Saturday 10 December 2011

Notulensi Adili Buletin Pawon edisi 33, Balai Soedjatmoko Senin, 14 November 2011, oleh Fanny Chotimah

Miftah: Membuka pengadilan sastra Adili Pawon edisi 33, memanggil dan mengenalkan ketiga pembicara: Lasinta Ari Narendra, Andri Saptono dan Anna Subekti.

Andri Saptono:
Saya tidak mempersiapkan untuk sebuah pengadilan sastra. Pengalaman pribadi saya sulit untuk menjadi semacam pengunjung yangg pertama kali datang, membaca pertama kali. Membagi pengalaman saya. Perjumpaan saya dengan Penari Bumi, saya sudah baca disitus Niko ada gambar-gambar saya tertarik mengikuti. Saya merasa seperti berada di sebuah dunia dewa-dewi, eksotik dengan kacamata orang luar soal metafisika. Mungkin ada hal yg menarik untuk dijelajahi. Nama-nama tokoh: Kamala, Vidya, Banespati tidak mengesankan seperti kisah misteri yang agak murahan bahasanya cengeng. Cerpen ini dunia sendiri seperti ranah dunia hindu, saya baca kedua atau ketiga kali. Teman saya pelukis yang saya pinjamkan dia merasa tersedot ke sebuah dunia yang dia alami. Keunggulan yang baik bagi penulisnya, agama hindu yang dianut penulis. Membuat apa yang dia ketahui dia tulis. Puisi saya tidak bisa mungkin kekurangan saya.

Sepotong kenangan dari sebuah kisah karya Ika Kurniati, ingatan saya langsung teringat pada bagian terakhir kalimat (dibacakan penggalannya). Kalimat yang sangat indah sekali, merasakan kepedihan yang sama empati seorang pelacur yg digunakan demi sebuah penelitian. Cerita seperti sebuah sinetron, kita lebih memilih untuk sebuah keputusan yang harus diambil meskipun seperti bukan sebuah kisah yang ingin kita dengar.

Lasinta:
Pertama kali saya membaca langsung tertuju pada Penari Bumi pertama kecewa halamannya kok banyak. Dari halaman pertama Niko membuat saya ingin tahu tanpa sadar sudah saya baca semua. Kenapa Cuma segini saja? Dari segi penulisan kenapa Cuma segini saja?

Malam Berlalu- Ekwan N. Wiratno terasa biasa saja, seperti baru menulis cerpen. Dan ternyata dari biodata dia biasa menulis puisi.

Puisi sepintas saja, Noura Nahdiyah pesan bagus hanya saja belum bisa memadatkan makna pada sebuah kata. Kalimat ini seperti sebuah kisah, daun sebuah rasa atau harapan.

Sebuah jaman yang berbeda. bermuara pada sebuah pertemuan yaitu kematian.
kalimat kurang berguna beras mengalir dengan air keras. Maju pasti ke depan mundur ke belakang tak perlu diperjelas. Bancana, cobaan membuat kita menjadi lebih dekat

Puisi Arif, mas Arif ingin bercerita soal apa. Di KBBI enggak ada, googling di Kabut Institute untuk diposting. Untuk Wiji Thukul puisi ini bagus bercerita suatu masa. Masa sekarang lebih berat dari masa lalu. Titik yang menangis.. aku bingung lagi yang menangis diambil dari mana. Titik bisa memaklumi diambil dari judul.. Ayah-

Puisi Fatih, 00:00, kegelisahan dibutuhkan utk membuat kita maju, arti tangisan untuk mengerti sebuah tawa. Puisi Fatih, Senggeger II.

Cover- perbedaan sebuah zaman, gadis barat gaya hidup kebarat-baratan.

Miftah:
Penyair kesulitan saat menulis cerpen, tapi merangkai kata lebih indah. Cover kata-katanya bukan modelnya. Anna apakah akan membedah Esei Bandung yang tak laku di media, Saeful Achyar di Republika, Seniman Salon dan Pohon Mangga?

Anna:
Agak merinding harus mengadili Bandung Mawardi, Yudhi, Fanny saya pembelajar ingin menulis juga seperti teman-teman. Sejarah kepenulisan saya jauh, membaca Pawon siklus bulanan setahun terakhir. Saya menulis, Ideologi dalam kata artikel untuk Pawon. Teman Pawon tidak menggunakan senjata apapun selain kata. Eksistensinya 4 tahun, sarat ideologi penerbitan dengan anggaran pribadi. Ideolgi tidak harus soal Pawon, ada sejarah kepenulisan ada pembelajaran. Menerima Pawon apa adanya, saat diposisikan untuk pembahas saya mau membahas apa? Ada penulis dari NTB menulis di Pawon, (memperlihatkan 4 edisi Pawon) harus ada perbaikan di sini. Hampir punya ciri khas tertentu, enggak masalah ada satu sisi kalau dari jauh bisa jadi ikon buat Pawon. Di satu sisi ada kegelisahan bagi saya, masa pawon gitu2 aja sih? Saya kasih teman, komen dong komplain font. Buatku enggak ada masalah, meniru Kompas ada ilustratornya. Pawon bisa bikin juga dengan mengajak teman-teman lain utk ilustrasi. Isinya saya bahas sedikit.

Niko itu ganteng.

Teman-teman membawa gagasannya masing-masing, membawa ideologinya tentang go-green jangan menebang pohon. Subjektif karena saya kenal Niko secara personal. Cerita tentang dongeng, mitos-mitos, menebang pohon akan ada ular yang membunuhmu. Bahasa anak-anaknya menebang pohon itu tidak baik.

Puisi Arif Yudisthira: Gerakan sejuta umat menolak SBY ternyata ini masuk ke puisi dia, pesan membunuh dari kawat nomor satu. Itu pasti SBY. Untuk kesekian kalinya aku enggak berani membahas esei.

Miftah:
Ketiga pembicara belum membahas esei, dari teman-teman bisa membahas.

Penampilan Stargas dan Niko- musikalisasi Penari Bumi.

Saya memiliki pengalaman personal dengan Niko, waktu itu Pawon dijual 2rb Niko meminjamkan aku. Sesi selanjutnya apakah temen2 yang mempunyai semacam pendapat atau gugatan kepada para pengadil. Silakan sama penulis yang hadir, punggawa pawon, tiga pengadil.

Pak Agus:
Menanggapi pembicara yang paling cantik, kritikan kepenampilan Pawon. Saya tidak setuju dengan pembicara. Karena bandingannya begini. (Menunjukkan Booklet Sensus Pajak berwarna) dari uang kita. Saya setuju kalo Pawon menampilkan kata tapi tidak menampilkan visual. Walaupun di Indonesia banyak penggambar yang gambarannya indah. Tapi kalo bersastra yang perlu adalah kata. Senjatanya cukup kata, jika kertasnya bagus saya tidak akan baca. Melawan media di Indonesia. Tampil sesederhana mungkin tapi berisi. Saya tidak pernah beli majalah bagus. Kenapa? Itu tidak menemukan keindahan tapi mengambil keindahan.

Semuanya basa basi tidak berani mengkritik esei, siapapun penulisnya. Dengan membuat mencetak dan membacanya sendiri. Pandangan menjelekan orang yang tulisannya tidak dimuat di media. Media pengen soto kita buat pecel enak. Kecuali pesanan pesannya soto dia membuat sontoloyo hehehe..
Saya tidak mengadili tapi langsung mengkritik.

Anna:
Terima kasih buat ininya.. saya tidak mengadili Pawon saat ini yang tengah menjadi dirinya sendiri. Ada komunitas lain yang medianya gambar, kan menarik jika ada barter. Media baca dan media keindahan, ada komunikasi dengan komunitas media lain.

Miftah:
Jangan memandang dari luar tapi isinya, silakan teman yang lain? Mas Bimo?

Bimo:
Mengkritik EYD-nya, tidak ada footnote di esei mas Bandung Mawardi Ronggowarsito.. saya tidak mengerti. Cerpen Ika bahasa gaul digaris miring. Esei Saiful Achyar, dimuat di media lain? Apa sih fungsi redaksi Pawon toh tidak ada embel-embel tidak dimuat di media manapun. Apakah redaksi hanya mengumpulkan tanpa mengedit? Silakan Pawon menjawab?

Arif:
Cover mas Yudhi, esei mas Bandung terburu ngomong Gunawan Mohammad sepintas, Budi setiawan eseinya terlalu memaksakan padahal penulis Kompas, harusnya lebih bagus lagi. Tidak dimuat di media manapun usul mas Bimo harus di-folow-up-i. Dari Anna, relasi Pawon dengan komunitas lain.

Miftah:
Silakan dari redaksi Pawon untuk mengulas komentar-komentar?

Yudhi:
Rencananya redaksi tidak usah ngomong ada sesinya nanti. Tentang kolaborasi sudah dilakukan dengan pelukis, untuk konsistensi agak susah. Ilutrasi? Kita pernah punya ilustrator masalahnya kami tidak punya cukup dana. Cover-cover-nya selalu ada 2 alternatif. Cuma yang kali ini edisi terlambat dana tidak ngumpul-ngumpul, terlambat 3 bulan. Kasus tulisan yang sama saya sudah menjawab. Sudah cukup lama, kami terlalu lama menyimpan tulisan itu. Kami tidak memberi respon dimuat apa tidak. Yang di Batavia 9 September, naskah sudah diterima tapi belum diolah. Fungsi redaksi memilih dan mengedit secara sederhana, naskah yg masuk cukup banyak. Ada satu penulis yang sekali dimuat kirim lagi 5-6 cerpen. Itu menolaknya gimana? Penulis yang pertama kali dimuat lebih kami utamakan.

Cerpen kali dinilai 1-10 mungkin Cuma 5, Ika salah satunya yang kita olah. Bahasa sengengekan bisa ditampilkan miring atau tidak. Akan EYD seketat apa, Pawon fleksibel tidak seperti Horison.

Miftah:
Pemuatan di media lain? Apakah boleh ada pemakluman? Dulu mungkin pernah di Solopos.

Yunanto:
Etisnya harusnya tidak, jangankan di Pawon media yang profesionalpun kecolongan. Ini Cuma persoalan boleh atau tidak. Tapi tanggungjawab itu bukan hanya pada Pawon. Tapi pada penulisnya bukan persoalan apakah ini ada honornya atau tidak?

Syaeful Achyar:
Terima kasih pada teman saya yang mengabari tulisan saya di Republika on-line. Saya sayangkan tidak ditelusuri dulu. Tapi persoalannya dia langsung menjastis terkirim double. Yang saya sayangkan dia langsung menge-tag di FB.
Saya mengirimkan tidak ada kabar 2-3 minggu tidak dimuat lalu saya kirim ke Pawon. Silakan ditanggapi, apakah saya salah atau tidak?

Miftah:
Silakan ditanggapi.

Andri Saptono:
Kesempatan untuk mempublikasikan karya kita, jika bagus karya itu memberi wawasan kenapa tidak. Jika dimuat ganda lalu dua-duanya ada honornya, itu baru masalah. Saya jadi tergelitik menanggapi esei, untuk Iman Kapujanggan, saya membicarakan esei ini dengan teman saya yang pelukis. Teman saya bilang bagus, katalog pembuka untuk lukisan dia menanyakan harganya berapa? Kata-kata bisa mewakili satu hal seperti dalam lukisan. Dia mengkoleksi semua tentang GM, dia merasa menemukan hal yang baru di esei Bandung Mawardi. Seperti ada hal yang tidak pernah selesai.
Sebuah proses untuk menjadi seniman, pelukis, atau penyair yang dikritik habis-habisan. Melakoni sebagai penyair mengkristalkan sebuah dunia dalam sebuah kata-kata.

