Thursday 27 June 2013

SASTRA DALAM NOVEL GRAFIS: HASIL DISKUSI, oleh Arif 'Minke' Setiawan


Material yang saya tuliskan berikut ini hanya didasari ingatan – yang mana saya sadar sangat fana dan temporal sifatnya – sehingga bila ada terjadi kekeliruan penyebutan data dan fakta, dengan rendah hati saya mohon luasnya pemakluman dan lubernya permohonan maaf pembaca sekalian.

Sastra Dalam Novel Grafis
Balai Soedjatmoko, Surakarta, Sabtu (22/06/2013)
Pelaksana Kegiatan: Komunitas Sastra Pawon
Pembicara :
  1. Koskow (akademisi dan pengamat novel grafis)
  2. Dwi Klik Santosa (novelis grafis)
  3. Gunawan Tri Atmojo (sastrawan)
Moderator : Ngadiyo

Novel grafis selama ini dimaknai sebagai varian cerita bergambar yang mengusung tema berat, alur cerita kompleks, serta disampaikan dengan bahasa sastrawi. Ini untuk membedakan dengan varian cerita gambar lainnya semisal komik yang cenderung bertema sederhana serta disampaikan dengan gaya bahasa ringan. Acapkali dianggap komik adalah bacaan untuk anak-anak, sedangkan novel grafis diperuntukkan untuk pasar penyuka cerita gambar berusia dewasa.

Koskow sebagai pembicara pertama, lebih banyak membahas novel grafis dari sisi grafik/ gambarnya. Sebagai akademisi seni grafis, Koskow memaksimalkan kemampuan akademisnya dalam membedah karya-karya novel grafis. Novel grafis yang dikupasnya terutama adalah The Invention Of Hugo Cabret. Buku yang pernah juga diangkat ke layar lebar dengan judul sama itu bercerita tentang kehidupan seorang anak yatim piatu bernama Hugo Cabret yang hidup sendirian di stasiun kereta api di Paris. Nasib membawanya bertemu Georges Melies, seorang sutradara film andal di jamannya.

Novel grafis Hugo Cabret disebut Koskow sebagai seni melihat (the art of seeing) karena – berbeda dengan umumnya novel grafis dan komik yang menggabungkan rangkaian gambar dengan narasi dalam balon kata  – buku ini memisahkan antara gambar dan narasinya. Beberapa halaman menyuguhkan gambar dalam format hitam putih arsiran, dan beberapa halaman selanjutnya berisi narasi. Dan ini disusun berganti-ganti. Koskow menyebut penyajian serupa ini memang disengaja penulisnya agar pembaca tertantang untuk mencari hubungan tiap-tiap penanda yang ada dalam gambar dan dalam narasi, karena keduanya bukanlah entitas terpisah namun menjalin satu kesatuan kesempurnaan cerita.

Pembicara kedua, Dwi Klik Santosa, adalah kreator novel grafis Abimanyu. Ia menulis narasi cerita, namun pengerjaan gambar diserahkan kepada pihak lain. Narasi Abimanyu dipilihnya karena cerita wayang – babon/ baku maupun carangan – selalu melekat dalam kenangannya.  Dikisahkannya bagaimana sejak kecil ia diajak berkelana kakeknya menonton pertunjukan-pertunjukan wayang di daerah Wonogiri. Naik - turun gunung, jalan dari desa ke desa dilakoninya demi mendapat hiburan dan kaweruh dari setiap pertunjukan. Dan memori itulah yang terbawa sampai ia dewasa.

Dwi berani mengklaim karyanya sebagai novel grafis karena dalam narasinya ia menyelipkan rangkaian kata-kata berbobot sastra. Bahkan ada beberapa halaman yang khusus memuat puisi-puisinya, tanpa disertai satupun gambar ilustrasi. Pergaulannya dengan seniman/ sastrawan/ budayawan ternama ikut berperan membentuk idealisme sekaligus jiwa seninya. Berkali-kali ia menyebut kedekatannya dengan penyair Rendra dan pernah nyantrik di bengkel seninya.

