Thursday 19 December 2013

Bincang Sastra dengan Cok Sawitri, catatan Kinanthi Anggraini yang dimuat di rimanews.com


Balai Soedjatmoko, Komunitas Pawon Sastra menyelenggarakan acara Bincang Sastra bersama Cok Sawitri. Acara yang dimulai pukul 20.00 WIB berlangsung hangat di tengah guyuran hujan di Solo yang cukup lebat.
RIMANEWS-Hari Rabu, tanggal 17 Desember 2013 bertempat di
Cok Sawitri adalah aktifis teater, novelis, penulis artikel dan puisi,budayawan, dan seniman. Wanita kelahiran desa Sidemen, kabupaten Karangasem,Provinsi Bali 44 tahun yang lalu ini memandang Karya Sastra adalah rem utama untuk membatasi beliau dalam mendalami teater.

Wanita dengan gelar S2 Jurusan human resource ini adalah penulis novel Janda dari Jirah masuk nominasi penghargaan karya sastra bergengsi yakni Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2007 ini mempunyai pandangan yang sangat serius mengenai pencapaian karya, hal ini diperlihatkan dengan lontaran pertanyaan yang di tujukan pada audiens malam itu.

“Apa kalian bangga, karya kalian dimuat di media Nasional? Tidak., bagi saya tidak” sambil mengikat rambutnya. Menurut Cok Sawitri, orang bali harus menjadi penulis yang matang dalam koran lokalnya sendiri terlebih dahulu, setelah itu barulah akan mengirimkan karyanya ke koran nasional. “Itulah dimana kita akan benar-benar dihargai atas pencapaian karya sastra yang kita raih” tambahnya.


Malam itu, acara yang diasuh oleh Sanie B Kuncoro, selaku moderator memberikan selentingan pertanyaan yang cukup menggelitik audiens. “Bagaimana jika Cok menang dalam KLA? Apakah Cok memilih untuk diam dan tidak perduli dengan komentar dari siapapun, seperti KLA tahun ini?
“ Saya percaya karya saya bagus, saya akan pertahankan dan berani berdebat” ujar wanita yang menguasai 12 jenis teknik pembacaan puisi ini. Dalam novel saya, saya tidak sembarangan menuliskan sejarah, semua berdasarkan riset, teori, data secara kualitatif ataupun kuantitatif dan yang terpenting kita tidak boleh main-main dalam menuliskan sejarah. Tentu saja, selain itu diperlukan ketrampilan dalam penokohan dan mampu membuat tokoh itu berbicara dengan sendirinya.
Juri diajang Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) yang berlangsung di Pura Dalem Ubud Gianyar,Bali ini juga mengemukakan bahwa seorang seniman memang tidak pernah ada kata berhenti untuk berkarya. Berkarya terus untuk bangsa ini, bangsa Indonesia, pesan dari Cok Sawitri malam itu.

Bincang sastra bersama Cok Sawitri diselingi oleh perform Cok yang memukau saat membawakan cerpennya, Rahim.
“Nama saya Nagari. Umur, tiga puluh tahun. Tanpa harus dijelaskan, saya sudah paham. Sore itu, sehabis mandi dan rambut saya masih basah, pintu kamar kontrakan saya diketuk berulang kali. Tiga orang lelaki dengan sorot mata sopan menjemput saya. Dari jip yang menanti di halaman, kemudian dari deru mesinnya yang tipis, tak kalah tipis dari udara sore itu, ditambah lagi tutur sapa mereka yang berat dan tegas, tanpa harus dijelaskan, saya paham apa yang tengah terjadi.”
Begitulah petikan monolog dari Cok Sawitri dengan rambut panjang tergerai, diselimuti cahaya remang dari lampu sentir di Balai Sodjatmoko malam itu. Cok mampu membungkam penonton dengan suasana hening yang cukup lama, saat dia membawakan monolog dari cerpennya Rahim. Beberapa properti yang membuat penampilan Cok memukai adalah lampu sentir dan pakaian hitam yang dikenakannya. Karena basic dasar Cok Sawitri adalah teater, ayahnya sendirilah yang mewariskan bakat teater kepadanya.

“Untuk bisa seperti saya, harus dasarnya adalah kerendahan hati, berani mencoba, disiplin berlatih, belajar, tampil di depan orang yang berani mengkritik pedas dan jangan pernah berhenti untuk kagum”, ujarnya.

