Wednesday 22 February 2012

Aku & Buku, edisi 5 tahun keajaiban Pawon


Para Kontributor
Membuku | Endy Saputro
Aku dan Buku-buku | Truly Rudiono
Dari Socrates sampai Soekarno: Jendela yang Selalu Menggoda | Halim HD
Sekelumit Buku dan Saya, Saya dan Buku | Ichwan Prasetyo
Tuah Kelenjar Bekisar Jantan | Gunawan Tri Atmodjo
Oase yang Tak Pernah Kering | Andri Saptono
Buku Pramoedya, Mengapa Aku Menulis? | Arif Saifudin Yudistira
Buku yang Menggugahku | Saiful Achyar
Dunia yang Belum Dikabarkan | Beni Setia
Kapan Aku Membacanya? | Agus Budi Wahyudi
Menziarahi Buku, Mencerap Ilmu | Munawir Aziz
Buku Merah dan Nafsu Buku | Bandung Mawardi
Rumah Buku dan Rumah Kebebasan | Afrizal Malna
Buku Imam Ghazali dan Rabi’ah yang Masih Terus Memanggil Saya | Puitri Hati Ningsih
Amru Khalid Bangkitkan Aku Berdiri | Pandan Arum
Antara Cinta dan Cerita | Fanny Chotimah
Pertanyaan dan Penasaran | Indah Darmastuti
Aku dan Buku: Kalau Jodoh, Takkan Kemana | Li Na
Riwayat Buku dan Hal-hal Pertama dalam Hidup Saya | Syam Sdp Terrajana
Sepucuk Doa di Sampul Buku | Sartika Dian Nuraini
Membaca dan Membukukan Kota | Akhmad Ramdhon
Aku dan Buku | Uun Nurcahyanti
Samadi dalam Kelana Kata | Priyadi
Aku Merindu Buku | Rahmah Purwahida
Asyik-Masyuk Bersama Buku | Budiawan Dwi Santoso
Buku, Telinga, Mata | Muhammad Milkhan
Hadiah dari Semesta | Nikotopia
Mengingat Ragawidya | Yunanto Sutyastomo
Berjalan Bersama Karl May | Tulus Wijanarko
Jembatan dan Pengikat | Sanie B. Kuncoro
Buku dan Kegilaan | Geger Riyanto
Aku dan Buku: Takdir Tak Terelakkan | Asni Furaida
Bocah Kecil di Antara Pearl dan Willow | Yudhi Herwibowo
Nasib Karya | Han Gagas

Aku & Buku, review Truly Rudiono


Eudannnnnnnn!
Kalimat itu spontan keluar saat saya menilik isi buntelan yang tergeletak dengan manis di meja.
Betapa tidak, entah apa yang ada di kepala seorang Yudhi Herwibowo saat meminta saya membuat semacam curhatan seputar buku. Dasar pemalas, saya edit saja jawaban untuk pertanyaan yang sejenis dari sis Uci beberapa waktu yang lalu. Selesai mengedit, tulisan saya kirim tanpa beban. Dalam artinya diterima syukur jika tidak anggap sekedar penggembira. Yang penting "perintah" sudah dijalankan.Bisa dibayangkan betapa kagetnya saat buku ini mendarat.
Kover yang menggunakan seorang gadis kecil berbaju batik membuat saya terseyum. Batik identik dengan Jawa, dalam hal ini Solo tempat dimana Pawon berkiprah. Apakah ini menandakan Pawon identik dengan Solo? Semoga kelak menjadi seperti itu. Anak kecil selalu merupakan perlambang bagi harapan. Di atas pundak anak manis ini terletak harapan semoga kelak Pawon bisa terus berkiprah bahkan menjadi besar.Semoga mereka, generasi mendatang bisa terus menjalankan tradisi mencintai buku dan membaca.Itu yang saya tangkap dari kover buku ini, entah betul atau tidak sepertinya saya harus meminta konfermasi ke Mas Yudhi dulu.

