Thursday 30 June 2016

#BincangSastra Solopos FM 26 Juni 2016 - Difabilitas dan Sastra: Kebutuhan Mendasar adalah Aksesibilitas oleh Astuti Parengkuh




Minggu, 26 Juni 2016. Sore itu siaran rutin Bincang Sastra kerja sama antara Pawon Sastra dan Solopos Fm yang telah berlangsung lebih dari setahun mengambil tema Difabilitas dan Sastra. Pengisi acara selain saya adalah Agatha Febriani mewakili difabel netra, Aprilian Bima beserta Epi dan Putra wakil dari tuli serta Yudhi Herwibowo dan Indah Darmastuti koordinator Komunitas Pawon Sastra. Istiono akrab dipanggil Tio, pegiat difabel berinisiatiatif mengambil rekam gambar saat kami sedang siaran. Jadilah studio mungil yang hanya muat untuk lima kursi plus satu kursi penyiar sekaligus operator penuh sesak, terpaksa dua orang berdiri.

Noer Atmaja, penyiar Solopos FM yang kerap menemani siaran kawan-kawan Komunitas Pawon Sastra sore itu membuka siaran dengan memperkenalkan kami sebelum pembicaraan beranjak. Sementara Tio ribet dengan kamera dan Indah Darmastuti sibuk dengan kamera ponselnya, mencuri-curi momen agar bisa mendapat sudut pandang yang bagus, sesekali Yudhi pun demikian. Keruan saja ruang studio yang berada di lantai tiga Griya Solopos beberapa sisi foto yang diambil berefek backlight, karena ada dari kami membelakangi cahaya matahari yang meluncur ke barat.

Pembicaraan dibuka dengan salam perkenalan disambung pertanyaan bagaimana Bima menikmati karya-karya sastra dan dari mana dia memperoleh aksesnya. Lewat Epi, penerjemah bahasa isyarat, Bima mengatakan bahwa dirinya ngefans dengan Adimas Immanuel, penyair muda asal Solo yang saat ini namanya sedang populer di kalangan pegiat sastra. Bima juga menyukai karya-karya WS Rendra. Bima suka menulis puisi. Dia pernah mengirim karya ke koran Solopos dan itu sudah lama sekali. Mahasiswa Fakultas Seni dan Budaya UNS itu juga pernah merebut juara menulis puisi dalam rangka Hari Difabel Internasional (HDI) oleh PPRBM Solo. Terakhir, Bima menulis dan membaca puisi untuk sewaktu acara Walk For Autism di Mall Paragon belum lama ini.

Di sela-sela kami sedang berbincang, Agatha Febriani yang datang terlambat beberapa menit turut bergabung. Agatha sudah lama berkecimpung di dunia sastra karena dia pernah kuliah di Fakultas Sastra dan Bahasa Indonesia UNS. Dia memulainya sejak duduk di bangku SMA. Sastra yang diminati atau yang dibaca, tidak ada yang spesifik, hanya karya yang menarik akan dibaca. Agatha pernah bergiat dan rutin di Pendapa Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT). Setelah menjadi difabel dia bergabung lagi dengan komunitas menulis Alit yang bersifat inklusi. Kesulitan yang dialami tidak ada karena teman-teman Komunitas Alit dan Pendapa TBJT bisa memahami netra. Agatha meminta karya yang masuk di Antologi Pendapa untuk dikirim lewat surel lalu karya-karya itu diaudiokan olehnya sehingga akses dan dia beri judul “Sastra Audio”.  

Pertanyaan kemudian diajukan kepada Bima, tentang bagaimana akses sastra bagi mereka terutama untuk komunitasnya. Sekitar tahun 2013 pentas teater pertama tuli bareng dengan komunitas lain terjadi yakni bersama Teater Peron dan Badan Koordinas Kesenian Tradisional (BKKT) UNS. Menurut referensi beberapa sumber, pentas teater berjudul Sudo Ora Sudo mendapat antusiasme yang tinggi ditandai dengan membludaknya penonton. Tahun 2008 Gerkatin juga telah melakukan pentas teater, lalu kemudian vakum. “Dari situ teman-teman menggeliat dengan pentas-pentas kecil, di kampus UNS dengan judul “Suara Kosong” pentas teater dari puisi yang dibuat sendiri oleh Bima,”jelas Epi menirukan Bima.