 Acara Bincang Sastra bersama Cok Sawitri berjalan lancar dan khidmat. Acara tersebut akhirnya ditutup pada pukul 22.30 WIB.


http://www.rimanews.com/read/20131219/132348/komunitas-pawon-sastra-adakan-bincang-sastra-bersama-cok-sawitri-di-solo

Thursday 31 October 2013

10 Kebajikan dalam Menulis, wawancara Triyanto Triwikromo dengan Han Gagas


Wawancara kali ini saya membutuhkan masukan pertanyaan dari teman lain, ada dua penulis yang menyumbang, satu terkekeh dan hanya titip salam. Secara spontan salah seorang penyumbang saya sebutkan namanya pada Mas Triyanto Triwikromo, satunya tak bersedia disebutkan, dan yang titip salam dengan terkekeh pula, salamnya tak saya sampaikan.

Ada alasan tertentu sehingga saya membutuhkan masukan dari penulis lain, pertama saya mengakui dengan jujur tak mengenali semua karya Mas Tri, dalam arti belum membaca semuanya, ada sejumlah cerpen yang pernah saya nikmati. Kedua, saya tak ingin pembaca Pawon bosan jika pertanyaannya itu-itu saja, sudah puluhan penulis yang saya wawancara saya sadar ada beberapa pertanyaan saya yang berulang, saya sedikit tak enak jika ada gerundelan: ah pertanyaannya itu-itu saja, dan ketiga tentu saja dengan masukan ini akan memperkaya jawaban dari sang sumber.

Sedikit ke belakang, akhir-akhir ini, saya kebeneran mewawancarai penulis senior yang saya pandang sebagai sastrawan penting di negeri ini. Saya tak merencanakannya, semua mengalir alamiah. Terkadang ada masukan dari teman redaksi dan saya melanjutkannya begitu saja. Penulis senior itu berturut-turut Mardi Luhung, Beni Setia, Joni Ariadinata, dan kini Triyanto Triwikromo, dari keempatnya saya memeroleh “ilmu yang baik dalam dunia menulis” jadi saya berharap semoga pembaca juga mendapat manfaat dari tulisan ini.

Bila terasa bagaimana, saya pikir, barangkali karena keempatnya laki-laki, padahal saya juga berharap bisa mewawancara sastrawan perempuan, faktor alamiah inilah yang belum mengarahkan saya untuk berkomunikasi dengan salah seorang diantara mereka, semoga nanti bisa diwujudkan.
Teman-teman pembaca yang budiman, tak banyak yang bisa saya lanjutkan selain mengajak menikmati dan merenungkan jawaban-jawaban Mas Triyanto atas pertanyaan-pertanyaan berikut: 

Kami sudah mengenal nama Mas Triyanto sejak lama, dan sampai  sekarang sepertinya terus bertahan, bahkan semakin merajalela. Bagaimana Mas mempertahankan konsistensi menulis selama ini?
Menjadi sosok yang konsisten bukanlah pekerjaan mudah. Ibarat seorang pesilat, saya harus berlatih dan mencari lawan terus-menerus. Berlatih terus-menerus mungkin relatif gampang karena ini lebih merupakan upaya untuk melawan kemalasan, ketakaburan, dan kemudahpuasan terhadap apa pun yang telah dicapai. Karena itu saya memang terus-menerus menghajar diri dengan menulis apa pun agar kian terampil, mahir, dan luwes. Terampil, mahir, dan luwes perlu dicapai karena menurut saya sebagaima pesilat tahapan tertinggi seorang petarung adalah ketika dia sudah tidak merasa bertarung saat bertarung, tak menggunakan pedang saat membunuh lawan. Tahapan tertinggi seorang penulis dengan demikian adalah ketika dia sudah tidak merasa menulis saat menghasilkan sebuah novel, puisi, atau cerpen. Dengan kata lain latihan-latihan-latihan dan latihanlah yang sebenarnya membuat seorang penulis oleh orang lain disebut konsisten hidup dalam ruang sunyi bernama dunia penulisan itu.
Karena itulah sebuah cerita yang selesai saya tulis sesungguhnya merupakan pancatan untuk latihan menulis yang lebih baik pada cerpen-cerpen berikutnya. Latihan, saya kira, adalah sesuatu yang jangan pernah berakhir sekalipun seseorang telah mencapai tahapan terampil, mahir atau luwes.
Hal yang cukup sulit adalah “bertempur secara kreatif” dengan lawan. Tidak setiap saat saya mendapatkan lawan yang memadai untuk mengasah apa pun yang telah saya hasilkan. Tidak memadai itu bisa berarti lawan terlalu tangguh atau terlalu gampang dikalahkan. Karena sering berada dalam situasi semacam itu, dalam menulis saya lebih sering bertempur dengan diri saya sendiri. Diri saya yang mencapai tahapan tertentu saya lawan, saya bunuh, bahkan saya nista dengan berbagai cara. Itulah sebabnya teks-teks saya kerap mendekonstruksi teks-teks saya sendiri. Dalam situasi semacam ini, saya sering gagal meningkatkan tahapan pencapaian. Kegagalan-kegagalan indah ini memompa saya untuk terus menulis sesuatu yang terbaik.
Sayang, saya tak gampang puas. Saya sering membayangkan diri saya sebagai seseorang yang selalu mendorong batu dari lembah ke puncak gunung, akan tetapi begitu sampai di puncak, batu itu saya hancurkan. Untuk membangun sebuah rumah indah, saya harus turun ke lembah lagi, mendorong batu lagi.
Inilah saya kira metafora yang paling pas untuk menggambarkan perkembangan kreatif –sesuatu yang oleh orang lain disebut sebagai mempertahankan konsistensi. Saya melakukan pembunuhan kreatif terhadap karya-karya saya untuk menghidupkan karya-karya saya yang lain.

