Thursday 30 June 2016

#BincangSastra Solopos FM 26 Juni 2016 - Difabilitas dan Sastra: Kebutuhan Mendasar adalah Aksesibilitas oleh Astuti Parengkuh




Minggu, 26 Juni 2016. Sore itu siaran rutin Bincang Sastra kerja sama antara Pawon Sastra dan Solopos Fm yang telah berlangsung lebih dari setahun mengambil tema Difabilitas dan Sastra. Pengisi acara selain saya adalah Agatha Febriani mewakili difabel netra, Aprilian Bima beserta Epi dan Putra wakil dari tuli serta Yudhi Herwibowo dan Indah Darmastuti koordinator Komunitas Pawon Sastra. Istiono akrab dipanggil Tio, pegiat difabel berinisiatiatif mengambil rekam gambar saat kami sedang siaran. Jadilah studio mungil yang hanya muat untuk lima kursi plus satu kursi penyiar sekaligus operator penuh sesak, terpaksa dua orang berdiri.

Noer Atmaja, penyiar Solopos FM yang kerap menemani siaran kawan-kawan Komunitas Pawon Sastra sore itu membuka siaran dengan memperkenalkan kami sebelum pembicaraan beranjak. Sementara Tio ribet dengan kamera dan Indah Darmastuti sibuk dengan kamera ponselnya, mencuri-curi momen agar bisa mendapat sudut pandang yang bagus, sesekali Yudhi pun demikian. Keruan saja ruang studio yang berada di lantai tiga Griya Solopos beberapa sisi foto yang diambil berefek backlight, karena ada dari kami membelakangi cahaya matahari yang meluncur ke barat.

Pembicaraan dibuka dengan salam perkenalan disambung pertanyaan bagaimana Bima menikmati karya-karya sastra dan dari mana dia memperoleh aksesnya. Lewat Epi, penerjemah bahasa isyarat, Bima mengatakan bahwa dirinya ngefans dengan Adimas Immanuel, penyair muda asal Solo yang saat ini namanya sedang populer di kalangan pegiat sastra. Bima juga menyukai karya-karya WS Rendra. Bima suka menulis puisi. Dia pernah mengirim karya ke koran Solopos dan itu sudah lama sekali. Mahasiswa Fakultas Seni dan Budaya UNS itu juga pernah merebut juara menulis puisi dalam rangka Hari Difabel Internasional (HDI) oleh PPRBM Solo. Terakhir, Bima menulis dan membaca puisi untuk sewaktu acara Walk For Autism di Mall Paragon belum lama ini.

Di sela-sela kami sedang berbincang, Agatha Febriani yang datang terlambat beberapa menit turut bergabung. Agatha sudah lama berkecimpung di dunia sastra karena dia pernah kuliah di Fakultas Sastra dan Bahasa Indonesia UNS. Dia memulainya sejak duduk di bangku SMA. Sastra yang diminati atau yang dibaca, tidak ada yang spesifik, hanya karya yang menarik akan dibaca. Agatha pernah bergiat dan rutin di Pendapa Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT). Setelah menjadi difabel dia bergabung lagi dengan komunitas menulis Alit yang bersifat inklusi. Kesulitan yang dialami tidak ada karena teman-teman Komunitas Alit dan Pendapa TBJT bisa memahami netra. Agatha meminta karya yang masuk di Antologi Pendapa untuk dikirim lewat surel lalu karya-karya itu diaudiokan olehnya sehingga akses dan dia beri judul “Sastra Audio”.  

Pertanyaan kemudian diajukan kepada Bima, tentang bagaimana akses sastra bagi mereka terutama untuk komunitasnya. Sekitar tahun 2013 pentas teater pertama tuli bareng dengan komunitas lain terjadi yakni bersama Teater Peron dan Badan Koordinas Kesenian Tradisional (BKKT) UNS. Menurut referensi beberapa sumber, pentas teater berjudul Sudo Ora Sudo mendapat antusiasme yang tinggi ditandai dengan membludaknya penonton. Tahun 2008 Gerkatin juga telah melakukan pentas teater, lalu kemudian vakum. “Dari situ teman-teman menggeliat dengan pentas-pentas kecil, di kampus UNS dengan judul “Suara Kosong” pentas teater dari puisi yang dibuat sendiri oleh Bima,”jelas Epi menirukan Bima.