Lasinta:
Seperti sebuah lomba, karya yang menang lomba boleh dikirim ke media manapun. Kalau memberi hikmah kenapa tidak? Semua majalah mempunyai hukumannya sendiri. Saeful achyar media on-line, dimuat cetak tidak apa-apa kita sebagai pembaca lebih menyukai dalam bentuk cetak. Kita kesulitan membaca, pembaca sastra segini-gini aja. Konser musik banyak, ya karena kita segini-gini aja lupa. Membandingkan penyair sebagai Kepujanggan. Saya suka esei seperti Pohon Mangga, refleksi, renungan, dekat dengan pembaca. Referensi seperti ini yang saya suka. Kolom refleksi, esei yang mudah dianalisis.

Anna:
Saya suka Bandung Mawardi membadingkan Goenawan Mohammad sebagai seorang Kapujanggan,

Miftah:
Kalo membicarakan Bandung Mawardi ya dari dulu memang begitu.

Sanie B. Kuncoro:
Pemuatan ganda tidak etis, harus dilihat medianya dulu kalo dimuat di Pawon. Pawon ini lokal hanya dicetak sekian ratus. Kemarin dibawa Kabut ke Ternate danyg mengirim amplop untuk dikirim. Di Pawon ini tidak final, redaksi tidak mempunyai kemampuan untuk mengecek. Kawan redaksi nyumbang tenaga, nyumbang duit. Itu diluar kemampuan. Bukan berarti saya mengeleminasi kesalahan redaksi. Saya lihat kurang komunikasi redaksi dan penulis, harus ada penjelasan bahwa sudah dimuat sebelumnya.
Artikel saya dimuat di Nyata dan Jawa Pos, dengan mudahnya media lokal mengambil artikel saya tanpa meminta izin dari saya. Karena dalih satu grup.

Miftah:
Kampung Rampok mas Yudhi pernah dimuat di Radar Jogja lalu Jawa Pos.

Yudhi:
Itu keputusan redaksi. Mereka satu grup. Honornya pun hanya satu.

Arif:
Kalo saya sih bukan apa-apa, persoalan kreatifitas, penulis dituntut untuk menulis dari banyak perspektif.

Fanny:
Terima kasih untuk tanggapan Lasinta untuk Pohon Mangga. Saya pikir perlu keberagaman ada esei yang reflekti mudah dicerna. Tapi ada juga esei yang jlimet seperti eseinya Kabut. Sehingga kita punya banyak pilihan.

Miftah:
Saya tutup terima kasih maaf jika ada salah-salah. Acara ditutup dengan penampilan dari Niko.

Pengisah(an) Pawon, oleh Bandung Mawardi

Percakapan kecil, petang di pinggir jalan ramai. Tiga lelaki mengisahkan diri di sebuah bilik lusuh. Di luar ada bis, mobil, motor bersliweran. Deru kata kalah oleh raung jalan, lelah hari, dan lantai kotor. Waktu bergerak, sesaat. Mereka memerkarakan sastra di Solo. Tema sepele, wagu, dan ragu. Di ujung tahun 2oo6, di permulaan pengharapan kerja sastra.

Mereka itu Bandung Mawardi, Joko Sumantri, Ridho Al Qodri. Tiga lelaki memelas, susah mengobrolkan perempuan tapi bergairah mengurusi kata. Sastra jadi sandaran. Di bilik dekat perempatan jalan, Sekarpace, bertaburan buku dan berhamburan kata. Mereka ingin mendefinisikan kota, mengisahkan Solo, menghadirkan diri. Semua itu mengarah ke agenda menerbitkan buletin sastra. Ambisi kecil tapi (hampir) heroik.

Percakapan sesaat di sebuah petang jadi ingatan letih. Jeda ada, rancangan menjelma. Selang tiga hari, percakapan bersambung. Catatan-catatan disodorkan, debat ala pelamun, dan optimisme picisan. Kesepakatan: mengundang sekian orang untuk temu-ngobrol di pendhapa kecil di belakang TBJT (Taman Budaya Jawa Tengah). Malam sepi, nyamuk berisik, lampu temaram. Sekian orang datang, berkenalan, mengajukan tanya. Penjelasan-penjelasan diberikan meski samar. Semua mau mengurusi ambisi menerbitkan buletin, reaksi tanpa renungan enampuluh menit.

Ramai omongan terjadi, melawan kantuk dan malas. Nama jadi pertanyaan. Sekian orang usul dengan malu, ragu dalam argumentasi, dan arogan ala propagandis. Nama Pawon pun terucapkan oleh Bandung Mawardi. Sanggahan dan ejekan pun terdengar. Nama itu tak sensasional, jelek, dan rendahan. Nama ini diambil dari khazanah Jawa. Pelan-pelan penjelasan mengalir, mengundang perhatian. Bandung Mawardi tak ingin memberi argumentasi pelik. Sejumput maksud nama Pawon. Nama ini bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi dapur. Pawon mengandung arti tempat memasak, kerja produktif, suasana, aroma, makanan, etos hidup, perjumpaan, interakasi, …

Sekian arti itu membuat nama Pawon (mungkin) pantas jadi ajakan bagi publik melakukan selebrasi sastra dengan optimisme: memasak, mengolah, meracik, menyuguhkan, mencicipi, menyantap…. Nama ada tapi mekanisme hidup masih jadi perkara pelik. Usulan iuran dan pembagian peran berlangsung tergesa, enggan menanti malam rampung. Konsensus kecil: pengumpulan uang demi nafas sastra di Solo. Pawon pun telah mempertemukan sekian orang dari rumah berbeda: Kabut Institut, Meja Bolong, Sketsa Kata, HPK, dan lain-lain.

Pengelolaan awal mengesankan kerja obsesionis. Pencarian tulisan, penggarapan naskah, dan mencetak membutuhkan selusin hari. 27 Januari 2oo7, buletin sastra Pawon hadir dalam wajah bersahaja. Undangan ke para penulis dan pembaca diedarkan untuk perayaan buletin sastra Pawon. Acara itu ada di sebuah rumah kontrakan, Ringin Semar, Solo. Kehadiran mereka mirip ritual pengesahan Pawon, pengesahan perjumpaan umat sastra di Solo. Hari itu ada optimisme untuk Pawon!

Pertemuan dalam acara Pawon itu mengakrabkan para penulis dan pembaca. Akrab ini jadi modal menggerakkan sastra di Solo, dalil semaian literasi, kata “ajaib” mendefinisikan kerja sastra berketerusan. Pawon pun mulai menapaki jalan sejarah, menghadirkan pikat sastra.


Ingatan dan Peristiwa

Selebrasi buletin sastra Pawon edisi 1 (2oo7) telah menyulut polemik, menjadi ajang perdebatan sengit tentang kebermaknaan sastra. Polemik itu didokumentasikan dalam Pawon edisi 3 (2oo7) bertajuk “Bara Sastra” dengan memuat tulisan Secuil Kisah Launching Pawon (Haris Firdaus), Sebuah Catatan untuk Joko Sumantri (Tommy Hendrawan), dan Catatan atas Catatan (Joko Sumantri). Jejak awal ini menandai Pawon melakukan komunikasi-interaksi dengan para pembaca-penulis. Misi menjadikan Pawon sebagai pintu kecil menggairahkan sastra di Solo seolah mendapati antusiasme, tanggapan, kritik, dan sanggahan.

Ingatan perjumpaan dengan para pengelola Pawon dan edisi-edisi Pawon masih jadi acuan mengisahkan sastra di Solo. Dias Panggalih mengenang: “Berkumpul dengan orang-orang Pawon menjadikan keakraban menuju proses kreatif.” Dias mengenal Pawon saat masih menempuh studi di SMA Negeri 1 Solo. Buletin sastra Pawon telah jadi bacaan memikat meski tipis, mungil, dan berkertas buram. Pawon di tangan siswa itu pelan-pelan mengomunikasikan peran sastra dan interaksi penulis-teks-pembaca di kalangan siswa. Pawon menyapa siswa, mengundang mereka untuk membaca dan menulis, berdiskusi.

Pengakuan juga diberikan oleh Arif Saifudin Yudistira, mahasiswa di UMS (Universitas Muhammadiyah Surakarta). Arif mendapati buletin sastra Pawon sebagai keajaiban kecil. Perjumpaan dengan para pengelola dan penulis di buletin Pawon memberi sulut kreativitas. Arif menjelaskan: “Pawon bagiku adalah inspirasi, guru, tempatku bergumul dan belajar sastra.” Perjumpaan, sapaan, dan obrolan jadi peristiwa penting untuk merawat gairah sastra. Pawon perlahan “mencipta” lingkaran pembaca, mendapati tanggapan bersambung tak rampung dari kalangan pembaca. Sekian pembaca justru sanggup memberi tulisan, tampil sebagai kontributor untuk edisi-edisi terbitan Pawon.

Tanggapan mengejutkan muncul dalam surat pembaca. Achmad Fathoni, mahasiswa di Jogja, pembaca dan tukang kritik mengirim surat pembaca. Surat ini dimuat di buletin sastra Pawon edisi 15 (2oo8): “Pawon adalah buletin sastra sampah. Pawon sok menguasai dunia sastra dan menganggap sastra sebagai sesuatu yang mulia. Pawon adalah ajang eksistensialis sastrawan pemula dan sastrawan koran yang bermimpi mereka sehebat sastrawan besar….”

Komentar-kritik ini membuat orang-orang di Pawon justru melek dan eling tentang situasi sastra mutakhir. Optimisme malah semakin mengena. Pawon merasa mendapati perhatian, hadir dalam interaksi menggairahkan. Semua ini jadi fondasi untuk membuat acara-acara kecil, obrolan terbuka dengana sekian orang, mengurusi sastra tanpa formalitas. Pawon pun lekas dikenali sebagai kelompok penulis-pembaca inklusif. Nama dan agenda-agenda Pawon mulai memberi arti untuk geliat sastra di Solo dan sekian kota di Jawa.

Daftar kecil mengacu ingatan tak lengkap untuk agenda-agenda sastra oleh Pawon selama empat tahun: (1) Anugerah Pawon 2oo7 dengan penerima Wijang Jati Riyanto, Daud Wijaya, Dwicipta; (2) Pembukaan Rumah Sastra, 16-18 November 2oo7 di Gang Kepuh 3o B, RT o1 RW IX, Jebres, Solo; (3) Pendokumentasian Solo melalui cerita (2oo7-2oo9) menghasilkan buku kumpulan cerpen Lamaran Sri; (4) Pawon mengadakan sayembara penulisan esai dan resensi, 2oo7; (5) Pawon (Solo), Ben! (Jogja), dan Hysteria (Semarang) mulai 2oo7 membuat konsensus untuk memuat sisipan khusus di masing-masing buletin bertajuk Joglosemar; (6) Pawon dan Taman Budaya Jawa Tengah mengadakan Workshop Sastra, 28-29 Juli 2oo7 dengan menghadirkan Abidah el Khailaqy, Iman Budi Santosa, S Prasetyo Utomo, Tjahjono Widianto, dan Triyanto Triwikromo; (7) 2oo8, Pawon memiliki acara Ruang Sastra di soloradio FM, setiap Minggu, 24.oo WIB; (8) Pawon mengadakan sayembara menulis puisi bertajuk Menyapa Indonesia, Agustus-Oktober 2oo8; (9) Pawon selenggarakan Kemah Sastra, 2o-23 Maret 2oo8, Padepokan Lemah Putih, Solo; (10) Workhsop menulis untuk remaja di Taman Hiburan Rakyat Sriwedari, 2oo9; (11) Pawon untuk Solo, workshop sastra di Simpel Space, 2oo9; (12) Diskusi intim selama 2oo9 mengobrolkan buku Kitab Diri (Puitri Hatiningsih), Pulung (Indah Darmastuti), Risalah Abad (Bandung Mawardi), dan Pigura (Haris Firdaus); (13) Pawon ada di “Dialog Penulisan Kreatif” di Pondok Pesantren Al-Muayyad, Solo, 28 Januari 2o1o; (14) Pawon adakan workhsop dengan titel “Sinau Maca lan Nulis”, Taman Balekambang, Solo, 9 Mei 2o1o; (15) Festival Sastra Pawon, 22-23 Januari 2o11, menghadirkan Mardi Luhung, Sanie B Kuncoro, Beni Setia, Raudal Tanjung Banua; (16) Ngrembug novel Jawa, 2o11. Sekian agenda diadakan Pawon secara intensif selama empat tahun. Sekian acara masih tercatat tapi sekian acara masih harus diingat kembali.

