ini terdapat sebuah lirik lagu yang dinyanyikan oleh Pak Gendoet, salah satu tokoh dalam lakon tersebut. Lirik lagu itu tertulis sebagai berikut:

Engkau tanah air jang koetjinta,
kau limpah koernia padakoe,
sekarang kebaktian kau minta,
gaja koeserahkan padamoe.
koedjadi petani,
koedjadi roomusha,
koekerdjakan semoea senang.
koedjadi petani,
koedjadi roomusha,
koekerdjakan semoea senang.
Toeloes, ichlas, soeka, rela.........
Lakon “Huzinkai” karya Anak Masjarakat menyampaikan pesan tentang pengenalan pekerjaan dalam himpunan Huzinkai sebagai badan Hokokai yang berjuang di garis belakang. Lakon ini berkisah mengenai Soeharti yang masuk ke dalam Perkumpulan Huzinkai. Huzinkai adalah perkumpulan khusus untuk kaum wanita, yang bertujuan membantu perang lewat garis belakang, dengan cara menyerahkan perhiasan kepada pemerintah untuk keperluan perang, memberi semangat kepada para ibu dari Heiho dan Peta, memberi pendidikan untuk memberantas buta huruf, dan lain-lain (Masjarakat dalam Panggoeng Giat Gembira Djilid III, 2605: 19-25).
Lakon “Bebek Bertoeah” karya Aki Panjoempit menyampaikan pesan tentang nilai kebaktian rakyat dalam membantu urusan umum (perang). Berkisah mengenai seorang yang kaya raya tetapi kikir dan acuh terhadap keadaan perang. Cerita diawali oleh kegelisahan Pak Djoeriah, penduduk kaya tetapi kikir, karena bebeknya tidak mau bertelur. Karena tidak menghasilkan telur, kemudian bebek itu diberikan kepada Saenan, seorang tetua desa dan pembantu Kutyo (kepala desa). Setelah bebek itu diberikan kepada Saenan, bebek tersebut tidak berhenti bertelur. Kutyo (kepala desa) dan Saenan kemudian datang ke rumah Pak Djoeriah untuk memberi tahu hal tersebut. Pak Djoeriah bingung karena ketika di rumahnya, bebek itu tidak mau bertelur. Dialog Saenan dan Kutyo seakan mempertegas pesan propaganda. Saenan: “Doeloe dia haroes berteloer oentoek kepentingan Pak Djoeriah sendiri, sekarang ia berbakti kepada negeri”. Kutyo: “Sesoeai dengan semangat perang poela. Memperlipat hasil boekan kepalang. kalau bebek mengerti, moestahil Pak Djoeriah tidak!”. Karena sindiran tersebut, Pak Djoeriah sadar, atau terpaksa sadar, akan pentingnya berkorban menyumbangkan sebagian hasil bumi bagi pemerintah. Akhirnya Pak Djoeriah menyerahkan padinya untuk pemerintah. Ternyata bebek yang tidak henti-hentinya bertelur tersebut bukan bebek asli, “tetapi orang jang berdjalan memboengkoek-boengkoek. Teloernja dari barang apa sadja, ditaroeh dalam kain jang digendong didadanja” (Panjoempit dalam Panggoeng Giat Gembira Djilid III, 2605: 26-28).
Dua lakon sandiwara lelucon, “Gerakan Hidoep Baroe” dan “Kumityoo Istimewa”, karya Ananta Gaharasjah terdapat dalam majalah Djawa Baroe. Pesan propaganda dalam lakon “Gerakan Hidoep Baroe” terlihat ketika Kumityoo, pemimpin Tonarigumi, datang untuk memberi penerangan kepada Krempeng dan Djangkoeng tentang pentingnya menyesuaikan hidup dengan keadaan perang. Harus berani menderita dan rela berkorban demi tanah air (Gaharasjah dalam Djawa Baroe, 1 Maret 2605: 29-31). Sedangkan pesan propaganda dalam lakon “Kumityoo Istimewa” terlihat ketika Bang Istimewa, pemimpin Tonarigumi, menyadarkan beberapa anggota Tonarigumi yang senantiasa tidak patuh kepada “Gerakan Hidoep Baroe” yang dianjurkan pemerintah. Ada beberapa tokoh yang pada akhirnya insaf akan tugas mereka di masa perang dan kewajiban mereka kepada pemerintah. Bang Djahil, yang tadinya berlaku sombong dan tidak mau ikut kewajiban Tonarigumi, seperti jaga malam, menjadi Romusha, dan ikut rapat Tonarigumi insaf setelah dinasihati oleh Bang Istimewa tentang hak dan kewajiban di dalam zaman peperangan. Begitu pula dengan Bang Rewel yang tadinya tidak mau ikut jaga malam, Bang Biting yang tadinya tidak mau senam taiso, dan Bang Keong yang sadar pada kerugian mencatut. Wijaya dan Sarinah menjadi contoh bagi mereka yang melanggar peraturan di dalam Tonarigumi dan Gerakan Hidoep Baroe (Gaharasjah dalam Djawa Baroe, 15 Juni 2605: 20-23).

