Sunday 28 February 2016

#BincangSastra Solopos FM 21 Februari 2016: Sosok Romo Mangun oleh Yunanto Sutyastomo



10 Februari 1999 Mohamad Sobary tidak menyangka waktu itu akan ada seseorang yang meninggal dunia di pangkuannya. Seseorang yang mengabdikan hidupnya untuk rakyat kecil. Siang itu YB Mangunwijaya terkulai lemas dalam pangkuan Sobary, sahabat karibnya dalam sebuah seminar yang diadakan oleh Yayasan Obor Indonesia. Hari itu banyak orang kehilangan YB Mangunwijaya yang biasa dipanggil Romo Mangun. Seorang rohaniawan, sastrawan, pemerhati sosial, dan seorang arsitek yang peduli pada lingkungan.
Romo Mangunwijaya memang dikenal dengan berbagai hal yang berhubungan dengan kebudayaan, dan kemanusiaan. Romo Mangunwijaya sebenarnya bercita-cita sebagai pastor biasa, dirinya menjadi pastur setelah terlibat dalam perang kemerdekaan. Romo Mangun di tahun – tahun pasca kemerdekaan ikut menjadi bagian dari gerilyawan di Yogya, dirinya bahkan pernah jadi sopirnya Letkol Soeharto (kelak jadi Presiden Indonesia). Perang kemerdekaan kemudian menjadi salah satu inspirasinya dalam novel Burung – Burung Manyar, di novel itu dalam sudut pandang yang berbeda mencoba melihat sisi perang kemerdekaan, terutama di awal novel. Burung-Burung Manyar sebuah novel yang berkisah kisah cinta dua manusia (Teto, dan Laras) dengan dua pilihan politik yang berbeda pula.
Kisah Burung – Burung Manyar walau pun bercerita pada kisah cinta dua insan, tapi tidak bisa dipungkiri novel ini menunjukkan kekaguman Romo Mangunwijaya pada seorang bapak bangsa kita. Pada novel Burung – Burung Manyar kita akan mengetahui kekaguman Romo Mangun pada St Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia. Kisah St Sjahrir yang datang ke markas Belanda, yang pada saat bersamaan Teto sebagai prajurit sangat tidak suka dengan Sjahrir karena dianggap berbahaya, sementara para atasannya serta politisi Belanda umumnya sangat hormat pada Sjahrir, karena Sjahrir tidak pernah bekerjasama dengan penjajah. Kisah ini menjadi pelengkap dari tulisan Romo Mangun di Majalah Prisma pada tahun 1977. Di Majalah Prisma Romo Mangun menuliskan dengan lengkap, dan ada sedikit rasa kagum serta menyanjung Sjahrir sebagai tokoh bangsa.
Romo Mangun memang tidak pernah bertemu dengan St Sjahrir secara langsung, ketika Sjahrir menjadi Perdana Menteri, Romo Mangun sedang bergerilya di Yogya. Perang kemerdekaan menjadikan sekolah Romo Mangunwijaya agak terbengkalai, setelah perang selesai Romo Mangun melanjutkan sekolah di SMA St Albertus Malang. Setelah dari Malang Romo Mangun belajar di Seminari Yogya, kemudian berlanjut di ITB, dan sekolah arsitek di Aachen, Jerman. Praktis hidup Romo Mangun antara periode 1950-an dan 1960-an dihabiskan untuk sekolah, sementara dalam periode tersebut St Sjahrir mengalami masa surut dalam karier perpolitikan. Ketika Romo Mangunwijaya pulang dari Jerman tahun 1966 St Sjahrir meninggal dunia.
Saat Romo Mangun pulang dari Jerman terjadi perubahan politik di Indonesia, mantan komandanya dulu di Yogya menjadi penguasa baru di negeri ini. Mulailah Indonesia memasuki era Orde Baru, penguasa baru, dan para pejabat yang mengisi kedudukan penting sebagian besar mengenal Romo Mangun. Tapi Romo Mangun justru menjadi orang kritis terhadap kekuasaan yang ada, dirinya mencoba untuk melihat secara jernih kekuasaan yang berjalan. Sikap kritis Romo Mangun ditunjukkan pula dengan sikap nyata berupa terlibat langsung dengan masyarakat kecil seperti tinggal di pinggiran Kali Code, dan masyarakat yang terkena genangan air Waduk Kedungombo.