Heri Priyatmoko, sejarawan, mahasiswa pascasarjana di FIB UGM, memberi pengakuan: “Pawon adalah gairah sastra di Solo. Pawon mengingatkan Solo sebagai kota literasi yang pernah terkenal melalui Ranggawarsita di masa lalu.” Solo memang moncer sebagai pusat kultural Jawa, referensi kesusastraan Jawa. Label itu identik masa lalu tapi terasakan lagi sastra Pawon berikhtiar menjadikan Solo sebagai ruang semaian sastra. Kerja kultural ini memiliki jejak masa lalu dan sadar atas kondisi zaman mutakhir.

Edisi demi edisi buletin Pawon menyapa pembaca ke pelbagai kota. Sekian pujian dan cacian bermunculan, mengingatkan tentang antusiasme dan optimisme menempuhi jalan sastra. Kehadiran dan sebaran Pawon juga jadi perhatian di kalangan jurnalis di kota Solo selama hampir tiga tahun. Buletin sastra Pawon jadi bacaan populis, hangat, dan mengangeni. Ichwan Prasetyo, redaktur koran Solopos, mengakui: “Pawon dan orang-orang di baliknya adalah proses menjadi yang semestinya tak pernah selesai.” Penilaian ini mengacu pada model interaksi antara pengelola Pawon dengan publik. Pawon pun jadi rujukan untuk mempertemukan para penulis dan para pembaca dalam suasana akrab, gayeng, mengesankan.


Para Pengisah

Pembacaan atas geliat sastra di Solo, gairah kerja sastra para penulis dan pengelola Pawon mendapati sorotan serius dari Beni Setia. Cerpenis, esais, penyair ini jadi pembaca buletin sastra Pawon meski tinggal di Caruban, Jawa Timur. Pengenalan, pembacaan, dan obrolan dengan Pawon menimbulkan impresi. Komentar Beni Setia: “Pawon itu militanisme. Di belakang Pawon ada orang-orang yang cinta mati pada sastra, mengamalkan dengan pengabdian dan pengorbanan. Persaingan dan aura kompetitif dalam Pawon melahirkan penulis-penulis produktif dengan penyebaran yang menggurita.”

Kalangan pembaca dan publik dalam acara-acara Pawon plural. Acara-acara Pawon kerap mempertemukan dosen, ibu rumah tangga, penganggur, siswa, mahasiswa, buruh, guru, pengusaha, dan sekian orang dengan berbeda latar belakang. Mereka merasa menemukan ikatan bersama Pawon, menghirup nafas literasi dalam kebersamaan, mengomunikasikan pelbagai hal dalam situasi girang dan jelang terang.

Gejala-gejala itu diamati oleh Akhmad Ramdon, pengajar sosiologi di UNS (Universitas Sebelas Maret). Ramdhon mengatakan: “Jejak-jejak kota sedang ditorehkan kaum muda. Sebuah momentum penting sebagai bagian dari kota yang punya memori mundur berabad-abad dan sebaran atas berbagai agenda menjadi tumpukan lempeng ingatan atas masa kini yang akan bergerak ke masa depan.” Buletin sastra Pawon dan acara-acara publik Pawon turut menggerakkan kota, memberi arti atas Solo, menebar pengaruh ke kota-kota di luar Solo.

M Fauzi Sukri, mahasiswa Jurusan Sastra Inggris UNS justru mendapati kejutan-kejutan saat mengenal, membaca, dan bergaul dengan lingkaran penulis-pembaca Pawon. Fauzi semula susah mengetahui geliat sastra di Solo, tak mengenali para penulis di Solo. Pelan-pelan bersama Pawon ada suasana pembelajaran progresif, aktif, dan militan. Fauzi menemukan ada gairah meluap dalam agenda-agenda acara, pergaulan, dan terbitan Pawon. Kata Fauzi tentang Pawon setelah mengenali selama hampir empat tahun: “Para penggeraknya militan. Ada roh keingintahauan, etos belajar, dan kebersamaan.”

Pembacaan atas kerja kultural Pawon dan makna buletin sastra Pawon juga dilakukan oleh Tia Setiadi, bermukim di Jogja. Kritikus sastra dan penyair ini menganggap ada kontribusi tak biasa saat Pawon mendeklarasikan diri dan bergerak dalam dunia sastra. Tia mengatakan: “Pawon, selama beberapa tahun tegak menggemakan suara-suara anak muda yang aneh. Aneh, karena di suatu masa di mana uang, jabatan, dan popularitas menjadi kejaran semua orang, anak-anak muda ini justru bergerak tanpa terlalu peduli dengan ketiganya. Pawon seakan menjadi antidot dari kultur masyarakat pos-industrial. Di sinilah gagasan digodok, ide-ide diperdebatkan, karya didedah.”

Sekian orang memang mengenali dan bergaul dengan Pawon sejak awal, 2oo7. Hampir dalam peluncuran edisi-edisi baru Pawon atau acara publik sering hadir orang-orang baru. Mereka datang, menyapa, lekas berbaur dengan arus Pawon. Keterlambatan itu dialami oleh Joko Utomo, penulis cerpen dan cerita anak. Joko mengenali Pawon di tahun 2oo9. Perjumpaan itu masih membekas dalam ingatan. Joko, Pemenang I Sayembara Menulis Cerpen Solopos 2o11, mengenang tentang acara workshop penulisan oleh Pawon: gratis dan heboh. Joko menganggap bahwa Pawon tak bercorak komersial tapi lebih mengutamakan misi berbagi. Joko pun mengakui: “Di Pawon, tidak ada perbedaan kasta antara orang yang sudah pintar dan yang masih dalam taraf belajar.” Hal ini membuat Joko merasa akrab dengan Pawon.

Kesan hampir sama dialami oleh Miftahul Abrori, cerpenis dan penyair. Miftah sering berinteraksi dengan Pawon, hadir dalam sekian acara, menulis untuk Pawon. Pengalaman sekian tahun bersama Pawon menimbulkan kesan tak biasa. Miftakh menjelaskan: “Pawon, selama empat tahun ini, masih menjadi jujugan dan rujukan sastra bagi penulis di Solo.”

Kesan atas makna Pawon terbahasakan secara puitik oleh Budiawan Dwi Santoso, esais dan penyair. Budiawan semula adalah pembaca tulen buletin sastra Pawon. Sekian kali mencoba mengirim tulisan ke redaksi Pawon meski tak lekas lolos seleksi untuk dimuat. Ketelatenan membaca Pawon dan kenekatan menulis menjadikan Budiawan sadar tentang etos sastra dalam nafas hidup penggerak Pawon. Budiawan pun menemui takdir menulis. Sekian esai telah dimuat di koran-koran nasional dan lokal. Kisah membaca dan menulis dalam interaksi bersama orang-orang di buletin sastra Pawon itu memunculkan kesan: “Pawon adalah sajian kecil dalam ekstase hidup ini.”

Pengalaman berjumpa dan berbaur dengan Pawon seolah mengubah hidup Fanny Chotimah, penyair dan esai asal Bandung, Jawa Barat. Fanny tiba di Solo, 2oo5. Alkisah, Fanny menemukan buletin sastra Pawon di kafe kecil, Green House, Solo. Ada pengumuman acara Kemah Sastra, 2oo8. Fanny memustuskan ikut dan mendapati pergaulan dengan teman-teman pembaca-penulis dari Solo dan pelbagai kota. Ratusan orang dari Solo, Jogja, Semarang, Bandung, Wonosobo, Purwokerto, dan sekian kota. Pawon sebagai buletin dan pergaulan menebar sihir sastra. Fanny mengakui: “Sastra masing asing bagiku. Membaca dan menulis masih jauh dari keseharianku. Teman-teman Pawon yang selalu berbagi kisah telah menularkan esai, menyelipkan cerpen, dan membisikkan puisi dalam tubuhku: menghidupkan sastra dalam diri. Sejak itu membaca dan menulis menjadi hidupku.”

Pawon adalah titik kesadaran. Hal ini dialami Sartika Dian Nuraini, esais dan penyair asal Magetan, Jawa Timur. Pembacaan atas Pawon melahirkan anggapan: “Pawon itu subversif…. Sejak tahu Pawon, aku jadi mengerti sastra untuk tindakan menghargai dan dihargai.” Pawon itu tanda seru. Sartika menjuluki Pawon itu “ejekan” atas kelesuan sastra dan pragmatisme dalam dunia publikasi sastra.


Misi dan Kerja Sastra

Misi buletin sastra Pawon untuk perjumpaan-perjumpaan produktif dan kreatif memang mulai terbukti kendati ada bocor, sangsi, dan sungkan. Penghadiran Pawon di tahun pertama memang ada harga. Redaksi melabeli dengan harga murah karena mementingkan buletin itu menyapa pembaca. Selesai di 2oo7, redaksi menggratiskan buletin sastra Pawon. 300-an eksemplar Pawon diedarkan ke pembaca di Solo dan pelbagai kota. Semua ini justru menghasilkan interaksi produktif antara para penulis dan pembaca, membuat greget pertemuan dan obrolan dari pelbaagai kalangan. Pawon hadir sebagai sapaan untuk selebrasi sastra tanpa disusahkan oleh harga, jarak, dan profesi. Pawon pun menebritkan buku-buku sederhana dari para penulis Solo sebagai bentuk penghormatan atas kerja sastra tanpa angan komersialitas. Pamrih penerbitan buku-buku itu persembahan kata, undangan menggerakkan misi sastra.

Para pengelola (penggerak) menghidupi Pawon dengan iuran tiap bulan. Kebijakan ini dikehendaki, jauh dari paksaan. Model memberi sokongan dana ini merepresentasikan kemauan besar menghidupi sastra, menghangatkan interaksi sastra, dan mendefinisikan diri dalam kreativitas. Acara-acara Pawon juga diselenggarakan gratis: diskusi, sayembara, dan workshop. Kata gratis mungkin mengandung pengertian ganjil dan wagu tapi keberlangsungan kehidupan buletin dan interaksi orang-orang di lingkaran Pawon terikat oleh ikhlas dan integritas tanpa kolot memikirkan uang (komersialisasi).

Pengisahan tentang Pawon muncul dari Munawir Aziz. Dulu, 2oo7-2oo9, Munawir membaca edisi-edisi buletin sastra Pawon saat masih kuliah di Kudus. Penulis asal Pati itu sekarang jadi mahasiswa di CRCS UGM. Pembacaan dan pergaulan dengan Pawon selama 3 tahunan memberi impresi-impresi tak biasa. Munawir jadi sering dolan ke Solo, makan bareng, mengobrolkan pelbagai hal dengan pengelola Pawon dan para penulis di Solo.

