Sunday 9 January 2011

Festival Sastra Pawon Solo: TANDA SERU!, 22-23 Januari 2011 di GKS


Sabtu, 22 Januari 2011

09.30 - 11.00 wib
Diskusi: Sastra Solo Mau Dibawa Kemana?
Tempat | Gedung Kesenian Solo (GKS)
Pembicara | Agus Budi Wahyudi (UMS), Dwi Susanto (UNS)*, Wijang Wharek (TBJT)*
Moderator | Yunanto Sutyastomo
Koordinator Acara | Bandung Mawardi
GRATIS

11.30 - 13.00 wib
Launching 2 Buku:
Buwun - Mardi Luhung

Tempat | Gedung Kesenian Solo (GKS)
Pembicara | Beni Setia
Moderator | Dwicipta*
Koordinator Acara | Fanny Chotimah
GRATIS

13.30 - 15.30 wib
Napak Tilas Novel Canting-Arswendo Atmowiloto,
di Kampung Batik Kauman
Pembicara Sejarah | Heri Priyatmoko
Pemandu Acara | Indah Darmastuti
Koordinator Acara | Indah Darmastuti
GRATIS

16.00 - 17.30 wib
Bincang-bincang: Merancang Novel
Tempat | Perpustakaan Radya Pustaka
Pembicara | Sanie B. Kuncoro
Mpderator | Han Gagas
Koordinator Acara | Puitri Hati Ningsih
Tiket Rp. 5.000

19.00 - 21.00 wib
Pentas: Muni-muni Puisi
Tempat Ngarsopuro, Slamet Riyadi
Koordinator Acara | Fanny Chotimah & Anna Subekti
GRATIS

Minggu, 23 Januari 2011
09.00 - 11.00 wib
Workshop: Membuat Cerita yang tak Sekedar Cerita
Tempat | Taman Bale Kambang
Pembicara | Raudal T. Banua (Jogja)*
Moderator | Indah Darmastuti
Koordinator Acara | Indah Darmastuti
Tiket Rp. 10.000

11.30 - 13.00 wib
Diskusi: Esai yang Memikat, Esai yang Keparat
Tempat | Gedung Kesenian Solo (GKS)
Pembicara | Munawir Azis
Moderator | Bandung Mawardi
Koordinator Acara | Bandung Mawardi
GRATIS

13.30 - 15.00 wib
Saatnya Menerbitkan Buku
Tempat | Gedung Kesenian Solo (GKS)
Pembicara | Bambang Trim (Tiga Serangkai)*
Moderator | Fanny Chotimah
Koordinator Acara | Han Gagas
GRATIS

15.30 - 17.00 wib
Curhat Sastra: Merayakan Buku
Tempat | Gedung Kesenian Solo (GKS)
Pembawa Acara | Bandung Mawardi
GRATIS

*dalam proses

Antologi Sastra, review Noviane Asmara

Dalam Bahasa Sunda yang kebetulan merupakan Bahasa Ibu saya, Pawon berarti dapur.

Saya tidak tahu secara pasti arti Pawon dari judul buletin yang berisi kumpulan cerita pendek ini. Apakah sama-sama berarti dapur atau bukan. Mungkin bisa saja berarti dapur, dengan maksud dapur sastra. Tempat mengolah tulisan baik cerita fiksi, cerita non fiksi, puisi, karikatur ataupun berita untuk dimasak agar menjadi sebuah santapan atau sajian yang enak dan menggugah selera para pembaca, seperti saya.

Buletin Sastra Pawon ini begitu tipis, hanya 96 halaman saja. Tetapi jangan salah, karena di dalamnya terdapat banyak cerita pendek, esai, dan esai. Ups, tidak hanya cerpen, esai dan puisi saja, tetapi ada juga ulasan berita tentang liputan Ubud Writer and Reader Festival 2010, yang didakan di Ubud bali beberapa waktu yang lalu.

Kali ini saya tidak akan khusus mengulas tentang isi salah satu dari cerpennya saja. Saya ingin mengulas keseluruhan isi dari buletin ini.

Buletin Pawon ini, berisi dari lima cerpen, lima puisi dan lima esai ini, rata-rata ide ceritanya masih mengusung kisah kehidupan manusia dan cinta. Dan ada satu dari cerpen ini yang menjadi favorit saya, yaitu Perempuan Sunyi karya Gendut Pujiyanto.

Terus terang saya suka dengan ide ceritanya, tapi saya kurang puas dalam membacanya, karena baru saja membaca, tiba-tiba semuanya selesai. Itulah cerpen. Saya berharap Perempuan Sunyi ini bisa ditulis menjadi novel, karena saya yakin ceritanya masih belum tuntas dan sayang bila hanya dituntaskan sampai di situ saja.

Akan lebih menarik bila dibuat luas menjadi satu novel dengan pengembangan dari segi latar belakang si Perempuan Sunyi ini. ini hanya sekedar usul dari rasa ketidakpuasan saya saja.