Bima bercerita mungkin puisi sebenarnya sesuatu yang sulit bagi tuli. Menurutnya teman-teman tuli masih sulit menerjemahkan karya-karya abstrak dan surealis. Di pentas “Suara Kosong” Bima ingin menunjukkan bahwa puisi itu tidak verbal saja.Bima mencoba sebisa mungkin puisi bisa dinikmati oleh dirinya sendiri dan teman-teman tuli lainnya.

Noer Atmaja menanyakan lagi apakah pernah ada kesulitan yang ditimbulkan ketika menyaksikan pentas-pentas yang beraudio? Bagaimana menikmati karya -karya yang tak beraudio? Tenyata selama ini Bima menikmati hanya terbatas secara visual saja. Pentas tanpa musik yang digelar di UNS, mereka benar-benar mengoptimalkan gerak tubuh.Pentas di tahun 2009 itu_waktu itu Epi menonton_menurutnya naskahnya berat. Penonton menikmati secara visual. Mungkin interpretasi diserahkan ke masing-masing penonton.

Dengan keterbatasan kawan-kawan difabel karya sastra dianggap belum memudahkan. Karya-karya sastra dengan braille juga terbatas. Noer Atmaja yang memandu siaran menanyakan apa saja yang telah dilakukan oleh pemerintah, swasta dan masyarakat. Lalu saya menjawabnya bahwa di Yogya pernah ada gerakan pengaudiaoan karya sastra, kalau tidak salah penggeraknya adalah seorang seniman, penyiar radio. Dia mengumpulkan karya-karya yang dihibahkan untuk diaudiokan. Itu yang dilakukan oleh masyarakat. Tetapi saya tidak tahu, pemerintah saat ini sejauh mana untuk memenuhi kebutuhan netra dalam mengakses buku-buku sastra.

 


Sementara ini dari pemerintah sendiri belum memprioritaskan buku-buku karya sastra untuk diterjemahkan untuk netra. Pemerintah pada 17 Maret telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang di situ sudah ada pasal-pasal tentang bagaimana netra mengakses buku atau bacaan dengan fasilitas Braille dan dalam bentuk audio. Lalu tuli juga mestinya mengakses bahasa isyarat Indonesia (Bisindo) serta fasilitas penerjemah bahasa. Tinggal bagaimana nanti implementasinya di tingkat pemangku kebijakan dan masyarakat.

Agatha menambahkan bahwa pemerintah memiliki Badan Penerbitan Braille Indonesia (BPBI) di Bandung, lalu kalau di pihak swasta ada Mitra Netra di Jakarta. Mereka sudah menerbitkan karya sastra dalam bentuk Braille, mungkin sangat terbatas karena sastra bukan prioritas bagi teman-teman netra. Karena yang dibutuhkan mereka adalah buku-buku teori misalnya untuk pelatihan kayak massage atau pemijatan karena kebanyakan teman netra aksesnya kepada pelatihan pijat. Sampai hari ini perspektif pemerintah untuk pelatihan bagi teman-teman netra adalah massage. Dan sastra bukan prioritas utama. Kalaupun ada buku-buku sastra yang di-braille-kan adalah buku-buku yang populer seperti Romeo and Juliet, Buku-buku baru terbitan penerbit besar belum ada. Jadi yang dicetak maupun diaudiokan sangat terbatas. “Makanya ketika saya bertemu dengan Mas Yudhi saya berusaha mengaudiokan bersama teman-teman dari komunitas netra,”terang Agatha.

Pertanyaan kemudian mengalir bagaimana ide-ide pementasan untuk tuli dan ide itu datang dari mana. Masih tentang Adimas Immanuel, tepat di tahun baru 2015, menurut Bima, teman-teman membuat acara di Blogger Indonesia, di situ Bima kenalan dan ngobrol. Bima belum mengenalnya sebagai seorang penulis puisi, dan baru secara pribadi, ternyata mereka sama-sama suka puisi. Bima menanyakan kepada Adimas, apakah membuat puisi ada peraturannya, apakah harus SPOK? Ritmenya begini, rimanya begini, apakah begitu. Hal itu terkait Bima kalau menulis, SPOK masih rancu dan kadang terbolak-balik, Adimas menjawab puisi itu bebas, “Terserah kamu menuliskannya,”jawab Adimas saat itu seperti ditirukan oleh Bima.

Setelah pertemuan pada tahun baru itu, akhirnya mereka bertemu lagi. Adimas memberi buku yang berjudul Pelesir Mimpi. Ketika membaca karya Adimas di buku itu, mungkin banyak kosa kata yang lumayan sulit, diksi berat. Yang dilakukan oleh Bima adalah menyiasati dengan bertanya kepada Epi. “Saya rasa memang tuli masih dalam perjalanan untuk menikmati karya sastra,”ungkap Bima seperti yang diterjemahkan oleh Epi.