Kesan Munawir terhadap Pawon: “Pawon tak hanya sebagai komunitas. Pawon menjelma kawah candradimuka bagi penulis-penulis muda di Solo dan sekitarnya. Keberadaan Pawon seakan menjadi gerak tanding kuasa yang terpusat di Jakarta. Pawon mendekonstruksi pusat. Pawon itu kutub baru yang dinamis, digerakkan oleh energi semangat dan persudaraan sastrawan muda yang diikat oleh idealisme dan janji merawat kata. Pawon merupakan fenomena, berjasa dalam mengampanyekan sastra di tengah keringnya dunia literer di Indonesia.” Pendapat ini menguatkan anggapan tentang militanisme dalam sastra oleh Pawon di Solo. Kerja sastra tak pernah rampung, berjalan tanpa lelah dan putus asa.

Spirit adalah modal penting kehidupan komunitas. Hal ini diakui oleh Tjahjono Widianto, sastrawan dan dosen di Ngawi, Jawa Timur. Sekian tahun mengenal buletin sastra Pawon dan berinteraksi dengan para penulis-pembaca di lingkaran Pawon membuat Tjahjono mendapati optimisme nafas literasi di Solo. Tjahjono menilai bahwa ada semangat luar biasa di Pawon: “Pawon melakukan upaya pendokumentasian, mencatat generasi-generasi yang berusaha menggenggam zamannya sendiri.”

Julukan militanisme juga diberikan oleh cerpenis dan penyair kondang, Sunlie Thomas Alexander. Para penggerak dan lingkaran pembaca-penulis Pawon jadi representasi dahsyat dan militan. Sunlie sadar posisi Pawon ada di negeri sial karena sastra susah bertumbuh di sekolah dan kampus. Pawon hadir justru untuk turut menyemai dan merawat sastra. Kritik Sunlie atas anutan sastra di Pawon: “Bobot puisi dan cerpen mesti diperberat.” Sekian pembaca memang menganggap sajian puisi dan cerpen di Pawon kurang greget meski tak mengabaikan selera dan anutan para penulis.

Seorang penikmat buletin sastra Pawon, Nana Riskhi Susanti, juga menilai lembaran puisi dan cerpen di Pawon kurang memikat. Nana cenderung memilih sajian esai. Nana mengenali Pawon sejak 2oo9, saat masih menempuh kuliah di UNNES Semarang. Sekarang, Nana, meneruskan studi di Universitas Indonesia. Pergaulan dengan Pawon menimbulkan anggapan bahwa nasib kritik sastra di Indonesia memang berjalan lambat. Ada kesenjangan tak terkira. Pawon dianggap cukup mau mengusahkan kehadiran esai dan ulasan sastra kendati tak terpublikasikan secara luas di Indonesia.

Pawon memang sering dikenali sebagai buletin dan kumpulan penulis-pembaca. Pengenalan dan pergaulan dengan Pawon dialami Arif Hidayat, penulis dan dosen di Purwokerto, Jawa Tengah. Arif menjelaskan: “Pawon itu sebagai ruang sastra bersama bagi semua kalangan. Kalau tak ada Pawon, Solo terasa dingin.” Arif seolah menguatkan citra kota, Solo adalah kota literasi. Pawon hadir dalam kebersahajaan dan optimisme. Wijang Wharek, pendiri Pawon dan pegawai di Taman Budaya Jawa Tengah, mengimbuhi: “Banyak penulis muda yang menjadikan Pawon sebagai wahana diskursif untuk mengasah ketajaman intuitif, kreatif, dan referensial.”

Konklusi pendek atas kiprah dan ulah Pawon, buletin dan kumpulan penulis-pembaca, selama sekian tahun diajukan oleh Saifur Rohman, kritikus sastra dan pengajar sastra di Universitas Semarang dan Universitas Negeri Jakarta. Saifur mengomentari Pawon: (1) menampung aspirasi sastrawan muda; (2) isi tak kalah dengan sastra koran; (3) pengelola punya kompetensi yang dapat diandalkan. Semua itu dilakoni tak peduli meski dana selalu mepet karena tak mau mengemis dan tak kapok miskin.

Gerak Pawon selama empat tahun memang berat tapi dilakoni dengan girang. Soal dana atau resepsi publik jadi beban tapi “dientengkan.” Kehadiran Pawon turut menstimulus kehadiran penulis-penulis baru, membarakan gairah para penulis lawas, dan mengikhtiari ada semaian masyarakat literasi. Interaksi jadi urusan kunci. Pertemuan, obrolan, dan publikasi tulisan seolah mengikat ambisi dan misi sastra. Semua itu perlahan diimbuhi dengan model interaksi di blog dan FB. Pawon mulai menanggapi zaman, bergerak ke jagat maya, memberi sapaan dan menghadirkan diri tanpa sungkan.


Bergerak

Pawon selama empat tahun memiliki penggerak. Mereka adalah Joko Sumantri, Bandung Mawardi, Ridho Al Qodri, Wijang Wharek Al Mauti, Han Gagas, Yudhi Herwibowo, Puitri Hatiningsih, Anton WP, Yunanto Sutyastomo, Ari Wibowo, Haris Firdaus, Indah Darmastuti, Fanny Chotimah, dan lain-lain. Sekian orang juga turut merawat Pawon. Mereka adalah Daud Wijaya, Dwicipta, Agus Budi Wahyudi, Yudi Teha, Sanie B Kuncoro, dan lain-lain. Niat menggerakkan sastra jadi komitmen besar, mempertemukan dalil dan argumentasi untuk selebrasi literasi, optimisme dan gairah jadi modal membentuk masyarakat pembaca-penulis dalam anutan pluralitas.

Nama-nama itu seolah menandai ada geliat sastra tak usai di Solo. Masing-masing hadir sebagai penulis-penulis ampuh, berbagi dalam kerja sastra bersama, dan berbaur dalam kehangatan untuk memuliakan sastra. Inklusivitas jadi pijakan menggerakkan sastra di Solo tanpa merepotkan diri dengan senioritas, komersialisasi, atau popularitas. Dalil-dalil itu memang kadang mendapati godaan, salah dalam tafsir dan implementasi, luput dalam gapaian maksud.

30-an edisi buletin sastra Pawon telah diterbitkan, puluhan buku sastra telah diterbitkan, puluhan acara telah diselenggarakan. Semua itu belum mencukupi dan tak mungkin diartikan keselesaian. Para penggerak datang dan pergi. Penulis bermunculan, cuti, dan absen. Solo bergairah sastra. Interaksi pembaca dan menulis menemukan spirit kebersamaan dan kegirangan. Pawon tak sekadar buletin, kumpulan orang, atau acara. Pawon bagi sekian orang telah menjelma spirit, etos, dan ruh. Pawon perlahan tak sekadar miliki Solo tapi melintasi batas-batas teritorial.

Situasi interaksi dalam Pawon bisa disimak dalam pengakuan Indah Darmastuti, cerpenis dan novelis. Pengarang novel Kepompong (2oo6) ini mengisahkan interaksi kreatif dalam diri para penggerak Pawon: “Di Pawon, ada rasa saling menopang dan membakar semangat sesama teman sehingga kita harus meningkatkan kecepatan. Seumpama kita berada dalam arena sirkuit, kita harus berjuang untuk menyalip teman atau setidaknya sejajar.” Kerja kolektif memang tak memacetkan misi sastra dalam otoritas para penulis di Pawon. Mereka terus suguhkan cerpen, puisi, novel, dan esai ke publik dalam publikasi koran atau buku. Mereka pun turut memberi arti atas situasi sastra Indonesia mutakhir.

Pawon bergerak disokong oleh perhatian dan gairah persahabatan Sanie B Kuncoro, pengarang novel Ma Yan (2oo9) dan Garis Perempuan (2o1o). Pergaulan intensif selama bertahun-tahun dengan Pawon memunculkan kesan: “… pada komunitas itu tersedia kebebasan untuk datang entah lama atau sebentar, atau melintas berulang-ulang. Tanpa ikatan yang massif, apalagi prasangka. Personil Pawon menjadikan komunitasnya sebagai bilik yang tak berbatas oleh perbedaan apapun itu… Entah bagaimana, berada di antara mereka, gairah menulis seolah saling terjaga. Tanpa berebut inspirasi melainkan justru menumbuhkan imajinasi baru seolah reranting yang menumbuhkan dedaunan. Demikianlah saya menjalani persahabatan dengan komunitas Pawon. Tidak selalu saya ada dalam arus yang sama, kadang kala hanya berdiri di tepiannya atau melihatnya dari kejauhan. Pawon bagi saya telah menjadi ruang lintas yang tak hendak saya tinggalkan.”

Kesan atas laku Pawon selama empat tahun menjadi amatan Agus Budi Wahyudi, dosen di UMS dan penyulut spirit para pengelola Pawon: “Pawon itu tempat bertemu, bersapa, dan berkehendak memanusia.” Ingatan dan kesaksian aaatas Pawon memang ada dalam diri sekian orang. Pawon ada menjadi milik bersama, digerakkan oleh spirit kebersamaan dan kerja sastra.

Sekian orang dan komunitas merasa ada intimitas biografis dengan Pawon. Di Solo pernah hadir pelbagai komunitas dan terbitan: Alis, Rumput, iklanesai, dan Ketik. Semua menggerakkan sastra dengan interaksi-pergaulan dan sajian terbitan. Sekian agenda mereka masih bergerak dan ada juga pensiun tapi masih meneruskan selebrasi sastra meski tanpa komunitas dan terbitan. Nafas sastra Pawon dan interaksi para pembaca-penulis Pawon terus menghidupi Solo. Pawon juga turut menjadi sulut untuk terbitan Jurnal Kandang Esai dan Jurnal Tempe Bosok oleh Kabut Institut dan Bale Sastra Kecapi (Solo). Kerja sastra tak pernah letih dikumandangkan Pawon dalam aroma kebersamaan, toleransi, dan militansi.

2o11, Solo semakin ramai oleh terbitan dan agenda sastra dari pelbagai komunitas. Mayoritas memiliki intimitas dan relasi kreatif dengan para penggerak Pawon. Mereka bergerak demi sastra dan literasi. Di UMS (Universitas Muhammadiyah Surakarta), 2o11, terbit buletin Papirus sebagai suguhan sastra untuk pelbagai kalangan. Papirus dikelola oleh para mahasiswa di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, UMS. Mereka tampil dengan optimisme, bergerak karena kehendak. Papirus jadi ejawantah kerja sastra. Di IAIN Solo, 2o11, terbit dua buletin: Koeping Lemoet dan Masyarakat Kata. Dua buletin ini tampil dalam kesederhanaan sebagai bentuk undangan terbuka bagi siapa saja agar turut merayakan sastra. Di Gorontalo, 2o11, hadirlah jurnal Tanggomo. Samsul sdp, redaksi Tanggomo, mengakui: “Jurnal Tanggomo terinspirasi dari buletin sastra Pawon yang menjadi salah satu tonggak eksisteni sastra di Solo.”

Kehadiran mereka seolah menguatkan janji bagi para penggerak dan penikmat sastra untuk optimis atas kehidupan komunitas dan publikasi tulisan. Mereka hadir dalam antusiasme, hidup menebar sapaan dan interaksi bersama Pawon. Selebrasi ini jadi kunci semaian sasta tak mengenal putus asa dan dukalara picisan.

Sastra memang terus bergerak di Solo. Pawon pun menjelma tanda untuk mengartikan selebrasi sastra tak rampung. Kesan itu muncul dari Geger Riyanto (Jakarta), esais dan cerpenis: “Pawon itu buletin beken di kancah kesusastraan Indonesia. Kalau ke Solo, ikon sastranya buletin Pawon.” Perhatian atas laku Pawon pun muncul dari Harry Aveling (Australia), kritikus sastra Indonesia: “Pawon is a highly creative and informative bulletin, which always contains a diversity of materials of an extremely high standard.”

Pawon terus bernafas, bergerak tak lelah, memberi sapaan tak bosan. Begitu.

