Catatan Perjalanan Sastra Ke Banyuwangi Bersama Pawon (Bagian I), oleh Linggar Rimbawati Puwrowardhoyo

Saya suka sekali melakukan perjalanan. Apalagi perjalanan jauh yang ditempuh selama berjam-jam. Pada 24 hingga 27 Mei yang lalu saya mengunjungi sebuah tempat di Banyuwangi bersama teman-teman Pawon. Tentu tujuan perjalanan ini bukan semata-mata untuk liburan, bersenang-senang. Teman-teman penulis senior seperti Mas Bandung, Mas Yudhi, Mas Fauzi, Mbak Indah, Mbak Puitri, Bunda Astuti, Mbak Sanie, Ngadiyo,Rio, Seruni dan Impian akan menjadi pembicara dalam workshop menulis yang diikuti oleh santri-santri Ponpes Darussalam. Saya, yang sedang belajar menulis, ikut sebagai penggembira dan berencana turut ‘mencuri’ ilmu yang akan dibagikan oleh teman-teman penulis senior.

Kami memilih menumpang kereta api untuk sampai ke Banyuwangi daripada menggunakan jenis kendaraan lain, menyewa mobil atau menumpang bus, misalnya. Saya sendiri tidak keberatan, malah girang bukan buatan. Saya suka berada di dalam kereta dan memandang ke luar jendela, tapi tidak sering menempuh perjalanan jauh. Maka, kesempatan ini tidak akan saya buang begitu saja. Saya tinggalkan rutinitas pekerjaan sebagai relawan di sebuah LSM dan menyelesaikan tugas-tugas kuliah yang menumpuk. Biarlah.

Saya bersama rombongan berjumlah 13 orang berangkat dari stasiun Jebres pada pukul 08.30 WIB. Saya bersama Ngadiyo tiba paling awal dibanding teman-teman lain di stasiun yang baru pertama kali saya datangi itu. Setelah memarkir dan membayar karcis, kami duduk di bangku paling pojok. Ruang tunggu cukup ramai pagi itu.Orang-orang datang menyandang tas, menggendong ransel, bersemangat menyambut eforia perjalanan. Karena tidak sempat sarapan, saya menerima roti isi mentega yang ditawarkan teman saya, Ngadiyo. Roti manis itu cukup mengganjal perut yang mulai berkeriuk karena lapar. Tak lama kemudian, teman-teman lain mulai berdatangan; Seruni, Rio, dan lain-lain. Lukas datang paling akhir dan sempat membikin deg-degan karena ketika di-SMS, dia mengatakan masih di Boyolali.Sedangkan Impian dan Vita akan menyusul keesokan harinya. Wajah sumringah tidakbisa kami sembunyikan. Semuanya tersenyum, tertawa, bercanda, ngakak-ngakak.

Ketika pemberitahuan bahwa kereta Sri Tanjung dengan tujuan akhir Bayuwangi akan segera tiba dan penumpang diharap masuk peron dengan menunjukkan tiket dankartu identitas bergema di seluruh stasiun, tertangkap telinga, kami mengakhiri obrolan dan beranjak untuk menuju pintu masuk peron. Mbak Sanie bersemangat mengkoordinir teman-teman untuk membawa tas-tas plastik berisi makanan untuk bekal kami di tengah perjalanan. Kami tidak mengalami masalah berarti di pintu pemeriksaan tiket kecuali anteran yang panjang dan orang-orang yang berdesakan.Sembari menunggu kereta datang, tak lupa kami lampiaskan energi narsis yangsudah memuncak di ubun-ubun; foto-foto dulu…