Sastra dan seni pertunjukan tidak bisa dipisahkan.Karena sastra bukan prioritas bagi netra. Daripada membaca atau mencari buku-buku sastra, mereka lebih mencari buku-buku pelajaran bagi teman-teman yang masih sekolah. Tetapi kalau seni pertunjukan, mereka tertarik. Waktu Pekan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) Oktober 2015 komunitas netra pentas di Beteng Vastenburg. Kebetulan naskah ditulis sendiri oleh Agatha. Naskah itu pernah dipentaskan oleh teman-teman mahasiswa, dan bukan difabel. Kemudian naskah  diadaptasi lagi dan  disesuaikan agar bisa dibaca oleh netra, lalu dicopy ke laptop mereka. “Kalau yang masih gaptek teknologi maka saya diktekan, saya bantu mereka menghapal,”jelas Agatha.

Saat ini Bima dan kawan-kawan juga bergabung dengan Komunitas Bibit Puisi. Kalau bersama kawan-kawan tuli, dirinya berlatih teater. “Mungkin teman-teman tuli masih belum paham, kenapa sastra dan teater begitu menyenangkan, apa pentingnya. Bima masih memberi pemahaman kepada teman-teman dan masih dalam perjalanan. Sekarang saya  gabung di teater Tesa di kampus,”terang Bima.

Kesulitan yang dihadapi dalam bergabung dengan mereka adalah bila tidak ada penerjemah, maka disiasati dengam memakai tulisan supaya mudah diterima. Misalnya masih juga belum paham dan diterima maka Bima akan mengirim SMS kepada penerjemah bahasanya. “Bima merasa enjoy di teater-teater, soalnya ganteng ya. Ini bisa dibilang karena effort yang dilakukan akan lebih berat, entah itu cari bahan, lalu bagaimana menginterpretasikannya,”gurau Noer Atmaja.

Menutup perbincangan, Noer Atmaja menanyakan harapan apa saja yang ingin diungkapkan oleh Agatha dan Bima terkait akses mereka di dunia sastra dan pertunjukan. Agatha menjawab bahwa harapannya adalah terpenuhinya kebutuhan netra bagaimana buku itu dibaca dengan audio atau dengan braille. Intinya aksesibilitas. Sedangkan Bima menekankan bahwa sebelum sampai materi bagaimana pemerintah bisa mendukung teman tuli untuk menikmati sastra, pemerintah harus ‘melek’ kebutuhan dasar tuli tentang penerjemah bisindo. “Itu dulu, misalnya untuk siaran berita. Lalu untuk film, bagaimana dengan karya Indonesia sendiri yang mesti diberi subtitle dan berbahasa Indonesia,”pungkas Bima. *)


*Astuti Parengkuh, penulis dan jurnalis. Kontributor untuk www.solider.or.id dan http://www.jurnalperempuan.org/berita.

 foto Istiono dan Indah Darmastuti  
   

#BincangSastra Solopos FM 19 Juni 2016 - Amin Maalouf, Sosok Lain dari Lebanon oleh Yudhi Herwibowo (yudhiherwibowo.wordpress.com)

 

Sudah sejak lama saya memiliki buku Balthasar’s Odyssey, Mencari Nama Tuhan yang Keseratus, tapi baru beberapa bulan lalu saya merampungkannya. Dulu, saya sebenarnya sudah tertarik untuk membacanya dan sudah emngantrikannya di di samping tempat tidur saya. Ini gara-gara sewaktu pergi ke pameran, Haris Firdaus -seorang kawan Pawon- bener-benar mencari buku itu. Sampai ketika ada buku Amin Maalouf yang saya rasa merupakan bajakan (?), ia tetap membelinya. Waktu itu saya hanya berpikir, sampai segitunya
Tapi saat mulai membaca Balthasar’s Odyssey semua itu terjawab. Di blurps buku itu tertulis pembaca akan terbawa dari halaman pertama. Itu tentu kalimat pasaran yang sering kita baca di blurps-blurps novel. Tapi sungguh di novel ini itu ternyata bukan kalimat mitos.
Maka itulah, saya merancang membicarakan sosok Amin Maalouf di #bincangsastra Solopos FM. Saya pikir sosok penulis ini masih jarang sekali diulas. Di internet pun data-datanya begitu sedikit. Mungkin karena Maalouf berbahasa Prancis.