Propaganda (yang) Salah Alamat
Seluruh lakon sandiwara yang dimuat dalam media massa terbitan pemerintah adalah lakon-lakon yang mendukung segala kebijakan pemerintah, dan tidak membahayakan kedudukan pemerintah. Termasuk lakon sandiwara humor. Lakon-lakon yang mengancam kedudukan pemerintah dan berisi tentang pikiran ala Barat tidak ada yang dimuat, bahkan dilarang sama sekali. Jika disimpulkan, lakon-lakon sandiwara humor yang ditulis pada masa ini memiliki kategori isi. Pertama, memberikan gambaran yang jelek terhadap penjajahan Belanda dan bangsa Barat. Tujuannya untuk menanamkan rasa anti terhadap Belanda, Amerika, dan Inggris yang menjadi musuh utama Jepang. Kedua, menganjurkan untuk mengikhlaskan anggota keluarganya memasuki barisan Suka Rela, Peta (Pembela Tanah Air), Heiho, dan Jibaku. Ketiga, menganjurkan untuk tidak hidup bersenang-senang dan tidak mementingkan diri sendiri di tengah peperangan. Keempat, rela berkorban dengan menyumbangkan tenaga dan hasil bumi kepada pemerintah. Kelima, memuji kehebatan tentara Jepang yang berjuang mengusir penjajah Barat dari Asia. Isi dari lakon-lakon tersebut selalu terkesan sangat sederhana. Ciri khas lakon-lakon ini di antaranya selalu ada dua pihak yang bertentangan, pemberi nasihat dan yang diberi nasihat, ada seorang yang bersikap masa bodoh tetapi pada akhir cerita sadar akan kekeliruannya. Kemudian selalu ada tokoh yang secara tiba-tiba pendiriannya berubah drastis, yang awalnya bersikap masa bodoh, kemudian berubah menjadi sangat dipuji, tanpa dijelaskan panjang lebar mengapa tokoh tersebut berubah.
Sebenarnya propaganda Jepang ini salah alamat. Kalau merujuk pada isi lakon lakon dalam buku Panggoeng Giat Gembira terlihat sekali sasarannya adalah rakyat dari kalangan menengah ke bawah (rakyat mayoritas di negeri ini). Terutama bagi mereka yang ada di desa-desa. Namun target mereka untuk meraih simpati dari rakyat desa ini boleh jadi tidak tersentuh lewat karya lakon yang termuat dalam buku ini. Dugaan saya, kebanyakan dari mereka yang justru dapat menyentuh karya-karya yang terdapat dalam buku ini, atau bahkan yang terdapat di media-media massa, adalah dari kalangan terpelajar. Sedangkan rakyat desa, mayoritas pada masa ini masih buta-huruf, dan tidak bisa membeli, apalagi “menikmati” buku kumpulan lakon sandiwara ini.