Pembicara pamungkas, Gunawan Tri Atmojo, penulis asli Solo mendapat porsi membahas novel grafis dari sudut pandang ilmu sastra. Ia mengajukan 3 penulis novel grafis sebagai sampel dalam materi bahasannya: Will Eisner (trilogi Kontrak Dengan Tuhan), Marjane Satrapi (Persepolis, Bordir), Kim Dong Hwa (trilogi Warna, Sepeda Merah). Dalam pandangan Gunawan, Eisner benar memaksimalkan gambar sebagai media perlawanan terhadap ketertindasan yang terjadi di lingkungan sosialnya. Tak heran gambar-gambar Eisner cenderung murung, gelap, suram. Ini sejalan dengan idealisme sejumlah sastrawan bahwa karya sastra harus mampu memotret kejadian faktual di sekelilingnya, dan harus mampu pula mendorong pembacanya untuk berani membuat perubahan terhadap segala ketidakberesan sosial sekitarnya.

Sedangkan karya-karya Marjane disebutnya sebagai karya ceria. Marjane memandang kepedihan dan penderitaan masa kecilnya semasa Revolusi Iran dengan sudut pandang yang lebih humoris mengarah komikal. Ini membuat penderitaan yang dihadapinya itu menjadi lebih ringan untuk dijalani. Dan Kim Dong Hwa disebut Gunawan sebagai sintesa antara Eisner dan Marjane. Kim mampu meramu antara kejadian-kejadian muram dan momen bahagia secara proporsional, disampaikan dengan bahasa lembut feminin selayak seorang ibu yang sedang bercerita pada anaknya. Tak heran banyak pembaca awam yang belum familir dengannya terpeleset mengiranya sebagai perempuan.

Pada sesi tanya-jawab terungkap bahwa sebagian besar peserta masih kesulitan membedakan antara novel grafis dan komik. Ini berangkat dari menggantungnya definisi tentang novel grafis itu sendiri. Masing-masing pembicara menanggapinya dengan jawaban yang berbeda pula. Bahkan dengan ekstrem Gunawan menyebut pembedaan itu hanya ada dalam selera pembacanya. Selama pembaca menikmatinya sebagai novel grafis maka ia adalah novel grafis. Absurd!

Keracuan komik dan novel grafis sendiri sebenarnya juga dimanfaatkan sekaligus disuburkan oleh penerbit-penerbit yang berorientasi pasar. Hanya karena pasar sedang gandrung pada novel grafis, maka sembarang terbitan cergam dengan mudah diberi label novel grafis di sampulnya. Kasus ini mengingatkan pada masa ketika pasar sedang demam Che Guevara atau Kahlil Gibran atau Nietzsche maka di pasar buku membanjir tulisan-tulisan yang membahas Che Guevara atau Kahlil Gibran atau Nietzsche. Oplah pasar memang telah menjadi acuan dan didewakan industrialis buku. Apapun rela dilakukan demi lakunya sebuah buku, bahkan sekalipun itu berarti menipu. Esensi buku berhenti hanya pada sebuah produk/ komoditas, bukan lagi sarana pencerah kehidupan manusia.

Di akhir diskusi, Yudhi Herwibowo, aktivis Pawon, menutup dengan menyebut bahwa novel grafis muncul sebagai upaya pemberontakan terhadap industri komik. Format produksi komik yang seragam, dari format balon kata, ukuran lay out, sampai jumlah halaman, itu yang coba didobrak. Penulis-penulis yang menolak doktrin demikian berusaha merumuskan sebuah cerita gambar baru yang berbeda dengan komik-komik mainstream. Hingga lahirlah novel grafis.

 





diambil dari http://www.facebook.com/notes/arif-minke-setiawan/sastra-dalam-novel-grafis-hasil-diskusi/655350164479257, pemuatan artikel ini atas ijin penulisnya.

foto-foto: yudhi herwibowo

Thursday 20 June 2013

"Kualitas karya antar penulis boleh 'sama mutunya' namun 'keberuntungan' tiap penulis berbeda-beda..."