Menurut Mas Triyanto sendiri apa perbedaan kumcer-kumcer Mas yang sudah dibukukan selama ini? Dari Rezim Seks, Ragaula, Sayap Anjing,  Anak-anak Mengasah Pisau (Children Sharpening the Knives), Malam Sepasang Lampion, Ular di Mangkuk Nabi  hingga Celeng Satu Celeng Semua? Dan kumcer manakah yang menjadi favorit Mas Triyanto? Mengapa?
Tak ada karya sastra yang turun dari langit begitu saja. Setiap teks dengan demikian sesungguhnya merupakan respons terhadap situasi apa pun yang melingkupi karya-karya itu. Saya tidak ingin membahas ini dengan detail. Saya tidak mau menjadi penulis yang gatal lidah untuk menerang-nerangkan apa pun yang telah dibuat. Saya ingin bicara garis besar tentang keinginan-keinginan kecil pengarang terhadap bukunya. Rezim Seks, misalnya, saya tulis untuk merespons kehancuran kehidupan manusia akibat politik kongkalikong Orde Baru. Pada saat itu kekuasaan melakukan perselingkuhan yang begitu masif dengan pemodal, sehingga Indonesia itu ibarat sebuah rumah yang semua penghuninya mengumbar berahi kekuasaan, sehingga lahir manusia-manusia salah kaprah, manusia-iblis. Saya sebisa mungkin menggambarkan itu dalam Rezim Seks.
Ragaula merupakan kritik saya terhadap pemujaan kepada salah satu kebenaran. Kebenaran tidak pernah tunggal. Kebenaran itu teruji sebagai kebenaran sejati ketika ia tidak menistakan kebenaran yang lain. Ini lebih merupakan perjuangan eksistensial untuk melawan kedigdayaan orang-orang yang memaksakan kebenaran atas nama agama atau apa pun.
Sayap Anjing saya tulis untuk mengkritik sikap keberagamaan kita yang menistakan liyan.  Adapun Anak-anak Mengasah Pisau (Children Sharpening the Knives) lebih ingin menunjukkan kepada publik betapa ada yang salah dalam pola kita mengasuh generasi yang akan datang sehingga mereka relatif gampang punah. Malam Sepasang Lampion sering dianggap sebagai pembelaan saya terhadap etnis Tionghoa yang disudutkan dalam berbagai hal. Tetapi benarkah? Saya tentu tak ingin hanya mencapai tahapan-tahapan pembelaan terhadap etnis tertentu. Kemanusiaan kita sudah dihancurkan. Itulah yang harus dilawan dengan apa pun.
Dan Ular di Mangkuk Nabi  hingga Celeng Satu Celeng Semua? Apakah itu juga merupakan pembelaan saya terhadap orang-orang tertindas. Ya, sebagaimana Rendra dua teks itu sesungguhnya merupakan penghormatan saya kepada perjuangan orang-orang yang tertindas itu untuk mempertahankan kehidupan yang diyakini.
Mana yang paling saya sukai. Saat saya menjawab pertanyaan ini saya berusaha melupakan karya-karya itu. Karya-karya yang tidak saya puja tetapi juga tak saya benci. Akan tetapi karena mereka itu merupakan masa lalu saya, saya cenderung meninggalkan mereka. Saya harus asyik dengan karya-karya terbaru sekalipun yang lama-lama itu telah menjadikan saya sebagai sosok yang oleh orang lain disebut sebagai sastrawan. Dan sekali lagi, saya menganggap karya-karya itu sebagai produk gagal. Kini saya sedang berjuang untuk bangkit dan membuat teks-teks baru agar hidup saya –sebagai manusia biasa—lebih bermakna.