*****


Catatan Kaki
1 Sepanjang pengetahuan saya, Ananta Gaharasjah ini merupakan orang yang paling produktif menulis sandiwara lelucon yang bermuatan propaganda.
2 Menurut dugaan saya, ini merupakan nama samaran Armijn Pane. Sebab, saya pernah menemukan karya (buku drama) Armijn Pane dengan judul dan isi yang sama.
3 Salah satu media yang terbit pada masa Jepang dan kebanyakan isinya berupa kebaikan pemerintah pendudukan Jepang.
4Rukun tetangga. Dibentuk untuk tujuan meningkatkan pergerakan maupun pengawasan terhadap penduduk (Poesponegoro dan Notosusanto, 1993: 40).
5 Heiho adalah pembantu prajurit Jepang. Heiho ditempatkan di dalam organisasi militer Jepang, baik Angkatan Darat maupun Angkatan Laut, yang dibentuk pada April 1943 (Reid dan Okira, tt: x; Posponegoro dan Notosusanto, 1993: 33).
6 Keimin Bunka Shidosho.
7 Pekerja paksa zaman Jepang. Biasanya mereka ditugasi untuk membangun landasan pacu, jembatan, jalan raya dan lain-lain.

Kepustakaan
Djawa Baroe, 1 Maret 2605: 29-31.
Djawa Baroe, 15 Juni 2605: 20-23
Djawa Hookookai Keimin Bunka Shidosho. 2605.Panggoeng Giat Gembira Lakon Sandiwara dan Leloetjon Djilid I. Djakarta: Djawa Hookookai Keimin Bunka Shidosho.
————————————. 2605. Panggoeng Giat Gembira Lakon Sandiwara dan Leloetjon Djilid II. Djakarta: Djawa Hookookai Keimin Bunka Shidosho.
————————————. 2605. Panggoeng Giat Gembira Lakon Sandiwara dan Leloetjon Djilid III. Djakarta: Djawa Hookookai Keimin Bunka Shidosho.
Hutari, Fandy. 2009. Sandiwara dan Perang; Politisasi Terhadap Aktifitas Sandiwara Modern Masa Jepang. Yogyakarta: Ombak.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia, Jilid VI. Jakarta: Depdikbud dan Balai Pustaka.
Reid, Anthony dan Oki Akira (ed.). t.th. The Japanese Experience in Indonesia; Selected Memoirs of 1942-1945. Ohio: Ohio University.
Sumardjo, Jakob. 2004. Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia. Bandung: STSI Press.

Fandy Hutari, lahir di Jakarta pada 17 Agustus 1984. Penulis buku, esai, novel, cerpen, dan puisi. Dua bukunya sudah diterbitkan, yaitu Sandiwara dan Perang; Politisasi Terhadap Aktifitas Sandiwara Modern Masa Jepang (Ombak, 2009), dan Ingatan Dodol (Insist Media Utama, 2010). Dua buku lainnya, Hobieran Masa Laloe dan Tradisi Lokal (kumpulan artikel) dan Imaji Bumi (novel) sedang dalam proses penerbitan. E-mail: fandyhutari@yahoo.com.

Saturday 7 August 2010

Pawon edisi 29 III/2010



Angsa di Seberang Sungai
Cerpen Miftahul Abrori

Sepasang Mata Memandang
Cerpen Budiawan Dwi Santoso

Tiga Saat Bersama
oleh Kari

Mengingat Nautilus, Menengok Lovinesha
Esai Abdul Aziz Rasjid

Memahami Teks “Sastra Sufi”
Esai Arif Hidayat

Mazhab Sastra Facebookiyah
Esai Fahrudin Nasrulloh

Puisi-puisi Rakai Lukman

Puisi Gendut Pujiyanto

Puisi-puisi Muhammad Taufan Ika Sakti

Panggung Keabnormalan
Kisah Buku Asni Furaida

Sebuah Naluri akan Kesadaran
Layar Kata Fanny Chotimah

“Ada kalanya saya marah begitu keras,
dan adakalanya saya mendekapnya demikian erat!”
bincang-bincang dengan Wijang Wharek

Kolom Terakhir : Buku Pertama

Puisi-puisi Rakai Lukman



Kupu-kupu di atas Monitor

kupukupu hinggap di monitor, sayapnya seperti selendang kekasihku, ia membatu menjelma arca, dan menepis upacara musim penghujan, sengat siang ini
sengat rinduku,
kupukupu hinggap di monitor menjengukku, pesakitan membaca raut muram senja mereda, warga desaku menghapus lelah,
seperti lelahku menanti hijrahmu ke tanah becek, tempatku menggaruh nasib, demi sesuap nasi, perjamuanmu di rumah nanti