Membuka daftar isi, saya langsung terpana heran LAGI. Aduh Mas Yudhi ini....., banyak nama besar disana kok bisa-bisanya menyelipkan saya diantara mereka. Wah curhatan saya bak tulisan anak SD disandingkan dengan makalah seorang mahasiswa. Ada lebih dari 30 orang yang menjadi kontributor bagi karya ciamik ini. Mulai dari Mbak Sanie B Kuncoro, Bandung Mawardi, Indah Darmastuti hingga Mas Yudhi sendiri.
Dari judul-judul yang ada sudah terbayang pastilah isinya terkait dengan dunia membaca, buku tepatnya. Buku ini memang buku yang berisi tulisan seputar buku dan hubungannya dengan setiap individu yang menulis kisah. Penulisnya memiliki latar belakang yang beragam. Ada yang memang menulis, pembaca aktif, peneliti, sastrawan bahkan wartawan. Paham khan kenapa saya masih tak habis pikir kenapa saya yang diberi "perintah" Semoga tugas saya tidak terlalu mengecewakan.

Jembatan dan Pengikat dari Mbak Sannie berkisah mengenai masa kecil yang ditemani dengan kisah-kisah dari Alkitab. Ditambah dengan koleksi novel berbahasa Mandarin dan kisah Kho Ping Hoo. Sang ayah sering mengisahkan ulang kisah yang ada dalam buku sehingga Sannie kecil tak perlu membacanya lagi. Ada beberapa kalimat yang sangat saya suka, antara lain " Saya ingin buku itu tidak memiliki halaman terakhir, seolah menjadi sebuah jalan yang tak henti saya telusuri" Setuju mbak..., buku yang menarik membuat kita tak ingin sampai ke halaman terakhir
Mbak Sannie juga pernah berbagi kisah bagaimana proses kreativitas beliau menulis saat kecil. Wah kita punya jurus yang sama mbak. Sayang anak zaman sekarang sudah tidak mendapat tugas mengarang lagi. Andai saja ada pastilah mampu memicu kreativitas mereka.
Membaca Pertanyaan dan Penasaran dari seorang Indah Darmastuti membuat saya tersenyum sendiri. Buku-buku Lima Sekawan, Sapta Siaga masih tersimpan rapi di dalam lemari buku saya. Bahkan saat melihat edisi terbaru, tergoda juga untuk membeli satu set koleksi lengkap sekedar mengenang masa lalu. Sekarang saya tak perlu bekerja keras demi nilai 8 agar bisa mendapat sebuah buku seperti masa lalu.

Tapi sebuah kalimat berbunyi, "...... saya akan bersepeda dari Pajang...." membuat saya terseyum. Maklum saya besar di Jakarta, tapi beberapa daerah di sekitar Solo seakan akrab di telinga. Terutama sekali karena makan para leluhur yang sering kami kunjungi ada disana. Salah satunya Pajang. Salah satu lagi alasan untuk sering ke Solo.
Sepucuk Doa di Sampul Buku dari Sartika Dian Nuraini membuatku memandangi "sahabatku" buku-buku. Aku bisa merasakan bagaimana kepedihannya saat harus meninggalkan begitu banyak koleksi buku di Ghetto. Itu juga yang membuatku lebih mementingkan membawa koleksi buku-buku alih-alih barang-barang berharga saat permainan rumah-rumahan selesai. Bahkan aku sekana tak perduli bagaimana nasib rumah yang dibeli dan renovasi atas biaya bersama. Entah firasat atau apa, tapi saat membawa barang-barangku dulu, seakan ada yang menghalangiku untuk membawa buku-buku dari masa kecilku. Bayangkan jika mereka terbawa lalu tercecer seperti buku-buku lainnya.

Ruman Buku dan Rumah Kebebasan dari Afrizal Maina sesaat membuat saya merenung. Tiada maksud ingin bertingkah sombong apa lagi tidak sopan tapi mau bagaimana lagi jika sebuah perkenalan sudah dimulai dengan pandangan aneh seputar hobi membaca. Bagaimana bisa mengubah skala prioritas jika bagi saya lebih menyenangkan jika berburu buku-buku di pameran buku dari pada acara obralan tengah malam di pusat perbelanjaan.
Kisah ini juga membuktikan, tidak semua pembaca buku lahir di lingkungan yang juga mencintai buku. Jagoan neonku contohnya. Ia sama sekali tak tertarik membaca. Memang kami bisa rukun karena buku, tapi itu juga karena yang dibaca adalah komik. Dan sepertinya seiring bertambahnya usia, membaca menjadi urutan paling bawah dari skala prioritasnya
Kalimat pembuka, " Buku sebuah perahu yang membawa saya ke tengah laut. Dan di tengah laut, ia harus dilupakan" sepertinya menarik jika dijadikan status di tempat saya bekerje. Sekalian minta izin yah ^_^