wawancara Han Gagas dengan Joni Ariadinata 

Wawancara kali ini terbilang mendebarkan. Pertama, saya sepertinya harus mengunjungi narasumber yaitu Joni Ariadinata di rumahnya, rumah yang pernah tayang di rubrik Rumahku harian Umum Kompas.
Saya terus terang “terpesona” terhadap “keindahan, keluguan, keajaiban” pembangunan rumah Mas Joni seperti yang saya baca di Kompas. Rumah di pinggir sungai, lemah kiwo, “tempat pembuangan jin”, rumah dengan tanah yang luas dengan beberapa kolam yang hasilnya diberikan cuma-cuma pada warga sekitar, rumah yang secara ajaib bisa dibangun “hanya” dengan “menulis” disokong oleh doa kuat Gus Mus –Mustofa Bisri- dan Kang Ahmad Tohari. 
Rumah itu setelah saya kunjungi menambah “gemetar” saya terhadap berbagai “fakta dan mitos” di dalamnya, terutama saat kami berbincang di beranda samping yang terbuka menghadap Pohon Munggur besar (pohon Trembesi) di latari belukar dan rumpun bambu serta sungai. Di beranda itu kami mengobrol dari siang hingga malam menjelang.
Kedua, perjalanan darat ke rumah mas Joni adalah jarak tempuh terjauh saya dalam melakukan wawancara. Biasanya kalau narasumber berada di luar kota, saya selalu memakai fasilitas email untuk melakukan wawancara (tertulis). Kini, wawancara harus dengan tatap muka langsung, saya sendiri yang seakan mengharuskannya, karena sebelum rencana wawancara ini ada, saya memang berniat mengunjungi rumahnya, dan si narasumber mempersilakan saya dengan sangat ramah.
Tak hanya soal niat saya dan rumah mas Joni, “keberanian” saya mewawancarai untuk buletin sastra Pawon ini juga karena karya teman-teman penulis Solo hampir berurutan dimuat Majalah Horison yang mas Joni ikut jadi anggota redaksinya. Ada cerpen saya, Yudhi Herwibowo, dan Gunawan Triadtmojo serta puisi-puisi Budiawan Dwi Santoso dan Kharisma. Kata mas Joni, ya ini karena makin gencarnya karya penulis Solo yang masuk, dan bagus.
“Amunisi” yang lain, dari srawung saya dengan Mardi Luhung dan M. Faizi, penyair-penyair keren yang saya selalu takjub atas pikiran-pikirannya, pernah mengintimkan sosok Joni Ariadinata di benak saya. Saya merasa mereka bertiga adalah guru-guru saya sejak saya mengenal mereka lebih dalam. Walaupun saya “tak bisa menulis puisi”.
Tak hanya itu dan itu, ditambah srawung saya dengan Kang Ahmad Tohari dahulu ikut pula menambah “nyali, amunisi, dan hasrat” saya menemui Joni Ariadinata.
Banyak hal itu menumpuk di batin saya sehingga pada hari Sabtu, 25 Mei 2013 saya mengunjungi Mas Joni di rumahnya bersama penyair muda, Ekohm Abiyasa, yang “ketiban anugerah” ditahbis Mas Joni, dengan sedikit gurauan bersama saya, dan Mahwi Air Tawar yang kebetulan berkunjung karena rumahnya berdekatan dengan rumah Mas Joni, nama penanya menjadi Eko Abiyasa. Dengan menghilangkan “hm” konon, sepertinya, bisa lebih “mengangkat” derajat kepenyairannya.
Akhirnya di waktu dzuhur kami bertemu, berbicara banyak hal, dan dari Mas Joni saya mendapatkan “berbagai fakta dan ilmu kehidupan”.

Mas Joni, bisa cerita tentang naskah yang masuk Horison?
Dalam kurun sebulan Majalah Horison bisa menerima 500 kiriman karya. Dan hanya 2 cerpen yang dipilih diantaranya.

Wah banyak betul ya? Berapa eksemplar Horison dicetak, dan berapa jumlah pelanggannya sekarang?
Dicetak 11 ribu eksemplar dengan 3 ribu pelanggan. Horison ada di setiap kedutaan-kedutaan asing di luar negeri. Jadi bacaan Sastra Indonesia di sana ya hanya Horison.

 Kalau boleh tahu, bagaimana sistem kuratorialnya di Horison?
Untuk cerpen, saya, Agus R. Sarjono, Jamal D. Rahman. Untuk puisi ditambah Cecep Syamsul Hari, Pak Taufik Ismail.
~ Wah, ketat betul ya, ternyata.