Gresik 2010




Di Bantaran Bengawan Solo Suatu Petang

bunga bakung bengawan pesiar ke jantungku, berkendara air limbah, telortelor ikan menggelembung hampir meletus seperti amarah rindu, kecebongkecebong terdampar di bantaran menggenang di pandangku
air mata buaya membanjir, tanggultanggul pecah, desadesa terbelah air asin, lalu tubuhku telungkup dan mendayuh ke muara,
barangkali kekasih masih semedi di teratai ungu, menungguku

Gresik 2010




Anak Kecil di Beranda Siang

anak kecil yang bentangkan tangannya di beranda siang memohon receh dari saku kempesku,
ia bersanding keringat ibunya. seperti rinduku yang yatim menunggumu.
di sana selembar daun mangga lepas dari tangkai memaku tubuh dan mulutku. lalu ia berpaling menanggalkan senyuman,
seolah bertanya “sena’as itukah rindu?”
Lelaki Pedati

lelaki pedati menembus barisan gerimis
pengangkut rumput goresan mimpiku
ia lecutkan cemeti pada pundak sapi seperti lecuti amarahku
memanggul nasib yang belajar tabah
sesekali irama rindu ini bikin gaduh,
kapan akan sampai?
lelaki pedati guru sejati, pemacu nafas ke hadiratMu

Gresik 2010





LUQMANUL HAKIM, lahir di Gresik, Jawa Timur,. Bergiat di Wisma Poetika dan Sanggar Jepit, wahana penulis dan kesenian di Yogyakarta. Sempat aktif di Teater Eska, Kreseg (Kreasi Seni Arek Gresik), teater HAVARA dan ketua EXIST (MA Assa’adah bungah Gresik) dan Cinemage (Cinema Image Production) yang bergerak dalam film dokumenter, juga LPM Advokasia dan PSKH (Pusat Studi dan Konsultasi Hukum). Juga pernah menjabat sebagai ketua IMAGE (Ikatan Mahasiswa GRESIK di DIY). Sekarang partisipan KOTA SEGER (Komunitas Teater se-Kabupaten Gresik) dan PIMRED bulletin KOTA SEGER News. Pengurus harian LPSM (Lembaga Pendidikan Sosial Masyarakat) di Desa Sekapuk.Sebagian karyanya dalam antalogi bersama “Kitab Puisi I Sanggar Jepit.” Karya puisi dan cerpen dipublikasikan di daerah dan nasional, di antaranya: Majalah Sabili, Balipost, Pers mahasiswa UIN Sunan Kalijaga (Arena dan Advokasia), dll.


Mengingat Nautilus, Menengok Lovinesha, esai Abdul Aziz Rasjid

Lewat tengah hari, 21 Maret 1868, Kapten Nemo menggelar bendera hitam bertuliskan huruf emas N yang terputus–putus di atas kain tipis. Dia, lalu berpaling ke arah matahari yang mengirimkan sinar terakhirnya menjilati laut. Di Kutub Selatan, Kapten yang penuh teka-teki itu berdiri di puncak medan yang setengah porfiris setengah basalt, memandang hamparan ice-field yang menyilaukan, terkesima oleh Nautilus kapal selamnya yang terlihat seakan cetace sedang tidur.
Di lingkungan udara yang berbau belerang itu, Kapten Nemo teringat pada pelaut-pelaut yang selalu gagal menginjakkan kaki di Kutub Selatan. Dia pun lalu berucap: “Selamat berpisah, matahari! Pergilah, benda langit yang berkilau! Tidurlah di bawah laut tanpa es ini. Biarkan malam enam bulan mengembangkan kegelapannya di atas tanah milik saya yang baru ini!”
Tapi, Kapten Nemo tak ditakdirkan untuk kembali ke Kutub Selatan. Nautilus, kapal selam yang perkasa itu terseret ke dalam Maelstrom —pusaran samudera— di perairan Norwegia. Dengan sengaja atau tidak, ke pusaran itulah Nautilus telah dibawa oleh sang Kapten setelah bertualang 20.000 mil di bawah lautan, mengunjungi Suez sampai Amazon, menemukan Atlantis, memandang penduduk asli Papua, mengamati penyelam di Kreta dan menenggelamkan sebuah kapal perang bersama seluruh kelasi-kelasinya. Di ujung petualangannya, Kapten Nemo hanya berucap, “Tuhan yang Maha Kuasa! Cukup! Cukup!”, dadanya yang ditekan tampak membusung oleh tangis.