Di mana “posisi” Mas Tri sewaktu menulis yang sudah jadi kebiasaan/rutinitas?
Jika posisi yang dimaksud adalah pemihakan, maka saya tidak pernah memihak tokoh-tokoh saya. Mereka sungguh punya gairah mati dan gairah hidup sendiri-sendiri. Saya sedapat mungkin menjadikan teks saya polifonik. Ia menjadi suara bagi kegelapan maupun cahaya ilahi. Saya bajingan sekaligus malaikat. Saya pelacur sekaligus nabi. Saya adalah suara bagi segala.

Mengamati biodata Mas Triyanto yang beredar selama ini, sudah banyak sekali penghargaan yang sudah mas capai. Pencapaian apa yang menurut Mas Triyanto merupakan pencapaian paling membanggakan sebagai sastrawan?
Saya bahagia jika karya-karya saya dibaca orang bukan karena saya mendapat penghargaan. Tetapi saya belum mendapatkan kesempatan itu. Saya harus berjuang untuk menggapai kebahagiaan itu.
Bisakah Mas Triyanto menceritakan sedikit tentang novel terbaru mas, Surga Sungsang? Bagaimana ceritanya mas mulai menulis novel ini? Apakah ini bukan sekedar bentuk aktualisasi diri seorang cerpenis yang juga ingin dicap mampu menulis novel, atau ada hal-hal lain di balik itu?
Mula-mula saya bermaksud menulis novel ketika menemukan sebuah setting dan permasalahan yang menakjubkan di sebuah tanjung di dekat Semarang. Mula-mula saya hanya menulis cerpen “Ikan Terbang Kufah”  untuk menggambarkan tanjung yang dikikis abrasi dan hanya dihuni oleh enam keluarga itu. Akan tetapi rupa-rupanya satu cerita tak sanggup menampung kompleksitas masalah. Karena itu kemudian lahir teks-teks lain –hingga 13 cerita—yang kadang-kadang saling berkait, kadang saling berlepasan. Serpihan-serpihan kisah itulah yang kemudian saya himpin menjadi Surga Sungsang.
Saya membiarkan kelak kisah itu disebut apa oleh pembaca. Mau disebut novel silakan. Disebut prosa liris tidak masalah. Diasumsikan sebagai puisi panjang juga tidak keberatan.
Saya menulis Surga Sungsang dengan disiplin seorang cerpenis. Meskipun demikian beberapa orang mengatakan itu sebagai teks yang dihasilkan oleh seseorang yang menulis dengan disiplin seorang penyair. Saya tidak keberatan dengan klaim-klaim itu. Saya juga tak tergoda sedikit pun untuk disebut sebagai novelis. Dua kisah panjang saya, jika Anda ingin tahu, saya tulis dengan disiplin seorang penulis cerpen. Bahwa kemudian orang lain menyebut itu sebagai novel, itu hak mereka.

Menurut Mas Tri sendiri, dari karya-karya cerita Anda selama ini yang masih kurang apa?
Semua masih kurang. Tak ada satu pun yang saya anggap sebagai karya bagus. Semua karya gagal.  Menganggap semua karya gagal, akan menyelamatkan saya dalam kehidupan teks yang akan datang. Menganggap semua teks kita telah sempurna adalah bunuh diri.

Penutup wawancara, apakah ada tips-tips bagi penulis-penulis muda agar mampu bertahan di belantara dunia menulis?
Setelah membaca terus-menerus dan melakukan riset tak kunjung henti, ada sepuluh kebajikan yang saya anut dalam menulis. Pertama, menulis. Kedua, menulis. Ketiga, menulis. Keempat, menulis. Kelima, menulis. Keenam menulis. Ketujuh, menulis. Kedelapan, menulis. Kesembilan, menulis. Kesepuluh, menulis.

Semoga bermanfaat.