Cerpen Lampor seperti menjadi pintu pembuka bagi Mas Joni untuk diterima secara luas oleh publik. Komentar Mas Joni?
Cerpen Lampor membuat saya “beruntung” sehingga memenangi kumpulan cerita pilihan Kompas. Keberuntungan ini adalah “berkah” doa ibu yang tulus sepanjang hampir 6 bulan berpuasa tanpa putus demi “keberuntungan” itu. Keberuntungan ini membuka pintu rejeki saya dengan banyaknya undangan buat berbicara, karya saya makin banyak diterima, dan kesempatan buat saya bisa lebih banyak berbagi pada orang lain.
Keberuntungan saya yang lain adalah cerpen tanpa honor yang diminta para santri. Waktu itu saya sesungguhnya “malas” membuatnya tapi melihat muka mereka yang “melas” saya memaksa diri membuat, lagipula mereka telah menunggu saya untuk mengetiknya. Tak dinyana, justru karena cerpen inilah saya diundang banyak sekolah untuk membacakannya. Hehehe.

Ada pameo kualitas karya dan nasib penulis tak liner, bagaimana menurut mas Joni?
Kualitas karya antar penulis boleh “sama mutunya” namun “keberuntungan” tiap penulis berbeda-beda.
Faktor yang membuat beda dijelaskan mas Joni secara panjang lebar sehingga saya kesulitan mencatatnya dengan lengkap namun pada dasarnya itu membuat saya merenungkan hidup lebih dalam, dunia sufi, makrifat, dunia batin mesias, laku hidup prihatin-puasa, dunia tak terlihat, dunia kebaikan, dunia kebajikan membaur dalam dunia kita sebagai manusia-penulis yang sulit lepas dari hasrat ego, dan menjadi manusia “berbudi dan berbagi” akan mendatangkan keberuntungan-keberuntungan itu.

Boleh ceritakan tentang undangan membaca cerpen di Eropa, Mas?
Ke Eropa adalah mimpi saya, mimpi sejak awal menjadi penulis. Kita harus punya mimpi, itu doa, doa bukan “ndemrimil” menengadahkan tangan, tapi “krentek” di hati. Allah tahu apa mimpi kita yang paling dalam. Undangan itu bagi saya adalah karena faktor “keberuntungan” di mana melalui Mas Rendra saya direkomendasikan. Kebetulan saya habis ke rumahnya waktu itu. Hehehe.
Obrolan disudahi, diselingi makan bersama, sembahyang, menengok rumah Mahwi. Lalu setelah Maghrib kami pulang, saya merasa “merinding” bukan karena sentuhan “makhluk astral” namun karena teringat kembali kisah nyata ibu mas Joni yang berpuasa berbulan-bulan tanpa putus demi nasib baik anaknya. 


PROFIL
Joni  Ariadinata, lahir di Majapahit, Majalengka 23  Juni  1966. Kumpulan  cerita pendeknya yang telah terbit adalah Kali  Mati (Bentang  Budaya, 1999),  Kastil  Angin Menderu (Indonesia Tera,  2000),  dan  Air Kaldera (Aksara Indonesia, 2000), dan Malaikat Tak Datang Malam Hari (DAR Mizan, 2004).

Bersama Taufiq Ismail dkk., mengeditori sejumlah buku, antara lain: Horison Sastra Indonesia 1 (Kitab Puisi), Horison Sastra Indonesia 2 (Kitab Cerpen), Horison Sastra Indonesia 3 (Kitab Novel), Horison Sastra Indonesia 4 (Kitab Drama), serta Horison Esei Indonesia 1 dan 2 (Kitab Esei). Buku-buku tersebut, disebarkan untuk menjadi bacaan di perpustakaan-perpustakaan SMA di seluruh Indonesia.