Sunday 6 November 2011

Fiksi, Manusia, dan Tanah Esai Budiawan Dwi Santoso


Tanggal 25 Juni 1766, sekitar jam 11 malam, Jean-Baptiste Grenouille kembali ke tanah kelahirannya. Tanah yang paling busuk dan bau berada di Prancis. Tanah di mana ibunya digantung mati. Tanah di mana ia tak tahu awal mula tanah kelahirannya sendiri.
Perjalanannya pun adalah perjalanan membaui. Di mana, dengan ingatan indera penciumannya ini, ia kembali ke tanah asalnya. Di situlah, Grenouille benar-benar telah kembali ke tanah asal. Hanyalah sisa setetes wewangian yang sebelumnya ia guyurkan ke seluruh tubuhnya sendiri, yang menjadikan jejak. Jejak bau, jejak yang selalu ‘tak nampak’.
Sekelumit kisah itu adalah merupakan adegan terakhir dalam film berjudul Perfume: The Story of A Murderer. Film ini menceritakan seorang pembuat parfum yang hebat sekaligus pembunuh berdarah dingin di Prancis. Namun, yang menjadi perspektif utama dan menarik dalam film tersebut adalah sebuah pencarian jati diri sampai dengan pencapaian spiritual. Ini terlihat, bagaimana Jean-Baptiste Grenouille ketika mendaki bukit, gunung. Pendakiannya “membawa lebih tinggi, lebih dari manusia bahkan lebih mengarah pada kesunyian.”
Di situlah, ia mengenali goa, mengenali kesunyian, akhirnya mengenali keberadaannya sendiri. Di mana, kehidupan dan kematiannya, bermula dan berakhir di atas tanah juga.
Ini sebenarnya, mengingatkan kita bagaimana awal mula manusia, terbentuk dari tanah. Kehidupan Adam menjadi kehidupan yang menawarkan dan meyemaikan benih-benih hidup ke segala ranah. Kehidupan ini dan kini yang terkadang terlupakan oleh kita.
Tentunya, dari realitas fiksi itu, konstruksi tubuh dan pemikiran menjadi ingat pada maknawi, majasi, bahkan tanah asali. Ini juga yang menjadikan diri untuk menuju ke alam ironi, komedi, dan tragedi. Alam yang selalu membuat diri melakukan negasi, afirmasi, dan apresiasi. Alam yang penuh nostalgia, penuh logika.
Maka, seperti yang dikatakan Milan Kundera (2002) bahwa karya seni, karya fiksi, mengandung berbagai macam dimensi eksistensi: mampu menyelidiki dunia petualangan, menyingkap kehidupan perasaan, menemukan keberakaran manusia dalam sejarah, mengeksplorasi daerah yang sebelumnya tak dikenal dalam kehidupan sehari-hari, memusatkan diri pada kekacauan irasional tingkah laku dan keputusan-keputusan manusia serta mempelajari bagaimana mitos dari masa lalu mempengaruhi perilaku manusia sekarang.
Saya pun teringat lagi pada serpihan adegan film Perfume: The Story of A Murderer. Adegan di mana pada awalnya si tokoh utama tidak mengetahui tanah kelahirannya. Namun, dari kepekaan indera, khususnya indera penciuman, ia telah eksis dalam kehidupannya yang heterogen.
Kepekaan tokoh utama dalam karya fiksi itu menjadi kepekaan untuk menyadari diri, mawas diri, dan kepekaan untuk merubah kehidupan yang ‘buram’ ini menjadi kehidupan yang mencerahkan. Kepekaan mereka juga adalah kepekaan sebagai manusia yang menyadari bahwa hidup—meminjam bahasa Louis Leahy—bukan hanya mempertanyakan eksistensinya, tetapi juga membuka diri kepada suatu jawaban yang mungkin, yakni “keberanian untuk berada”. Namun, di realita ini, benarkah kepekaan dan keberadaan tiap manusia telah hilang, tak berada dari dalam diri manusia sendiri?
Phil Brown (2005) menyatakan bahwa kehidupan kini, kehidupan yang dipenuhi sistem kapitalis. Di mana, hidup dipenuhi ‘keseluruhan organisasi kehidupan manusia: penggabungan ekonomi yang menindas, organisasi sosial, budaya popular, etika dan moralitas, hubungan iner-personal, dan yang lainnya. Sistem itu membuat kemanusiaan jauh dari bumi (tanah ini) yang diciptakan itu dan dari dunia kemanusiaan yang telah diciptakan’. Nuansa kapitalisme sekaligus paham yang berperan penting dalam metode ilmu pengetahuan itulah yang menurut Brown ‘memusnahkan validitas pengalaman indera manusia’. Ini juga yang menjadikan manusia terkadang tidak dapat mengejawantahkan dirinya sebagai subyek yang bebas, kreatif, memiliki nilai-nilai moral dan spiritual tinggi.
Keadaan seperti di atas yang mungkin menjadikan eksistensi manusia lekas hancur atau tiada. Memang, manusia hidup di dunia dalam kondisi antara ada dan tiada. Manusia di antara keterbatasan dan ketakterbatasan. Manusia juga tidak terlepas oleh hidup yang seperti teori fisika quantumnya Newton. Walaupun,–meminjam ungkapan puitis Oka Rusmini pula dalam sajak Tanah Lelakiku (1994): tanahku, tanah barumu/setiap garis mengandung darah dan benih luka… Paling tidak, kita menginginkan untuk bisa “…membaca bahasa ilalang dan karang.” Kita menginginkan keadaan diri ini, diri manusia bisa menjadikan ketidakadaan diri yang penuh maknawi, majasi, dan asali.
Kiranya, keberakhiran itu yang sebenarnya bisa mengingatkan kita pada keberakhiran Ernest Hemingway, Virginia Wolf, Yasunari Kawabata. Di mana keberakhirannya justru mampu menyemaikan benih-benih “keberadaan” mereka pada kita di dunia ini dengan abadi. *



Budiawan Dwi Santoso, bergiat di Pengajian Jumat Petang dan Malem Senin (Solo). Tulisan-tulisan dimuat di Kompas, Suara Merdeka, dan Solopos.

Puisi-puisi Noura Nahdliyah














‘Antara Daun, Suara, hingga Purnama‘

Daun berpucuk hijau menyibak tanda tanya besar. Sekuat itukah rasa hingga tak mudah pudar meski sudah diseduh air bergelembung hingga beruap derita.

Masih tentang suara yang melantunkan ayat kedamaian, menyampaikan kecintaan pada Sang Maha Suci, menyebarkan sabda pada tiap-tiap telinga nista.

Begitupun purnama, indah dalam bulatan cahaya merona. Hinggap dalam malam yang kian pekat, mengirimkan salam kedamaian untuk kehidupan mimpi yang kian lelap.

Sementara ini anganku masih berlari, antara surat daun yang pernah terkirim dulu, tentang suara yang pernah berlalu, dan purnama yang pernah tergapai lalu lepas lagi. Ah.. Tiga rona yang berbeda.




Rindu Hujan


Sajakku untuk angin yang mulai tenang,
untuk awan yang tak lagi hitam, kepada hujan yang sedang bersemayam.

Tak biasa angin tenang.. Biasanya ricuh bahkan saling beradu.
Tak biasa angin berhembus pelan.. Biasanya kejam hingga melenyapkan.
Dari angin kulihat awan, bertahta dalam gumpalannya yang kian hitam, pekat bergelantungan.
Dari awan kulihat hujan, deras dengan air yang keras, membawa langit habis terperas.
Kini tak ada lagi angin..tak ada lagi awan..bahkan hujan.
Semuanya tenang...aman..tentram.

Namun aku rindu pada hujan. . . Pada hitamnya awan. . Serta gaduhnya angin yang mengancam. .
Karena dari situlah kita berdiri berpegang tangan.