Pawon, edisi 39 tahun VI / 2013


para kontributor

Perempuan Gandari , cerpen Kharisma Fahmi
Hikayat Sebatang Pohon, cerpen Enha Ahyar
Puisi-puisi Brita Utami
Puisi-puisi Sonny H. Sayangbati
Puisi-puisi Willy E. Cahyadi
Puisi Fatimah Wahyu S.
Puisi  Lukas Jono
Kamu Indonesia Banget Kalau…, kisah buku Fanny Chotimah
5 Brokens Cameras, layar kata Aida Vyasa
Para Priyayi, buku yang harus kamu baca sebelum mati! Ngadiyo
10 Kebajikan Menulis, wawancara Han Gagas bersama Triyanto Triwikromo
Rerasan Pengarang dan Kumcer Celeng Satu Celeng Semua, peristiwa Indah Darmastuti
Sastra di Kampung pare, esai Uun Nurcahyanti
Bahasa dan Keterasingan, esai Muhammad Solikhin
Seni, Politik, Asmara, kolom akhir Bandung Mawardi

terima kasih sudah menulis untuk pawon, selain redaksi para kontributor akan mendapat 3 eks edisi pawon yang memuat tulisannya, dan edisi2 pawon sebelumnya.

Rerasan Pengarang dan Kumcer Celeng Satu Celeng Semua, oleh Indah Darmastuti



“Akan sangat berbeda membaca cerpen-cerpen Triyanto Triwikromo yang dimuat di media masa (cerpen Minggu) dengan membaca cerpen-cerpen itu ketika dijadikan satu menjadi sebuah buku.” Demikian pembukaan yang disampaikan Bandung Mawardi selaku pemandu acara bincang kumpulan cerpen Celeng Satu Celeng Semua di Balai Soedjatmoko Solo, 8 September 2013.            
Balai Soedjatmoko yang gedungnya menjadi satu dengan Toko Buku Gramedia Jl. Slamet Riyadi itu kebetulan juga sedang mengadakan pameran ilustrasi Cepen Kompas 2012, yang mana dua cerpen Triyanto Triwikromo juga menjadi bagian dari pameran itu. Salah satu judulnya “Lengtu Lengmua” yang dijadikan judul kumcer ini tetapi dipanjangkan menjadi Celeng Satu Celeng Semua.
Dihadiri sekitar 25 orang, obrolan malam itu mengalir santai namun seru. Beberapa tafsir muncul, beberapa kecurigaan diutarakan, beberapa “vonis” dijatuhkan, beberapa pernyataan kagum berloncatan saat peserta bincangan itu memberikan tanggapan atas pembacaannya.
Berbeda dengan kebanyakan acara penyambutan buku baru atau kerap dipublikasikan dengan nama “Peluncuran Buku”, perayaan Kumcer “Celeng Satu Celeng Semua” berisi respons pembaca sehingga reriungan malam itu bukan obrolan buta atau sekadar pamer karya. Karena kebanyakan yang hadir sudah membaca buku yang tersangkutan.
Wajib baca sebelum membincangkannya ini sudah ditradisikan oleh Komunitas Sastra Pawon (yang bekerjasama dengan Balai Soedjatmoko untuk mengadakan acara tersebut) bahwa setiap ada “peluncuran buku”, atau bincang-bincang buku. Pawon akan menghubungi beberapa kawan untuk selekasnya membaca (syukur dengan membeli, bukan pinjam) kemudian membuat catatan kecil hasil pembacaannya yang akan menjadi modal sebuah obrolan. Hal ini dinilai efektif agar dialektika bisa berjalan.
Dalam obrolan itu, beberapa pembaca menganggap cerpen-cerpen Triyanto bernuansa realisme magis. Kelam penuh metafor. Triyanto memiliki kemampuan berbahasa yang membuat keseluruhan bangunan cerpen-cerpennya menjadi indah. Bagi Gunawan Triadmojo yang menjadi pembaca fanatik karya-karya Triyanto, ia mendapati setiap kalimat sangat berarti. Dalam sebuah karya sastra, Gunawan menganggap bahwa kenikmatan bahasa adalah sebuah pencapaian yang tak kalah penting dengan isi cerita. Sehingga setiap selesai membaca, cerita itu akan tertinggal dan katrem di benak kita.