Tahun 1994 meraih  penghargaan Cerpenis Terbaik Kompas atas karyanya Lampor. Tahun 1997  meraih penghargaan   Cerpenis  Terbaik  Nasional  BSMI  atas karyanya Keluarga  Mudrika.  Tahun 1998 mengikuti  Writing  Program  pada Majelis Sastra  Asia  Tenggara,  dan  meraih  penghargaan  Dewan Kesenian  Jakarta atas nominasi karyanya Keluarga Maling.  Mengikuti PSN-X dan Pertemuan Sastrawan Malaysia-1 di Johor Bahru  Malaysia pada tahun 1999.  Kemudian Januari hingga April 2001,  mengunjungi  Eropa atas  undangan  Festival  Winternachten di  Deen  Haag Belanda, tinggal  di  Amsterdam, serta berkeliling membacakan cerpen  dan  ceramah-ceramah  sastra  di Paris-Perancis.

Selama lima tahun ia berkeliling Indonesia, memperkenalkan sastra ke SMA-SMA hingga ke pelosok-pelosok daerah dan pulau terpencil bersama Taufiq Ismail dkk., dalam program Sastrawan Bicara Siswa Bertanya. Tahun 2000 mendirikan Jurnal Cerpen Indonesia, dan Lembaga Kajian Kebudayaan Akar Indonesia, kemudian terhitung mulai Maret 2004, ia duduk sebagai redaktur di Majalah Sastra Horison.

Menerima Anugrah Pena 2005 atas kumpulan cerpennya “Malaikat Tak Datang Malam Hari”. Tahun 2007 kumpulan cerpen “Malaikat Tak Datang Malam Hari” kembali meraih Hadiah Sastra Pusat Bahasa. Hingga kini menetap  di Yogyakarta, menulis, melukis, sambil membina pondok pesantren Mahasiswa Hasyim Asy’ari Yogyakarta.

Pawon edisi 38 Tahun VI / 2013




 Terima kasih kepada para kontributor

Burung-Burung yang Selalu Terbang Sebelum Hujan
Cerpen | Cucuk Espe

Momiji Gari Terakhir
Cerpen | Astrid Prihatini

Sajak-sajak BADUI U SUBHAN
Di Dalam Sajak
Di Museum
Di Luar Rencana

Sajak-sajak Lauh Sutan Kusnandar
Bongkaran Kita
Kilasan Jejak

Puisi Ahmad Alfi
“Pengembaranku, Ujian”

Puisi Linggar Rimbawati
Pagi, Bagi Sepasang Kekasih Gelap

Menjadi Penyair, Penyair yang Menjadi
Esai | Arif Saifudin Yudistira

Sapi, dari Imajinasi ke Korupsi
Esai | Setyaningsih

Kualitas karya antar penulis boleh “sama mutunya” 
namun “keberun -tungan” tiap penulis berbeda-beda.
Wawancara Han Gagas dengan Joni Ariadinata

AnginTimur AnginBarat  
Buku yang Harus Dibaca Sebelum Mati! | Ngadiyo

Running with Scissors
Kisah Buku | Aida Vyasa

Mengeja Thukul
Acara | Puitri Hati Ningsih

Penulis yang Enggan Membeli Buku
Kolom Akhir | Yudhi Herwibowo    


Mengeja Thukul: Notulen Malam Mengenang Wiji Thukul, oleh Puitri Hati Ningsih



Bertempat di Wisma Seni, Taman Budaya Jawa Tengah, acara Mengeja Thukul digelar Buletin Sastra Pawon bekerja sama dengan Taman Budaya Jawa Tengah pada hari Selasa, 28 Mei 2013. Acara dibuka oleh Han Gagas selaku koordinator acara, dilanjutkan dengan tampilnya Kinanthi Anggraini sebagai moderator acara dengan mengawalinya membaca bait-bait puisi Thukul yang ada dalam sisipan Majalah Tempo, Para Jendral Marah-Marah. Puisi berjudul Hujan Malam Ini Turun, pas sekali dengan suasana malam itu yang sebelumnya turun hujan dengan derasnya.