Periode Orde Baru memang terjadi represi yang kuat terhadap sikap kritis masyarakat, kekuasan memusat, dan segala hal yang berbeda dari penguasa dirasakan sebagai bahaya nasional. Selama Orde Baru tidak sedikit orang yang mencoba kritis terhadap penguasa disingkirkan, hanya beberapa orang yang tidak mengalami hal ini. Romo Mangun , dan beberapa orang dari Petisi 50 tidak mengalaminya, bisa jadi karena penguasa masih segan terhadap mereka.
Pada periode ini pula Romo Mangun mencoba menulis karya sastra, novel pertama Romo Mangun yang terbit tahun 1979 berjudul Romo Rahadi, kisah tentang seorang pastur yang bimbang di Papua. Sungguh sebuah kerja keras buat seseorang yang berusia lima puluh tahun menulis sebuah karya sastra. Karya sastra berikutnya yang terbit novel Burung – Burung Manyar yang mendapat penghargaan SEA Award tahun 1983. Selain itu Romo Mangun menulis cerita bersambung yang berjudul Roro Mendut yang kemudian dibuat jadi sebuah novel. Novel lain yang juga menarik perhatian masyarakat adalah Ikan – ikan Hiu, Ido, Homa yang terbit tahun 1983, novel ini memiliki latar kehidupan di daerah Maluku.
Novel-novel Romo Mangunwijaya memiliki ciri tersendiri, selain cerita-ceritanya selalu terkait dengan mitos atau sejarah, bahasa yang digunakan agak berbeda dengan para penulis lain. Bahasa Romo Mangun bagi sebagian orang agak susah dipahami, ada yang mengkritik Romo Mangun kurang taktis dalam bercerita, tapi hal itu tidak mengurangi kebesaran karya tersebut. Sampai sekarang gaya bertutur Romo Mangun yang berbelit, terkadang sangat hiperbola juga belum ada yang meneliti lebih rinci.
Ketika awal menulis karya sastra seolah Romo Mangun ingin berjarak dengan kegiatan dirinya yang lain, termasuk kegiatan yang bersifat politis. Mungkin Romo Mangun ingin menjaga pilihan-pilihan hidupnya. Namun di akhir pemerintahan Orde Baru Romo Mangun mulai memasukkan sisi politis dalam karyanya, termasuk sebuah cerpen yang dimuat Kompas pada tahun 1998 yang berjudul Saran “Groot Major” Prakoso. Cerpen ini berkisah tentang demontrasi yang menentang pemerintah Soeharto. Keberanian Romo Mangun bisa jadi dirinya sudah sangat jengkel dengan kekuasaan Orde Baru, kejengkelan serupa terjadi pula pada masyarakat Indonesia.
Setelah Reformasi tahun 1998 Romo Mangun lebih terlibat dalam berbagai kegiatan yang memiliki nuansa politik kuat. Tidak hanya itu Romo Mangun bahkan secara terbuka mengemukakan pendapatnya tentang situasi di Indonesia serta sikap yang harus diambil pemerintah pasca Soeharto. Surat terbuka Romo Mangun pada Presiden Habibie di tahun 1999 menunjukkan sikap tersebut, Romo Mangun tidak segan mengkritik Habibie, salah satu sahabatnya, yang ketika Romo Mangun wafat Habibie datang melayat di Katedral Jakarta. Di tahun 1999 diterbitkan satu novel terakhir Romo Mangun yang berjudul Pohon-Pohon Sesawi, sebuah kisah kehidupan seorang calon pastur (frater). Sebuah novel yang tidak jauh berbeda latarnya dengan novel pertama.

