Saturday 10 December 2011

Notulensi Adili Buletin Pawon edisi 33, Balai Soedjatmoko Senin, 14 November 2011, oleh Fanny Chotimah

Miftah: Membuka pengadilan sastra Adili Pawon edisi 33, memanggil dan mengenalkan ketiga pembicara: Lasinta Ari Narendra, Andri Saptono dan Anna Subekti.

Andri Saptono:
Saya tidak mempersiapkan untuk sebuah pengadilan sastra. Pengalaman pribadi saya sulit untuk menjadi semacam pengunjung yangg pertama kali datang, membaca pertama kali. Membagi pengalaman saya. Perjumpaan saya dengan Penari Bumi, saya sudah baca disitus Niko ada gambar-gambar saya tertarik mengikuti. Saya merasa seperti berada di sebuah dunia dewa-dewi, eksotik dengan kacamata orang luar soal metafisika. Mungkin ada hal yg menarik untuk dijelajahi. Nama-nama tokoh: Kamala, Vidya, Banespati tidak mengesankan seperti kisah misteri yang agak murahan bahasanya cengeng. Cerpen ini dunia sendiri seperti ranah dunia hindu, saya baca kedua atau ketiga kali. Teman saya pelukis yang saya pinjamkan dia merasa tersedot ke sebuah dunia yang dia alami. Keunggulan yang baik bagi penulisnya, agama hindu yang dianut penulis. Membuat apa yang dia ketahui dia tulis. Puisi saya tidak bisa mungkin kekurangan saya.

Sepotong kenangan dari sebuah kisah karya Ika Kurniati, ingatan saya langsung teringat pada bagian terakhir kalimat (dibacakan penggalannya). Kalimat yang sangat indah sekali, merasakan kepedihan yang sama empati seorang pelacur yg digunakan demi sebuah penelitian. Cerita seperti sebuah sinetron, kita lebih memilih untuk sebuah keputusan yang harus diambil meskipun seperti bukan sebuah kisah yang ingin kita dengar.

Lasinta:
Pertama kali saya membaca langsung tertuju pada Penari Bumi pertama kecewa halamannya kok banyak. Dari halaman pertama Niko membuat saya ingin tahu tanpa sadar sudah saya baca semua. Kenapa Cuma segini saja? Dari segi penulisan kenapa Cuma segini saja?

Malam Berlalu- Ekwan N. Wiratno terasa biasa saja, seperti baru menulis cerpen. Dan ternyata dari biodata dia biasa menulis puisi.

Puisi sepintas saja, Noura Nahdiyah pesan bagus hanya saja belum bisa memadatkan makna pada sebuah kata. Kalimat ini seperti sebuah kisah, daun sebuah rasa atau harapan.

Sebuah jaman yang berbeda. bermuara pada sebuah pertemuan yaitu kematian.
kalimat kurang berguna beras mengalir dengan air keras. Maju pasti ke depan mundur ke belakang tak perlu diperjelas. Bancana, cobaan membuat kita menjadi lebih dekat

Puisi Arif, mas Arif ingin bercerita soal apa. Di KBBI enggak ada, googling di Kabut Institute untuk diposting. Untuk Wiji Thukul puisi ini bagus bercerita suatu masa. Masa sekarang lebih berat dari masa lalu. Titik yang menangis.. aku bingung lagi yang menangis diambil dari mana. Titik bisa memaklumi diambil dari judul.. Ayah-

Puisi Fatih, 00:00, kegelisahan dibutuhkan utk membuat kita maju, arti tangisan untuk mengerti sebuah tawa. Puisi Fatih, Senggeger II.

Cover- perbedaan sebuah zaman, gadis barat gaya hidup kebarat-baratan.

Miftah:
Penyair kesulitan saat menulis cerpen, tapi merangkai kata lebih indah. Cover kata-katanya bukan modelnya. Anna apakah akan membedah Esei Bandung yang tak laku di media, Saeful Achyar di Republika, Seniman Salon dan Pohon Mangga?

Anna:
Agak merinding harus mengadili Bandung Mawardi, Yudhi, Fanny saya pembelajar ingin menulis juga seperti teman-teman. Sejarah kepenulisan saya jauh, membaca Pawon siklus bulanan setahun terakhir. Saya menulis, Ideologi dalam kata artikel untuk Pawon. Teman Pawon tidak menggunakan senjata apapun selain kata. Eksistensinya 4 tahun, sarat ideologi penerbitan dengan anggaran pribadi. Ideolgi tidak harus soal Pawon, ada sejarah kepenulisan ada pembelajaran. Menerima Pawon apa adanya, saat diposisikan untuk pembahas saya mau membahas apa? Ada penulis dari NTB menulis di Pawon, (memperlihatkan 4 edisi Pawon) harus ada perbaikan di sini. Hampir punya ciri khas tertentu, enggak masalah ada satu sisi kalau dari jauh bisa jadi ikon buat Pawon. Di satu sisi ada kegelisahan bagi saya, masa pawon gitu2 aja sih? Saya kasih teman, komen dong komplain font. Buatku enggak ada masalah, meniru Kompas ada ilustratornya. Pawon bisa bikin juga dengan mengajak teman-teman lain utk ilustrasi. Isinya saya bahas sedikit.

Niko itu ganteng.

Teman-teman membawa gagasannya masing-masing, membawa ideologinya tentang go-green jangan menebang pohon. Subjektif karena saya kenal Niko secara personal. Cerita tentang dongeng, mitos-mitos, menebang pohon akan ada ular yang membunuhmu. Bahasa anak-anaknya menebang pohon itu tidak baik.

Puisi Arif Yudisthira: Gerakan sejuta umat menolak SBY ternyata ini masuk ke puisi dia, pesan membunuh dari kawat nomor satu. Itu pasti SBY. Untuk kesekian kalinya aku enggak berani membahas esei.

Miftah:
Ketiga pembicara belum membahas esei, dari teman-teman bisa membahas.