Hampir sama pembacaan dari Yudhi Herwibowo, Puitri Hatiningsih, Indah dan Ngadiyo, cerpen-cerpen Triyanto kental lokalitas. Juga “lokalitas internasional”. Dalam cerpen-cerpennya pembaca diajak mengunjungi tempat-tempat tersembunyi juga tempat-tempat di benua lain. Hutan, kota besar yang hingar, lorong-lorong dan makam. Triyanto menggunakan bahan yang ada, yang cukup sering muncul dalam  cerpen-cerpen pilihan kurun waktu 2003-2012. Seperti Sayap, Malaikat, Iblis, Perempuan Kencur dan kencana. Puitri mendapati paradoks dunia celeng dan kiai yang saling menyusup. Yudhi mengungkap ketika membaca kumcer ini, ia seperti memasuki lorong yang gelap dan tak tahu apa yang terjadi di depan. Tanpa gerbang. Tiba-tiba saja sudah ada di tempat yang gelap itu.
Fauzy menangkap bermacam konstruksi kematian. Tokoh perempuan kebanyakan digambarkan berada di tubir kematian. Ia menjuduli pembacaannya: Perempuan di Ujung Maut. Menangkap Kematian dalam pikiran para tokoh perempuan. Kematian religius yang membawa berkah, kematian sebagai ancaman eksistensi hidup. Kematian yang mengancam romantisme asmara, kematian yang menimpa gadis kecil tak berdosa. Fauzy merasa dalam cerpen-cerpen Triyanto tiap karakter tokoh perempuan dibangun dengan ketersudutan pada mati. Maka cerpen-cerpen itu menghasilkan pengakarteran tokoh perempuan yang kuat. Itu yang membuat tokoh perempuan Triyanto  berbeda dengan tokoh-tokoh peremuan penulis cerpen perempuan seperti Linda Christanty, Laila S. Chudori, Djenar Mahesa Ayu, Sanie B. Kuncoro.
Pembacaan Han Gagas terhadap cerpen “Burung Api Siti” yang dibacanya secara khusus, dipenuhi nuansa Religiusitas Jawa. Sebutan-sebutan tokoh dalam Islam mewarnai di dalamnya. Ia menyoroti sisi makrifat teks dan mengungkapkan kejanggalan-kejanggalan dalam cerpen tersebut.
Puas pembaca mengungkap tangkapan pembacaaannya, akhirnya Triyanto mendongeng tentang tokoh-tokohnya yang kebanyakan terinspirasi dari dunia pewayangan atau kesan yang Beliau dapatkan dalam perjalanan, khususnya kala tersesat. Dalam wayang ada berbagai model mati (cara mati) yang sangat menakjubkan. Setiap-tokoh-tokoh diciptakan lengkap dengan sisi gelap dan terang, baik dan buruk.
Triyanto berbagi ilmu, bagaimana setiap penggarapan cerita, selalu melakukan riset dengan cara apa pun. Dan Beliau membagi resep: sebagai penulis, berendah hatilah! Berlakulah, tempatkan diri untuk mengaku tidak mengerti apa-apa, sehingga perlu mencari apa-apa.
Dengan segala keterbatasannya, nyatanya malam itu telah menjadi malam penghargaan. Para peserta obrolan memberi penghargaan besar kepada Triyanto Triwikromo atas karyanya, Triyanto Triwikromo memberi penghargaan yang tak kalah besar kepada kawan-kawan atas pembacaan cerpen-cerpennya dengan segala temuan-temuan yang tak disangka atau terpikir olehnya. Di sinilah sebuah acara mencapai fungsinya. []

