Zine Diskusi Kecil 1: Malam untuk Ashkii Dighin, Cerpen Liswindio Apendicaesar



Dalam hadirnya gulita di setiap malam, semua orang terburu-buru memasuki gubuk atau biliknya, segera menyalakan bunga merah di tengah-tengah pemukiman mereka, yang menyala terang dan hangat untuk menakuti binatang-binatang buas yang berusaha mendekat, sehingga mereka dapat beristirahat dengan lelap di bawah naungan langit hitam berbintang. Masing-masing menuju kebersamaan dengan yang terkasih, berdua-dua atau lebih, berhimpun dalam kelompok, saling menjaga mimpi satu sama lain.
Di waktu malam seperti itu, Sang Malam adalah yang paling merasa kesepian. Padahal Sang Malam baru saja tiba menaiki layar langit dengan penuh semangat, baru saja menggantikan hari dengan membawa serta pendaran bintang-bintang pada gaunnya, dia ingin menyapa ramainya persada setelah terbangun dari istirahatnya sejak cakrawala berpijar, ingin menjamah semak-semak hati manusia, ingin bercengkrama bersama mereka di bawah siraman lampu bulan, tapi panggung dunia langsung ditinggalkan oleh para penghuninya, tak memberikan sebait pentas bagi Sang Malam, dia ditinggal tidur terabai.
Tak ada ucapan selamat malam baginya. Bahkan hingga fajar tiba di ufuk dan giliran mereka harus berganti lagi, tak pula salam perpisahan “Selamat tidur, malam” atau sekadar basa-basi “Selamat pagi, malam” terucap untuknya. Dia selalu menjadi malam yang sunyi tanpa dikenang, malam yang sendirian tanpa ingar yang menyambut.
Beribu siklus zodiak dilaluinya sebagai pementas tanpa satu pun penikmatnya. Tatkala pilunya tak lagi terbendung, Sang Malam menangis hujan dan berisak guntur, seluruh muka Bumi dapat merasakan betapa mengerikannya sebuah kesedihan yang lahir dari kesendirian. Kesedihan yang demikian tak ada berhias gerlap bintang dan rembulan, hanya getir kegelapan yang meronta-ronta membadai amuki rasa sepi yang sekian lama menyiksa kalbu. Di malam yang seperti itu, tak seorang ingin sendirian, mereka menyadari pentingnya kehadiran seorang terkasih, memiliki cinta dan sahabat, keluarga dan kerabat. Erat mereka saling memeluk di rumah atau sangkarnya masing-masing, menjaga agar tak satu pun dihanyutkan oleh nelangsanya badai sepi ke dalam palung kekosongan.
Terlalu lama tak berkawan membuat Sang Malam kebas perasaannya, dirasuki ketakpedulian serta kecewa membuatnya terbiasa tak dihirau. Suatu kali Sang Malam tertidur terlalu lama, tak mau tahu akan keseimbangan waktu, sehingga matahari harus terjaga lebih lama. Manusia tak bisa beristirahat di kala hari masih terang, pun panasnya membuat mereka tak nyaman berdiam diri. Sudah lewat waktu seharusnya senja datang menjadi batas antara hari dan malam, masih tak terlihat tanda akan kehadiran Sang Malam. Manusia sangat kelelahan, tak mampu pejamkan mata. Hewan-hewan malam pun tak kunjung mendapat giliran berburu mengisi perut, sehingga mereka harus berpuasa menahan lapar; memaksa berburu pada saat matahari belum terbenam sungguh berbahaya bagi makhluk nokturnal.
Ketika akhirnya senja tiba dan berlalu, malam itu menjadi lebih senyap daripada biasanya. Semua orang larut dalam kelelahan yang berlebih, haus akan tidur dan mimpi indah yang mampu menebus penat, sampai-sampai di beberapa pemukiman lupa membuat bunga merah. Hewan-hewan malam yang kelaparan menjadi semakin buas. Di sebuah desa yang tak ada unggunan bunga merah sebagai pengusir mala kebuasan malam, seorang pemuda telah kehilangan nyawa serta daging-dagingnya karena telah menjadi santapan seekor hewan. Sejak saat itu, orang-orang semakin takut kepada malam. Mereka semakin menaruh segudang prasangka kepada malam yang mereka anggap telah berkhianat dan membawa petaka. Kegelapan adalah musuh, begitu pikir mereka.