Penampilan Stargas dan Niko- musikalisasi Penari Bumi.

Saya memiliki pengalaman personal dengan Niko, waktu itu Pawon dijual 2rb Niko meminjamkan aku. Sesi selanjutnya apakah temen2 yang mempunyai semacam pendapat atau gugatan kepada para pengadil. Silakan sama penulis yang hadir, punggawa pawon, tiga pengadil.

Pak Agus:
Menanggapi pembicara yang paling cantik, kritikan kepenampilan Pawon. Saya tidak setuju dengan pembicara. Karena bandingannya begini. (Menunjukkan Booklet Sensus Pajak berwarna) dari uang kita. Saya setuju kalo Pawon menampilkan kata tapi tidak menampilkan visual. Walaupun di Indonesia banyak penggambar yang gambarannya indah. Tapi kalo bersastra yang perlu adalah kata. Senjatanya cukup kata, jika kertasnya bagus saya tidak akan baca. Melawan media di Indonesia. Tampil sesederhana mungkin tapi berisi. Saya tidak pernah beli majalah bagus. Kenapa? Itu tidak menemukan keindahan tapi mengambil keindahan.

Semuanya basa basi tidak berani mengkritik esei, siapapun penulisnya. Dengan membuat mencetak dan membacanya sendiri. Pandangan menjelekan orang yang tulisannya tidak dimuat di media. Media pengen soto kita buat pecel enak. Kecuali pesanan pesannya soto dia membuat sontoloyo hehehe..
Saya tidak mengadili tapi langsung mengkritik.

Anna:
Terima kasih buat ininya.. saya tidak mengadili Pawon saat ini yang tengah menjadi dirinya sendiri. Ada komunitas lain yang medianya gambar, kan menarik jika ada barter. Media baca dan media keindahan, ada komunikasi dengan komunitas media lain.

Miftah:
Jangan memandang dari luar tapi isinya, silakan teman yang lain? Mas Bimo?

Bimo:
Mengkritik EYD-nya, tidak ada footnote di esei mas Bandung Mawardi Ronggowarsito.. saya tidak mengerti. Cerpen Ika bahasa gaul digaris miring. Esei Saiful Achyar, dimuat di media lain? Apa sih fungsi redaksi Pawon toh tidak ada embel-embel tidak dimuat di media manapun. Apakah redaksi hanya mengumpulkan tanpa mengedit? Silakan Pawon menjawab?

Arif:
Cover mas Yudhi, esei mas Bandung terburu ngomong Gunawan Mohammad sepintas, Budi setiawan eseinya terlalu memaksakan padahal penulis Kompas, harusnya lebih bagus lagi. Tidak dimuat di media manapun usul mas Bimo harus di-folow-up-i. Dari Anna, relasi Pawon dengan komunitas lain.

Miftah:
Silakan dari redaksi Pawon untuk mengulas komentar-komentar?

Yudhi:
Rencananya redaksi tidak usah ngomong ada sesinya nanti. Tentang kolaborasi sudah dilakukan dengan pelukis, untuk konsistensi agak susah. Ilutrasi? Kita pernah punya ilustrator masalahnya kami tidak punya cukup dana. Cover-cover-nya selalu ada 2 alternatif. Cuma yang kali ini edisi terlambat dana tidak ngumpul-ngumpul, terlambat 3 bulan. Kasus tulisan yang sama saya sudah menjawab. Sudah cukup lama, kami terlalu lama menyimpan tulisan itu. Kami tidak memberi respon dimuat apa tidak. Yang di Batavia 9 September, naskah sudah diterima tapi belum diolah. Fungsi redaksi memilih dan mengedit secara sederhana, naskah yg masuk cukup banyak. Ada satu penulis yang sekali dimuat kirim lagi 5-6 cerpen. Itu menolaknya gimana? Penulis yang pertama kali dimuat lebih kami utamakan.

Cerpen kali dinilai 1-10 mungkin Cuma 5, Ika salah satunya yang kita olah. Bahasa sengengekan bisa ditampilkan miring atau tidak. Akan EYD seketat apa, Pawon fleksibel tidak seperti Horison.

Miftah:
Pemuatan di media lain? Apakah boleh ada pemakluman? Dulu mungkin pernah di Solopos.

Yunanto:
Etisnya harusnya tidak, jangankan di Pawon media yang profesionalpun kecolongan. Ini Cuma persoalan boleh atau tidak. Tapi tanggungjawab itu bukan hanya pada Pawon. Tapi pada penulisnya bukan persoalan apakah ini ada honornya atau tidak?

Syaeful Achyar:
Terima kasih pada teman saya yang mengabari tulisan saya di Republika on-line. Saya sayangkan tidak ditelusuri dulu. Tapi persoalannya dia langsung menjastis terkirim double. Yang saya sayangkan dia langsung menge-tag di FB.
Saya mengirimkan tidak ada kabar 2-3 minggu tidak dimuat lalu saya kirim ke Pawon. Silakan ditanggapi, apakah saya salah atau tidak?

Miftah:
Silakan ditanggapi.

Andri Saptono:
Kesempatan untuk mempublikasikan karya kita, jika bagus karya itu memberi wawasan kenapa tidak. Jika dimuat ganda lalu dua-duanya ada honornya, itu baru masalah. Saya jadi tergelitik menanggapi esei, untuk Iman Kapujanggan, saya membicarakan esei ini dengan teman saya yang pelukis. Teman saya bilang bagus, katalog pembuka untuk lukisan dia menanyakan harganya berapa? Kata-kata bisa mewakili satu hal seperti dalam lukisan. Dia mengkoleksi semua tentang GM, dia merasa menemukan hal yang baru di esei Bandung Mawardi. Seperti ada hal yang tidak pernah selesai.
Sebuah proses untuk menjadi seniman, pelukis, atau penyair yang dikritik habis-habisan. Melakoni sebagai penyair mengkristalkan sebuah dunia dalam sebuah kata-kata.