Penari Bumi Cerpen Nikotopia


Setiap malam-malam purnama. Setiap dendang derik jangkrik yang menemani lelapnya semesta. Kamala yang menggelung rambut panjangnya dengan tusuk kayu yang samar-samar menguarkan wangi aneh, selalu duduk bersila kaki di bawah pohon di halaman gubuknya. Melantunkan kidung-kidung suci.
Tapi, malam ini mantra penjagaan didengungkan. Sebab purnama hari kedua memberi pertanda tidak baik, demikian hatinya merasakan. Mendadak dengung mantra itu surut. Matanya membuka. Menengadah ke purnama yang masih memerah. Jantung berdebur gelisah. Segera ia melesat ke dalam gubuk mungilnya. Menyambar lampu minyak di meja kayu ruang depan yang menerangi remang ruangan. Melangkah ke kamar anak perempuannya.
Dengan suara selembut desis angin sembari mengelus pipi anaknya, Kamala berbisik lirih, “Vidya. Bangun, Nduk. Usir mimpi yang memberatkan matamu. Kita harus pergi sekarang.” Kamala melirik ke arah celah-celah kecil jendela berbingkai bambu, nampak sinar bulan merah menerobos. Vidya tersadar dari kantuk, menoleh ke arah Ibunya.
“Kita harus ke reruntuhan candi. Ada sesuatu yang aneh dan tidak Ibu mengerti, kita harus segera kesana.”
Perawan cilik sepuluh tahun itu mengerjapkan mata sembari mengingat, bukankah kemarin malam mereka sudah pergi ke reruntuhan itu.
“Kenapa, Bu? Kenapa kita harus pergi kesana lagi?”
Wajah Kamala berkabut, Vidya tak bisa membacanya. Ada bercak kegelisahan yang berusaha Kamala tutupi. Perasaan yang berkali-kali menyengat hati. Kamala bangkit, mengisyaratkan Vidya untuk segera bangun dan mengambil pakaian tebalnya. Lalu beranjak keluar mengambil obor, beberapa dupa, pemantik api, beras putih, tirta suci, kembang mawar, dan kanthil.
Kemarin, di tengah wengi saat pemunculan purnama pertama, mereka menyusuri jalan setapak bebatuan yang menurun di depan gubuk. Jalan kecil yang berkilauan ditempa cahaya keperakan bulan menuju reruntuhan. Adalah wujud bhakti mereka mempersembahkan rasa syukur akan Hidup, dengan mengheningkan diri di reruntuhan candi. Setelahnya Vidya menari, diiringi alunan tembang yang meluncur halus dari bibir Kamala. Malam ini mereka berangkat menyusuri jalan kecil itu lagi, dengan obor di tangan dan bingung berkerut-kerut di dahi.
Sesaat memasuki lorong hutan. Kamala tersentak. Telinganya tidak menangkap sedikit pun bebunyian; derik jangkrik-jangkrik, hu-hu burung hantu, bahkan gemerisik pepohonan. Hanya tangan-tangan sunyi nan tajam menyambut mereka. Rasanya, hutan seperti menahan napas. Meski gelisah Kamala terus melangkah. Vidya terdiam waspada, erat menggamit tangan Kamala. Di sela daun-daun pepohonan, Vidya menemukan purnama bertengger agak memerah. Sekilas seperti warna darah yang lama membekas di kain putih.
Mereka tiba di tempat terbuka. Melewati serakan bongkah batu-batu tua. Watu Gowok, begitulah penduduk yang tinggal di bawah bukit ini menamakannya. Sebab di reruntuhan terdapat batu besar yang keseluruhannya berlubang, teronggok dikelilingi tiga arca berlumut berbentuk ular raksasa. Konon, tiga ular itu adalah penjaga Bumi. Bila Bumi rusak mereka akan Hidup dan menyembuhkannya. Namun semua penduduk memercayainya sebagai dongeng bocah. Mereka mendekati pohon ringin besar dengan batang-batang nan kekar di sebelah candi kecil. Terdengar gemericik air. Dari kaki pohon, terdapat ceruk kecil diapit batu-batu, mengalirlah kumpulan air dingin nan kelam membentuk mata air. Di atasnya beberapa kunang-kunang bertebaran melayang.
Gegas mereka menyucikan diri dan menyalakan dupa. Seketika liukan asap putih tipis nan wangi mengambang di udara. Sajen dan sekaran disiapkan. Kamala menarik tangan Vidya untuk duduk disebelahnya.
“Ada apa sebenarnya, Bu? Aku takut.” Ucap Vidya.
“Tak ada yang perlu kau takuti, Nduk. Ibu menangkap gejala entah apa, hati ini bagai disengat sesuatu. Disengat pertanda akan ada kemat—ah sudahlah. Bukan waktunya kita berbicara seperti ini.”
Belum sempat Vidya bertanya, Kamala larut dalam hening, lamat-lamat mendegungkan mantra. Ibunya memang terlalu banyak menyimpan misteri. Sama saat kali pertama Vidya bertanya, untuk apa dia menari di tengah wengi kala purnama mekar di langit ratri.
“Bukan untuk apa, Nduk. Katakanlah ini sebuah Demi.” Ujar Kamala, suatu malam silam. “Menarilah demi kilau ribuan bintang yang dibunuh sepi. Demi kunang-kunang yang melayang melintasi kelamnya sesawahan saat padi menguning sebentar lagi. Demi roh penjaga pohon dan pepohonan yang menjulang menggapai kemilau Matahari pagi. Demi ribuan bening butir-butir air langit yang jatuh bertubi-tubi. Demi hembus angin yang membawa kabar sunyi. Dan demi Ibu Pertiwi, yang kelak padanya kita bersatu dalam pelukan abadi.”
Vidya tidak mengerti maksud perkataan Ibunya. Namun Vidya menyukai saat-saat Ibunya menembang untuk mengiringinya menari. Menembang tentang kepedihan Ibu Pertiwi dan malam-malam sunyi akan pencarian diri sejati. Bagai musik penghibur jiwa yang sepi. Menghapus jejak kesedihan Vidya yang tak memiliki teman sama sekali.
Semenjak kecil, tidak ada yang mau bermain dengan Vidya. Semua penduduk melarang anak-anak mereka dan menceritakan bahwa Vidya itu anak pujan. Anak yang semasa janin dicuri dengan kekuatan mistik dari rahim perempuan. Sebab Kamala bersuami pun tidak. Juga mata Vidya yang sekilas terlihat keabu-abuan. Berbeda dengan mata anak-anak lainnya. Semua penduduk menjauhi mereka. Hanya beberapa yang menyisipkan keberanian, bertandang ke gubuk Kamala ketika membutuhkan bantuan persalinan, terserang sakit, serta penyakit yang sulit dipahami penduduk. Penyakit Niskala. Pada akhirnya Kamala yang menyembuhkan penyakit itu malah dianggap ngiwa, sesat.
Sebagai Ibu, agar Vidya tidak bersedih dan merasa sepi. Diajarkannya Vidya menari. Menari untuk sebuah Demi. Pernah pada sore yang ranum, Vidya pergi ke padang rumput yang tak jauh dari gubuknya. Di sana ia menikmati megahnya sinar emas matahari dan gerak angin. Ia menggerakkan tangannya luwes ke udara. Mengalunkan tembangan Ibunya dengan gumaman. Saat gerakan memutar tubuh. Tiba-tiba capung-capung berdatangan, melesat mengelilingi Vidya. Ia takjub dan terkekeh geli. Ia merasa tak sendiri, tak merasa sepi. Vidya terpana, mendapati satu capung hinggap di bahunya dan ia mendengar bisik-bisik halus. Bisikan yang ia mengerti dengan hati. Bisikan yang mengatakan sebentar lagi hujan akan mengunjungi Bumi.
Kamala yang hampir selesai membereskan beberapa tanaman obat kering yang ia jemur di palang-palang kayu, menatap Vidya kecil yang berlari ke arahnya.
“Bu! Ibu!” teriak Vidya, terengah-engah sembari menunjuk-nunjuk langit, “Bu, aku mendengar capung-capung berkata. . . sebentar lagi akan…”
“ Hujan.” Kamala meneruskan.
Vidya ternganga, Ibunya tahu sebelum ia mengatakannya. Kamala mendekati Vidya yang masih kelelahan berlari. Membelai rambut hitamnya.
“Sekarang kamu sudah bisa membaca gejala Alam, Nduk. Itu bagus. Tajamkan semua inderamu.” Kamala mengacungkan telunjuk ke dada bawah Vidya, “Terus dengarkan dengan ini.”
Sejak itu Vidya banyak mendapat pelajaran. Tentang Hidup selaras dengan Semesta. Tentang Alam yang memiliki jiwa, sama seperti manusia, dan Alam bisa menjadi teman penghibur hati. Pula Kamala mengajarkan tentang jenis tanaman obat dan beberapa ilmu pengobatan. Meramu, menggerus, sembari menembang kidung-kidung suci. Sudah menjadi tugas Kamala mewariskan semua keahlian dan pengetahuannya. Kini Vidya tak lagi merasa sendiri, tak merasa sepi. Ia memahami, arti menari untuk sebuah Demi.
Dengung mantra kuno Kamala berdenging di telinga Vidya. Suasana makin mencekam. Lalu udara bergetar, bagai riak gelombang di permukaan air. Sekelebat kilatan cahaya berkerejap di pohon ringin itu. Perasaan aneh seperti menjangkau Vidya. Ia merasa seperti kepingan kecil yang dikembalikan untuk menggenapi semesta. Sekeliling Vidya segalanya berkelebat cepat. Seperti berada di antara nyata dan ilusi.
Vidya ingat, Kamala pernah melelapkannya dalam sepenggal dongeng tentang dunia halus. Dunia di balik kelambu dunia kasar. Dunia tempat Vidya dan Kamala mengada. Di baliknya; peri-peri, roh penjaga pohon dan mahluk-mahluk aneh lainnya tinggal di sana. Vidya pikir itu hanya dongeng sebelum tidur. Ternyata sekarang Kamala sedang membuka selubung dunia halus.
Tanpa ragu Kamala bangkit dan mengangkat tangan ke arah pohon itu, mengatakan sesuatu dalam bahasa yang Vidya tak mengerti. Dari udara kosong, sekobar api muncul di hadapan Kamala. Api itu bergerak cepat membentuk sebuah gerbang besar. Dari dalam gerbang, muncul jari-jemari tajam dan kekar, siap menyayat kasar. Sesosok mahluk berambut api membara, melangkah keluar. Mata tajamnya menusuk ke arah Kamala. Mahluk itu tampak tinggi gagah dan menyeramkan.
Mahluk besar itu membungkuk hormat kepada Kamala. Lalu mereka saling berbicara dalam bahasa yang aneh. Dari nada suaranya Kamala nampak bertanya sesuatu. Si mahluk menggeleng. Meski menjawab pelan, suaranya terdengar liar dan buas. Kamala berbicara dengan nada putus asa. Si mahluk menunduk. Dari belakang punggungnya, si mahluk mengambil sesuatu. Pada tangannya, mekar sempurna sekuntum bunga putih.
“Wijayakusuma,” desis Kamala. Melihat bunga itu Kamala makin resah. Semayup bunga itu menguarkan keharuman nan mistis. Ia tahu makna bunga yang mekar ditengah wengi dan akan layu di penghujung pagi. Bunga yang bersimbol kemenangan. Namun lebih ke sebuah jimat penjagaan dari serangan kekuatan luar yang tidak diketahui. Perasaan aneh itu menyegat dirinya lagi. Bunga ini mewakili, bahwa mahluk-mahluk dunia halus pun tak sanggup menjawab pertanda aneh semesta.
Cukup mendebarkan bagi Vidya menatap mahluk menyeramkan itu. Apalagi mahluk itu menyuruhnya mendekat. Kamala berbalik, mengurai senyum lembut, isyarat kepada Vidya untuk tidak perlu takut. Mahluk itu menjulurkan bunga ke Vidya. Hidungnya menangkap pesona harum yang anehnya, menenangkan hati. Pelan ia mendekat, tangannya meraih bunga itu. Setelah dalam genggamannya. Si mahluk mengucapkan sesuatu. Sinar mata Vidya perlahan meredup. Lalu tubuhnya terangkat ke udara. Kedua tangan Vidya mulai bergerak. Luwes di depan dada. Pun tubuhnya bergerak gemulai. Vidya menari. Bunga itu berpendar keputihan, bagai kerlip rapuh bintang-bintang. Vidya mulai memancarkan cahaya.
Hutan kembali bernapas, ketika salah satu kaki Vidya terangkat ke depan kaki satunya. Tarian yang seirama dengan derik jangkrik, hu-hu burung hantu, gemerisik pepohonan. Bening embun-embun yang mulai lahir di antara hijau urat daun. Gerak lembut sayap burung yang mengerami telurnya dalam sarang. Ratusan semut-semut berjalan teratur membawa bayi-bayi sang Ratu. Semua bergerak, bersatu dalam aliran Kehidupan. Selaras dengan air, api, angin, dan Ibu Pertiwi. Melebur dalam kemurnian. Dalam ketenangan.
Meski lelah, sepulang dari hutan Kamala hampir tak bisa memejamkan mata. Lebih berat memanggul kegelisahannya, dibanding menggendong Vidya di punggung yang langsung terlelap seusai menari. Ditatapnya Vidya yang tertidur disebelahnya. Masih menggenggam bunga itu. Pikiran Kamala melayang, bertanya-tanya, kenapa firasatnya begitu kuat tentang kematian?
Di ufuk timur, matahari pagi meluncurkan remang kemerahan dan kokok ayam jantan terdengar di kejauhan. Kamala terbangun. Masih terasa seperti mimpi, kejadian tadi malam. Namun, saat matahari terasa hangat di punggung ia segera mengambil tanaman sayur yang ia tanam sendiri di kebun kecil depan gubuknya. Vidya turut membantu dengan keranjang bambu.
Ketika tangan Kamala bergerak mencabuti rumput di tanah. Sengatan yang sama seperti semalam singgah kembali. Semakin menguat. Lalu telinganya, lirih mendengar gemerisik sedih.
“Nduk,” Kamala mengisyaratkan Vidya untuk sejenak berhenti bekerja, “Apakah kamu mendengar sesuatu?”
Vidya menajamkan pendengarannya. Di sekeliling gubuk mereka dahan-dahan pepohonan tinggi bergoyang resah. Anehnya, tak seembus pun angin melesat lewat.
“Bu, pohon-pohon itu, mereka seperti menangis.”
“Iya, Nduk. Kamu benar.” Kamala meringis pilu melihat ke pohon-pohon itu. Mereka bergemerisik, seperti memberitahu kepada siapa pun yang mendengarnya. Bahwa mereka bersedih. Menangis.
“Kamala!” Seru suara lelaki dari bawah jalan setapak. Napasnya tersengal-sengal, mendekati Kamala.
“Ada apa?”
“Tolong bantu kami, Kamala. Beberapa orang yang bekerja di sekitar Watu Gowok, mereka. . . mereka kerasukan.” Ujar lelaki itu mengatur napas.
“Apa yang kalian lakukan di sana?” tanya Kamala bingung, cemas berdeburan.
“Kami baru saja menebang beberapa pohon untuk dijual kepa…”
“Apa?!” mendengar itu Kamala langsung murka. Jantungnya berdegup cepat. “Tahukah kalian bila tempat itu wingit, keramat?!”
Lelaki itu tergugu, tidak bisa menjawab. Kamala berlari masuk ke gubuk, mengambil tas kainnya. Ia tak bisa berpikir, dibakar amarah sekaligus perasaan yang menusuk-nusuk. Vidya membuntuti Kamala. Tangannya bergerak ke arah perut. Bunga Wijayakusuma yang telah layu, terselip dibalik pakaiannya. Menjalarkan rasa hangat.
Tergesa mereka bertiga berangkat menuju Watu Gowok. Sesungguhnya penduduk takut mendekati Watu Gowok bila kegelapan tiba. Mereka selalu berkata melihat Cemomong, kobaran api-api milik obor mahluk halus yang membawa roh-roh yang telah melepas napas kehidupan, pergi menuju dunia entah. Entah-berantah.
Tempat itu sudah dipenuhi gumaman tak jelas. Orang-orang berkumpul melingkar. Beberapa membawa kapak dan alat-alat tajam besar lainnya. Salah satu perempuan yang kali pertama melihat Kamala datang, menyuruh semua orang menyingkir memberi jalan. Beberapa berbisik-bisik, melirik ke arah Vidya. Kamala memandang ke arah pohon-pohon yang telah tumbang berguguran. Ia tersentak mendapati batang pohon ringin dekat candi sudah ditebas, meski masih berdiri.
“Cepat! Kasihan mereka.” Desah salah satu orang.
“Ini sebab kalian main tebang saja! Sudah tahu tempat ini wingit!. Beginilah akibatnya!.”
Semua terdiam. Tiga orang tergeletak di tanah bersisian, salah satunya perempuan. Tubuh mereka melengkung kaku berbagai bentuk. Mulutnya berbusa. Yang lain berbicara tidak jelas sambil menyembur-nyemburkan ludah. Kamala merogoh tas kainnya, mengambil sekeping batu jimat. Memegang leher perempuan yang kerasukan, menempelkan batu itu di dahinya, membisikkan mantra. Di atas kepala Kamala, orang-orang memerhatikan. Tak dinyana, perempuan yang kerasukan itu meronta-ronta. Kamala kewalahan. Perlahan perempuan itu berdiri, menatap satu-satu wajah semua orang. Semua menahan napas, ketika mata perempuan itu bertumbukkan dengan Kamala.
“Kam…marr…rrraaa, merr…rree…kaaa...harr…usss…mmaatt…tiii.” Suara serak mengerikan terlontar, serupa desis ular. Mendengar nama Kamala disebut, semua bungkam seribu bahasa. Semua mata tertuju pada Kamala.
“Mmeerrr…reekk…kkaa…meemm…buunn…nnuuh… pohh…hhoon…poh…hoonn. Merr…rree…kaaa...harr…usss…mmaatt…tiii.”
Bersamaan perempuan kerasukan itu jatuh, kehilangan kesadaran. Dari arah lain, jeritan histeris melesat, semua orang berpaling ke arah jeritan itu.
“Ular!! Ada ular besar!!” jerit seseorang.
Dari Watu Gowok, Arca tiga ular raksasa menjadi hidup, sisiknya berkilauan disorot matahari. Debu membumbung ke udara, seiring orang-orang yang berlari menyelamatkan diri, sebab ular-ular besar itu bergerak mengejar mereka. Tubuh-tubuh ketakutan menabrak Vidya, ia terjerembab. Ketika hendak memanggil Kamala, ia melihat Kamala meluncurkan desisan keras. Desisan ular. Kamala berdesis, sepertinya menyuruh ular-ular itu untuk tidak menyerang orang-orang, sembari kedua tangan melambai bersilangan. Namun, dari arah belakang, Kamala merasakan sesuatu mencengkram lehernya. Ia tak bisa bernapas. Adalah jari-jari kekar lelaki menjerat lehernya.
“Dukun biadab! Jadi kau yang menyuruh ular-ular itu untuk memangsa kami, heh?!”
Kamala mencuri-curi napas mencoba berbicara ke ular-ular itu, tapi hanya suara serak tertahan. Mata Kamala tercengang, bayangan besar menudungi mereka berdua. Di belakang punggung lelaki itu, si ular berdiri menjulur-julurkan lidah bercabangnya. Belum sempat lelaki itu menoleh ke belakang. Cepat si ular mengigit kepala si lelaki. Mendadak sengatan yang menguat itu hilang, diganti rasa pedih di perut Kamala. Bercak kemerahan kental melumuri pakaiannya. Kamala mengerang. Ternyata, sempat sebelum ular itu membunuh si lelaki, parang yang dibawanya menusuk perut Kamala.
Vidya berteriak, berlari menuju Kamala. Pada mata Kamala dunia berputar cepat, suara-suara terasa menjauh. Cahaya meliuk-liuk. Kamala ambruk, mencium Bumi. Vidya meraung. Angin sepoi-sepoi datang bersama capung-capung, mengelilingi mereka. Pohon-pohon yang masih berdiri teguh ikut bergemerisik. Semua berduka. Sebelum napas pergi dari raganya, Kamala mendesiskan sesuatu pada ular-ular itu. Segera ular-ular itu melingkari mereka. Vidya meraih tangan Ibunya. Kamala menghadiahkan serekah senyum pada Vidya. Saat airmata Vidya jatuh di pipi Kamala. Saat itu mata Kamala memejam. Keabadian telah memeluk Kamala. Dia tak lagi diikat Kehidupan.
Beberapa jenak timbul kesunyian untuk sesaat. Lalu Vidya menyemburkan lolongan yang menjadi-jadi. Memanggil-manggil Ibunya. Berkali-kali ia mengerjapkan mata, wajah ayu Ibunya mengabur, aliran bening di pelupuk tak jua berhenti. Ia merengkuh Ibunya, bayangan Kamala yang pernah hadir kala masih dirangkul kehidupan, meremang. Menjadi kepiluan yang tak terobati. Vidya dilanda rasa sepi. Kembali, cakar kesepian begitu kejam, menggores dalam.
Di kemudian hari, pada malam-malam purnama. Tidak ada yang menembang untuk Vidya kala ia menari untuk sebuah Demi. Tidak ada lagi. Ya, tidak akan ada lagi. *


