Hermawan Aksan: Penulis Omnivora, wawancara Indah Darmastuti

Tidak pernah menjadi basi ketika proses kreatif seorang penulis dibagikan. Sebab, seiring waktu dan  perkembangan jaman, akan lahir pemulis-penulis baru yang tentu tidak terlepas dari pendahulunya, penulis-penulis yang lebih dulu melakukan pertaruhan-pertaruhan kata dan bahasa. Proses kreatif setiap penulis pasti berbeda.

Pada kesempatan kali ini, Pawon menyajikan penulis dari Bandung yang beberapa saat lalu, ketika Pawon Sastra menggelar Festival, penulis tersebut menjadi salah satu tamu. Beliau adalah Hermawan Aksan.

Sudah menulis beberapa novel anak, beberapa kumcer dan beberapa buku nonfiksi yang juga tandem dengan penulis lain. Kemudian Novel yang sudah diterbitkan antara lain: Dyah Pitaloka, Senja di Langit Majapahit (C Publishing, Desember 2005), diterbitkan lagi dengan judul Dyah Pitaloka, Korban Ambisi Politik Gajah Mada (Bentang Pustaka, 2007), Kiamat Sudah Dekat (Pustaka Latifah, 2006), berdasarkan skenario sinetron Musfar Yasin, Niskala, Gajah Mada Musuhku (Bentang Pustaka, Yogyakarta, Juni 2008), Cinta Empat Bab (Kakilangit Kencana, Juni 2009), Cincin Cinta Miss Titin (Kakilangit Kencana, November 2009), Jaka Wulung: Pertarungan di Bukit Sagara (Bentang Pustaka, September 2013), Jaka Wulung: Jurus Tanpa Nama (Bentang Pustaka, September 2013), Jaka Wulung: Pendekar Bunga Matahari (Bentang Pustaka, September 2013)

Tentu ketika menerbitkan sejumlah buku itu memiliki jenis perjuangan yang berbeda. Tetapi spirit tetap sama: mewarnai Sastra Indonesia.
Berikut petikan obrolan Pawon Sastra (Indah Darmastuti) bersama Hermawan Aksan: 
Kapan Mas Hermawan mulai menulis secara serius?
Saya mungkin tergolong penulis telat. Saya menulis secara serius setelah usia 25 tahun, pada tahun 1990-an. Sebelumnya saya tidak membayangkan akan memilih jalan menjadi penulis. Cita-cita saya ketika SD menjadi dokter. Cita-cita itu berubah terus seiring dengan bertambahnya usia. Saya pernah bercita-cita menjadi pemain sepak bola, kemudian menjadi pelukis, dan seterusnya. Eh, sekarang tersesat menjadi penulis. Belakangan saya iri kepada mereka yang sudah menulis dengan bagus sebelum usia 20 tahun.

Buku-buku apa yang melatari sehingga Mas Her memutuskan untuk menulis? Atau lebih luas lagi, buku-buku apa yang paling berpengaruh dalam dunia menulis Mas Hermawan?
Suatu saat saya punya waktu senggang untuk membaca banyak buku. Saya membaca Tegak Lurus dengan Langit (Iwan Simatupang), Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari), Khotbah di Atas Bukit (Kuntowijoyo), Canting (Arswendo Atmowiloto), Puntung-Puntung Roro Mendut (Y.B. Mangunwijaya), tetralogi Bumi Manusia (Pramoedya Ananta Toer), Musashi (Eiji Yoshikawa), dan lain-lain. Semua buku itu sangat mengesankan dan pasti berpengaruh sehingga saya memutuskan untuk menulis. Saya tidak tahu buku-buku apa yang paling berpengaruh. Bahkan buku Nagasasra dan Sabuk Inten (S.H. Mintardja) pun sangat berpengaruh pada karya tulis saya.

Apa yang diharapkan Mas Hermawan dari menulis?
Saya kadang tidak bisa merumuskan apa harapan saya dari menulis. Secara ideal mungkin begini: saya ingin terus menulis supaya saya tidak cepat pikun. Dari sisi ekonomi, meskipun tidak berlebih, saya dapat hidup, berkeluarga, membangun rumah, dan mengasuh anak-anak karena menulis. Saya memang tidak benar-benar hidup dari menulis, tapi pekerjaan tetap saya di media juga berkaitan dengan tulis-menulis.

Target yang ingin dicapai dalam menulis?
Seperti juga harapan, saya kadang bingung apa target saya. Seseorang yang pernah saya anggap guru dalam menulis pernah bilang begini: “Kamu itu punya potensi besar, sayang nggak punya ambisi.” Jadi, sampai saat ini saya tidak pernah menargetkan buku saya dianggap sastra, atau layak mendapat hadiah tertentu, atau buku saya laris terjual, dan sebagainya. Mungkin itu sebabnya saya tidak pernah mencapai semua itu. Saya menulis karena senang melakukannya. Itu saja.