Sosok Lain dari Lebanon selain Gibran
Bicara tentang Lebanon, satu hal yang langsung teringat adalah sosok Kahlil Gibran. Itu tak bisa disangkal. Padahal sebenarnya ketenaran Amin Maalof tak kalah menjulang. Ia lahir di Lebanon tahun 1949. Merupakan anak kedua dari 4 bersaudara. Ayahnya adalah seorang Katolik dan ibunya dari keluarga Kristen.
Tahun 1971, Maalouf menikah dengan Andree -seorang guru di institut bagi anak-anak tuna rungu. Kelak dari istrinya itu, Maalof dikaruniai 3 anak.
Komentar Maalouf tentang Andree, “Ia adalah pembaca pertama naskah-naskahnya. Andree sangat hebat.”
Sayangnya kehidupan di tanah Lebanon tak berjalan mulus. Saat Maalouf bekerja sebagai jurnalis di Beirut, perang sipil meledak di Beirut. Perang sipil itu terjadi antara orang-orang Palestina dan orang-orang Kriten. Kejadian ini merupakan tragedi bagi Maalouf. Ia besar dari 2 tradisi itu. Apalagi selama ini tak ada batas yang nyata antara Islam dan Kristen.
Maalouf akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Lebanon. Mengenang masa kepindahan itu, ia pernah berujar, “Sepanjang masa mudanya, ide untuk pindah dari Lebanon tak pernah terpikirkan.”
Tapi kali ini, ia harus pergi. Dengan menaiki kapal ke Siprus, ia lalu melanjutkannya menuju Prancis. Dua bulan kemudian istrinya yang baru melahirkan anak ketiga menyusulnya.
Maalof kemudian bergabung dengan majalah Jeune Afrique. Itulah adalah kali pertama ia menulis dalam bahas Prancis.

Buku Pertama dan Novel Pertama
Buku pertama Maalouf adalah The Crusaders Through Arab Eyes. Ini merupakan buku sejarah tetang orang-orang yang terlibat dalam Perang Salib, namun dilihat dari sisi orang-orang Arab. Selama ini di Prancis, orang-orang selalu melihat kejadian Perang Salib dari sisi yang lain. Buku ini cukup mendapat sambutan. Selama 20 tahun buku ini dapat terus terjual. Seorang kritikus pernah menilai, membaca buku The Crusaders Through Arab Eyes adalah membaca buku non fiksi yang ditulis seperti novel.
Ini tak bisa dipungkiri, sejak dulu Maalouf memang selalu berkeinginan menulis novel. Ujarnya, “Ada hubungan yang kuat antara diri saya dan dunia. Saya selalu mencoba melarikan diri dari relitas. Saya adalah seorang pemimpi. Saya tak merasakan harmoni  di kehidupan saya atau di kehidupan sekitar saya.”
Maka pada akhirnya, novel pertama Malouf Leo the African (1986) terbit. Ini merupakan novel yang berawal dari kejatuhan Granada yang diceritakan dari sisi yang lain. Kisah tentang penjelajah abad 16, Hassan al- Wazzan atau lebih dikenal sebagai Leo Africanus. Ia lahir di Granada, lalu tumbuh di Fez, tampil di Mecca, kemudian berkonversi ke Kristen dan terlibat dalam intrik di Vatikan di masa Renaisance Roma, namun pada kahirnya kembali pada Islam. Maalouf mengatakan bila buku ini adalah buku bagi imigran baru. Kredo dari buku itu yang begitu terkenal adalah: I come from no country, from no city, no tribe. I am the son of the road… All tongues and all players belong to me. But i belong none of them.
Setelah menulis novel itu, Maalof seperti tersadar, ”Sesuatu keajaiban terjadi. Saya tahu saya akan menghabiskan waktu untuk menulis fiksi.”
Tahun 1985, Maalouf keluar dari pekerjaannya dan mulai menjadi penulis penuh waktu.