Acara kemudian bergulir. Dedek Witranto membaca puisi Thukul, Nyanyian Tanah Ibu. Dilanjutkan oleh Bandung Mawardi  yang berbicara sejenak tentang Thukul. Kabut tak ingin mendirikan Thukul Fans Club dan sejenisnya. Ia bertemu Thukul dalam kata. Ketika ia menang dalam sayembara menulis esai DKJ tahun 2008, esainya membahas tentang rumah dan Wiji Thukul. Melalui kata ia bisa merasakan mengalami kehidupan Thukul yang padat akan kegiatan seni rakyat dan seorang buruh. Pengalaman Kabut menjual buku bekas juga membawanya “bertemu” Thukul. Adalah tokoh kebudayaan Solo, Halim HD yang menemukan buku milik Widji Thukul yang dijualnya. Buku lawas itu karangan Subagyo Sasrowadoyo, bertanda tangan Wiji Thukul dengan tulisan tangan pendek di mana  buku itu di beli Thukul. Puisi Thukul tidak selau tentang politik, tapi juga perkotaan, tentang realitas, juga tentang ibu. Thukul menulis untuk menjalani sebagai manusia. Menurunkan estetis jadi realis, menjadikan sastra mendapat undangan untuk kepantasan menjadi manusia.

Dilanjutkan pembacaan puisi oleh Ngadiyo. Ia terkesan dengan puisi Thukul: Peluk Sekuat Cintamu, dan juga geguritannya berjudul Bloko. Bagi pengasuh rubrik ‘Buku yang Harus Dibaca!’ di buletin sastra Pawon ini, puisi Thukul bisa jadi katarsis bagi penulisnya sendiri dan juga bagi pembaca. Puisinya biografis, tidak bertele-tele tapi pesannya tersampaikan.

Bagi Nasirun Purwokartun, Thukul adalah nabi kepuisiannya. Meski mereka berbeda agama tapi itu tak masalah dalam hubungan kebaikan emosi pada mereka. Pengarang novel Penangsang ini, bahkan berucap, Kalau ia tak membaca karya Thukul yang buruh itu, mungkin ia masih jadi tukang parkir hingga sekarang. Nasirun mengaku puisinya gelap sebelum membaca Thukul. Tapi Thukul kemudian menginspirasinya, sehingga puisinya kemudian lebih realis. Ia bahkan pernah menulis dalam satu puisinya: Habis Thukul terbitlah Thukul.

Uun Nurcahyani yang jauh-jauh datang dari Pare, Kediri, bersama rombongan, mengatakan bahwa tak ada ingatan tentang Thukul pada anak muda sekarang. Ada yang mengatakan puisi Thukul tak indah, selaras, seirama. Tapi buat Uun, karena hidup sendiri adalah puisi, dan kita semua adalah penyair. Di masa datang kita akan bicarakan puisi kita.

Yudhi Herwibowo kemudian menambahkan cerita tentang Thukul. Buku puisi Thukul, Aku Ingin Menjadi Peluru, dikabarkan ada  yang menjual ingga seratus ribu rupiah. Yudhi juga membacakan tulisan Dorothea Rosa Herlianti, tentang alasan-alasan mengapa Indonesiatera berani menerbitkan tersebut. Waktu itu buku didominisasi oleh pengarang mapan, maka Indonesiatera menerbitkan buku puisi yang melawan itu. Puisi-puisi Wiji Thukul yang kemudian dipilih.” Yudhi juga membacakan apresiasi dari sastrawan yang dulu juga melakukan gerakan menentang Suharto, Linda Christanti.
Acara kemudian dilanjutkan dengan tampilnya Fajar Merah, putra Wiji Thukul, bersama dua orang temannya. Dengan gitar akuistiknya mereka menyanyikan lagu Bunga Dan Tembok karya ayahnya. Sebelumnya ia juga membawakan satu lagu ciptaannya sendiri, Intuisi.

Indah Darmastuti membacakan kiriman dari seorang teman dari Balai Bahasa Yogya dan juga Kurnia Effendi. Ia juga membaca geguritan karya Wiji Thukul berjudul Sipenmaru, Reco Gladag, dan Bloko. Ia sempat mengundang Fajar Merah maju untuk sedikit berbincang. Tapi Fajar Merah lebih banyak tersenyum dari pada berbicara. Tampaknya ia ingin tak terbebani menjalani hidup sebagai anak Thukul.