Lasinta:
Seperti sebuah lomba, karya yang menang lomba boleh dikirim ke media manapun. Kalau memberi hikmah kenapa tidak? Semua majalah mempunyai hukumannya sendiri. Saeful achyar media on-line, dimuat cetak tidak apa-apa kita sebagai pembaca lebih menyukai dalam bentuk cetak. Kita kesulitan membaca, pembaca sastra segini-gini aja. Konser musik banyak, ya karena kita segini-gini aja lupa. Membandingkan penyair sebagai Kepujanggan. Saya suka esei seperti Pohon Mangga, refleksi, renungan, dekat dengan pembaca. Referensi seperti ini yang saya suka. Kolom refleksi, esei yang mudah dianalisis.

Anna:
Saya suka Bandung Mawardi membadingkan Goenawan Mohammad sebagai seorang Kapujanggan,

Miftah:
Kalo membicarakan Bandung Mawardi ya dari dulu memang begitu.

Sanie B. Kuncoro:
Pemuatan ganda tidak etis, harus dilihat medianya dulu kalo dimuat di Pawon. Pawon ini lokal hanya dicetak sekian ratus. Kemarin dibawa Kabut ke Ternate danyg mengirim amplop untuk dikirim. Di Pawon ini tidak final, redaksi tidak mempunyai kemampuan untuk mengecek. Kawan redaksi nyumbang tenaga, nyumbang duit. Itu diluar kemampuan. Bukan berarti saya mengeleminasi kesalahan redaksi. Saya lihat kurang komunikasi redaksi dan penulis, harus ada penjelasan bahwa sudah dimuat sebelumnya.
Artikel saya dimuat di Nyata dan Jawa Pos, dengan mudahnya media lokal mengambil artikel saya tanpa meminta izin dari saya. Karena dalih satu grup.

Miftah:
Kampung Rampok mas Yudhi pernah dimuat di Radar Jogja lalu Jawa Pos.

Yudhi:
Itu keputusan redaksi. Mereka satu grup. Honornya pun hanya satu.

Arif:
Kalo saya sih bukan apa-apa, persoalan kreatifitas, penulis dituntut untuk menulis dari banyak perspektif.

Fanny:
Terima kasih untuk tanggapan Lasinta untuk Pohon Mangga. Saya pikir perlu keberagaman ada esei yang reflekti mudah dicerna. Tapi ada juga esei yang jlimet seperti eseinya Kabut. Sehingga kita punya banyak pilihan.

Miftah:
Saya tutup terima kasih maaf jika ada salah-salah. Acara ditutup dengan penampilan dari Niko.

Pengisah(an) Pawon, oleh Bandung Mawardi

Percakapan kecil, petang di pinggir jalan ramai. Tiga lelaki mengisahkan diri di sebuah bilik lusuh. Di luar ada bis, mobil, motor bersliweran. Deru kata kalah oleh raung jalan, lelah hari, dan lantai kotor. Waktu bergerak, sesaat. Mereka memerkarakan sastra di Solo. Tema sepele, wagu, dan ragu. Di ujung tahun 2oo6, di permulaan pengharapan kerja sastra.

Mereka itu Bandung Mawardi, Joko Sumantri, Ridho Al Qodri. Tiga lelaki memelas, susah mengobrolkan perempuan tapi bergairah mengurusi kata. Sastra jadi sandaran. Di bilik dekat perempatan jalan, Sekarpace, bertaburan buku dan berhamburan kata. Mereka ingin mendefinisikan kota, mengisahkan Solo, menghadirkan diri. Semua itu mengarah ke agenda menerbitkan buletin sastra. Ambisi kecil tapi (hampir) heroik.

Percakapan sesaat di sebuah petang jadi ingatan letih. Jeda ada, rancangan menjelma. Selang tiga hari, percakapan bersambung. Catatan-catatan disodorkan, debat ala pelamun, dan optimisme picisan. Kesepakatan: mengundang sekian orang untuk temu-ngobrol di pendhapa kecil di belakang TBJT (Taman Budaya Jawa Tengah). Malam sepi, nyamuk berisik, lampu temaram. Sekian orang datang, berkenalan, mengajukan tanya. Penjelasan-penjelasan diberikan meski samar. Semua mau mengurusi ambisi menerbitkan buletin, reaksi tanpa renungan enampuluh menit.

Ramai omongan terjadi, melawan kantuk dan malas. Nama jadi pertanyaan. Sekian orang usul dengan malu, ragu dalam argumentasi, dan arogan ala propagandis. Nama Pawon pun terucapkan oleh Bandung Mawardi. Sanggahan dan ejekan pun terdengar. Nama itu tak sensasional, jelek, dan rendahan. Nama ini diambil dari khazanah Jawa. Pelan-pelan penjelasan mengalir, mengundang perhatian. Bandung Mawardi tak ingin memberi argumentasi pelik. Sejumput maksud nama Pawon. Nama ini bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi dapur. Pawon mengandung arti tempat memasak, kerja produktif, suasana, aroma, makanan, etos hidup, perjumpaan, interakasi, …

Sekian arti itu membuat nama Pawon (mungkin) pantas jadi ajakan bagi publik melakukan selebrasi sastra dengan optimisme: memasak, mengolah, meracik, menyuguhkan, mencicipi, menyantap…. Nama ada tapi mekanisme hidup masih jadi perkara pelik. Usulan iuran dan pembagian peran berlangsung tergesa, enggan menanti malam rampung. Konsensus kecil: pengumpulan uang demi nafas sastra di Solo. Pawon pun telah mempertemukan sekian orang dari rumah berbeda: Kabut Institut, Meja Bolong, Sketsa Kata, HPK, dan lain-lain.

Pengelolaan awal mengesankan kerja obsesionis. Pencarian tulisan, penggarapan naskah, dan mencetak membutuhkan selusin hari. 27 Januari 2oo7, buletin sastra Pawon hadir dalam wajah bersahaja. Undangan ke para penulis dan pembaca diedarkan untuk perayaan buletin sastra Pawon. Acara itu ada di sebuah rumah kontrakan, Ringin Semar, Solo. Kehadiran mereka mirip ritual pengesahan Pawon, pengesahan perjumpaan umat sastra di Solo. Hari itu ada optimisme untuk Pawon!