Novel Kedua, Samarkand
Di novel keduanya, Maalouf menulis tetang Omar Kayyam. Berlatar belakang Revolusi Islam di Iran tahun 1979, Maalouf membuat semacam teka-teki tentang revolusi agama dalam abad 20 terakhir ini. Nampak sekali Maalouf ingin menghubung-hubungkan antara politik, agama dan budaya. Omar Khayyam sendiri dikenal sebagai astronom, matematikawan, dokter, dan filsuf yang tak tertandingi pada masanya. Ia juga berbakat menulis Rubaiyat, sajak empat seuntai atau kwatrain. Dengan fokus pada karakter besar ini, Maalouf merangkai dan perburuan manuskrip asli Rubaiyat yang dikenal sebagai “Naskah Samarkand”.
Perjalanan panjang Naskah Samarkand itu tiba hingga di dua kota utama peradaban dunia pada masa itu, Samarkand dan Isfahan, hingga terkurung di benteng Alamut, markas Kaum Pembunuh—sekte paling mengerikan sepanjang sejarah. Setelah lama dikira musnah terbakar dalam serbuan bangsa Mongol di abad ketiga belas, naskah itu muncul kembali enam abad kemudian di tangan seorang pembunuh Syah Parsi.
Maalouf berkata buku ini seperti mengusik keluarganya. Kakeknya tak ingin cucu-cucunya dibabtis, dan ayahnya serta saudara-saudaanya akhirnya memeluk Protestan, Katholik dan aliran yang tak disebutkan.
Maalouf sendiri seperti menjadi skeptik terhadap semua agama. Walau begitu, dalam satu wawancara ia berkata, kalau ia menghormati orang-orang yang baik hati karena agama, tapi ia merasa berasal dari negara di mana agama telah disalahgunakan. Baginya seorang yang percaya adalah seseorang  yang memiliki keyakinan dalam nilai-nilai yang dapat dipercaya.
Maalouf memang hidup di Eropa. Ini yang membuatnya merasa tak akrab dengan kisah-kisah dari Arab. Apalagi ia dekat dengan kisah-kisah semacam Gullivers Travels, Dickens, Dumas, Mark Twain dll. Maka itulah, ia jarang menulis tentang tanah leluhurnya.
Tahun 1991 novelnya berikutnya The Gardens of Light terbit. Disusul novel selanjutnya, The First Century after Beatrice setahun berikutnya. Tetap tak ada cerita tentang Lebanon. Barulah kemudian The Rock of Tanios terbit…

The Rock of Tanios
Sebuah kritik datang pada Maalof, ia merupakan sosok Lebanon yang jarang mengekspos tanah Lebanon. Sepanjang karirnya menulis ia hanya menulis The Rock of Tanios. Dalam edisi Indonesia di terjemahkan oleh penerbit Obor dengan judul Cadas Tanios.
Kisah dalam novel ini membawa kita ke sebuah desa di pegunungan Lebanon dan mempertemukan kita dengan Tanios, putra Lamia, Istri Kepala Rumah Tangga Istana yang cantik jelita, idaman setiap pria. Kelahiran Tanios memang disambut gembira, namun ada desas-desus, bila ayah Tanios adalah Cheikh, penguasa desa itu.
Tetapi Sang Penguasa bersumpah dengan jari terkembang di atas injil di depan bibi Tanios, bukanlah dia yang membuahi Tanios. Tapi ini tak membuat gunjingan mereda. Ketidakpastian mengenai siapa ayahnya sebenarnya inilah yang menjadi titik awal semua peristiwa yang menimpa Tanios semasa kecil, hingga mencapai puncaknya ketika pada suatu hari ayahnya, anak buah kesayangan sang Penguasa, anak buah yang penurut, rajin, pendiam, tanpa keinginan yang lebih tinggi selain mengabdi pada majikannya, menghadang Pemimpin Gereja dan meremuk kepalanya dengan sebutir peluru yang ditembakkan dari sebuah senapan, untuk membela anaknya dan kehormatan dirinya sendiri. Tanios dan ayahnya kemudian lari bersama dari desanya. Kisah yang berlatar belakang keadaan zaman 1830-an ini, menghanyutkan saya betapa nasib seseorang ditentukan oleh tangan-tangan yang tidak tampak dan berkekuatan maha besar.
Identitas memang selalu dipertanyakan pada sosok Maalouf, “Pertanyaan tentang identitas tak pernah pergi dari kepala saya, karena sangat problematik. Identitas saya dibuat dari banyak element. Dan saya harus mengakui semuanya. Orang-orang di Prancis lebih menyikai saya mengatakan ‘dimana pun asal saya, saya tetaplah seorang Prancis’. Di Lebanon mereka lebih menyukai, ‘walau saya menghabiskan waktu di Prancis, saya tetaplah orang Lebanon’. Maalouf kemudian menyatakan kalau dirinya adalah keduanya.