Sang Malam semakin kesepian oleh semua tudingan-tudingan itu. Kali ini bukan saja dia tak berkawan, tapi menuai musuh. Kesendirian saja sudah membuatnya meratap, sekarang ditambah hujatan pula. Sepi dan dinginnya malam semakin menjadi, semakin menghenyakkan. Daun-daun hutan pun tak lagi berani bergemerisik, angin utara enggan mendesaukan kabarnya di kala malam. Sang Malam seolah menerima hukuman dari seisi penduduk Bumi atas kelalaiannya yang telah menelan korban jiwa, yang telah menumpahkan darah manusia.
Suatu ketika bulan purnama tampak biru dan membulat lebih besar daripada purnama-purnama lainnya, menerangi empat gunung yang mengelilingi suatu pemukiman sebuah suku. Di sana, orang-orang tidur di dalam tenda-tenda, dan beberapa unggunan kayu yang terbakar tersebar di beberapa sudut. Ketika semuanya sedang sibuk mengarungi alam impiannya masing-masing, pada jarak beberapa meter dari lingkar pemukiman, seorang pria muda tampak bersandar di sisi batu besar, menatapkan pandangnya pada langit malam. Mulutnya sedikit ternganga, seolah tercengang melihat lintasan besar cahaya menyerupai tumpahan susu yang terlukiskan di atas sana. Tak pernah ia lihat sebelumnya, tak pernah ia ketahui bahwa malam menyimpan keindahan misterius yang mampu membuat seseorang tenggelam tanpa menyelam ke air. Sejak kecil ia hanya tahu bahwa jika senja telah usai memamitkan mentari, maka semuanya harus segera berlindung ke dalam tenda. Semua urusan disegerakan atau ditinggal. Tak ada yang mengatakan padanya sama sekali mengenai seperti apa malam. Dia hanya diberitahu bahwa sesosok makhluk menyerupai serigala akan mengintai dalam kegelapan malam, dan mencari kesempatan memangsa manusia apabila ada yang masih berkeliaran.
Nyatanya, tak ada makhluk mengerikan yang mengincarnya. Hanya malam yang bertabur suasana magis, bersenyawa keelokan yang tak dapat ditemui pada silaunya hari. Malam adalah kesetimbangan antara kegelapan dan cahaya, keharmonisan alami yang tak bertara, tempat para makhluk suci berdendang dan menyanyikan kedamaian surgawi di antara bintang-bintang. Malam adalah kekhusyukan di bawah teduhnya cahaya bulan. Tak ada yang terlalu gemilang, pun tak ada yang terlalu kelam. Pada malam, galaksi-galaksi bermegah diam-diam. Pada malam, riuhnya alam tersibak meraya dalam kesederhanaan sunyi. Pada malam, tabir dewata mewujud membelai lembut makhluk hidup. Pada malam, Ashkii Dighin jatuh cinta pertama kali.
“Siapakah dikau yang merupa kesyahduan, mencitra taram namun menggeletarkan sukmaku? Adakah kau sudi singgah menitis untuk memelukku dalam kesejukan hawamu? Khidmatku padamu, bawa aku ke dalam atmosfermu, larutkan aku di tengah-tengah kasihmu.”
Itu adalah kali pertama ada seseorang yang menyapa Sang Malam. Kegembiraan bercampur bimbang berkecamuk dalam benaknya. Haruskah aku menyapanya kembali? Nyatakah semua ini? Mungkinkah dia akan memahamiku dan menjawab asaku akan hadirnya seorang kawan? Apa yang harus kukatakan padanya? Mengapa syairnya begitu merdu dan menghidupkan harapanku? Akankah aku dikecewakan? Akankah dia kecewa padaku?
