Mahasiswa (Anti) Sastra, oleh Fatih Abdulbari


Berikut kami hadirkan tulisan Fatih Abdulbari yang sempat ramai dan menjadi polemik di koran Solopos beberapa minggu lalu. Setelah kami bawa ke #bincangsastra di Solopos FM, kehebohannya belum berhenti. Maka itu kami angkat tulisan ini dalam blog kami. Tentu kami sudah meminta ijin langsung dari penulisnya.

 Mahasiswa (Anti) Sastra, oleh Fatih Abdulbari


Sastra, kalau di kampus adalah jurusan yang dihuni makhluk-makhluk halus. Ya, sastra memang mengajarkan pengikut setianya untuk menghaluskan pikiran dan jiwa. Kamu boleh mencari makhluk halus selain sastrawan, aku yakin kamu hanya akan menemukannya dalam acara televisi, kalau tidak salah judulnya Mister[i] Tuyul jalan-jalan. Tapi asal kalian tahu, sastra bermuka dua, seringkali bertolak belakang dari sifatnya yang terlihat, ia menghitam dan berwujud setan, ia melawan.
Aku ingin memulai tulisan ini dengan diskusi selasa silam di belakang kampus, salah satu dari dua (ya, hanya dua!) diskusi intelek di luar ruang lingkup akademik di UNS. Pembicaraan kami seputar sastra, dan untuk pengetahuan saja, calon sarjana sastra dalam diskusi itu hanya aku seorang, sisanya? Anak FISIP. Diskusi kami dimulai dari sebuah film produksi tahun lawas berjudul Dead Poets Society (1989). Film ini berlatar sekitar tahun 1950-an di sebuah sekolah super ketat, Akademi Welton. Pada tahun ajaran itu masuk seorang guru sastra baru menggantikan guru yang lama. Guru baru ini mengabaikan kurikulum yang dipertahankan bertahun-tahun demi mengajarkan sastra yang murni. Silahkan tonton sendiri filmnya, akan jadi terlalu panjang kalau aku harus menjabarkan. Inti dari film ini yang ingin kusampaikan adalah sastra, yang dalam film ini digunakan sebagai alat perlawanan.
Tentunya kita masih ingat dengan Wiji Thukul, seorang sastrawan yang sangat berani. Thukul tidak pernah melawan dengan fisik, dia hanya berkata-kata, dan apa yang terjadi? Dia menghilang, dianggap mengancam oleh rezim berkuasa. Atau seorang Ichiyo Higuchi, wanita Jepang, kamu akan melihat gambarnya dalam lembaran uang 5000 Yen, dia adalah wanita pertama (dan mungkin satu satunya) yang diabadikan dalam uang kertas. Ichiyo adalah seorang penulisa sastra, ia menulis pada era Meiji dan harus melawan zaman karena menulis pada saat itu sangat berat bagi wanita, ia mati muda dengan tragis dalam kemiskinan.
Aku tidak akan bercerita mengenai semua tokoh sastra yang mati dengan tragis. Yang ingin kukatakan adalah, ketika sastra digunakan menjadi alat perlawanan ia lebih menakutkan dari ideologi, lebih berbahaya dari senjata dan lebih keras dari besi. karena itulah banyak penulis sastra yang kritis telah hilang, dibunuh atau “dikerdilkan”. Aku yakin siapapun setuju dengan hal ini, apalagi mahasiswa. Dan dengan memahami hal seperti ini seharusnya mudah saja bagi mahasiswa untuk melawan, tidak perlu repot-repot lagi aksi turun ke jalan, cukup dengan membaca, berdiskusi dan menulis kita sudah bisa melakukan perlawanan hebat. Kalau para mahasiswa sastra mau, kita tidak butuh lagi bantuan orang lain, poros pergerakan mahasiswa berada mutlak di tangan kita. Terlebih mahasiswa sastra bisa merubah pergerakan demonstrasi ke budaya pergerakan literasi. Tapi sayangnya kita tidak mau, ya sudah.

Dosa Mahasiswa
Suatu siang, aku ingat sedang membaca buku di fakultasku sembari menunggu jam kuliah. Larut dalam bacaanku, tiba-tiba seorang teman wanita dari jurusan sebelah, Sastra Indonesia, menyapaku. Ia bertanya aku sedang apa, kujawab sembari melambaikan buku itu, “baca buku”. Lantas ia bertanya lagi buku apa yang kubaca? Kujawab itu buku sastra. Ia jadi tertarik dan berkata dia juga senang membaca dan mulai bertanya siapa penulis favoritku. Aku langsung semangat karena kukira dia mengajak diskusi tentang buku, kujawab pertanyaan itu dengan memberitahu setidaknya lima nama penulis terkenal termasuk Ernest Hemingway dan Pramoedya. Dia berkata hanya tahu nama Pram dari penulis yang kusebut, semangatku langsung surut. Kutambahakan nama-nama tersebut dengan beberapa nama penulis kondang, termasuk Mark Twain, Ahmad Tohari dan George Orwell, ia tak kenal satupun, aku putus harapan. Kutanya dia dengan pertanyaan yang ia ajukan padaku, siapa penulis favoritnya dan jawabannya langsung membuatku kecewa, Tere Liye.
Aku tidak punya masalah dengan Tere Liye atau tulisannya, bahkan aku mengakui bahwa ia adalah salah satu penulis produktif. Tapi, ayolah, masak kalian mahasiswa, sastra lagi, hanya membaca itu saja? Aku memang tahu kalau minat baca mahasiswa rendah, tapi sampai separah inikah? Aku semakin kecewa ketika tahu bahwa mahasiswa yang senang membaca di fakultasku kebanyakan hanya membacai novel cinta. Hanya ada dua atau tiga orang yang benar-benar berbuku. Aku jadi bertanya-tanya bagaimana keadaan di fakultas lain atau universitas lain jika mahasiswa di fakultas yang paling nyastra saja keadaan minat bacanya separah ini?
Kalau boleh kuibaratkan kampus adalah sebuah agama, maka membaca adalah ibadah wajibnya. Mahasiswa yang tidak membaca adalah makhluk paling berdosa. Dosa yang kedua adalah tidak berdiskusi, dan dosa terakhir yang paling ringan adalah tidak menulis. Menghilangkan rantai membaca meskipun melakukan diskusi dan menulis sama dengan melangkahi sholat dan mengutamakan puasa. Harusnya membaca bagi mahasiswa adalah hal wajib yang tidak bisa diganggu gugat. Parahnya, dosa yang paling besar itulah yang paling banyak dilakukan mahasiswa.
Dalam sebuah sesi kuliah, dosen berkata bahwa peradaban bisa dibangun dengan sastra dan juga diruntuhkan dengan sastra. Aku tidak yakin dengan membangun, jika aku melihat sastra dari mahasiswanya saat ini, maka aku harus kecewa berat. Tetapi mungkin perkataan dosenku ada benarnya, dan inilah saat-saat dimana sastra meruntuhkan peradaban karena mahasiswa sastra benar-benar tidak nyastra. Tak perlu muluk-muluk membangun bangsa, membaca saja tidak mau.
Semenjak aku menjadi mahasiswa, aku merasa punya tanggung jawab intelektual besar yang hanya bisa kutebus dengan membaca. Aku hanya bisa berdoa saja sembari terus mengajak, semoga saja mahasiswa lain juga punya perasaan seperti itu dan semoga nantinya kalian mau berbuku.


Fatih Abdulbari, mahasiswa asal Depok yang masih berkuliah Sejarah di UNS.

Tags:

Share:

0 komentar