Pertemuan dalam acara Pawon itu mengakrabkan para penulis dan pembaca. Akrab ini jadi modal menggerakkan sastra di Solo, dalil semaian literasi, kata “ajaib” mendefinisikan kerja sastra berketerusan. Pawon pun mulai menapaki jalan sejarah, menghadirkan pikat sastra.


Ingatan dan Peristiwa

Selebrasi buletin sastra Pawon edisi 1 (2oo7) telah menyulut polemik, menjadi ajang perdebatan sengit tentang kebermaknaan sastra. Polemik itu didokumentasikan dalam Pawon edisi 3 (2oo7) bertajuk “Bara Sastra” dengan memuat tulisan Secuil Kisah Launching Pawon (Haris Firdaus), Sebuah Catatan untuk Joko Sumantri (Tommy Hendrawan), dan Catatan atas Catatan (Joko Sumantri). Jejak awal ini menandai Pawon melakukan komunikasi-interaksi dengan para pembaca-penulis. Misi menjadikan Pawon sebagai pintu kecil menggairahkan sastra di Solo seolah mendapati antusiasme, tanggapan, kritik, dan sanggahan.

Ingatan perjumpaan dengan para pengelola Pawon dan edisi-edisi Pawon masih jadi acuan mengisahkan sastra di Solo. Dias Panggalih mengenang: “Berkumpul dengan orang-orang Pawon menjadikan keakraban menuju proses kreatif.” Dias mengenal Pawon saat masih menempuh studi di SMA Negeri 1 Solo. Buletin sastra Pawon telah jadi bacaan memikat meski tipis, mungil, dan berkertas buram. Pawon di tangan siswa itu pelan-pelan mengomunikasikan peran sastra dan interaksi penulis-teks-pembaca di kalangan siswa. Pawon menyapa siswa, mengundang mereka untuk membaca dan menulis, berdiskusi.

Pengakuan juga diberikan oleh Arif Saifudin Yudistira, mahasiswa di UMS (Universitas Muhammadiyah Surakarta). Arif mendapati buletin sastra Pawon sebagai keajaiban kecil. Perjumpaan dengan para pengelola dan penulis di buletin Pawon memberi sulut kreativitas. Arif menjelaskan: “Pawon bagiku adalah inspirasi, guru, tempatku bergumul dan belajar sastra.” Perjumpaan, sapaan, dan obrolan jadi peristiwa penting untuk merawat gairah sastra. Pawon perlahan “mencipta” lingkaran pembaca, mendapati tanggapan bersambung tak rampung dari kalangan pembaca. Sekian pembaca justru sanggup memberi tulisan, tampil sebagai kontributor untuk edisi-edisi terbitan Pawon.

Tanggapan mengejutkan muncul dalam surat pembaca. Achmad Fathoni, mahasiswa di Jogja, pembaca dan tukang kritik mengirim surat pembaca. Surat ini dimuat di buletin sastra Pawon edisi 15 (2oo8): “Pawon adalah buletin sastra sampah. Pawon sok menguasai dunia sastra dan menganggap sastra sebagai sesuatu yang mulia. Pawon adalah ajang eksistensialis sastrawan pemula dan sastrawan koran yang bermimpi mereka sehebat sastrawan besar….”

Komentar-kritik ini membuat orang-orang di Pawon justru melek dan eling tentang situasi sastra mutakhir. Optimisme malah semakin mengena. Pawon merasa mendapati perhatian, hadir dalam interaksi menggairahkan. Semua ini jadi fondasi untuk membuat acara-acara kecil, obrolan terbuka dengana sekian orang, mengurusi sastra tanpa formalitas. Pawon pun lekas dikenali sebagai kelompok penulis-pembaca inklusif. Nama dan agenda-agenda Pawon mulai memberi arti untuk geliat sastra di Solo dan sekian kota di Jawa.

Daftar kecil mengacu ingatan tak lengkap untuk agenda-agenda sastra oleh Pawon selama empat tahun: (1) Anugerah Pawon 2oo7 dengan penerima Wijang Jati Riyanto, Daud Wijaya, Dwicipta; (2) Pembukaan Rumah Sastra, 16-18 November 2oo7 di Gang Kepuh 3o B, RT o1 RW IX, Jebres, Solo; (3) Pendokumentasian Solo melalui cerita (2oo7-2oo9) menghasilkan buku kumpulan cerpen Lamaran Sri; (4) Pawon mengadakan sayembara penulisan esai dan resensi, 2oo7; (5) Pawon (Solo), Ben! (Jogja), dan Hysteria (Semarang) mulai 2oo7 membuat konsensus untuk memuat sisipan khusus di masing-masing buletin bertajuk Joglosemar; (6) Pawon dan Taman Budaya Jawa Tengah mengadakan Workshop Sastra, 28-29 Juli 2oo7 dengan menghadirkan Abidah el Khailaqy, Iman Budi Santosa, S Prasetyo Utomo, Tjahjono Widianto, dan Triyanto Triwikromo; (7) 2oo8, Pawon memiliki acara Ruang Sastra di soloradio FM, setiap Minggu, 24.oo WIB; (8) Pawon mengadakan sayembara menulis puisi bertajuk Menyapa Indonesia, Agustus-Oktober 2oo8; (9) Pawon selenggarakan Kemah Sastra, 2o-23 Maret 2oo8, Padepokan Lemah Putih, Solo; (10) Workhsop menulis untuk remaja di Taman Hiburan Rakyat Sriwedari, 2oo9; (11) Pawon untuk Solo, workshop sastra di Simpel Space, 2oo9; (12) Diskusi intim selama 2oo9 mengobrolkan buku Kitab Diri (Puitri Hatiningsih), Pulung (Indah Darmastuti), Risalah Abad (Bandung Mawardi), dan Pigura (Haris Firdaus); (13) Pawon ada di “Dialog Penulisan Kreatif” di Pondok Pesantren Al-Muayyad, Solo, 28 Januari 2o1o; (14) Pawon adakan workhsop dengan titel “Sinau Maca lan Nulis”, Taman Balekambang, Solo, 9 Mei 2o1o; (15) Festival Sastra Pawon, 22-23 Januari 2o11, menghadirkan Mardi Luhung, Sanie B Kuncoro, Beni Setia, Raudal Tanjung Banua; (16) Ngrembug novel Jawa, 2o11. Sekian agenda diadakan Pawon secara intensif selama empat tahun. Sekian acara masih tercatat tapi sekian acara masih harus diingat kembali.