Sang dalang, Mas Yudhi menutup buku ini dengan kisah mengenai seorang penulis yang sangat saya kagumi, Pearl S. Buck. Senang mengetahui kami punya pendapat yang sama. Kisah Pearl of China memang sungguh menawan. Kekagumannya akan buku itu ditulis dalam Bocah Kecil di Antara Pearl dan Willow.
Sejarah memang bukan hal yang saya sukai, begitu juga dengan buku sejarah. Tapi Mas Yudhi mampu membuat saya terpesona dengan kisah sejarahnya. Anchee Min membuat seorang Yudhi mendapat pencerahan baru mengenai bagaimana menulis sebuah kisah sejarah. Semoga ini menandakan akan segera beredar kisah besutan seorang Yudhi.
Mau tak mau saya setuju dengan ucapan Mas Yudhi. Dalam buku ini banyak yang membagi kisah seputar kehidupan mereka yang bersinggungan dengan buku. Beberapa lebih seperti curhat alih-alih karya sastra. Tapi apapun itu, semua disatukan dalam sebuah tujuan mulia Ulang Tahun Pawon.
Selamat Ulang Tahun Pawon
Semoga kian berkibar
Ehhh apa?
Kisahku....?
Baca saja di sana yah ^_^

Review Acara 5 Tahun Keajaiban Pawon, oleh: Lasinta Ari Nendra Wibawa


apa yang bisa kukenang dari persahabatan
selain malam mesra penuh percakapan
kata-kata yang riang berluncuran
menguliti satu demi satu kerinduan
diam-diam kau mengikat kembali kisah yang berserakan
dan menyusunnya menjadi aneka lukisan
kemudian kubuatkan pigura dan kuputuskan
untuk digantung di ruang tamu dan kamar depan
sebagai pelajaran
bukan sekedar kisah yang lahir untuk dilupakan
Malam itu bertepatan dengan hari Rabu, tanggal 15 Februari 2012, tepatnya di Balai Soedjatmoko yang merupakan kompleks TB Gramedia. Satu malam yang tiba-tiba menjadi malam yang teramat istimewa. Bukan karena adanya peristiwa alam seperti purnama atau gerhana, melainkan secercah cahaya yang tiba-tiba menyergapi hati kami sebagai seorang pemuda. Yach, malam itu saya mengikuti (sekaligus menyelenggarakan) perayaan ulang tahun Pawon, yang bertajuk 5 Tahun Keajaiban Pawon untuk kali pertama. Cuaca yang bersahabat membuat acara makin meriah dengan dihadiri sekitar 70-80 peserta dari berbagai daerah dengan latar belakang kehidupan yang berbeda. Namun, perbedaan itu melebur dalam satu acara yang bisa dibilang cukup sederhana.
Indah Darmastuti membuka acara yang menjadi agenda tahunan Pawon dengan gayanya yang khas. Sambutan singkat tentang penyelenggaraan acara pun menggema dari Koordinator Pawon, Yudhi Herwibowo. Ia mencurahkan tentang kekaguman dan rasa syukurnya karena Pawon yang selama ini tak memiliki sumber dana tetap masih mampu menjaga eksistensinya, meskipun hanya bermodalkan patungan tiap anggota.
Acara selanjutnya adalah doa bersama yang dipimpin oleh Maulana. Usai doa bersama, disusul pemotongan 5 tumpeng oleh 5 anggota redaksi Pawon (termasuk Puitri Hati Ningsih, Han Gagas, dan Yunanto Sutyastomo) yang diberikan kepada 5 peserta yang hadir saat itu. Adapun peserta yang menerima tumpeng di antaranya Halim HD, Michelle (model cover Aku dan Buku), dan Sanie B Kuncoro.