Jakarta, January 2009




Nikotopia, seorang Pelamun Profesional yang sering konser di kamar
mandi. Salah satu Founder Komunitas Tin-Thir Jenawi-Karanganyar,
sedang mempersiapkan Event Pasar Jajan Tradisional. Kini tengah asyik
berkarya sebagai Freelance Scriptwriter, Penyanyi Dadakan, dan Aktor
untuk Features Film pertamanya: Anjing Hutan (Spence production, 2011)

Pawon edisi 33/III tahun 2011


Penari Bumi
Cerpen Nikotopia - 3
Malam Berlalu
Cerpen Ekwan N. Wiratno - 11
Sepotong Kenangan dari
Sebuah Kisah
Cerpen Ika Kurniawati - 16

Puisi-puisi Noura Nahdliyah - 22
Puisi-puisi Arif Sarifudin Yudistira - 24
Puisi-puisi Fatih Kudus Jaelani - 27

Negara Tuhan: Jalan Menuju Kebahagiaan
Kisah Buku Niken Kinanti - 29

Tradisi Bersastra yang Kini Hilang
Esai Saeful Achyar - 31
Fiksi, Manusia, dan Tanah
Esai Budiawan Dwi Santoso - 34
Iman Kapujanggan
Esai Bandung Mawardi - 37

Mas Won : Seniman Salon
kartun Anton WP - 39

Pohon Mangga
kolom akhir Fanny Chotimah - 40

Monday 16 May 2011

Pawon edisi Puisi, review Novianne Asmara

Judul : Buletin Sastra Pawon# Edisi Puisi
Editor : Bandung Mawardi
Desain cover dan Layout : Yudhi Herwibowo
Penerbit : Buletin Sastra Pawon
Cetakan : Edisi 32 – 2011

Ini adalah kedua kalinya saya mendapatkan Buletin Sastra Pawon dari Mas Yudhi Herwibowo. Selalu saja saya merasa kagum dan salut dengan teman-teman di Komunitas Pawon itu atas konstribusi mereka terhadap dunia sastra.

Kali ini Buletin yang saya terima khusus berisi puisi, karena memang ini adalah special edisi puisi. Berbeda dengan Buletin yang pernah saya dapatkan sebelumnya, di mana isi buletinnya bergam, tidak hanya puisi tetapi juga ada cerita pendek serta esai.

Puisi-puisi yang terhimpun dalam Buletin Sastra Pawon edisi Puisi ini ditulis oleh orang-orang dengan latar yang berbeda-beda dan dari disiplin ilmu yang berbeda pula. Dari yang memang murni sebagai penyair, editor, novelis, siswa, mahasiswa, santri bahkan sampai pada seorang perempuan pemalas yang sering bangun kesiangan dan mempunyai hobi cuci piring.

Sungguh keragaman yang sangat kontras perbedaannya, tetapi dapat disatukan oleh karya seni yang sama; Puisi.

Hal ini membuktikan, bahwa siapa pun pasti mempunyai jiwa seni. Terlepas mereka menanggapi dan mengaplikasikan kesenangan seni mereka itu dengan cara yang serius atau sekedar hobi saja.

Terbukti dengan puisi-puisi yang lalu-lalang di buletin ini dan tentunya dengan ragam aliran puisi yang berwarna.

Tema yang diusung pun sangat bervariasi. Tidak melulu tema cinta seperti kebanyakan puisi-puisi yang saya buat J, ada tema tentang Ibu, Nenek, alam dan juga keputusasaan.

Tengok saja pusi dari Bandung Mawardi yang namanya sudah tidak asing lagi di dunia sastra dan perbukuan Indonesia. Beliau adalah editor, esais, penyair dan Penulis.

Puisinya kali ini bertema 4 Bab Cuaca.

4 Bab Cuaca

(1)
Cuaca rusak membuat orang-orang lari
Mencari doa dan dongeng-dongeng
Kuburan tua tanpa nama
Cuaca menjelma hantu hitam
Membunuh dan mengucapkan kata
Siksa dan berita buruk

(2)
Orang lupa mengantarkan
Bait-bait sejarah untuk cuaca
Ada kisah kuno
Mengingatkan tokoh dan peristiwa
Nasib-nasib kotor
Cuaca membuka aib
Membuat balas dendam
Mencipta sejarah kematian

(3)
Cuaca memainkan lakon tragis
Dengan bahasa keras dan keramat
Takut dan keluhan bukan pertanyaan
Ada tangisan dalam cuaca
Ada bantahan mengenang
Cuaca tak berhenti hari ini

(4)
Ramalan tidak ada arti
Cuaca dating untuk perang
Pembunuhan nasib dan lupa
Doa dan marah berhamburan
Cuaca membuat kotor
Malas mengandung maut

Setelah membaca puisi itu, saya yakin tiap-tiap orang yang membacanya akan mempunyai persepsi yang berbeda-beda.

Saya menangkap adanya kemarahan dalam puisi ini. Adapun kenapa 4 bab yang dibuat? Mungin Bandung Mawardi ingin menyampaikannya dalam 4 Zaman yang berbeda atau dalam 4 peristiwa yang berbeda.

Itu hanya spekulasi saya yang awam dan tidak begitu fasih dalam membaca puisi dengan bahasa sastra yang dalam dan mengandung makna di setiap kata per katanya.

Satu lagi puisi yang menjadi favorit saya di buletin ini. Bukan karena bahasa yang digunakan tetapi lebih pada bentuk penyajiannya.

Umumnya sebuah puisi itu pendek, hanya terdiri atas beberapa bait saja dan jarang sampai mencapai dua halaman.

Tetapi puisi yang ditulis oleh Han Gagas ini sangat unik dan membuat pengetahuan saya bertambah akan ragam puisi yang ada.