Heri Priyatmoko, sejarawan, mahasiswa pascasarjana di FIB UGM, memberi pengakuan: “Pawon adalah gairah sastra di Solo. Pawon mengingatkan Solo sebagai kota literasi yang pernah terkenal melalui Ranggawarsita di masa lalu.” Solo memang moncer sebagai pusat kultural Jawa, referensi kesusastraan Jawa. Label itu identik masa lalu tapi terasakan lagi sastra Pawon berikhtiar menjadikan Solo sebagai ruang semaian sastra. Kerja kultural ini memiliki jejak masa lalu dan sadar atas kondisi zaman mutakhir.

Edisi demi edisi buletin Pawon menyapa pembaca ke pelbagai kota. Sekian pujian dan cacian bermunculan, mengingatkan tentang antusiasme dan optimisme menempuhi jalan sastra. Kehadiran dan sebaran Pawon juga jadi perhatian di kalangan jurnalis di kota Solo selama hampir tiga tahun. Buletin sastra Pawon jadi bacaan populis, hangat, dan mengangeni. Ichwan Prasetyo, redaktur koran Solopos, mengakui: “Pawon dan orang-orang di baliknya adalah proses menjadi yang semestinya tak pernah selesai.” Penilaian ini mengacu pada model interaksi antara pengelola Pawon dengan publik. Pawon pun jadi rujukan untuk mempertemukan para penulis dan para pembaca dalam suasana akrab, gayeng, mengesankan.


Para Pengisah

Pembacaan atas geliat sastra di Solo, gairah kerja sastra para penulis dan pengelola Pawon mendapati sorotan serius dari Beni Setia. Cerpenis, esais, penyair ini jadi pembaca buletin sastra Pawon meski tinggal di Caruban, Jawa Timur. Pengenalan, pembacaan, dan obrolan dengan Pawon menimbulkan impresi. Komentar Beni Setia: “Pawon itu militanisme. Di belakang Pawon ada orang-orang yang cinta mati pada sastra, mengamalkan dengan pengabdian dan pengorbanan. Persaingan dan aura kompetitif dalam Pawon melahirkan penulis-penulis produktif dengan penyebaran yang menggurita.”

Kalangan pembaca dan publik dalam acara-acara Pawon plural. Acara-acara Pawon kerap mempertemukan dosen, ibu rumah tangga, penganggur, siswa, mahasiswa, buruh, guru, pengusaha, dan sekian orang dengan berbeda latar belakang. Mereka merasa menemukan ikatan bersama Pawon, menghirup nafas literasi dalam kebersamaan, mengomunikasikan pelbagai hal dalam situasi girang dan jelang terang.

Gejala-gejala itu diamati oleh Akhmad Ramdon, pengajar sosiologi di UNS (Universitas Sebelas Maret). Ramdhon mengatakan: “Jejak-jejak kota sedang ditorehkan kaum muda. Sebuah momentum penting sebagai bagian dari kota yang punya memori mundur berabad-abad dan sebaran atas berbagai agenda menjadi tumpukan lempeng ingatan atas masa kini yang akan bergerak ke masa depan.” Buletin sastra Pawon dan acara-acara publik Pawon turut menggerakkan kota, memberi arti atas Solo, menebar pengaruh ke kota-kota di luar Solo.

M Fauzi Sukri, mahasiswa Jurusan Sastra Inggris UNS justru mendapati kejutan-kejutan saat mengenal, membaca, dan bergaul dengan lingkaran penulis-pembaca Pawon. Fauzi semula susah mengetahui geliat sastra di Solo, tak mengenali para penulis di Solo. Pelan-pelan bersama Pawon ada suasana pembelajaran progresif, aktif, dan militan. Fauzi menemukan ada gairah meluap dalam agenda-agenda acara, pergaulan, dan terbitan Pawon. Kata Fauzi tentang Pawon setelah mengenali selama hampir empat tahun: “Para penggeraknya militan. Ada roh keingintahauan, etos belajar, dan kebersamaan.”

Pembacaan atas kerja kultural Pawon dan makna buletin sastra Pawon juga dilakukan oleh Tia Setiadi, bermukim di Jogja. Kritikus sastra dan penyair ini menganggap ada kontribusi tak biasa saat Pawon mendeklarasikan diri dan bergerak dalam dunia sastra. Tia mengatakan: “Pawon, selama beberapa tahun tegak menggemakan suara-suara anak muda yang aneh. Aneh, karena di suatu masa di mana uang, jabatan, dan popularitas menjadi kejaran semua orang, anak-anak muda ini justru bergerak tanpa terlalu peduli dengan ketiganya. Pawon seakan menjadi antidot dari kultur masyarakat pos-industrial. Di sinilah gagasan digodok, ide-ide diperdebatkan, karya didedah.”