  
 
 
  

  Indah Darmastuti. Penulis. Anggota redaksi Bulletin Sastra Pawon

Monday 26 August 2013

Sastra dan Nostalgia: Obrolan Novel Tak Ada Nasi Lain karya Suparto Brata, oleh: Indah Darmastuti (dimuat di Solopos, dalam edisi bahasa Jawa)



Membaca sastra serta bernostalgia melalui teks. Begitu yang terasa ketika Pawon Sastra bekerjasama dengan Balai Soejadmoko pada 17 Juli 2013 menggelar obrolan buku Tak Ada Nasi Lain karya Suparto Brata -diterbitkan Penerbit Buku Kompas. Novel yang telah ditulis lebih dari 50 tahun lalu, yang sebelumnya pernah dimuat sebagai cerita bersambung di Harian Kompas pada malam itu cukup menyedot banyak pengunjung segala umur. Selain anak-anak muda pegiat literasi, hadir pula sejarawan Solo, dosen dan saksi sejarah di mana novel itu mengambil setting lokasi dan waktu: Solo, pada masa awal pendudukan Jepang hingga pertempuran-pertempuran pascakemerdekaan Indonesia diproklamirkan.
Diapresiasi oleh Rm. Daradjadi dan Pitoyo Amrih. Yang dirasakan Pitoyo Amrih saat membaca novel Tak Ada Nasi Lain, ia serasa membaca tulisan Umar Kayam. Ia menganggap kehadiran novel yang cara penulisannya akrab dengan masa kini tersebut membawanya untuk merawat rasa sejarah. Menurutnya, cerita dalam buku tersebut menjadi sesuatu yang langka.
Sementara Rm. Daradjadi lebih menitik-beratkan bahwa dalam sejarah perjuangan Bangsa Indonesia, Solo adalah kota penting. Tak ada kejadian penting yang tidak melibatkan Solo.  Solo yang kerap kita dapati sebagai istana-sentris, tergambar jelas di novel itu. Kenyataannya keluarga bangsawan harus rela tercerabut dari kebangsawanannya setelah masa revolusi.
Novel Tak Ada Nasi Lain kaya akan simbol. Pada masa pendudukan Belanda atau masa  PB X jumeneng di Keraton Surakarta adalah suatu keharusan memberi sembah serta laku dodok di hadapan raja dan keluarganya. Tetapi pada pendudukan Jepang, hal itu adalah bentuk perbudakan. Kain lurik menjadi simbol kemiskinan, sementara cokelat pemberian Jepang menjadi sangat sensitive dan mencurigakan.
Yang menjadi tematik besar dalam buku tersebut adalah: dinamika keluarga bangsawan Wirosaroyo yang bertahan di masa perpolitikan Indonesia sedang membara. Mengapresiasi jaman bagaimana memertahankan kemerdekaan, dan upaya menjadi bangsa yang bermartabat di mata dunia. Mengisahkan pergolakan dan dunia permenungan tokoh utama: Saptono lelaki kecil perenung dan pemikir di masa pertumbuhan sebagai remaja, yang kemudian menguasai siasat penyerangan terhadap musuh.
Perkembangan psikologi tokoh-tokohnya mekar sealur dengan cerita. Ada beberapa bagian yang terasa mengejutkan, ada beberapa bagian dibiarkan menjadi teka-teki. Detil-detil tindakan dan pemikiran tiap tokoh sangat mengambil porsi pada halaman-halaman novel ini. Termasuk bagaimana rasa sekolah di masa pendudukan Belanda dan di masa pendudukan Jepang. Tatacara makan dan interaksi dalam keluarga diceritakan dengan sangat natural. Sehingga pembaca mendapat gambaran situasi domestik yang dipengaruhi publik. Novel tersebut tetap dibumbui romatisme dan percintaan a la Solo masa lalu. Urusan asmara juga menjadi penanda jaman.   
      Novel Tak Ada Nasi Lain sangat disarankan untuk dibaca khususnya bagi mereka yang mempelajari Solo dengan segala entitasnya. Novel pertama Suparto Brata, namun baru terbit tahun ini membawa kaum sepuh yang hadir di situ untuk mengingat kembali, bernostalgia dengan bacaan-bacaan semasa sekolah yang kaya akan pendidikan dan disiplin membaca.
            Pada gilirannya membawa kita untuk melihat dan membandingkannya dengan masa kini, bagaimana sistem pendidikan diterapkan pada generasi yang rasanya mulai terindikasi kurang menyintai budaya baca dan tulis. Tak lupa penulis senior yang berusia 81 tahun dan sudah menerbitkan 160 cerita itu tetap memberi pesan kepada generasinya: jangan tinggalkan tradisi membaca dan menulis. Seperti itu. []  