Dulu membaca puisi yang beraliran kontemporer saja sudah membuat saya mengerutkan kening. Pening dan bingung, itulah yang saya rasakan ketika selesai membaca puisi-pusi kontemporer. Dan saat membaca puisi Terbakar Sudah Rumah Kita karya Han Gagas seorang penulis yang tulisannya sudah dimuat pelbagai media massa nasional dan daerah dan juga telah menghasilkan sebuah novel dengan judul Tembang Tolak Bala (LKiS, 2011) ini, menambah kebingungan saya.

Saya tidak tahu jenis aliran apa puisi yang Han Gagas ini tulis. Tapi jujur saya sangat menyukainya. Karena membaca puisi beliau bak membaca sebuah cerita pendek. Dialog yang terjadi di sini seakan-akan adalah hanya sebuah monolog dari satu orang yang sedang bertanya pada dirinya sendiri dengan menjadi sisi baik dan sisi jahat.

Kata-kata yang terangkum dalam dialog dan narasinya pun cenderung berani, tajam dan menusuk.

Bacalah penggalan puisi dengan judul Terbakar Sudah Rumah Kita

Ranjang berderit, bantal jebol, kapas guling terburai. Seprei bersimbah peluh dari noda lipstik gadis-gadis muda.
“Hanyalah karena lebar tubuhku, tebal lenganku…!”
Jangan kau Tanya puting, merahnya ranum, remajanya hasrat. “aku tak peduli foto itu diisap beliung angin. Persetan!”
Pigura jatuh, kaca pecah berhamburan menancapi mukaku, “O, Tuhan, kenapa kau datangkan keriput pada kulitku, kenapa kau datangkan gelora jiwa padanya!”
Darah merembesi pipi tembemku, mengalir ke dagu dan leher gelambirku. Menetes bersama air mataku. Tetes-menetes tak henti menjadi limbah yang menganak sungai mengusung keranda bayi kit ke utara.
“Bukan, Selatan.”
“Utara!”
“Selatan, ah, Timur!”
“Barat!”
“Tenggara”
….
“kau memang binatang!”
“Lalu, apa kau manusia?!”
“Kau hanya comberan!”
Alkitab dekil, Quran berdebu. Sepasang belati menancapi keduanya. Buku-buku berserakan, tangis perempuan dan bayi pecah, hape bordering berjenis suara sirine, badai memelantingkan semua keindahan taman dan kebun, tawa gelegar lelaki membahana tak ada lagi yang tersisa buat kita.
Alangkah senangnya, jika suatu saat nanti saya dapat ikut berkonstribusi menyumbang beberapa puisi koleksi saya pada buletin Sastra pawon ini.


sumber: http://www.facebook.com/notes/noviane-asmara/buletin-sastra-pawon-edisi-puisi/10150177431685754

Thursday 7 April 2011

Beberapa Puisi di Buletin Pawon Edisi Puisi



Puisi Anna Subekti

Merah Marah Darah

Bayang api berpendar di jendela kaca rumahmu
lelaki lajang dan wanita jalang
bercengkerama tanpa kata di ambang pintu
marah merah
peri malam bersandar batu pualam
menangkap tatap kosong
nanar
aku meminta jeda, dalam setiap baris yang kau sebut kata





Puisi Fatimah Wahyu Sundari


Lukisan-lukisan Garam

Berjalan sunyi di tepi laut
Menuju gubug tua
Kita akan bercerita
Dalam kaca bermuram cahaya
Kudengar dengkurmu di kamar sebelah
Ingin segera kuserahkan
Segala tunduk, cium, rinduku padamu
Mata kita menemukan lukisan-lukisan garam
Tak memerihkan namun memerahkan

Kau hisap darahku rakus
Hingga ombak yang menjerit
Terkalahkan gelombang tawamu
Lalu kita menapaki serakan pasir putih
Ku sapa angin bersama nyawa yang terlelap
Menuju jembatan dingin

Aku tak sanggup mengungkap senyum
Meski jejak langkahmu selalu kuikuti


Fatimah Wahyu Sundari, penyair muda asli Karanganyar. Siswi XII IPS SMA Al Muayyad Surakarta. Bergiat di komunitas Thariqat Sastra Sapu Jagad.




Puisi Fanny Chotimah


Gelas-gelas Tak Bertuan

Gelas-gelas itu berdiri pasrah di atas meja
dengan endapan teh manis, ampas kopi, air putih dan genangan semut.
Gelas-gelas itu menunggu sebuah genggaman.

Gelas-gelas itu selalu terjaga meski ditinggalkan.
Ia mungkin tak ingat berapa banyak bibir yang pernah mengecupnya.
Namun ia tak pernah lupa akan kecupan pertama dari perempuan
tanpa perona bibir. Meninggalkan jejak lekat di ingatan,
air sabun tak bisa menghapusnya.
Jejak itu selalu ada di sana, menunggu pemiliknya kembali.

Gelas-gelas itu setia menemani percakapan.
Kunjungan tak terduga seorang tamu
yang diharapkan maupun tidak.
Gelas-gelas itu merayakan kedatangan.
Gelas-gelas itu teman kesepian.

2010


Fanny Chotimah, perempuan pemalas yang sering bangun kesiangan, hobi cuci piring ditinggal di Solo.



Puisi Indah Darmastuti


Mengartikanmu
: Yang Pernah Tinggal di Osaka


Kelopak melati cintaku
Mengantar mekar, mengumbar wangi setanggi temui hatimu

Kau yang di jauh
Kau yang tak tersentuh oleh jejariku dengan madu yang menyepuh
Manis tercecap gilapkan bibir hausmu

Mengayuh rengkuh tatkala rindu hadir menggebu
Ingin kuselimutkan padamu, rambutku yang telah kucuci
Ingin kutidurkan engkau dalam gelaran zaman yang teranyam
Lalu kukidungkan nyanyian sukma dan doa tanpa ratap dan air mata

Lalu kau akan terbangun pada pagi
Tanpa kau temui tubuhku berada di sisi
Selain wangi melati
yang mengantarmu menjumpai hadirku dalam bayang dan mimpi

Solo, 6 Juni 2000



Indah Darmastuti, karya-karyanya tersebar di berbagai media. Novelnya Kepompong telah diterbitkan oleh Jalasutra.



Puisi Miftahul Abrori


Kancing Baju

1
Di Ranjang aku tertusuk kain matamu
Benang biru yang memburu benih
Tergantung di jendela berpagar rindu
Mengurai mimpi di selakang waktu

Aku membiarkan pijakan kakimu
Terbenam di antara rayuan
Melupakan warna pilu
lalu terburai di kancing baju
Malam yang telah kita sepakati
Lelap dalam sepi menipu

2
Bumi merah menelan darah
manusia digelendeng seperti keledai
menjadi tumbal kebodohjan

orang-orang penuh debu
orang-orang berwajah biru
dipermainkan peradaban

Tangan melepuh membuka pagar besi
pelan tanpa menyesatkan bunyi
sepatu dilepas lalu menyapa pintu
matanya tertinggal
menatap sekeranjang tumpukan benang

api tak lagi panas
mengambang tersengat tali
dikancing baju
ia menitip semburat ngilu

Bumi Mangkuyudan, Januari 2011



Miftahul Abrori, bergiat di Thariqat Sastra Sapu Jagad dan Paguyuban Manunggaling Kawula lan Sastra. Masih kuliah di Universitas Nahdlatul Ulama Surakarta.



Puisi Sartika Dian


Ibuku dan Ibumu

air dan hujan
siapa kalian? ibuku atau ibumu?
ataukah ibu yang lain yang diam
sementara debu beterbangan dan menempel di rimbunnya pepohonan
langit yang di atasnya
ada pendar bintang seribu
kejora, kaliankah ibuku atau ibumu yang turut melangkah bersama pendulum bisu yang berdetak detik
pasir putih dan segala
gejolak di dalamnya
adalah klimaks da gambar-gambar kosong
gelombangnya membawaku, musuh dalam ketiadaan

semalam entah mengapa ada
mimpi yang kosong
berbicara tentangmu
tak ada klimaks
yang ada hanya samar-samar
memayahkan tubuhmu
dan putih bergoyang-goyang
sutau hari ada pualam yang retak di antara kakiku dan kakimu
kita menikmati malam pukah berdua
ibuku patah
ibumu ternyata juga

25 Nov 2010

Sartika Dian Nuraini, esais dan aktif di Pengajian Senin (Solo)




Puisi Siska Afriani


Kesaksian Kelopak Mawar Hutan

Dan ketika subuh itu berada dalam kedamaian tak bertuan,
Kau selalu terbangun dari mimpi-mimpi tak beralasan,
Lalu bersicepat dengan waktu,
Menyibak kerumunan embun pagi yang mungkin
akan meremukkan tubuh ringkihmu,
Mendaki punggung bukit yang tak lagi sepantaran dengan usiamu.

Kau tau.....?
Semua orang masih terlelap menjemput mimpinya dalam angan tak nyata,
Nyonya-nyonya besar itu masih berpeluk erat dengan suami mereka,
Dan para pelacur itu baru saja menikmati hidup yang baru mereka rengkuh,
Sementara kau.....
Harus bergelut dengan dinginnya pagi,
Memunguti kelopak-kelopak mawar hutan
Untuk memuaskan cacing-cacing yang selalu berkerontangan dalam perutmu.
Lalu adilkah hidup ini bagimu...?

***

Alunan lagu sunyi disubuh itu
selalu membangunkanku dari mimpi-mimpi yang berkesan,
Lalu berpacu dengan waktu,
Menyibak kerumunan embun pagi yang menyejukkan tubuh ringkihku,
Bercengkrama dengan punggung bukit yang mematangkanku bersama dengan waktu.

Ketika aku melangkah dalam hening subuh itu
Mungkin saja orang-orang di kota besar-yang tak pernah kutahu pasti namanya-
masih terlelap menjemput mimpi,
Tapi bagiku ini kenikmatan hidup tak terperi.

Bagiku inilah kenikmatan hidup,
Menjadi tua tanpa perlu bergantung pada anak cucu,
Memberi hidup pada hidupku tanpa perlu menunggu,
Mengumpulkan mawar-mawar hutan yang akan menyenangkan
cacing-cacing yang kadang berontak dalam perutku,
Dan kembali menunggu pagi,
Untuk kembali berpacu dengan waktu,
Bukankah hidup ini adil padaku...???

Januari 2011


Siska Afriani, mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia, 2009, Universitas Negeri Padang.



Puisi Yudhi Herwibowo

Kain Merah Pudar
kain merah pudar yang kausampirkan di relungku
adalah kain yang dulunya putih
tempat kita mencoreti masa lalu

kau masih saja terluka
di meja makan bundar, tempat kau dan aku bersantap
bersama anak-anakmu, anak-anakku
kau akan selalu bercerita tentang bekas luka di dahimu: kemarahanmu
seakan luka itu masih mengerak perih
dengan kata-kata kramat leluhur yang terpekik
dan aku: hanya bisa menggelung kata

kau memang telah berubah,
tidak semenjak kau sampirkan kain merah pudar itu di relungku
tidak, tidak: tapi jauh, jauh selebih itu
kini kau bahkan begitu berapi
seakan mendapat wangsit, yang sebenarnya hanyalah pangsit di wadah busuk
kau bahkan mengubah semuanya: mencoreti lagi dengan kata-kata leluhurmu di kain merah pudar ini, hingga menjadi lebih kusam
seakan telah menyembuhkan penyakit paling kronis diri kita: kematian

dan aku hanya akan berlirih: ‘maafkan aku, karena tak bisa ikut denganmu…’
tapi kain merah pudar ini, biarlah tetap di sini.

solo, juli 2008


Yudhi Herwibowo, sudah menulis beberapa buku, buku terakhirnya yang baru dirilis Untung Surapati, sebuah roman sejarah.