Puitri Hati Ningsih pernah bertemu Thukul saat menonton pentas di Teater Arena TBJT. Samar-samar ia mengingat Thukul membaca puisi Aku Ingin Jadi Peluru di era Soeharto. Ini juga seperti kisah yang dialami puisi YE Marsetyanto yang kerap bertemu Thukul di Teater Arena, kadang saat ia duduk di tangga pintu masuk. Puitri juga membacakan geguritan Thukul berjudul Ing Telenging Ning dan Protelon.

Di meja depan, selepas orang-orang itu member komentar, Han kembali bicara: Thukul seharusnya menampar kita yang sering menulis untuk tujuan populer. Semua penulis mengalami masa pahit.

Fauzi, esais muda produktif,  pernah menulis esai tentang seragam. Esai itu amat mengesan padanya dan terinspirasi dari Thukul. Sampai sekarang ia masih bingung dari mana Thukul menemukan kata Lawan yang terkenal itu? Siapa yang mengajarinya? Bagi Fauzi, Thukul bukan hanya penyair tapi juga guru. Ia tak ingin merayakan Wiji Thukul menjadi penyair seperti dalam Majalah Tempo, menurutnya Thukul mirip Paulo Feirre dengan Pendidikan Yang Membebaskan.

Mas Kodok, mantan murid WS`Rendra di Bengkel Teater berkata; baginya jika tak hilang, Thukul tak terkenal seperti sekarang. Kata lawan itu ternyata dari Rendra. Tapi ia cukup kagum pada perjuangan dan keberanian Thukul. Thukul teramat berani, dan Soeharto teramat goblog.

Ikhlas, yang pernah menulis skripsi tentang Thukul, belum tahu akan jadi apa skripsinya nanti. Ia berpikir yang terpenting ia berjalan dulu. Menurut Arif Budiman, Thukul adalah penyair untuk kampungnya sendiri di Jagalan, juga seperti kata Max Havelar: saya mau dibaca. Puisi Thukul tentang kondisi sosiologi, kemiskinan dan ketidaktahuan. Puisinya bisa puisi yang tak punya pendengar. Puisi yang komplit tentang keluarga dan perasaan. Puisinya tidak menyensor banyak hal dan tak membatasi kata lawan. Kata lawan adaah proses dari “hati-hati”. Ikhlas juga sempat membacakan satu puisi Thukul: Kota.

Dari pandangan Lasinta Ari Nendra, penyair dengan atribut puluhan kemenangan, puisi Aku Ingin Jadi Peluru adalah perkenalannya dengan Wiji Thukul. Ia terpengaruh dengan puisi Thukul karena sebelum membaca puisi Thukul, puisinya kerap bertema filsafat dan agama. Maka puisinya yang tahun 2008 di muat Solopos, mengandung tema sosial dan politik. Lasinta juga membacakan puisi Thukul berjudul, Pengantin Baru.

Yunan, salah satu pemuda dari Pare, Kediri, membaca puisi Thukul berjudul Ayo Kita Teba-tebakan. Ia memang baru mengenal tokoh ini dari Majalah Tempo tersebut.

Muhadi, penjual buku di Wisma Seni dan TBJT, bercerita panjang tentang Thukul. Ia bahkan sempat membacakan sms Haim HD yang tidak bisa datang malam itu. Salah satu ceritanya; sehabis demo Sritex dulu, Thukul pernah ngudarasa padanya untuk buka usaha wedhangan, Thukul juga mengambil beberapa buku dagangannya dan belum dibayar. Dulu, Halim HD pernah bercerita bahwa Thukul mungkin masih hidup, namun belum saatnya atau belum menemukan waktu yang tepat untuk muncul. Ia mungkin ia tak ingin kembali muncul, namun yang jelas: ia menginspirasi kita semua di sini.

Arief Yudhistira, esais muda yang aktif dalam demo-demo mahasiswa, mengatakan puisi adalah jalan sunyi yang perlu disampaikan. Dulu Thukul suka membagi-bagikan puisinya di setiap acara. Arif membaca puisi Thukul, Maklumat Penyair dan Penyair

Acara ditutup oleh Han Gagas, yang mengatakan heroisme sastra itu menggugah kita, seperti juga Pram, Mohtar Lubis. Tapi semuanya, tidak seperti Thukul yang dipaksa tiada.