Usai pemotongan tumpeng, acara dilanjutkan dengan pembacaan puisi yang berjudul Selamat Ulang Tahun, Buku karya Joko Pinurbo oleh Gunawan Tri Atmodjo, cerpenis dan penyair yang mengaku terlambat mengenal Pawon. Ia mengaku makin mengenal Pawon justru saat acara Temu Sastrawan Indonesia IV yang diselenggarakan di Ternate, 25-29 Oktober 2011 lalu. Tepatnya saat Bandung Mawardi membacakan esainya yang berjudul Pengisahan Pawon dalam acara akbar tersebut. Yang menurutnya mampu membuat para hadirin terkesima dengan lakon hidup yang harus dijalani Pawon.
Pembacaan puisi menandai launching buku Aku dan Buku. Bandung Mawardi, sang esais memberikan review singkat mengenai esensi Aku dan Buku yang dibagikan secara gratis kepada para peserta yang hadir. Buku yang merupakan edisi ke-34 tersebut merupakan salah satu bukti cinta para penulis kepada buku yang selama ini memberikan deposito ide dalam menghasilkan karya-karyanya. Curhat tentang buku dari Joko Pinurbo, Afrizal Malna, Beni Setia, Ichwan Prasetya, dan Geger Riyanto dapat dijumpai di dalam buku setebal 196 halaman tersebut.
Pemutaran film dokumenter Pawon made in Yudhi Herwibowo membawa peserta hanyut ke dalam suasana masa lalu. Suasana saat Pawon mewarnai langit kota Solo dengan aneka kegiatan kepenulisan pun mengalir satu demi satu. Mulai dari workshop menulis puisi, cerpen, esai, diskusi, hingga bedah buku. Sembari menikmati tumpeng, peserta diajak merefleksi satu demi satu kejadian. Para peserta pun larut dalam alur pikiran masing-masing. Ada yang sibuk membuka lembar-lembar kenangan yang paling dalam, menertawakan potret wajah masing-masing—yang entah mengapa kamera ‘tega’ mengabadikan beberapa kekonyolannya, atau malah merenungi betapa cepatnya waktu berjalan.
Saya pribadi yang notabene tak banyak mengikuti acara-acara yang digelar oleh Pawon, merasa film tersebut membawa saya bertamasya menyinggahi bilik-bilik kenangan. Mengenang saat saya pertama kali bersalaman dengan Pawon dalam acara workshop Solo Menulis (22 November 2009) hingga saat mengikuti rapat Pawon yang juga bertepatan dengan tampilnya dua redaksi Pawon (Fanny Chotimah dan Indah Darmastuti) dalam acara 40 Hari Bapak Moertidjono (13 Februari 2012). Kedua acara itu menjadi esensi pembuka dan penutup film dokumenter yang berdurasi sekitar 12 menit. Acara pun dilanjutkan dengan sesi Curhat Pawon yang juga menjadi sesi penutup acara pada malam itu. Beberapa peserta pun langsung mencurahkan apa yang menjadi uneg-uneg-nya tentang Pawon. Wijang JR pun mengisahkan tentang perjuangan saat awal-awal Pawon terbentuk, saat masih bermarkas di perempatan Sekarpace.
Pada akhirnya, kami (Pawon) mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada rekan-rekan yang berkenan hadir dan mengikuti acara dengan penuh semangat dan antusiasme yang luar biasa. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Bandung Mawardi bahwa kehadiran rekan-rekan juga merupakan sebuah keajaiban. Kami menyadari ada banyak kekurangan, meskipun kami telah berusaha memberikan yang terbaik yang dapat kami lakukan. Semoga saja angan-angan dan niat kami untuk terus menegakkan pena di kota yang terlanjur mendapat sebutan Kota Budaya ini senantiasa diterbangkan angin dan terpahat indah di kamus peristiwa hari esok. (Surakarta, 22 Februari 2012)
***
Lasinta Ari Nendra Wibawa. Penulis semua jenis tulisan. Karyanya pernah dimuat di berbagai media massa, buku antologi, dan meraih penghargaan. Mahasiswa Teknik Mesin UNS.