Bayang hitam di langit tampak berkelebat kian kemari sebelum akhirnya terjuntai seolah luruh dan perlahan melayang turun menuju tempat Ashkii Dighin terduduk. Bayang hitam tersebut lalu mengumpar dan membentuk sesosok gaun berdiri tanpa tubuh. Gaun tersebut berwujud sehelai kain besar yang bergelung bermotifkan tataan surya dan diberi hiasan manik-manik yang mengerling, tampak kumpulan bintang-bintang dan supernova yang membentuk arus sungai menggertap. Motif-motif itu terlihat begitu nyata, bahkan terkadang terlihat beberapa objek yang bergerak pada motif gaun tersebut. Askhii Dighin mengerti bahwa gaun hitam di hadapannya adalah sepotong langit malam yang telah turun berusaha beremanasi dan menjawab perasaannya. Dia semakin terkagum pada keajaiban malam, semakin jatuh hati kepada apa yang dilihatnya. Inilah malam yang ditakuti semua orang. Inilah malam yang dikatakan berbahaya oleh para leluhur. Inilah malam yang hitam dan gelap membawa jutaan misteri. Namun, kini seolah melugas menjawab ketakjuban seorang manusia yang telah mencinta pada perjumpaan pertama mereka.
“Kaukah semua keindahan yang terhampar banglas di angkasa, yang tertutup kesilauan di siang hari, tapi terkuak di dalam kegulitaan?”
“Engkau manusia pertama yang, setelah aku nantikan dari masa ke masa, menyapaku dan begitu banyak memberiku pujian. Tidakkah kau takut kepada malam serta gelap dan bahaya yang mengikutinya?”
“Pesona seperti ini, bagaimana dapat gentarkan hati? Bolehkah aku mendekat, menenggelamkan keterpukauanku lebih dalam lagi pada pusaranmu? Bolehkah aku mengenalmu melalui jari-jari dan bibirku, meraba pada gilang yang bertabur itu? Bolehkah aku tahu seperti apa aroma yang dibawa oleh anggunnya paduan kilau dan hitam pada gelap lembar gaunmu?”
Sang Malam tersipu dan tak menjawab permohonan Ashkii Dighin, tapi Ashkii Dighin menganggapnya sebagai ketakberkeberatan dan segera menghampirinya. Menyentuhnya dan mengenduskan hidungnya seraya bertanya, “Bagaimana aku harus memanggil namamu?”
“Maaf mengecewakanmu, tapi aku tak memiliki nama. Aku adalah Sang Malam. Semua yang terbentang dan melintas di angkasa raya itu, semua yang terlukiskan di sudut-sudut langit dan Bumi setelah matahari terbenam, semua gemericik air dan gesekan antara daun dengan angin setelah lewat kala senja, semua hadir dalam gelap ini sebelum fajar kembali berpijar, adalah aku. Aku adalah satu-kesatuan tubuh dan kesadaran utuh dari mereka semua yang tersebar dalam rentanganku.”
“Namaku Ashkii Dighin. Bolehkah aku memanggilmu Noche?” tutur Ashkii Dighin masih sambil membelai langit dalam wujud gaun hitam di hadapannya.
“Tentu saja. Kalau begitu aku akan memanggilmu ‘Ash’, bila kau berkenan.”
“Aku suka panggilan itu.”
Pengalaman pertama yang mendebarkan bagi Noche untuk merasakan bagaimana manusia menyentuhnya, dan bahkan memiliki nama, layaknya sesama manusia. Di antara entitas-entitas semesta tak bernama yang jumlahnya tak terbatas bertebaran di seluruh dimensi ruang dan waktu, dia merasa menjadi yang paling spesial. Kegembiraannya meluap sampai-sampai ratusan komet pada malam itu beberapa kali melewati lintasan yang dapat diobservasi dari Bumi, seandainya saja ada manusia yang mau memperhatikannya. Mereka berdua mendudukkan diri di tempat Ashkii Dighin sebelumnya duduk bermenung, dan segera Noche membebaskan semua rasa penasarannya tentang Ashkii Dighin melalui serentet kereta pertanyaan.