Cerita Gayengdi Kereta
Saya bersama tiga teman; Seruni, Rio dan Mbak Indah, duduk di kompartemen yang sama, sisanya di kompartemen belakang. Sedangkan Lukas, Bunda Astuti, Wilang dan Ayu terpisahdi gerbong lain, karena memang tidak membeli tiket bersamaan. Kereta mulai berjalan pelan, hati saya mengembang. Bekal berupa kue arem-arem mulai diedarkan. Obrolan dimulai. Terdengar suara tawa yang membahana dari kompartemen belakang. Rupanya terjadi peristiwa menegangkan sekaligus lucu ketika Mbak Sanie bersemangat mengkoordinir teman-teman untuk membawakan tas-tas plastik berisi bekal. Mbak Sanie dengan rapi membagikan tas kepada beberapa teman untuk dibawa masuk ke kereta, “Lukas, kamu bawa ini, tas ini berisi arem-arem dan roti semir. Ngadiyo, kamu bawa tas berisi aqua..” Setelah yakin semua tas bekal terbawa, dengan santainya Mbak Sanie menyandang tas pribadinya dan melenggang menuju peron. Setelah kereta tiba dan kami semua berhasil masuk dan menata tas di kabin atas, barulah Mbak Sanie tersadar bahwa tas besar dengan motif bunga-bunga tidak ikut terbawa alias ketinggalan. Panik,Mbak Sanie mengajak Mbak Indah turun untuk mengambil tas tersebut meski tidak yakin di mana tas tersebut tertinggal. Rupanya, tas itu tertinggal di bangku diruang tunggu, di luar peron. Untung saja tidak ada tangan jahil yang ‘mengamankan’ tas tersebut. Dan untung juga, Mbak Sanie dan Mbak Indah berhasil masuk gerbong sebelum kereta berangkat. Fiuh, leganya…

Kereta terus melaju meninggalkan kota Solo menuju Sragen dan akhirnya meninggalkan JawaTengah. Mata mulai redup, mengantuk. Rasanya ingin tidur karena semalam saya hanya tidur beberapa jam. Mungkin karena terlalu bersemangat menyambut sukacita berkereta. Tapi tentu tidak nyaman untuk bisa tidur nyenyak dengan posisi duduk begini. Apalagi punggung kursinya terlalu lurus. Akhirnya saya hanya bisa memejamkan mata sejenak sambil bersedakap dan meluruskan punggung. Di depansaya, Rio juga terkantuk-kantuk. Bahkan sudah sempat tertidur. Matanya terpejam dan mulutnya sedikit terbuka, menganga. Aduh jelek sekali. Saya tidak menyangka anak ini bisa jelek juga, biasanya ‘kan selalu ganteng. Saya dan Seruni sampai sakit perut menahan tawa, tapi tidak berhasil. Tawa kami jebol juga. :-D. Mendengar suara tawa kami, Rio terjaga dari tidur singkatnya. “Kamu jelek banget, Yo,kalau lagi tidur. Sayang nggak sempat kufoto..”

Tak terasa kami sampai di stasiun besar Madiun. Kereta berhenti cukup lama di sini. Spontan saya menyeletuk, “Wah, sampai di Madiun, ini kan kampungku..”.
 “Lho, kamu orang Madiun, tho? Lha, katanya Jambi?” Tanya Mbak Sanie yang sudah bergabung di kompartemen kami.
 “Iya, Mbak, orangtuaku, Bapak Ibu asli Madiun.Tapi tahun ’83 ikut transmigrasi ke Jambi..” dengan singkat kuceritakan sejarah kepindahan orangtuaku ke pedalaman Sumatra dan kehidupan awal di tempat yang masih dikelilingi hutan lebat itu… “Makanya, namaku ‘Linggar Rimbawati’”
 “Kamu lahir di sana? ‘Linggar’ itu artinyaapa?”
“’Linggar’ ituartinya ‘pindah’, Mbak.. pindah ke hutan…”
“O.. jadi arti namamu ‘pindah ke hutan’, gitu.. dari bahasa apa itu?”
“’Linggar’ itu dari bahasa Kawi, Mbak…”
“Bagus lho itu namamu. Orangtuamu sastrawan?”
“Ah, tidak,orangtua saya petani biasa”
“Lha itu kok tahu bahasa Kawi segala…?”
“Iya, Ibu saya yang menamai saya. Kalau darah sastrawan mungkin tidak kental-kental amat dikeluarga, tapi kata Ibu, kakek saya (ayah ibu) adalah seorag seniman. Beliau punya karawitan”
“Jadi ada bakat sinden ya, Ibumu?”
“Kalau sinden tidak, tapi Ibu saya pintar sekali menari…”