Kolom Akhir: Susah Mencintai yang Lain oleh Rizka Nur Laily Muallifa




Aku terus-menerus ingat kalimat yang disampaikan salah seorang kakak tingkat di lembaga pers mahasiswa beberapa waktu silam. Kira-kira begini bunyinya: Ifa iku urung siap nek dikon nulis jurnalistik. Begitu dia mengulang hasil rasan-rasannya. Saat itu aku dan keempat kawan pers mahasiswa (dua di antaranya merupakan kakak tingkat) sedang mengikuti workshop perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan bagi jurnalis yang diprakarsai sebuah komunitas peduli perubahan iklim, Indonesia Youth Team for Climate Change (IYTCC). Workshop itu berlangsung selama tiga hari di akhir pekan. Karena kesatuan kami di persma kampus, selama workshop kami tak sadar bahwa lebih sering membentuk komuni internal. Mulai dari duduk bersebelahan setiap kali kelas, berjanjian keluar kamar untuk makan bersama, berada di satu meja saat coffe break, hingga menjelajahi jalanan di seputaran hotel ketika malam sudah cukup larut. Lalu, di salah satu kesempatan ketika coffe break aku tidak tergabung di meja yang sama, mulailah acara rasan-rasan itu, yang salah satunya terlontar kalimat seperti di bagian awal tulisan ini.
Sebelumnya aku sempat mempresentasikan hasil reportaseku di kelas workshop. Aku menulis laporan tentang potret jalanan di sekitar hotel. Usai membacakan tulisanku, aku tertuduh sebagai mahasiswa Sastra Indonesia oleh pemateri. Sebab di sana-sini ditemui corak bahasa yang lebih mirip sastra daripada laporan hasil reportase pada umumnya. Begitu sang pemateri berujar. Di hari yang sama itu pula aku dinilai belum cukup siap untuk menulis jurnalistik oleh teman-teman persma sesama peserta workshop. Kupikir memang demikian. Tulisanku “Otobiografi Perubahan Iklim” yang kukirim untuk proses penyeleksian lalu juga mirip cerita pendek yang begitu personal. Ketika menulis, aku harus selalu berangkat dari diriku, dari hal-hal terdekatku. Sedangkan, ihwal corak bahasa kupikir secara tak sadar itu menjadi tendesiku. Sekalipun aku membaca tulisan-tulisan jurnalistik juga karya-karya non fiksi lainnya, tapi toh itu semua tidak pernah sanggup mengungguli kecintaanku ketika membaca sastra, meskipun masih terlampu sedikit yang kubaca. Mungkin itu begitu berpengaruh pada model tulisanku.
Tidak berhenti sampai di situ, aku merasa teror demi teror menggerayangi hidupku, kurasa (entah ini hanya perasaanku yang kelewat sensitif atau bagaimana) banyak pihak di sekitar yang seolah menyayangkan keputusanku menulis yang ‘sok’ sastra itu. Celoteh-celoteh orang-orang di sekitar.

