Kegiatan Membaca: Menghidupkan Karya Sastra Lama lewat Penulisan Ulang, oleh Ayu Prawitasari (Laporan Khusus Solopos, 19 Desember 2016)
-Siswa kesulitan membaca novel klasik
lantaran tak familiar dengan bahasanya.
-Perlu upaya kreatif agar karya sastra
klasik tetap hidup di kalangan generasi muda.
SOLO—Penulis sekaligus koordinator komunitas
sastra Pawon, Yudhi Herwibowo, menilai pemerintah perlu membuat gerakan menulis
ulang karya sastra lama agar lebih dikenal para pemuda.
Karya sastra lama berupa novel tebal
dengan bahasa Melayu yang tidak lagi digunakan dalam percakapan sehari-hari
menyulitkan para siswa memahami apalagi menyukai karya sastra lama. Program
menyederhanakan karya sastra lama melalui penulisan ulang sudah diterapkan di
negara-negara maju sehingga karya sastra klasik tetap hidup di kalangan
generasi muda.
“Coba lihat bagaimana anak-anak tetap
membaca Tom Sawyer yang diterbitkan
1800-an lalu dengan senang hati. Begitu pula dengan novel Robinson Crusoe atau Moby
Dick. Mereka tentu saja tidak membaca novel versi lengkapnya, namun versi
yang lebih sederhana. Novel-novel di sana kan dibedakan dari level dasar,
menengah, sampai yang benar-benar novel. Hebatnya lagi, anak-anak Indonesia
juga mengenal karya sastra klasik Inggris dan Amerika itu dalam bentuk-bentuk
yang lebih sederhana. Sebaliknya mereka justru kurang mengenal novel klasik
milik negaranya sendiri. Ini harus dibenahi,” ujar dia saat ditemui Espos di ruang kerjanya, akhir pekan
lalu.
Yudhi membandingkan novel-novel lama di
Indonesia seperti Siti Nurbaya, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, atau
pun Siti Nurbaya. Walaupun beberapa
novel klasik tersebut difilmkan, menurut Yudhi, upaya tersebut belumlah cukup.
Film kurang mampu merangsang imajinasi anak-anak seperti halnya novel.
”Menurut saya penyederhanaan novel
klasik penting untuk generasi muda saat ini. Zaman terus berkembang, lucu kalau
kita hanya diam menyaksikan novel lama mengisi perpustakaan dengan apa adanya.
Novel klasik adalah bagian dari sejarah. Perlu upaya kreatif untuk membuat para
remaja tetap mencintai mereka,” kata dia.
Guru bahasa Indonesia di SMP Kalam Kudus
Solo, Maria Retno Adhitya Sari, mengatakan para siswa sebenarnya suka dengan
novel klasik. Dia pernah membahas novel Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck dalam kelas
bahasa dan mendapat respons bagus dari para siswa.
“Para siswa dengan antusias membandingkan
persoalan adat di Minangkabau yang diceritakan dalam novel dengan adat yang
berlaku di lingkungan mereka sendiri. Macam-macam komentarnya sehingga kelas
menjadi sangat hidup,” jelas dia.
Meski menyukai novel klasik, menurut
Maria, para siswa kesulitan saat membacanya. Selain novel terlalu tebal, bahasa
Melayu yang digunakan Hamka tak familiar di telinga siswa. Untuk mengatasinya
para siswa membentuk sejumlah kelompok dan membagi tugas membaca berdasarkan
bab cerita. “Dengan cara berbagi akhirnya mereka bisa memahami novel. Ya memang
tidak semua bagian novel dibaca karena ada bagiannya sendiri-sendiri. Saat
bekerja kelompok mereka saling menceritakan bab yang telah dibaca,” ujar Maria.
Maria menilai ide menyederhanakan novel
klasik menarik. Penyesuaian bahasa juga perlu dilakukan supaya murid tak
kesulitan. “Menurut saya ide [menyederhanakan novel] itu bagus. Tema-tema
cerita lama yang intinya tentang percintaan tetap menarik bagi generasi
sekarang meski zamannya berbeda. Akan lebih baik memang ada novel klasik versi
sederhana sehingga para siswa mudah memahami sesuai usia mereka,” kata Maria.
Tags:
esai
0 komentar