Berpendar Bersama Pawon Sastra, notulen Indah Darmastuti



Malam Tiga Pendaran adalah salah satu ikhtiar Pawon Sastra untuk menghormati, merayakan dan memberi penghargaan intelektual serta kreatifitas penulis-penulis Solo. Pawon mewadahi, memfasilitasi mencoba memendarkan penulis-penulis Solo dan sekitarnya dengan mengenalkan dan membincangkan bukunya.
Pawon Sastra bekerjasama dengan Balai Soedjadmoko menghadirkan tiga pembicara untuk tiga penyair.  Malam Sekopi Sunyi, antologi puisi tunggal Eko Abiyasa diulas panjang lebar oleh Arif Yudistira. Merapuh, antologi puisi tunggal Nurni Chaniago dibahas lunas oleh Setyaningsih dan Bulan Sabit Petang Hari, antologi Puisi Ngadiyo dibahas tuntas oleh Nimas Dara. Lalulintas obrolan diampu Lasinta Arinendra dengan kata pembuka: “Bagaimana pun, ini adalah hari yang penting.”
Dihadiri sekitar 40 orang. Diawali dengan “Puisi adalah ingatan peristiwa.” Kalimat pendek yang disampaikan oleh Arif saat membahas Malam Sekopi Sunyi. “Bunyi bukan persoalan keindahan, tetapi makna dan pesan lebih menjadikan kopi sebagai puisi.”
Bagi Setyaningsih, ketika membahas antologi puisi Nurni Chaniago: “Merapuh adalah proses panjang. Kata me-rapuh akan mengalami sebuah proses ampuhnya bertahan, kala mengalami kondisi merindu, terluka, menunggu, mengenang atau berharap.
“Keseharian adalah puisi. Puisi tercipta dari mata-mata jeli yang melihat keseharian.” Apresiasi Nimas Dara terhadap kumpulan puisi Bulan Sabit Petang Hari. Sekalipun bagi Nimas, Ngadiyo memiliki bakat bagus sebagai penyair, namun dalam antologi itu, ia menganggap diksi dan bahasa yang digunakan Ngadiyo masih sangat biasa.
Malam dihangatkan oleh pembacaan puisi oleh masing-masing penyair. Ngadiyo, yang mengaku suka menuliskan puisi cinta dan mengangkat tema kehidupan pesantren dan khusyuk-nya membaca Qur’an malam itu membacakan dengan kocak-segar puisinya dengan judul: Kembali Kepada Al-Qur’an.
Saat membacakan puisinya, ia beberapa kali berhenti untuk sejenak memberi penjelasan perihal apa yang ia puisikan. Tak jauh beda dengan catatan kaki yang disertakan pada sebuah teks. Cukup menghibur dan malam menjadi segar oleh tawa. Sempat tertangkap: Astuti, Puitri Hatiningsih, Indah, Rio Johan dan Yudhi Herwibowo tertawa begitu lepas di sela-sela ia memotret, mendokumentasikan acara dengan kamera.
Eko Abiyasa membaca dengan pelan dan sendu sebuah puisi: Mengenang Murtijono (Beliau adalah kepala Taman Budaya Jawa-Tengah yang wafat pada 2012 lalu). Nurni Chaniago membacakan dengan vocal mantab dua puisinya: Memasak Kenangan yang Terlupakan dan Tikam Menikam Perang Keparat.       
Penulis Novel: Astuti Parengkuh, turut membacakan dan memilih puisi Nurni Chaniago yang berjudul: Kuingin Rajah Puisi di Tubuhmu. Dan memilih puisi Ngadiyo berjudul: Ingin Kukecup Cinta Bercahaya di Matamu. Sebuah puisi dengan ending mengejutkan: “Solo, The Spirit of Java”
Dalam diskusi itu, Indah Darmastuti bertanya: apakah motifasi para penyair saat menerbitkan puisi-puisinya dalam satu buku? Sebagai dokumentasi atau adakah hal yang ingin disampaikan secara khusus, atau sekadar menunjukkan eksistensi atau mengesahkan diri sebagai penyair.  Dari tiga penyair, rata-rata memberi pengakuan bahwa buku itu sebagai bentuk dokumentasi, selain ingin mencipta jejak dan menjaga ingatan, mengabadikan peristiwa. Selain pengakuan Ngadiyo bahwa buku puisinya terbit salah satunya karena terinspirasi oleh Lasinta.
Istiqaroh menyampaikan sedikit catatan untuk para pengulas (khusunya untuk Nimas dan Arif). Penyampaian yang tersendat, atau penyampaian yang kurang jelas. Baginya penting seorang pengulas mempresentasikan dengan jelas dan matang meskipun sudah ada makalah yang dicetak untuk dibaca.
Obrolan ditutup oleh Bandung Mawardi, mengulas kecil tentang obrolan dan ajakan moderator untuk: “Mari menulis puisi” yang langsung ia tolak karena ia lebih suka menulis essai.
Lagu sendu dari Toko Gramedia Slamet Riyadi penanda waktunya tutup telah terdengar. Peserta diskusi sempat sejenak mendengarkan dan menikmati. Dan tepat saat itulah, acara Malam Tiga Pendaran yang diadakan di Balai Soejadmoko pada Selasa 2 Juli 2013 pukul 21.30 ditutup.  Semua beringsut, ada beberapa yang meminta tandatangan pada para penyair, ada yang bergegas pulang namun ada juga yang masih berbincang di gelaran tikar.
Satu hal yang sangat dan selalu ingin kami sampaikan: terimakasih untuk Mas Sukidi yang selalu pulang paling akhir dan membuat beres tempat kami berdiskusi. Terimakasih untuk Balai Soejadmoko untuk tempat yang disediakan. Dan untuk para pengulas: terimakasih ilmunya. [ ID ]   

   







 foto2 Yudhi Herwibowo