Bincang Sastra dengan Cok Sawitri, catatan Kinanthi Anggraini yang dimuat di rimanews.com


Balai Soedjatmoko, Komunitas Pawon Sastra menyelenggarakan acara Bincang Sastra bersama Cok Sawitri. Acara yang dimulai pukul 20.00 WIB berlangsung hangat di tengah guyuran hujan di Solo yang cukup lebat.
RIMANEWS-Hari Rabu, tanggal 17 Desember 2013 bertempat di
Cok Sawitri adalah aktifis teater, novelis, penulis artikel dan puisi,budayawan, dan seniman. Wanita kelahiran desa Sidemen, kabupaten Karangasem,Provinsi Bali 44 tahun yang lalu ini memandang Karya Sastra adalah rem utama untuk membatasi beliau dalam mendalami teater.

Wanita dengan gelar S2 Jurusan human resource ini adalah penulis novel Janda dari Jirah masuk nominasi penghargaan karya sastra bergengsi yakni Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2007 ini mempunyai pandangan yang sangat serius mengenai pencapaian karya, hal ini diperlihatkan dengan lontaran pertanyaan yang di tujukan pada audiens malam itu.

“Apa kalian bangga, karya kalian dimuat di media Nasional? Tidak., bagi saya tidak” sambil mengikat rambutnya. Menurut Cok Sawitri, orang bali harus menjadi penulis yang matang dalam koran lokalnya sendiri terlebih dahulu, setelah itu barulah akan mengirimkan karyanya ke koran nasional. “Itulah dimana kita akan benar-benar dihargai atas pencapaian karya sastra yang kita raih” tambahnya.


Malam itu, acara yang diasuh oleh Sanie B Kuncoro, selaku moderator memberikan selentingan pertanyaan yang cukup menggelitik audiens. “Bagaimana jika Cok menang dalam KLA? Apakah Cok memilih untuk diam dan tidak perduli dengan komentar dari siapapun, seperti KLA tahun ini?
“ Saya percaya karya saya bagus, saya akan pertahankan dan berani berdebat” ujar wanita yang menguasai 12 jenis teknik pembacaan puisi ini. Dalam novel saya, saya tidak sembarangan menuliskan sejarah, semua berdasarkan riset, teori, data secara kualitatif ataupun kuantitatif dan yang terpenting kita tidak boleh main-main dalam menuliskan sejarah. Tentu saja, selain itu diperlukan ketrampilan dalam penokohan dan mampu membuat tokoh itu berbicara dengan sendirinya.
Juri diajang Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) yang berlangsung di Pura Dalem Ubud Gianyar,Bali ini juga mengemukakan bahwa seorang seniman memang tidak pernah ada kata berhenti untuk berkarya. Berkarya terus untuk bangsa ini, bangsa Indonesia, pesan dari Cok Sawitri malam itu.

Bincang sastra bersama Cok Sawitri diselingi oleh perform Cok yang memukau saat membawakan cerpennya, Rahim.
“Nama saya Nagari. Umur, tiga puluh tahun. Tanpa harus dijelaskan, saya sudah paham. Sore itu, sehabis mandi dan rambut saya masih basah, pintu kamar kontrakan saya diketuk berulang kali. Tiga orang lelaki dengan sorot mata sopan menjemput saya. Dari jip yang menanti di halaman, kemudian dari deru mesinnya yang tipis, tak kalah tipis dari udara sore itu, ditambah lagi tutur sapa mereka yang berat dan tegas, tanpa harus dijelaskan, saya paham apa yang tengah terjadi.”
Begitulah petikan monolog dari Cok Sawitri dengan rambut panjang tergerai, diselimuti cahaya remang dari lampu sentir di Balai Sodjatmoko malam itu. Cok mampu membungkam penonton dengan suasana hening yang cukup lama, saat dia membawakan monolog dari cerpennya Rahim. Beberapa properti yang membuat penampilan Cok memukai adalah lampu sentir dan pakaian hitam yang dikenakannya. Karena basic dasar Cok Sawitri adalah teater, ayahnya sendirilah yang mewariskan bakat teater kepadanya.

“Untuk bisa seperti saya, harus dasarnya adalah kerendahan hati, berani mencoba, disiplin berlatih, belajar, tampil di depan orang yang berani mengkritik pedas dan jangan pernah berhenti untuk kagum”, ujarnya.

 Acara Bincang Sastra bersama Cok Sawitri berjalan lancar dan khidmat. Acara tersebut akhirnya ditutup pada pukul 22.30 WIB.


http://www.rimanews.com/read/20131219/132348/komunitas-pawon-sastra-adakan-bincang-sastra-bersama-cok-sawitri-di-solo

Share:

0 komentar