Belakangan saya baru ingat, selain pintar menari Ibu saya juga pintar menyanyi. Ibu kerap sekali rengeng-rengeng menyanyikan lagu Jawa ketika momong cucunya. Bakat menari Ibu rupanya menurun ke kedua kakak saya, mereka luwes  sekali kalau menari. Bakat itu tak hanya berhenti pada kakak saya, tapi kembali menitis keanak-anak kakak saya. Keponakan laki-laki saya, Al, 4 tahun, pandai sekali menari Reog. Bahkan ketika hanya diiringi music dari mulut pun dia sangat luwes menari. Menurut Ibu, dia sudah bisa niteni gendhing. Adapun saya, hahaha, jangankan menari, senam SKJ di sekolah saja gerakan badan saya kaku bagaikan robot. Bagaimana kalau menyanyi? Wah, saya pernah lho, jadi bahan tertawaan teman satu kelas gara-gara ketika menyanyi didepan kelas pada pelajaran Budaya Daerah Jambi, suara yang keluar cempreng bagaikan kaleng kerupuk dan nada tidak stabil, melayang ke mana-mana.

Kami kembali membahas para orang tua yang menamai anaknya dengan nama indah. Mbak Indah mengagumi Jokowi yang menamai putra-putrinya dengan nama yang sangat indah; Kaesang Pengarep, Rakabuming, dan Kahiyang Ayu.
Saya mengaguminama putri dari Dedi Mizwar, Senandung Nacita dan Sabda Embun Pagi, putri dar iMas Kabut. Saya jadi mikir, kalau saya punya anak, kira-kira mau saya namai apa ya.. hehehe, yang jelas saya akan mengambil dari bahasa Sansekerta atau bahasa Kawi.

Menemukan Keluarga Baru
Lelahnya menempuh perjalanan selama 12 jam seolah-olah tidak terasa karena cerita-cerita dan obrolan yang seru. Apalagi, Tuhan memberikan saya kesempatan untuk bersandar di lengan berotot Rio Johan barang sekejap. Hehehe. Saya jadi lupa sama pacar.
Sekira pukul21.00 WIB kereta tiba di stasiun Kalistail, Banyuwangi. Nama stasiunnya terdengar asing. Mungkinkan diserap dari bahasa asing, bahasa Belanda?
Di pintu kedatangan, sudah menunggu Pak Nur, pemilik pesantren Darussalam, yang akan menampung kami selama di Banyuwangi. Satu per satu dari kami menyalami beliau. Pak Nur adalah seseorang yang ramah dan menyenangkan. Tersedia dua buah mobil yang akan mengangkut rombongan ke kediaman Pak Nur, tempat kami akan menginap selama tiga malam. Para cewek, plus Wulang menumpang mobil yang dikemudikan oleh PakNur sendiri. Sedangkan para cowok menumpang mobil yang dikendarai oleh salahsatu santri Darussalam. Sepanjang perjalanan, Pak Nur bercerita tentang Banyuwangi. Menurut beliau, nama ‘kalistail’ bukan diserap dari bahasa asing, melainkan dari bahasa local.
“Di sini ada sungai, namanya Kalistail, lalu diambil jadi nama daerah di sini,” jelasnya.Beliau juga mengatakan bahwa bupati Banyuwangi, Pak Anas, sangat dicintai rakyatnya. Beliau dijuluki ‘Jokowi-nya Banyuwangi’, orangnya merakyat dan rumahnya di kampung. Tidak seperti dua bupati sebelumnya, Pak Anas membawa perubahan yang positif bagi Banyuwangi. Jalan-jalan jadi bagus. “Tapi kalaumasuk kampung saya, jalannya masih jelek, nanti jangan kaget, ya. Rumah saya dikampung, orangnya masih norak-norak…” kata Pak Nur dengan rendah hati.
“Ah, nggakapa-apa, Pak, justru kita cari suasana pedesaan..”