Kolom Akhir: Rumah dan Kesepian oleh Thea Arnaiz Le



Rumah dan keluarga bagi saya adalah tempat untuk tumbuh. Rumah juga tempat saya mengenal musik, rumah kecil ini tidak pernah jauh dari suara tape radio yang diputar. Energik sekali aura rumah ini, selalu bergerak sejak subuh sampai malam hari. Kebetulan pos ronda dibangun di depan rumah ini. Semuanya energik. Sampai saat kita menyadari bahwa rumah ini tidak selalu tetap isinya. Bisa saja bertambah atau berkurang.
Bagi keluarga saya, beberapa barang di rumah ini punya pemiliknya. Saya sendiri menguasai buffet di ruang tamu dengan buku-buku dan koran-koran. Berkali-kali nenek mendesak saya untuk menjual buku dan koran yang lawas itu. Berkali-kali pula saya keras kepala. Tidak ada yang boleh menjual buku dan koran itu tanpa ada persetujuan dari saya. Egois sekali. Gitar yang digantung di ruang tamu bisa juga sekaligus ruang keluarga itu, milik paman saya. Sesekali saat berkumpul atau sendiri saja paman memainkan gitar kadang aku biasa me-request lagu.
Bibi saya pernah mengatakan, suatu hari rumah itu akan ditinggal oleh penghuninya seiring waktu baik oleh kedewasaan maupun kematian. Bibi benar. Seiring waktu rumah itu semakin sepi saja, percakapan semakin sedikit. Pergi mencari jalan sendiri ataupun kematian jadi alasan. Paman-paman saya mendewasa, menikah dan tentu setiap keluarga baru mengidamkan rumah sendiri yang nyaman. Beberapa pergi mencari jalan. Kematian salah satunya, dan nenek buyut memilih itu.
Beberapa barang pun ditinggalkan pemiliknya. Kadang saya selalu teringat tentang buku dan koran lawas saya, saya mencurigai nenek benar-benar menjualnya ke tukang loak. Dan mengambil keuntungan secara sepihak. Tapi ya sudahlah, buffet dan isinya itu memang tak mungkin saya bawa yang memilih pergi dari rumah meneruskan pendidikan. Gitar paman saya mungkin sekarang berdebu tidak pernah ada yang memainkannya lagi semenjak paman menikah dan pindah.
Jatah beras yang dimasak nenek akan berkurang. Rumah semakin sepi, rumah juga pasti merasakan kesepian

Kolom Akhir: Jatuh Cinta oleh Bunga Hening Maulidina




Aku lupa pada detail salah satu tulisan Soe Hok Gie. Pokoknya berisi tentang orang-orang yang menghabiskan waktunya, entah untuk ziarah, untuk orang yang dicintai, dan sebagainya. Aku lupa bagaimana bunyinya. Kendati begitu, aku tak lupa tetap mencontek konsepnya. Intinya ada orang yang memilih ramai, ada yang menetapi gumam, pun pada diri kita ada “sang aku” yang mencintai apa yang ia pegang.
Aku memetik keyakinan seorang teman bahwa selalu ada rahmat besar dalam setiap kebiasaan kecil. Berkait dengan itu, dalam dunia tulisan, aku menemukan banyak ragam jalan. Ada mereka yang menemui tulisan lewat tafsiran atas hidup. Juga mereka yang ditemui tulisan lewat pergolakan keras. Setiap masing-masing menemukan media peristirahatannya. Entah itu pada media massa, pada buku, laman pribadi, atau entah pada apalagi.
Di luar berbagai anugerah karya-karya sastra, seringkali aku tidak bisa menolak untuk lebih mencintai tulisan yang privat. Tulisan yang sekadar menulis, tapi ternyata tulisan itu berbicara lebih banyak padaku. Akhirnya tulisan-tulisan ‘kecil’ itu mencuriku. Sekaligus aku mencuri mereka secara diam-diam.
Aku berutang banyak pada berbagai halaman-halaman pribadi yang kujelajahi diam-diam. Barangkali yang menulis tidak diakui sebagai penulis. Namun bagiku, merekalah orang-orang yang sudah menulisiku.
Aku tidak bisa menyebutkan nama-nama, meski kadang ingin sekali kusebutkan.Tapi ada tulisan salah seorang yang sampai kini membuatku terjebak dalam situasi aneh ketika membaca tulisannya. Duh, ini baper sekali.
   Aku menelusurinya dan tidak menemui jejak-jejak sastra. Kecuali aku mendapati bekas tapak bahwa ia senantiasa melangkah ke mana saja untuk belajar, membaca, dan memprasastikannya dalam bentuk apa saja, bukan hanya tulisan. Kurasa dialah orang yang jujur menafsir.
   Orang ini mungkin tidak akan diingat oleh anugerah dan penghargaan penulisan. Namun, aku yakin dia mendapatkan yang lebih dari itu. Dia berjalan di tulisan tanpa popularitas nama. Anonim yang patut untuk dibaca. Meski, sayangnya aku tidak bisa menyebutkannya. Apalagi kriteria kesukaanku belum tentu jadi kesukaanmu. Maka, setiap kita bisa menemukan orang-orang semacam itu. Tapi, terserah padamu, apakah kau juga akan jatuh cinta atau tidak. Salam.