Sekian orang memang mengenali dan bergaul dengan Pawon sejak awal, 2oo7. Hampir dalam peluncuran edisi-edisi baru Pawon atau acara publik sering hadir orang-orang baru. Mereka datang, menyapa, lekas berbaur dengan arus Pawon. Keterlambatan itu dialami oleh Joko Utomo, penulis cerpen dan cerita anak. Joko mengenali Pawon di tahun 2oo9. Perjumpaan itu masih membekas dalam ingatan. Joko, Pemenang I Sayembara Menulis Cerpen Solopos 2o11, mengenang tentang acara workshop penulisan oleh Pawon: gratis dan heboh. Joko menganggap bahwa Pawon tak bercorak komersial tapi lebih mengutamakan misi berbagi. Joko pun mengakui: “Di Pawon, tidak ada perbedaan kasta antara orang yang sudah pintar dan yang masih dalam taraf belajar.” Hal ini membuat Joko merasa akrab dengan Pawon.

Kesan hampir sama dialami oleh Miftahul Abrori, cerpenis dan penyair. Miftah sering berinteraksi dengan Pawon, hadir dalam sekian acara, menulis untuk Pawon. Pengalaman sekian tahun bersama Pawon menimbulkan kesan tak biasa. Miftakh menjelaskan: “Pawon, selama empat tahun ini, masih menjadi jujugan dan rujukan sastra bagi penulis di Solo.”

Kesan atas makna Pawon terbahasakan secara puitik oleh Budiawan Dwi Santoso, esais dan penyair. Budiawan semula adalah pembaca tulen buletin sastra Pawon. Sekian kali mencoba mengirim tulisan ke redaksi Pawon meski tak lekas lolos seleksi untuk dimuat. Ketelatenan membaca Pawon dan kenekatan menulis menjadikan Budiawan sadar tentang etos sastra dalam nafas hidup penggerak Pawon. Budiawan pun menemui takdir menulis. Sekian esai telah dimuat di koran-koran nasional dan lokal. Kisah membaca dan menulis dalam interaksi bersama orang-orang di buletin sastra Pawon itu memunculkan kesan: “Pawon adalah sajian kecil dalam ekstase hidup ini.”

Pengalaman berjumpa dan berbaur dengan Pawon seolah mengubah hidup Fanny Chotimah, penyair dan esai asal Bandung, Jawa Barat. Fanny tiba di Solo, 2oo5. Alkisah, Fanny menemukan buletin sastra Pawon di kafe kecil, Green House, Solo. Ada pengumuman acara Kemah Sastra, 2oo8. Fanny memustuskan ikut dan mendapati pergaulan dengan teman-teman pembaca-penulis dari Solo dan pelbagai kota. Ratusan orang dari Solo, Jogja, Semarang, Bandung, Wonosobo, Purwokerto, dan sekian kota. Pawon sebagai buletin dan pergaulan menebar sihir sastra. Fanny mengakui: “Sastra masing asing bagiku. Membaca dan menulis masih jauh dari keseharianku. Teman-teman Pawon yang selalu berbagi kisah telah menularkan esai, menyelipkan cerpen, dan membisikkan puisi dalam tubuhku: menghidupkan sastra dalam diri. Sejak itu membaca dan menulis menjadi hidupku.”

Pawon adalah titik kesadaran. Hal ini dialami Sartika Dian Nuraini, esais dan penyair asal Magetan, Jawa Timur. Pembacaan atas Pawon melahirkan anggapan: “Pawon itu subversif…. Sejak tahu Pawon, aku jadi mengerti sastra untuk tindakan menghargai dan dihargai.” Pawon itu tanda seru. Sartika menjuluki Pawon itu “ejekan” atas kelesuan sastra dan pragmatisme dalam dunia publikasi sastra.


Misi dan Kerja Sastra

Misi buletin sastra Pawon untuk perjumpaan-perjumpaan produktif dan kreatif memang mulai terbukti kendati ada bocor, sangsi, dan sungkan. Penghadiran Pawon di tahun pertama memang ada harga. Redaksi melabeli dengan harga murah karena mementingkan buletin itu menyapa pembaca. Selesai di 2oo7, redaksi menggratiskan buletin sastra Pawon. 300-an eksemplar Pawon diedarkan ke pembaca di Solo dan pelbagai kota. Semua ini justru menghasilkan interaksi produktif antara para penulis dan pembaca, membuat greget pertemuan dan obrolan dari pelbaagai kalangan. Pawon hadir sebagai sapaan untuk selebrasi sastra tanpa disusahkan oleh harga, jarak, dan profesi. Pawon pun menebritkan buku-buku sederhana dari para penulis Solo sebagai bentuk penghormatan atas kerja sastra tanpa angan komersialitas. Pamrih penerbitan buku-buku itu persembahan kata, undangan menggerakkan misi sastra.

Para pengelola (penggerak) menghidupi Pawon dengan iuran tiap bulan. Kebijakan ini dikehendaki, jauh dari paksaan. Model memberi sokongan dana ini merepresentasikan kemauan besar menghidupi sastra, menghangatkan interaksi sastra, dan mendefinisikan diri dalam kreativitas. Acara-acara Pawon juga diselenggarakan gratis: diskusi, sayembara, dan workshop. Kata gratis mungkin mengandung pengertian ganjil dan wagu tapi keberlangsungan kehidupan buletin dan interaksi orang-orang di lingkaran Pawon terikat oleh ikhlas dan integritas tanpa kolot memikirkan uang (komersialisasi).

Pengisahan tentang Pawon muncul dari Munawir Aziz. Dulu, 2oo7-2oo9, Munawir membaca edisi-edisi buletin sastra Pawon saat masih kuliah di Kudus. Penulis asal Pati itu sekarang jadi mahasiswa di CRCS UGM. Pembacaan dan pergaulan dengan Pawon selama 3 tahunan memberi impresi-impresi tak biasa. Munawir jadi sering dolan ke Solo, makan bareng, mengobrolkan pelbagai hal dengan pengelola Pawon dan para penulis di Solo.