Askhii Dighin adalah anak dari sebuah keluarga biasa yang merupakan anggota suku Dinétah, sebuah suku yang percaya bahwa leluhur mereka bukanlah berasal dari Bumi, tapi dunia paralel. Leluhur mereka adalah roh suci yang berasal dari sebuah alam kehampaan yang kemudian mencari tempat tinggal yang layak dihuni. Para roh suci menuju alam biru; dunia ini didominasi oleh para hewan-hewan yang bisa bicara, tapi kehadiran mereka dianggap sebagai pengacau keseimbangan oleh para penatua penghuni alam biru sehingga mereka harus mencari tempat tinggal lainnya. Di alam kuning, para roh suci menemukan kehidupan bergemilang dan makmur, tapi suatu hari lautan kosmik menenggelamkan dunia ini sehingga para roh suci harus mencari tempat tinggal lainnya. Sampailah mereka di alam ini, yang mereka sebut sebagai alam hijau. Untuk dapat hidup di alam hijau para roh suci harus mengambil wujud fisik dan mengejawantah dalam wujud yang dapat diterima oleh hukum alam di alam hijau, yaitu manusia. Karenanya, orang-orang suku Dinétah percaya bahwa mereka adalah keturunan roh suci, dan setelah mereka mati mereka akan bersatu dengan kesadaran tunggal jagat raya yang meliputi seluruh dunia paralel dan alam kehidupan.
Para manusia pertama dari roh suci telah memutuskan bahwa suku Dinétah harus tetap tinggal di tengah-tengah empat pegunungan yang mengelilingi pemukiman mereka saat ini, tidak boleh keluar dari perbatasan karena hanya wilayah tersebutlah yang aman dan telah mendapat perlindungan spiritual. Di sana semua kebutuhan mereka telah tersedia. Ada hutan kecil, ada danau, ada sungai, ada daerah kering yang hanya diisi oleh pasir dan bebatuan, ada padang rumput dan ladang untuk beternak dan bercocok tanam, dan salah satu gunung menyediakan beragam mineral dan logam yang mungkin mereka butuhkan. Mereka percaya bahwa roh suci telah memilih tempat ini agar mereka bisa menciptakan kehidupan bermasyarakat yang madani.
Suku Dinétah bukan dipimpin oleh seorang kesatria kuat, melainkan oleh seorang Shaman dan para tetua sebagai asistennya. Seorang Shaman — bisa seorang laki-laki atau perempuan — adalah seseorang yang dianggap mempunyai kekuatan spiritual dan mampu berkomunikasi dengan roh-roh Bumi, para roh suci sekaligus dengan kesadaran tunggal jagat raya. Melalui kemampuannya, Shaman akan membimbing masyarakat dan memberikan solusi untuk setiap persoalan yang terjadi. Untuk berkomunikasi dengan roh-roh di Bumi Shaman tak perlu media khusus, tapi untuk berkomunikasi dengan para roh suci dan kesadaran tunggal seorang Shaman harus mengonsumsi yagé, yaitu suatu ramuan khusus yang dapat meningkatkan kesadaran kosmik seseorang. Yagé terkadang juga dikonsumsi oleh anggota suku selain Shaman yang mengalami masalah emosional atau penyakit-penyakit yang tak bisa disembuhkan dengan obat-obatan herbal yang tersedia, dengan harapan si penderita dapat menemukan obat dari alam lain.
Malam itu Ashkii Dighin diperintah oleh Shaman agar menghabiskan malam di luar pemukiman. Sang Shaman berkata Ashkii Dighin adalah seorang Nadleeh, yaitu seseorang yang memiliki dua jiwa bersemayam dalam tubuhnya. Ashkii Dighin bukanlah seorang laki-laki atau pun perempuan, melainkan percampuran keduanya, meskipun tubuhnya adalah laki-laki. Dia merupakan jenis pertama dari Nadleeh, jenis manusia yang merupakan paduan sempurna dari dua buah energi kutub yang berbeda, peleburan positif dan negatif, maskulin dan feminin. Nadleeh dinubuatkan oleh para manusia pertama suku Dinétah sebagai makhluk yang paling mendekati kesejatian Ilahi, makhluk yang tak dapat dijerat oleh jaring-jaring dualitas alam raya. Kemampuan spiritual seorang Nadleeh dapat melebihi seorang Shaman, karena Nadleeh bukan sekadar sebagai perantara, melainkan merupakan percikan Kesadaran Tunggal sendiri yang meraga. Malam itu Sang Shaman mendapat wahyu setelah meminum yagé, bahwa sudah saatnya Ashkii Dighin diberi tahu mengenai identitas aslinya yang sejak ia lahir disembunyikan oleh Sang Shaman, para tetua, dan orang tuanya sendiri. Wahyu tersebut mengatakan bahwa Ashkii Dighin harus menghabiskan malam di luar pemukiman demi menemukan takdirnya sebagai seorang Nadleeh, yang nantinya akan membimbing jalan bagi masa depan suku Dinétah.