/I/
Begitulah, sekelumit cerita Jules Verne dalam novel Vingt Mille Liues Sous Les Mers1. Kegemaran Verne memperdalam pengetahuan di bidang matematika, fisika, geografi, biologi fauna & flora untuk menunjang kerja kepengarangannya, pada akhirnya mengangkat namanya sebagai pionir sains fiction. Bahkan yang menarik, alat-alat yang ia imajinasikan dan ia idamkan dalam novelnya itu lalu menjadi realita di abad ke-20. Kapal selam nuklir pertama yang berhasil diciptakan manusia dinamakan Nautilus, serupa dengan nama kapal selam Kapten Nemo dalam novel itu.
Jules Verne yang lahir di Nantes, bagian utara negeri Prancis pada tahun 1828, memang menempatkan alat-alat yang ia imajinasikan dan idamkan bukan sekadar sebagai penunjang cerita. Verne seakan ingin membuat semacam rancangan yang dapat difungsikan oleh ilmuwan di masa mendatang, maka tak mengherankan jika ia juga menjelaskan secara rinci bayangan pembuatannya. Semisal tentang peralatan yang dibutuhkan dan bagaimana kapal selam Nautilus mendapat energi di bawah laut. Simak kutipan ini:
Inilah peralatan yang harus dimiliki untuk membikin Nautilus bergerak … Beberapa telah anda kenal. Barometer memantau tingkat kekeringan atmosfir, ‘strormglass’ jika terurai, campurannya mengabarkan kedatangan badai. Kompas menunjukkan jalan saya; sextan, melalui ketinggian matahari memberitahu saya garis lintang saya; akhirnya kaca pengintip cakrawala, di saat nautilus naik ke permukaan air (hlm. 91) … Anda mengetahui komposisi air laut. Dari seribu gram diperoleh sembilan puluh enam-perseratus setengah air, kira-kira dua-perseratus duapertiga klorur sodium, dalam jumlah kecil klorur magnesium dan potasium, bromur magnesium, sulfat magnesium, sulfat dan karbonat kapur. Jadi, Anda lihat bahwa di situ ada cukup klorur sodium. Dengan sodium yang saya ambil dari air laut itulah saya menciptakan kekuatan energi dari laut (hlm. 92-93)
Apakah dengan perincian semacam itu, novel Verne akan membosankan jika dibaca? Jawabnya tidak. Karena Verne juga piawai membentuk tokoh yang berkarakter dalam novelnya, meramu konflik, memerkarakan mitos dan tentu memuat unsur-unsur filosofis. Semisal saja, ketika kapten Nemo menjelaskan mengapa ia lebih memilih kehidupan di bawah laut. Simak kutipan berikut:
“Dapat dikatakan bumi dimulai dari laut, dan siapa tahu dia akan berakhir lewat laut pula. Laut adalah ketenangan yang paling tenang. Laut bukan milik orang-orang yang lalim. Di permukaan laut, orang-orang itu masih bertindak sewenang-wenang, berkelahi, saling melahap, menyebabkan semua kengerian duniawi. Tetapi pada 30 kaki di bawah permukaan laut, kekuasaan-kekuasaan itu berakhir. Pengaruh mereka berhenti, kekuatan mereka hilang … di situ ada kemerdekaan! Di situ saya tidak mengenal majikan. Hanya di situ saya bebas!” (hlm. 81)
Teringat pada pentingnya kepiawaian memadukan sains dan pengolahan cerita dalam novel semacam Vingt Mille Liues Sous Les Mers karya Jules Verne itulah, saya kemudian ingin membicarakan novel Lovinesha (penerbit Galur & Inti Media Jogja: 2010) karya Inneke Eko2. Sebab, setelah membaca 192 halaman selama dua malam, saya kira dalam beberapa sisi, novel Inneke—jika ditulis dengan kedetailan, ramuan konflik, keberanian mengembangkan daya ucap dan wawasannya—memiliki potensi untuk menjadi penuh wawasan dan memukau semacam karya Jules Verne. Sebab, tokoh dalam dua novel itu sama-sama digambarkan secara realis dengan memuat unsur tentang peralatan yang belum berhasil diciptakan oleh manusia di zamannya—Kapal Selam dalam novel Verne dan Mesin Waktu dalam novel Inneke—untuk bukan sekedar sebagai penunjang plot, bukan sekedar sebagai penguatan hukum sebab-akibat.