Bima bercerita mungkin puisi sebenarnya sesuatu yang sulit bagi tuli. Menurutnya teman-teman tuli masih sulit menerjemahkan karya-karya abstrak dan surealis. Di pentas “Suara Kosong” Bima ingin menunjukkan bahwa puisi itu tidak verbal saja.Bima mencoba sebisa mungkin puisi bisa dinikmati oleh dirinya sendiri dan teman-teman tuli lainnya.

Noer Atmaja menanyakan lagi apakah pernah ada kesulitan yang ditimbulkan ketika menyaksikan pentas-pentas yang beraudio? Bagaimana menikmati karya -karya yang tak beraudio? Tenyata selama ini Bima menikmati hanya terbatas secara visual saja. Pentas tanpa musik yang digelar di UNS, mereka benar-benar mengoptimalkan gerak tubuh.Pentas di tahun 2009 itu_waktu itu Epi menonton_menurutnya naskahnya berat. Penonton menikmati secara visual. Mungkin interpretasi diserahkan ke masing-masing penonton.

Dengan keterbatasan kawan-kawan difabel karya sastra dianggap belum memudahkan. Karya-karya sastra dengan braille juga terbatas. Noer Atmaja yang memandu siaran menanyakan apa saja yang telah dilakukan oleh pemerintah, swasta dan masyarakat. Lalu saya menjawabnya bahwa di Yogya pernah ada gerakan pengaudiaoan karya sastra, kalau tidak salah penggeraknya adalah seorang seniman, penyiar radio. Dia mengumpulkan karya-karya yang dihibahkan untuk diaudiokan. Itu yang dilakukan oleh masyarakat. Tetapi saya tidak tahu, pemerintah saat ini sejauh mana untuk memenuhi kebutuhan netra dalam mengakses buku-buku sastra.

 


Sementara ini dari pemerintah sendiri belum memprioritaskan buku-buku karya sastra untuk diterjemahkan untuk netra. Pemerintah pada 17 Maret telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang di situ sudah ada pasal-pasal tentang bagaimana netra mengakses buku atau bacaan dengan fasilitas Braille dan dalam bentuk audio. Lalu tuli juga mestinya mengakses bahasa isyarat Indonesia (Bisindo) serta fasilitas penerjemah bahasa. Tinggal bagaimana nanti implementasinya di tingkat pemangku kebijakan dan masyarakat.

Agatha menambahkan bahwa pemerintah memiliki Badan Penerbitan Braille Indonesia (BPBI) di Bandung, lalu kalau di pihak swasta ada Mitra Netra di Jakarta. Mereka sudah menerbitkan karya sastra dalam bentuk Braille, mungkin sangat terbatas karena sastra bukan prioritas bagi teman-teman netra. Karena yang dibutuhkan mereka adalah buku-buku teori misalnya untuk pelatihan kayak massage atau pemijatan karena kebanyakan teman netra aksesnya kepada pelatihan pijat. Sampai hari ini perspektif pemerintah untuk pelatihan bagi teman-teman netra adalah massage. Dan sastra bukan prioritas utama. Kalaupun ada buku-buku sastra yang di-braille-kan adalah buku-buku yang populer seperti Romeo and Juliet, Buku-buku baru terbitan penerbit besar belum ada. Jadi yang dicetak maupun diaudiokan sangat terbatas. “Makanya ketika saya bertemu dengan Mas Yudhi saya berusaha mengaudiokan bersama teman-teman dari komunitas netra,”terang Agatha.