“Menarik sekali. Kau tahu, Ash, seperti halnya dirimu, aku pun bukanlah laki-laki atau perempuan. Aku bukanlah keduanya,” sahut Noche menanggapi kisah Ashkii Dighin tentang Nadleeh.
“Benarkah? Berarti kita serupa. Aku adalah keduanya, sedangkan kau bukan keduanya. Kita sama-sama tidak bisa digolongkan ke dalam konsep-konsep umum yang sudah ada.”
“Lalu apa kau sudah menemukan takdirmu?”
“Aku tak yakin, tapi kurasa sudah. Kaulah takdirku, Noche. Perasaanku sangat kuat berkata demikian. Kau sendiri bilang bahwa tak pernah sebelum ini kau disapa oleh manusia. Akulah yang pertama bagimu. Semua kejadian ini pastilah pertanda bahwa kita adalah takdir bagi satu sama lain.”
Noche tak tahu harus bagaimana bersikap. Dia sendiri tak begitu paham mengenai konsep takdir yang dimaksud oleh Ash; itu adalah konsep yang sesungguhnya hanya ada di kalangan manusia.
“Mungkin terlalu cepat bagiku mengatakan ini, tapi aku jatuh cinta padamu, Noche.”
Noche semakin tak mampu membahasakan kebingungannya. Terlalu banyak yang harus ditelan lalu dicernanya hanya dari beberapa larik percakapan dengan seorang manusia. Kali ini Ash bicara soal cinta. Apa lagi itu cinta? Mengapa manusia punya banyak sekali kompleksitas dalam fondasi dan konstruksi hidupnya yang tidak sebanding dengan usia seluruh semesta ini, yang seharusnya lebih rumit akibat segala aturan-aturan mikronya? Apa untungnya repot-repot membumbui hidup mereka dengan perkara-perkara niskala yang seperti itu? Di antara keberadaan badani yang fana, masih saja harus didekorasi oleh konsep-konsep khayal, menyusahkan diri dengan yang tidak nyata. Manusia sungguh unik, sekaligus membingungkan.
“Kau tak perlu menjawabku sekarang, Noche. Aku tahu kita baru saja bertemu, dan hubungan antara manusia dengan malam sangatlah abstrak. Mungkin kau pun baru sekarang mendengar kata cinta, dan manusia di hadapanmu ini terlalu terburu-buru. Izinkan saja aku bertemu denganmu setiap malam. Berkenankah dirimu?”
“Tentu saja, Ash, tapi dapatkah kau tidak memberi tahu orang lain mengenai diriku dan pertemuan kita? Selama ini manusia selalu takut pada segala misteri yang ada dalam malam. Aku khawatir jika kau ceritakan tentang diriku, mereka akan melarangmu menemuiku, atau malah memburuku. Tentu mereka tak dapat memburuku, aku adalah gelap bergemintang tempat dan waktu bernaungnya seluruh keletihan manusia, selalu terbentang dan hanya matahari yang menjadi pembatasku, tubuhku tak mungkin dapat mereka tangkap dalam genggam, tapi kau mungkin akan ditahan karena dianggap telah bersekutu dengan kegelapan. Manusia selalu berprasangka buruk terhadap ketidaktahuan mereka. Jangan biarkan kesulitan menimpa dirimu.”
“Baiklah, Noche. Aku berjanji padamu, tapi apa yang harus keberitakan kepada mereka?”
“Katakan bahwa malam adalah sahabat manusia dalam kebimbangan, adalah bimbingan atas perjalanan hidup, kesenyakan rohani bagi pengelana jiwa. Dengan begitu kau akan diminta menghabiskan waktu malam bersamaku lagi. Aku berjanji akan menceritakan padamu tentang diriku lebih banyak lagi pada malam-malam berikutnya.”
