Kolom Akhir: Bilik Literasi Ruang Bermanja Buku-buku oleh Puitri Hati Ningsih



Buku dan kata akan merasa tak kesepian bila disapa, dibicarakan dan diabadikan kembali dalam tulisan lembar pemikiran baru. Jalan Adi Sucipto, jalan bebas hambatan ke bandara, dan beberapa malam harus menyeberangnya menunggu pesat lajunya berkurang, dan menunggu mobil sedikit menjauh. Dan Masjid Makmur terus sedikit lalu ke kiri. Mata takjub tak terkata pertama kali bertemu buku-buku dan kata yang menumpuk di luar pasar buku dan perpustakaan. Dan dari tempat itu terus muncul sumber  makna kata menuliskan sejarah baru yang mengucur dari Bilik  Literasi.
Di Bilik Literasi, tertinggal perbincangan teman-teman Pengajian Malem Senin, Pengajian Senin, Pawon Sastra. Juga perbincangan sampai dini hari dengan Radhar Panca Dahana. Perbincangan yang membuat malam jadi kerasan, tak terasa oksigen di kepala telah menipis dan mata mulai melayu. Sesekali kepala Radhar merebah di pangkuan istrinya. Lalu ada perjalanan pulang paling terlambat dari Bilik Literasi ke rumah di Pajang. Udara lebih beku, sebentar lagi  beberapa orang bersiap tahajud. Melewati Suropadan yang sunyi temaram mematung memasuki dini hari, melewati jalan di samping Pasar Kleco dengan sisa keramaian pagi hari yang telah terkunci. Kemudian perjalanan roda motor memasuki jalan persis di  samping kuburan Pracimaloyo dan menembus  palang kereta Makamhaji yang  senyap tinggal petugas palang  menunggu kereta dini hari.
Di rumah joglo, buku-buku itu kini berteduh meninggalkan kopi dan pendapa depan rumah, tempat Sinau Esai Sedina pernah jadi sejarah penting. Pernah penyair Afrizal Malna bercerita tentang biografi puisinya. Di rumah joglo itu lembar pertemuan, perbincangan melanjutkan aliran sungai yang bekerja dalam buku dan kata. Menemukan kembali air terjun dalam hutan kata.
Tapi ratusan buku itu terus berteriak dalam sunyi, memanggil buku-buku yang lain dan menambah pasukan kata itu menjadi lautan.

Share:

0 komentar