Adapun nama-nama penulis yang cerpennya berada di Pawon ini rata-rata adalah mahasiswa yang mempunyai hobi menulis, seperti Made Kartika Sari dan Gendut Pujianto. Tapi ada pula penulis yang beberapa tulisannya sudah pernah diterbitkan di media-media cetak, seperti Santoso Rukatam.

Esai-esai yang berada di Pawon ini pun tak kalah menariknya. Salah satu esai yang saya suka adalah esai dari Sartika Dian Nuraini, yaitu Perempuan dan Seksualitas: Tafsiran The diary of young girl. Begitu pula dengan esai Bandung Mawardi tentang Hajat Sastra Khotbah. Esai yang sangat menarik buat saya dan memberikan banyak informasi dan pembelajaran.

Satu lagi yang menjadikan Pawon ini begitu beragam, layaknya bumbu yang berada di dapur. Pawon juga menghadirkan kartun lucu hasil oretan dari Anton WP, yang pasti sudah tidak asing lagi namanya untuk kita. Ternyata Anton WP ini tidak hanya fasih menulis kisah Mitologi dan cerita fiksi. Tapi beliau juga sangat fasih menggoreskan penanya menjadi karikatur dengan cerita plesetan yang lucu. Menjura untuk Mas Anton WP.

Bahagia sekali rasanya bila satu hari nanti puisi-puisi saya yang jumlahnya lumayan banyak itu dan selama ini hanya menjadi penghuni setia hard disk komputer saya, bisa dimuat di buletin sastra Pawon ini. Buletin yang dibagikan secara gratis di setiap acara-acara sastra di Solo.

Terima kasih untuk Mas Yudhi Herwibowo yang telah baik hati memberikan buletin sastra edisi 31 tahun III/2010 ini pada saya. Semoga walau saya tidak berdomisili di Solo dan belum pernah mengikuti acara-acara sastra di Solo, tetapi saya akan selalu berkesempatan membaca rutin buletin sastranya.

Sebagai penutup, saya akan menuliskan satu puisi dari I Putu Gede Pradipta yang berjudul Tilas. Puisi-puisi karya beliau ini telah wara-wiri di Harian online Kabar Indonesia, Bekasinews, Koran Digital dan Kompas.com.

Tilas

Kembaranku yang berjumpa samadi debu
Di ilang lintas napas waktu
Berakhir linglung lunglai
Di paha belati runcingmu

Sesayat, tetikam, rerajam
Adalah permainan kanak kita
Yang alpa dengan segala cemas suara ibu
Namun begitu gegas pula
Bingkah bayang perih masa bertandang
Mengoyak rumbaian nanar tatap
Menaut sepintas cakap kematian kita
Yang getas dan tak pernah tuntas mendewasa
Kita pun larut makin keriput
Makin keriput

Sunday 2 January 2011

Pengakuan Terlarang; Catatan Curhat Penulis Sastra, oleh Arif Saifudin Yudistira

Review LintaSastra #2 : Pengakuan Terlarang

Obrolan singkat, ringan, dan sedikit banyak ditemani dengan canda tawa membicarakan sastra dan penulis idola. Tak dirasa, peserta pun mulai berbicara satu demi satu mengisahkan para idolanya. Idola begitu penting untuk dihadirkan dalam konteks penulis, karya kepenulisan dan iman menjadi penulis, itu menurut salah satu peserta. Begitupun, ada yang menganggap idola tak begitu penting dan mengganggu.