Banyuwangi kayaakan kesenian tradisional, seperti Janger, Gandrung Banyuwangi, Seblang…
Kami memasuki kota Genteng, salah satu kota kecamatan di Banyuwangi. Menurut Pak Nur, kotaini adalah pintu masuk daerah Banyuwangi. “Orang-orang itu kalau masuk Banyuwangipada nggak sopan, ya. Masak masuknya lewat genting… hehehe,” katanya bercanda. Memasuki daerah Kalidoro, pemandangan di kanan-kiri jalan tidak lagi dipenuhi oleh rumah-rumah atau bangunan-bangunan yang berjubel. Kami di sambut oleh hamparn asawah yang membentang namun terlihat gelap karena hari sudah malam. Di kejauhan tampak titik-titik cahaya terang menandakan adanya peradaban. Cahaya itu berasal dari lampu-lampu rumah penduduk. Indah sekali. Di tengah sawah yang telah dibajak juga memancar cahaya dari lampu senter. Ada orang mencari kodo katau belut di sawah. Sementara, ketika mobil berjalan pelan dan suara mesin memelan, terdengar suara-suara derik jangkrik dari luar. Wah, kami benar-benar berada di desa, jauh dari hiruk pikuk kota. Begitu damai dan tenang…
Tak berapa lama,kami sampai di rumah Pak Nur. Bu Nur, isteri Pak Nur menyambut kami dengan senyum manis di muka rumah bahkan sebelum kami turun. Satu per satu dari kami turun dari mobil dan berkenalan dengan Bu Nur. Seperti suaminya, beliau orang yang ramah dan sederhana.
Sebuah kama rbesar lengkap dengan kamar mandi di lantai atas tersedia bagi kami, para cewek dan Wulang untuk beristirahat. Sedangkan para cowok menghuni sebuah kamar dibawah. Setelah mandi dan melepas penat sejenak kami makan malam bersama diruang tengah. Menunya boleh sederhana, tapi rasa dan kenangannya tidak dapat dilupakan begitu saja; nasi putih yang hangat, pecel dengan sambal pedas tapi lezat, tahu goreng dan kerupuk yang gurih. Tak lupa es teh segar cocok dinikmati di tengah cuaca yang panas. Sambil makan kami berbagi cerita dengan Pak Nur dan Bu Nur.
“Lho, kok nggak pakai nasi, Mas?” Tanya Pak Nur kepada Rio yang memang sangat menjaga pola makan. Rio hanya makan sayuran yang disiram sambal pecel.
“O.. Itu kelinci..” celetuk Mas Kabut yang mengundang tawa.
Kami sangat menyukai sambal pecel buatan Bu Nur meski sangat pedas. Di Solo kami tidak akan menemukan sambal pecel yang rasanya lezat seperti ini. Rasa pedasnya tidakmenghilangkan rasa bumbu lainnya, tapi justru menyatu sehingga menciptakan citarasa yang sungguh memanjakan lidah.
Tak perlu waktulama untuk akrab berbaur dengan keluarga Pak Nur. Mereka tidak memperlakukan kami sebagai tamu, tapi sebagai keluarga sendiri. Kami dipersilakan menambah makan lagi dan mengambil piring sendok sendiri, membuat minuman sendiri, selayaknya di rumah. Mulai kini, kami punya keluarga baru di Banyuwangi. Hal ini membuat saya sangat bersyukur atas murah hati Tuhan karena telah mempertemukan saya dengan Pawon.
Tak kuat lagi menahan kantuk, beberapa dari kami naik ke kamar untuk beristirahat. Esok pagi kami sebelum workshop dimulai kami berencana bertualang ke pasar dan hutan. Setelah menggosok gigi dan membersihkan wajah, saya berdoa sebelum tidur, bersyukur atas hari yang luar biasa ini. (bersambung)

*Tulisan iniuntuk teman-teman yang tidak ikut dalam perjalanan sastra ke Banyuwangi, sebagai oleh-oleh. Terutama untuk Karisma Fahmi, supaya tambah mangkel-mangkel gemes, hehehehe… :-D.
*Mau tahu serunya petualangan Pawon ke pasar dan hutan, juga di pantai Pulau Merah? Nantikan lanjutan tulisan ini. Segera.

Tags:

Share:

0 komentar