/III/
20 September 1980. Nesha menulis catatan hariannya dalam diari yang sampulnya bertuliskan LOVINESHA. “Dia bilang…dia hanya ingin menunda punya anak, sampai aku berumur 40 tahun! Ya Allah, apa artinya ini!!!”
Sebuah catatan yang mengejutkan, mungkin pula tampak konyol. Apalagi bila alasan keputusan hadir dari seorang suami dan tak dimengerti oleh sang istri, “Ya Allah, apa artinya ini!!!” Bukankah anak adalah berkah tak terkira dalam hubungan rumah tangga. Lalu mengapa mesti menunggu sampai 40 tahun? Lalu apa yang sebenarnya terjadi?
Empat tahun kemudian, tepatnya 29 Agustus 2009. Nesha meneruskan catatan di diarinya: “Dhias sayang, aku sudah tahu dari ayahmu tentangmu. Aku tak percaya. Tapi apa si yang Vino pikirkan waktu membuat mesin begitu… Tidak seharusnya dia mengorbankan kamu untuk membantu kami. Kalau seandainya Vino tidak berpikir cepat dan mengetahui kalau kamu itu anak kami dua puluh tahun yang akan datang, kemungkinan besar kamu akan kehilangan banyak waktumu di sana.”
Dalam catatan itu, ada seseorang yang memutuskan untuk mengubah sesuatu di masa lalu, sedang di pihak yang lain ada yang tak ingin mengubah masa depan. Masa lalu itu adalah orang tua bernama Nesha dan Vino, masa depan itu adalah seorang anak bernama Dhias. Ada perantara yang kemudian berhasil mempertemukan keluarga itu di masa lalu: Mesin Waktu yang dibuat demi LOVINESHA.
Tapi, mesin waktu itu tak menghasilkan kebahagiaan yang final, ada hal yang mampu diubah dan tak mampu diubah. Nesha dan Vino memang kemudian menikah di usia 20 tahunan—sebab sebelumnya mereka menikah di usia 40 tahun—karena sang Anak kembali ke masa lalu bersama mesin waktu untuk mengubah takdir pernikahan orangtuanya. Tetapi pada akhirnya sang anak, Dhias namanya ditunda kelahirannya sampai 20 tahun kemudian.
Pasalnya: Bila Dhias lahir sebelum usianya ibunya 40 tahun, maka Dhias dimungkinkan akan tiba di masa depan dengan keadaan berbeda. Maka, di sinilah menariknya, ibunya sebenarnya memilih mati saat melahirkan anaknya di usianya yang menuju renta3. Lewat Diary, ibu Dhias menuliskan pesan yang sebenarnya mengharukan walau ditulis dengan kesan ceria: “Ibu mohon, kunjungi ibu kalau ada kesempatan. Oke, sayang.”
Begitulah, sekelumit cerita yang dikisahkan Inneke Eko dalam novel Lovinesha. Berpangkal pada seorang anak yang menggunakan mesin waktu ciptaan ayahnya untuk mengubah takdir keluarga. Dalam novel Lovinesha, mesin waktu menjadi pintu, namun sayangnya ada yang terasa absen disana: kurang adanya kesungguhan untuk perhatian menggambaran secara detail guna menunjang kekuatannya sebagai imajinasi yang dapat mendudukkan potensi keluasan wawasan dan keberanian berpikir si juru cerita untuk memperkuat novelnya. Tak ada penggambaran rinci bagaimana mesin ini mesti dibuat. Inneke hanya menggambarkan wilayah permukaan. Simak paragraf ini:

Lampu-lampu aneh itu itu pastinya bukan lampu biasa. Entah cahaya dari mana. Hingga efek cahaya merah tadi membuat dia terperanjat kagum. Selama dia menggeluti sains, belum pernah ia melihat cahaya begitu (hlm. 32) … Kertas-kertas berisi sketsa dan juga kerangka-kerangka mesin. Di situ dia menemukan catatan bagaiman ayahnya membuat mesin pertama kali. Cara kerjanya, dan pembuatannya seperti apa (hlm. 33).
Cara kerja, gambaran sketsa juga kerangka-kerangka dan unsur-unsur pembuatan memang tak tampak untuk lebih dijelaskan. Maka, dapatlah diasumsikan bahwa mesin waktu hanya sekedar menjadi penunjang cerita. Yang saya sesalkan, Inneke sudah menyinggung Novel bertajuk The Time Machine karya H.G. Wells yang mencetuskan ide tentang perjalanan waktu dan kemungkinannya untuk menjadi kenyataan lewat pembenaran teori relativitas Einsten (hlm.39), sayangnya novel itu hanya dijadikan sebatas informasi, bukan referensi yang memperkuat, memperkaya cerita.

/III/
Dalam novel ini, mendudukkan pengimajinasian mesin waktu sebagai pusat cerita yang memperkaya kekhasan keluasan wawasan, kepiawaian dalam pengucapan juru cerita, atau keberanian untuk menyumbang masukan bagi penelitian ilmuwan di masa depan, agaknya harus dilupakan. Tapi, mungkin pula pernyataan saya akan terjawab tuntas ketika Dhias dalam cerita selanjutnya hendak menggunakan mesin waktu untuk bertemu dengan Albert Einsten (hal 192), dan menjelaskan dengan rinci tentang mesin waktu di antara petualangan-petualangan seru macam Kapten Nemo dalam Nautilus.
Untuk saat ini, saya lebih cocok, untuk menengok novel Lovinesha sebagai novel yang memiliki ciri sebagai novel populer4 ketimbang novel serius, sebab setelah mencermati indikator dalamnya yang menyangkut unsur-unsur intrinsik novel, Lovinesha cenderung lebih mengangkat gambaran lika-liku keusilan dan kenakalan remaja di usia pubertas–tokoh-tokoh pentingnya bertemu sebagai siwa SMU dan latar peristiwa banyak di sekolah—dengan sifat khas remaja semacam mudah berkelahi dan minggat (ditampakkan lewat tokoh Vino) saat terjadi konflik semacam rebutan kekasih atau pertengkaran dengan orang tua. Penggambaran kekhasan remaja yang umum itu membuat tak ada kemungkinan lain bagi pembaca untuk memperoleh gambaran yang unik dan berbeda tentang remaja.
Garis besar yang saya tandai dalam Lovinesha, adalah pesan tentang upaya-upaya perencanaan manusia dalam mengidamkan keidealan hubungan keluarga. Dimana, setiap perencanaan tak mesti menghasilkan kebahagiaan yang final, harapan tak seratus persen berkesesuaian dengan kenyataan.


Catatan
1 Dalam edisi Bahasa Indonesia, novel ini berjudul 20.000 Mil di Bawah Lautan. Terj. Nh. Dini. Diterbitkan oleh Enigma Publishing: 2004.
2 Lovinesha merupakan novel perdana Inneke Eko, novel ini diberi kata pengantar berjudul “Telah Lahir Penulis Berbakat” oleh Ahmad Tohari. Inneke sendiri masih tercatat sebagai mahasisiwa FKIP Program Studi Pendidikan Matematika dan bergiat di Komunitas Sastra Bunga Pustaka Purwokerto.
3 Baca hlm 26, paragraf tiga, novel Lovinesha. Di paragraf itu Dhias menceritakan bahwa ibunya meninggal sehari setelah dia lahir.
4 Uraian lengkap tentang ciri novel Populer dapat dibaca dalam buku 9 Jawaban Sastra Indonesia. Sebuah Orientasi Kritik yang ditulis Maman S. Mahayana (Bening Publishing, Jakarta Timur, 2005)



Abdul Aziz Rasjid, peneliti Beranda Budaya. Tinggal di Purwokerto, aktif menulis esai dan kritik tentang kesusastraan. Beberapa tulisannya dimuat di Kompas, Jawa Pos, Suara Karya, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Suara Merdeka, Seputar Indonesia, Lampung Post, Radar Banyumas, Radar Tasikmalaya, Jurnal Yin-Yang, Majalah Sastra Littera (Taman Budaya Jawa Tengah), Buletin Sastra Pawon, dan sejumlah antologi bersama.