Kehadiran idola mengundang perdebatan ringan yang asyik dalam curhat penulis idola. Ada penulis esai, penulis puisi, penulis cerpen dan novelis solo buka rahasia mereka tentang bagaimana penulis idola di mata mereka. Simak saja kisah dari Sannie.B. kuncoro yang blak-blakan tentang arti penulis idola bagi dirinya : “Saya suka membaca semua buku, karena saya berangkat dari orang tua yang kurang mampu menghadirkan wacana-wacana di hadapan saya, maka saya memperolah buku dari meminjam dan rental. Dari sanalah saya membaca komik-komik dewasa, ada adegan ciuman, ada adegan yang gitulah…tetapi saya tidak mengambil itunya. Saya menemukan keindahan disana, aspek keindahan itu pula yang mempengaruhi proses kepenulisan saya dalam novel”.
Begitulah sedikit kisah mbak sanie seorang penulis novel garis perempuan dengan blak-blakannya menulis novel dengan bahasanya yang indah ternyata berawal dari kesukaan membaca komik yang indah-indah pula. Lebih lanjut mbak sanie juga mengungkapkan : “ Saya mengalami pergerakan membaca, berbeda dari keadaan dulu dengan sekarang yang cukup banyak uang, tetapi sampai saat ini saya tetap tidak memiliki idola, ternyata idola malah jadi beban bagi seorang penulisnya”. Karena saya ketika sudah mengidolakan penulis tertentu, saya akan menanti-nanti kelanjutan kisah yang ditulisnya seperti waktu itu saya mengidolakan arswendo atmowiloto, makanya saya memutuskan untuk tidak mempunyai penulis idola.
Dari bermacam-macam latar belakang penulis, para peserta dan sekaligus pembicara pada malam itu pun mencurahkan pendapatnya. Budiawan misalnya,ia mengungkapkan pengalaman pribadinya yang tak jauh beda dengan mbak sanie. “ Saya terprofokasi menulis, ketika pertama mendengar bandung mawardi,saya mendengarkan dia khotbah, ia benar-benar khotbah, saya menikmatinya,meski teman-teman yang lain menertawakan dia”. Jujur saya jadi senang sama dia, dia masih menyapa dengan sms-smsnya sekedar kabar kalau tulisannya nongol di Koran, saya jadi mengidolakan dia, dan itu membuat saya justru kacau, karena tulisan saya jadi setengah saja kemudian saya tinggal.
Berbeda dari mbak sanie dan budiawan, muncul pengakuan dari seorang dosen bahasa Indonesia yang blak-blakan mengakui proses dia bersastra. Bu rahmah, beruntung,,,beruntung itu yang bisa saya katakana saat ini. “ Saya merasa dilahirkan dari keluarga yang beruntung, ibu saya guru, saya mendapatkan majalah bobo dari ibu saya. Tapi saya juga sangat sedih, karena ibu memperolah bobo dari majalah loakan. Mulai dari sanalah saya kemudian diajak ibu bertualang untuk mencicipi buku- buku balai pustaka, harapannya saya kemudian menjadi anak yang baik, tidak nakal, dan sebagainya.”Mulai dari novelsalah pilih itulah, saya kemudian disarankan ibu mengikuti berbagai lomba. Dan waktu itu dalam sebulan saya bisa memenangkan 8 lomba sekaligus sebagai juara pertana. Kalau berbicara idola, saya juga mengidolakan soekarno yang begitu lantang memimpin negeri ini, kemudian dari soekarno, ada sastrawan yang ternyata diam-diam saya kagumi, saya cinta Ahmad Tohari”. Dan saya ingin sekali membuat novel, tetapi belum tersampaikan.
Membaca & Menulis
Aktifitas membaca selalu beriringan dengan aktifitas menulis. Menulis akan terasa kering tanpa diimbangi aktifitas membaca yang tinggi. “Apa yang kita tulis adalah apa yang kita baca” begitu penuturan Mas Yudhi Herwibowo. Proses kepenulisan saya sangat jauh belum seperti sekarang. “ Saya suka yanusa nugroho dan Seno gumira” begitu dia menutup pengakuannya. Bandung mawardi memulai pengakuannya dengan menjelaskan latar belakang sosio kulturalnya yang menjadi bagian dari peristiwa 98. Dan pada waktu itulah, ia menjarah kemudian dibelikan buku-buku. “Saya kesulitan ketika memulai dengan membaca hamka tenggelamnya kapal vanderwijks”. Kemudian saya membaca Catatan pinggri GM. Lama-kelamaan saya menjadi pengagum dia, essai-essai saya pun sepertinya demikian. Mengumpulkan serpihan- serpihan yang kemudian memecahkannya”. Meski pada masa-masa berikutnya bandung mawardi kemudian menuliskan puisi, ia menolak untuk berkonsentrasi disana, karena pembaca sudah merasa sinis, dan dia merasa esai begitu cocok dengan dia, meski public pun kesulitan membaca esai-esainya, “karena saya senang dengan GM dan merasa sekelas GM”.
Acara curhat sastra dengan mengangkat tema penulis idola tanpa sadar membawa kita pada pengakuan yang tanpa sadar membuka diri dengan segenap keimanan, bahwa penulis memiliki keterbukaan hingga pada sisi-sisi yang paling dapur. Keterbukaan dan keberimanan penulis akan ketulusan berbagi itu pula yang menjadikan penulis menjadi seorang penulis yang sesungguhnya. Berkaitan dengan sastra, ternyata perkembangan sastra ada hubungan kausal, hubungan yang cukup intim antara bacaan, latar belakang sosio kulturalnya, juga hadirnya penulis idola yang menghadirkan Tanya, “ternyata sastra bisa membawa kita pada pengakuan terlarang, meski tanpa sadar”.
Pengakuan itulah yang sampai saat ini membawa kita pada sebuah keyakinan, sastra masih hidup dengan berbagai dinamikanya, tetapi cara menjadikan sastra lebih mengena sepertinya perlu difikirkan, sebab penulis, sastrawan, esais, atau apapun itu membutuhkan proses untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
Akhir dari tulisan ini adalah, meski kita membeberkan pengakuan terlarang, ternyata sepanjang diskusi sampai akhir. Tanpa sadar pengakuan terlarang pun membawa pulang kesan di masing-masing peserta sekaligus pembicara. Karena kitalah pemilik masa depan berikutnya.

Arif Saifudin Yudistira
Kawah Institut