Kesan Munawir terhadap Pawon: “Pawon tak hanya sebagai komunitas. Pawon menjelma kawah candradimuka bagi penulis-penulis muda di Solo dan sekitarnya. Keberadaan Pawon seakan menjadi gerak tanding kuasa yang terpusat di Jakarta. Pawon mendekonstruksi pusat. Pawon itu kutub baru yang dinamis, digerakkan oleh energi semangat dan persudaraan sastrawan muda yang diikat oleh idealisme dan janji merawat kata. Pawon merupakan fenomena, berjasa dalam mengampanyekan sastra di tengah keringnya dunia literer di Indonesia.” Pendapat ini menguatkan anggapan tentang militanisme dalam sastra oleh Pawon di Solo. Kerja sastra tak pernah rampung, berjalan tanpa lelah dan putus asa.

Spirit adalah modal penting kehidupan komunitas. Hal ini diakui oleh Tjahjono Widianto, sastrawan dan dosen di Ngawi, Jawa Timur. Sekian tahun mengenal buletin sastra Pawon dan berinteraksi dengan para penulis-pembaca di lingkaran Pawon membuat Tjahjono mendapati optimisme nafas literasi di Solo. Tjahjono menilai bahwa ada semangat luar biasa di Pawon: “Pawon melakukan upaya pendokumentasian, mencatat generasi-generasi yang berusaha menggenggam zamannya sendiri.”

Julukan militanisme juga diberikan oleh cerpenis dan penyair kondang, Sunlie Thomas Alexander. Para penggerak dan lingkaran pembaca-penulis Pawon jadi representasi dahsyat dan militan. Sunlie sadar posisi Pawon ada di negeri sial karena sastra susah bertumbuh di sekolah dan kampus. Pawon hadir justru untuk turut menyemai dan merawat sastra. Kritik Sunlie atas anutan sastra di Pawon: “Bobot puisi dan cerpen mesti diperberat.” Sekian pembaca memang menganggap sajian puisi dan cerpen di Pawon kurang greget meski tak mengabaikan selera dan anutan para penulis.

Seorang penikmat buletin sastra Pawon, Nana Riskhi Susanti, juga menilai lembaran puisi dan cerpen di Pawon kurang memikat. Nana cenderung memilih sajian esai. Nana mengenali Pawon sejak 2oo9, saat masih menempuh kuliah di UNNES Semarang. Sekarang, Nana, meneruskan studi di Universitas Indonesia. Pergaulan dengan Pawon menimbulkan anggapan bahwa nasib kritik sastra di Indonesia memang berjalan lambat. Ada kesenjangan tak terkira. Pawon dianggap cukup mau mengusahkan kehadiran esai dan ulasan sastra kendati tak terpublikasikan secara luas di Indonesia.

Pawon memang sering dikenali sebagai buletin dan kumpulan penulis-pembaca. Pengenalan dan pergaulan dengan Pawon dialami Arif Hidayat, penulis dan dosen di Purwokerto, Jawa Tengah. Arif menjelaskan: “Pawon itu sebagai ruang sastra bersama bagi semua kalangan. Kalau tak ada Pawon, Solo terasa dingin.” Arif seolah menguatkan citra kota, Solo adalah kota literasi. Pawon hadir dalam kebersahajaan dan optimisme. Wijang Wharek, pendiri Pawon dan pegawai di Taman Budaya Jawa Tengah, mengimbuhi: “Banyak penulis muda yang menjadikan Pawon sebagai wahana diskursif untuk mengasah ketajaman intuitif, kreatif, dan referensial.”

Konklusi pendek atas kiprah dan ulah Pawon, buletin dan kumpulan penulis-pembaca, selama sekian tahun diajukan oleh Saifur Rohman, kritikus sastra dan pengajar sastra di Universitas Semarang dan Universitas Negeri Jakarta. Saifur mengomentari Pawon: (1) menampung aspirasi sastrawan muda; (2) isi tak kalah dengan sastra koran; (3) pengelola punya kompetensi yang dapat diandalkan. Semua itu dilakoni tak peduli meski dana selalu mepet karena tak mau mengemis dan tak kapok miskin.

Gerak Pawon selama empat tahun memang berat tapi dilakoni dengan girang. Soal dana atau resepsi publik jadi beban tapi “dientengkan.” Kehadiran Pawon turut menstimulus kehadiran penulis-penulis baru, membarakan gairah para penulis lawas, dan mengikhtiari ada semaian masyarakat literasi. Interaksi jadi urusan kunci. Pertemuan, obrolan, dan publikasi tulisan seolah mengikat ambisi dan misi sastra. Semua itu perlahan diimbuhi dengan model interaksi di blog dan FB. Pawon mulai menanggapi zaman, bergerak ke jagat maya, memberi sapaan dan menghadirkan diri tanpa sungkan.


Bergerak

Pawon selama empat tahun memiliki penggerak. Mereka adalah Joko Sumantri, Bandung Mawardi, Ridho Al Qodri, Wijang Wharek Al Mauti, Han Gagas, Yudhi Herwibowo, Puitri Hatiningsih, Anton WP, Yunanto Sutyastomo, Ari Wibowo, Haris Firdaus, Indah Darmastuti, Fanny Chotimah, dan lain-lain. Sekian orang juga turut merawat Pawon. Mereka adalah Daud Wijaya, Dwicipta, Agus Budi Wahyudi, Yudi Teha, Sanie B Kuncoro, dan lain-lain. Niat menggerakkan sastra jadi komitmen besar, mempertemukan dalil dan argumentasi untuk selebrasi literasi, optimisme dan gairah jadi modal membentuk masyarakat pembaca-penulis dalam anutan pluralitas.

Nama-nama itu seolah menandai ada geliat sastra tak usai di Solo. Masing-masing hadir sebagai penulis-penulis ampuh, berbagi dalam kerja sastra bersama, dan berbaur dalam kehangatan untuk memuliakan sastra. Inklusivitas jadi pijakan menggerakkan sastra di Solo tanpa merepotkan diri dengan senioritas, komersialisasi, atau popularitas. Dalil-dalil itu memang kadang mendapati godaan, salah dalam tafsir dan implementasi, luput dalam gapaian maksud.