Pertanyaan kemudian mengalir bagaimana ide-ide pementasan untuk tuli dan ide itu datang dari mana. Masih tentang Adimas Immanuel, tepat di tahun baru 2015, menurut Bima, teman-teman membuat acara di Blogger Indonesia, di situ Bima kenalan dan ngobrol. Bima belum mengenalnya sebagai seorang penulis puisi, dan baru secara pribadi, ternyata mereka sama-sama suka puisi. Bima menanyakan kepada Adimas, apakah membuat puisi ada peraturannya, apakah harus SPOK? Ritmenya begini, rimanya begini, apakah begitu. Hal itu terkait Bima kalau menulis, SPOK masih rancu dan kadang terbolak-balik, Adimas menjawab puisi itu bebas, “Terserah kamu menuliskannya,”jawab Adimas saat itu seperti ditirukan oleh Bima.

Setelah pertemuan pada tahun baru itu, akhirnya mereka bertemu lagi. Adimas memberi buku yang berjudul Pelesir Mimpi. Ketika membaca karya Adimas di buku itu, mungkin banyak kosa kata yang lumayan sulit, diksi berat. Yang dilakukan oleh Bima adalah menyiasati dengan bertanya kepada Epi. “Saya rasa memang tuli masih dalam perjalanan untuk menikmati karya sastra,”ungkap Bima seperti yang diterjemahkan oleh Epi.

Sastra dan seni pertunjukan tidak bisa dipisahkan.Karena sastra bukan prioritas bagi netra. Daripada membaca atau mencari buku-buku sastra, mereka lebih mencari buku-buku pelajaran bagi teman-teman yang masih sekolah. Tetapi kalau seni pertunjukan, mereka tertarik. Waktu Pekan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) Oktober 2015 komunitas netra pentas di Beteng Vastenburg. Kebetulan naskah ditulis sendiri oleh Agatha. Naskah itu pernah dipentaskan oleh teman-teman mahasiswa, dan bukan difabel. Kemudian naskah  diadaptasi lagi dan  disesuaikan agar bisa dibaca oleh netra, lalu dicopy ke laptop mereka. “Kalau yang masih gaptek teknologi maka saya diktekan, saya bantu mereka menghapal,”jelas Agatha.

Saat ini Bima dan kawan-kawan juga bergabung dengan Komunitas Bibit Puisi. Kalau bersama kawan-kawan tuli, dirinya berlatih teater. “Mungkin teman-teman tuli masih belum paham, kenapa sastra dan teater begitu menyenangkan, apa pentingnya. Bima masih memberi pemahaman kepada teman-teman dan masih dalam perjalanan. Sekarang saya  gabung di teater Tesa di kampus,”terang Bima.

Kesulitan yang dihadapi dalam bergabung dengan mereka adalah bila tidak ada penerjemah, maka disiasati dengam memakai tulisan supaya mudah diterima. Misalnya masih juga belum paham dan diterima maka Bima akan mengirim SMS kepada penerjemah bahasanya. “Bima merasa enjoy di teater-teater, soalnya ganteng ya. Ini bisa dibilang karena effort yang dilakukan akan lebih berat, entah itu cari bahan, lalu bagaimana menginterpretasikannya,”gurau Noer Atmaja.

Menutup perbincangan, Noer Atmaja menanyakan harapan apa saja yang ingin diungkapkan oleh Agatha dan Bima terkait akses mereka di dunia sastra dan pertunjukan. Agatha menjawab bahwa harapannya adalah terpenuhinya kebutuhan netra bagaimana buku itu dibaca dengan audio atau dengan braille. Intinya aksesibilitas. Sedangkan Bima menekankan bahwa sebelum sampai materi bagaimana pemerintah bisa mendukung teman tuli untuk menikmati sastra, pemerintah harus ‘melek’ kebutuhan dasar tuli tentang penerjemah bisindo. “Itu dulu, misalnya untuk siaran berita. Lalu untuk film, bagaimana dengan karya Indonesia sendiri yang mesti diberi subtitle dan berbahasa Indonesia,”pungkas Bima. *)


*Astuti Parengkuh, penulis dan jurnalis. Kontributor untuk www.solider.or.id dan http://www.jurnalperempuan.org/berita.

 foto Istiono dan Indah Darmastuti  
   

No comments:

Post a Comment