Beberapa saat menjelang berakhirnya gelap, Noche dan Ash saling berpamitan. Mereka berjanji untuk bertemu dan bercengkrama kembali di malam berikutnya. Ash kembali ke pemukiman. Di sana, seorang wanita lengkap dengan kalung dan tato yang hanya dimiliki oleh seorang Shaman sedang berdiri menunggu ketibaannya. Noche melebur ke dalam horizon malam, kembali membalut Bumi dengan gelap hitamnya, menghiasi langit dengan kerlip yang akan berakhir beberapa jam lagi.
Ashkii tidak tidur pagi itu. Saat langit pagi masih menunjukkan kantuk, di dalam ruangan yang terbuat dari tanah liat, dia diminta menceritakan apa saja yang telah dia alami pada malam sebelumnya. Sang Shaman, para penatua, dan kedua orang tuanya mendengarkan dengan seksama. Ashkii Dighin, sebagai manusia pertama di antara keturunan suku Dinétah yang telah berhasil menjelajahi waktu malam dan berhasil pulang dengan selamat, mendedahkan kisahnya.
Dalam penuturannya, malam adalah keajaiban alam, perhiasan dunia, kemagisan tiada tara. Melalui waktu malam semesta mempertunjukkan keagungannya yang anggun. Ashkii Dighin menceritakan tentang bintang-bintang, tentang jembatan galaksi, tentang komet-komet yang melintas, tentang langit yang berubah menjadi taman cahaya. Dia juga bercerita bagaimana kesunyian malam mampu menghantarkan pesan-pesan kosmik, pesan-pesan yang dibawa oleh udara dari berbagai penjuru dunia, pesan-pesan yang dibawa dalam sayupnya citraan yang terbentuk di alam pikir. Ada jutaan intuisi dan visi yang berhamburan, melompat, dan berkejaran ketika keheningan malam menderap menjamah, dan di baliknya dapat tersibak misteri-misteri kehidupan yang membimbing umat manusia.
Orang-orang yang mendengarnya terheran-heran, bagaimana mungkin kegelapan yang selama ini mereka takuti dapat sedemikian ramahnya pada Ashkii Dighin, memberikan wahyu-wahyu jagat raya padanya? Ke mana tradisi ratusan bahkan ribuan tahun umat manusia sebelumnya yang tak seorang jua mampu menyelami rahasia malam ini?
Di antara mereka, hanya Sang Shaman yang tersenyum, memahami maksud di balik ujaran Ashkii Dighin. Sebagaimana ia ketahui, hanya yang tak terbelenggu dualitas manusialah yang dapat menjelajahi ketunggalan semesta. Ashkii Dighin adalah seorang Nadleeh, keistimewaannya ini adalah alasan mengapa dia menjadi jembatan antara manusia dan malam, dan melalui Ashkii Dighinlah suku Dinétah akan melampaui batasan antara terang dan gelap.
Setelah beristirahat sepanjang siang hingga senja, Ashkii kembali menunggu di tempat yang sama seperti malam sebelumnya. Dia menunggu gelap datang menyelimuti dunia hingga Noche pun kembali turun dari tahtanya di langit malam dan menghampirinya. Kebahagiaan terlihat jelas pada raut wajah Ashkii Dighin ketika memperhatikan pujaan hatinya berkelebat di langit lalu muncul di hadapannya.
Malam itu Noche mengajari Ashkii Dighin mengenai siklus matahari dan bulan, mengenai rotasi Bumi, dan mengenai revolusi planet-planet di dalam tata surya. Noche mengajarkan caranya bagaimana memahami peralihan musim dengan memetakan siklus-siklus tersebut ke dalam tanggal-tanggal yang kemudian disebut sebagai kalender. Melalui tanggal-tanggal itu, ditandai pula saat masing-masing bulan dan matahari harus ditelan bayangan selama beberapa jam.
Mereka terus bertemu dari malam ke malam. Ashkii Dighin semakin memahami misteri-misteri semesta di balik angkasa yang tak berujung itu. Dia mempelajari bahwa bukan hanya Bumi yang memiliki bulan, tetapi juga planet-planet lain di luar sana. Dia mempelajari bagaimana siklus bulan bisa mempengaruhi pasang dan surutnya samudra. Dia kini mengetahui beragam nama dan peran dari benda-benda langit.