Sekarang sudah menerbitkan berapa buku? Judul? Penerbit? Dari semua yang sudah diterbitkan mana yang paling memuaskan hati Mas Hermawan?
Saya lupa angka yang pasti, tapi sekitar empat puluh. Saya kadang malu karena saya menulis banyak jenis dan tema buku. Kesannya sok serbatahu. Sebagian memang penerbit yang meminta dan saya jarang menolak permintaan penerbit kalau sekiranya saya mampu. Buku-buku saya terdiri atas kumpulan cerpen, novel, buku nonfiksi, bahkan buku pengayaan siswa sekolah. Penerbit yang pernah menerbitkan buku saya antara lain KPG, Grasindo, Bentang, Mizan, Grafindo, Kakilangit, dan Nuansa Cendekia. Dari segi proses penulisan, meskipun tidak benar-benar sempurna, yang paling memuaskan adalah novel Cincin Cinta Miss Titin, yang diterbitkan Kakilangit. Sayang, tidak memuskan dari segi penjualan. Ha-ha-ha.

Kapan biasanya Mas Hermawan menulis? Maksudnya, bagaimana membagi waktu antara membaca, menulis dan aktivitas yang lain?
Saya tidak punya jam yang tetap untuk menulis. Tapi saya lebih banyak menulis pagi hari. Terutama kalau bisa bangun dini hari, itu saat yang nyaman untuk menulis. Pukul 03 atau 04. Setelah waktu subuh diteruskan sekitar satu jam. Setelah istirahat, sekitar pukul sembilan saya menulis lagi. Saya juga tidak punya jam tetap untuk membaca. Tapi saya lebih banyak membaca sekitar satu jam siang hari dan satu jam sebelum tidur. Selain itu, tiap ada waktu luang, saya membaca. Di kantor, saya kadang mencuri waktu untuk menulis dan membaca. Tiap di bus atau kereta api, saya hanya satu atau dua orang yang membaca buku di perjalanan.

Saat ini sedang menyiapkan (menulis) buku apa?

Ada beberapa buku yang sedang saya tulis. Ada fiksi, ada juga nonfiksi.

Apa yang utama, yang ingin Mas Hermawan berikan pada pembaca?
“Saya tidak pernah terbebani harus memberikan apa kepada pembaca. Saya hanya berusaha membuat tulisan yang baik, dengan bahasa yang baik dan pesan moral yang baik. Kalau apa yang saya berikan diterima pembaca, saya bersyukur. Kalau tidak, saya akan berusaha memberikan yang lebih baik.”

Apa pendapat Mas Hermawan tentang perayaan-perayaan sastra, semisal Temu Sastra Nusantara, Festival Borobudur, Ubud Writers and Readers Fersival? Asean Literary Festival? Festival Sastra Pawon?
Sayangnya saya tidak mengikuti dengan intens perkembangan perayaan-perayaan sastra. Pernah sekilas terpikir kenapa perayaan sastra sering dihadiri oleh orang-orang yang dekat dengan panitia. Mungkin karena saya jarang sekali diajak, ha-ha-ha. Mudah-mudahan kilas pemikiran saya keliru. Saya juga berharap perayaan-perayaan sastra itu benar-benar dilaksanakan demi kemajuan sastra.

Bagamana Mas Hermawan melihat geliat Sastra Indonesia saat ini?
Tidak hanya menggeliat, sastra Indonesia beberapa tahun belakangan seperti berusaha bertiwikrama menjadi kekuatan raksasa. Setidaknya dalam kuantitas. Lihat saja berapa puluh atau ratus judul karya sastra baru yang dipajang di toko buku. Berapa puluh penulis, penyair, cerpenis, dan novelis baru bermunculan setiap bulan, atau minggu. Ini tentu sangat menggairahkan. Tinggal bagaimana sekarang penerbit melakukan seleksi lebih ketat, dari sudut pandang kualitas, jangan hanya mengejar jumlah.

Bagaimana pendapat dan harapan Mas Hermawan dengan Frankfurt Book Fair, yang mana Indonesia ditunjuk sebagai tamu istimewa pada 2015 nanti?
Tentu ini kesempatan bagi penulis dan penerbit Indonesia untuk menunjukkan bahwa negeri ini memiliki penulis dan karya yang layak dibaca khalayak pembaca internasional secara lebih luas. Ini peluang besar bagi sastra Indonesia. Saya berharap proses penerjemahan karya-karya penulis kita akan berlangsung adil, dengan penilaian yang objektif.

Maksudnya penilaian obyektif?
Pemilihan buku yang akan diterjemahkan dilakukan secara objektif, bukan karena kedekatan atau koneksi seperti umumnya terjadi di dunia perbukuan negeri ini.

Apakah Mas Hermawan melihat indikasi ke arah itu?
Belum. Hanya mengingatkan.

Yang terakhir, apa harapan Mas Her pada Sastra Indonesia di era globalisasi ini?
Kalau dalam arti mengglobal, tentu saya berharap sastra Indonesia makin dikenal di negeri lain dan suatu saat ada sastrawan kita yang meraih penghargaan bergengsi tingkat dunia. Nobel misalnya. Pemerintah tentu tak boleh berpangku tangan. Perlu diciptakan atmosfer yang membuat penciptaan karya sastra yang baik terus meningkat.

Demikian obralan santai bersama Hermawan Aksan, semoga apa yang sudah dibagikan, bisa mendatangkan manfaat bagi pembaca, khususnya Pawon. Mari terus berkarya! (IDe)

Share:

0 komentar