Menulis Memoar: Origins
Walau sudah menulis novel, Maalouf tak henti menulis buku-buku non fiksi. Tahun 2004 ia mengeluarkan buku Origins. Origins seperti menjawab lagi soal identitas Maalouf. Di sini ia kembali menulis tentang Lebanon. Adalah 2 tokoh: Gebrayel yang bermigrasi ke Cuba dan mulai mencari keberuntungannya sebelum meninggal karena kecelakaan, dan Bountos yang memilih menetap di Lebanon dan membuka sekolah bagi anak-anak. Yang istimewa dua karakter dalam adalah orang-orang yang begitu dekat dengan kehidupan Maalouf. Gebrayel adalah paman tertua Maalouf, dan Boutros adalah sosok kakeknya. Dalam sebuah wawancara via telepon dengan Carole Corn, seorang reporter dari Al Jadid  Magazine, Maalouf menjawab, kalau ia memang selalu ingin membicarakn kakeknya. Kakeknya adalah figur penting dalam keluarganya, walau sebenarnya Maalouf merasa ia dan keluarganya tak mengenal kakeknya secara dalam. Selama ini cerita-cerita tentang kakeknya didengarnya terasa kurang kredibel. Itulah yang membuat Maalouf mulai mencari kisah sebenarnya.
Data-data penting saat penulisan buku ini banyak didapatnya dari cerita neneknya. Namun lebih dari itu, ternyata neneknya pun masih menyimpan seluruh surat-surat pamannya yang bermigrasi ke Cuba. Ini mengejutkan bagi Maalouf.

Balthasar’s Odyssey
Novel Maalouf selanjutnya adalah Ports of Call  (1996), Namun ang kemudian banyak mendapat pembicaraan adalah novel selanjutnya Balthasar’s Odyssey di tahun 2000.
Novel ini dimulai di tahun yang diramalkan akan kiamat. Berkisah tentang Balthasar Embriaco, seorang saudagar buku dan barang-barang antik di Gibelet, Lebanon. Petualangan Balthasar dimulai ketika ia mendapatkan buku Nama Tuhan yang Keseratus, dari seorang tetangganya yang fakir. Akan tetapi, tanpa dapat dicegah, Balthasar melepaskan buku itu pada seorang langganannya, perwira tinggi Perancis yang bertugas mengumpulkan naskah-naskah kuno dan barang-barang antik. Kematian sang tetangga fakir secara tiba-tiba, membuat Balthasar memutuskan pergi dari Gibelet untuk kembali mengambil buku berharga itu ke Istambul.
Bersama 2 keponakan, dan seorang pelayan setianya, Balthazar pergi. Dari sinilah konflik mulai muncul, setelah seorang janda –perempuan yang sejak dulu dicintai Balthazar- ternyata ikut dalam perjalanan itu. Tujuan awal yang hanya ingin pergi ke Istambul, pada akhirnya Balthtazar mengunjungi kota-kota indah hampir di seluruh Eropa: Constatinopel, Genoa, Lisbon, London, dsb
Rekan novelis Maalouf -Michelle Robert- mengatakan, “Novel ini adalah meditasi yang dibutuhkan bagi orang-orang Kristen, Muslim dan Yahudi untuk bertoleransi antar sesama dalam sebuah perjalanan yang fantastis.”

Penghargaan
Di umurnya yang ke 53 tahun, Maalouf sudah menerbitkan 10 novel, esai-esai dan beberapa buku sejarah. Tak lupa ia juga pernah menulis libreto, semacam syair dalam sebuah pertunjukan musik.
Tahun 2016 ini ia mendapatkan penghargaan Cultural Personality of the Year Award dalam The Sheikh Zayed Book Award. Ini adalah penghargaan yang kesekian. Tahun 1993 novelnya The Rock of Tanios juga pernah memenangkan The Prince of Asturians Award.
Satu kunci dari seluruh novel-novel Maalouf adalah: seluruh kisah-kisahnya menceritakan masa lalu. Secara terus terang, Maalouf memang lebih menyukai menulis masa lalu. Ia menganggap di masa lalu ada moment-moment besar yang membuat bangga. Walau ia tak yakin apakah cucu-cucu akan bangga dengan generasinya, tapi melihat apa yang digambarkan dunia sekarang ini yang penuh dengan kekerasan, kehancuran dan ketakutan, Maalouf memilih masa lalu. []

Picture diambil dari:
http://www.high-five-mag.com/wp-content/uploads/2015/01/amin.jpg