30-an edisi buletin sastra Pawon telah diterbitkan, puluhan buku sastra telah diterbitkan, puluhan acara telah diselenggarakan. Semua itu belum mencukupi dan tak mungkin diartikan keselesaian. Para penggerak datang dan pergi. Penulis bermunculan, cuti, dan absen. Solo bergairah sastra. Interaksi pembaca dan menulis menemukan spirit kebersamaan dan kegirangan. Pawon tak sekadar buletin, kumpulan orang, atau acara. Pawon bagi sekian orang telah menjelma spirit, etos, dan ruh. Pawon perlahan tak sekadar miliki Solo tapi melintasi batas-batas teritorial.

Situasi interaksi dalam Pawon bisa disimak dalam pengakuan Indah Darmastuti, cerpenis dan novelis. Pengarang novel Kepompong (2oo6) ini mengisahkan interaksi kreatif dalam diri para penggerak Pawon: “Di Pawon, ada rasa saling menopang dan membakar semangat sesama teman sehingga kita harus meningkatkan kecepatan. Seumpama kita berada dalam arena sirkuit, kita harus berjuang untuk menyalip teman atau setidaknya sejajar.” Kerja kolektif memang tak memacetkan misi sastra dalam otoritas para penulis di Pawon. Mereka terus suguhkan cerpen, puisi, novel, dan esai ke publik dalam publikasi koran atau buku. Mereka pun turut memberi arti atas situasi sastra Indonesia mutakhir.

Pawon bergerak disokong oleh perhatian dan gairah persahabatan Sanie B Kuncoro, pengarang novel Ma Yan (2oo9) dan Garis Perempuan (2o1o). Pergaulan intensif selama bertahun-tahun dengan Pawon memunculkan kesan: “… pada komunitas itu tersedia kebebasan untuk datang entah lama atau sebentar, atau melintas berulang-ulang. Tanpa ikatan yang massif, apalagi prasangka. Personil Pawon menjadikan komunitasnya sebagai bilik yang tak berbatas oleh perbedaan apapun itu… Entah bagaimana, berada di antara mereka, gairah menulis seolah saling terjaga. Tanpa berebut inspirasi melainkan justru menumbuhkan imajinasi baru seolah reranting yang menumbuhkan dedaunan. Demikianlah saya menjalani persahabatan dengan komunitas Pawon. Tidak selalu saya ada dalam arus yang sama, kadang kala hanya berdiri di tepiannya atau melihatnya dari kejauhan. Pawon bagi saya telah menjadi ruang lintas yang tak hendak saya tinggalkan.”

Kesan atas laku Pawon selama empat tahun menjadi amatan Agus Budi Wahyudi, dosen di UMS dan penyulut spirit para pengelola Pawon: “Pawon itu tempat bertemu, bersapa, dan berkehendak memanusia.” Ingatan dan kesaksian aaatas Pawon memang ada dalam diri sekian orang. Pawon ada menjadi milik bersama, digerakkan oleh spirit kebersamaan dan kerja sastra.

Sekian orang dan komunitas merasa ada intimitas biografis dengan Pawon. Di Solo pernah hadir pelbagai komunitas dan terbitan: Alis, Rumput, iklanesai, dan Ketik. Semua menggerakkan sastra dengan interaksi-pergaulan dan sajian terbitan. Sekian agenda mereka masih bergerak dan ada juga pensiun tapi masih meneruskan selebrasi sastra meski tanpa komunitas dan terbitan. Nafas sastra Pawon dan interaksi para pembaca-penulis Pawon terus menghidupi Solo. Pawon juga turut menjadi sulut untuk terbitan Jurnal Kandang Esai dan Jurnal Tempe Bosok oleh Kabut Institut dan Bale Sastra Kecapi (Solo). Kerja sastra tak pernah letih dikumandangkan Pawon dalam aroma kebersamaan, toleransi, dan militansi.

2o11, Solo semakin ramai oleh terbitan dan agenda sastra dari pelbagai komunitas. Mayoritas memiliki intimitas dan relasi kreatif dengan para penggerak Pawon. Mereka bergerak demi sastra dan literasi. Di UMS (Universitas Muhammadiyah Surakarta), 2o11, terbit buletin Papirus sebagai suguhan sastra untuk pelbagai kalangan. Papirus dikelola oleh para mahasiswa di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, UMS. Mereka tampil dengan optimisme, bergerak karena kehendak. Papirus jadi ejawantah kerja sastra. Di IAIN Solo, 2o11, terbit dua buletin: Koeping Lemoet dan Masyarakat Kata. Dua buletin ini tampil dalam kesederhanaan sebagai bentuk undangan terbuka bagi siapa saja agar turut merayakan sastra. Di Gorontalo, 2o11, hadirlah jurnal Tanggomo. Samsul sdp, redaksi Tanggomo, mengakui: “Jurnal Tanggomo terinspirasi dari buletin sastra Pawon yang menjadi salah satu tonggak eksisteni sastra di Solo.”

Kehadiran mereka seolah menguatkan janji bagi para penggerak dan penikmat sastra untuk optimis atas kehidupan komunitas dan publikasi tulisan. Mereka hadir dalam antusiasme, hidup menebar sapaan dan interaksi bersama Pawon. Selebrasi ini jadi kunci semaian sasta tak mengenal putus asa dan dukalara picisan.

Sastra memang terus bergerak di Solo. Pawon pun menjelma tanda untuk mengartikan selebrasi sastra tak rampung. Kesan itu muncul dari Geger Riyanto (Jakarta), esais dan cerpenis: “Pawon itu buletin beken di kancah kesusastraan Indonesia. Kalau ke Solo, ikon sastranya buletin Pawon.” Perhatian atas laku Pawon pun muncul dari Harry Aveling (Australia), kritikus sastra Indonesia: “Pawon is a highly creative and informative bulletin, which always contains a diversity of materials of an extremely high standard.”

Pawon terus bernafas, bergerak tak lelah, memberi sapaan tak bosan. Begitu.