Noche juga mengajarkan bagaimana caranya memahami kelap-kelip bintang di langit sebagai kumpulan konstelasi. Di antara semua itu, Noche mengajarkan bahwa Ash harus memahami rasi bintang biduk dengan salah satu bintangnya yang merupakan bintang paling bersinar di langit, Polaris. Tidak sulit menemukan konstelasi ini karena bentuknya menyerupai ekor anjing. Dengan memahami konstelasi ini, maka Ashkii Dighin dapat berkelana ke mana saja tanpa perlu takut tersesat di malam hari. Kumpulan bintang-bintang ini selalu terletak di sebelah Utara, yaitu sebelah kiri dari arah matahari terbit, Timur, atau sebelah kanan dari matahari terbenam, Barat. “Manusia boleh menjelajahi Bumi tanpa perlu takut tersesat. Carilah Polaris dan temukanlah arah pulang,” tutur Noche.
Demikianlah Ashkii Dighin melewati hari demi hari, malam demi malam. Memadu kasih dengan Noche dalam pengetahuan, dan sepulangnya ia ke pemukiman mengajarkan apa yang ia telah pahami kepada Sang Shaman, para penatua, dan beberapa pemuda cerdas di sukunya dari pagi hingga siang, lalu beristirahat menyiapkan tenaga dan kesegaran untuk menemui kekasihnya lagi di malam hari. Berkat semua pengajaran dan ilmu yang dibawa pulang oleh Ashkii Dighin, perlahan peradaban suku Dinétah pun semakin maju. Mereka belajar untuk menyiasati alam dan mengembangkan beragam perkakas sesuai dengan kebutuhan yang semakin berkembang tersebut.
Di setiap pertemuan, Noche semakin menyadari bahwa dia telah menyalahi kodratnya sebagai sosok imateri, sebagai entitas tanpa roh. Perasaan cinta semakin tumbuh dan tak bisa dia ungkir terhadapnya. Keinginan untuk selalu bersama dengan Ashkii Dighin semakin membahana, merasuki setiap lengkungan dan sisi angkasa malamnya. Di setiap perpisahan ketika menjelang pagi, semakin dia rasakan raungan pilu yang mengiris garis waktunya, menyisakan sesak dan kelabu di udara. Kenyataan bahwa cintanya adalah terlarang semakin menenggelamkan Noche pada telaga derita yang dipendamnya.
“Aku mencintaimu, Ash,” kata Noche di suatu malam. Ash luar biasa bergembira mendengarnya. Tak dapat ia bendung banjir kebahagiaan saat itu. Tiba-tiba sebaris asa yang ironis hadir dalam benak Ash. Ia ingin bercinta dengan Noche. Sesaat kebingungan menerpa, bagaimana caranya dia bercinta dengan Noche yang tak memiliki bejana ragawi? Namun, semua itu tak dihiraukannya. Segera ia menghampiri Noche dan memeluknya, tangannya bertualang ke setiap jengkal gaun yang merepresentasikan Noche, dan bibirnya mencumbu gaun tersebut tanpa lagi peduli bagian tubuh Noche yang mana yang ia cumbui. Noche yang seketika itu pun terdorong oleh geletar hasrat ingin memiliki Ash menyambut rengkuhan Ash. Dari gulungan gaun itu muncul serupa kain-kain yang membalut Ash seolah memeluknya. Lambat laun Ash pun terhisap ke dalam Noche, melebur satu dengan gelungan-gelungan gelap berhias bintang-bintang tersebut. Setelah semua tubuh Ash terhisap dan menyatu dengan Noche, gulungan kain yang membentuk Noche pun mengendur dan menjadi bentangan kain yang kemudian membesar, mengelilingi dan menutup seluruh permukaan Bumi dalam gulita pekat dan mutlak.
Peristiwa itu menyebabkan seluruh Bumi diselimuti oleh malam yang tak berkesudahan. Tak ada lagi matahari terbit yang menerangi dan menghangatkan dunia. Semuanya diliputi kegelapan dan dingin tiada akhir.
Dalam peleburan mereka, Ash dan Noche kini hanya terlibat dalam persanggamaan tanpa raga serta tanpa batas ruang dan waktu, diliputi oleh renjana dan kegiuran yang tak dapat diterjemahkan oleh akal budi. Mereka tidak lagi dapat dikatakan berada di mana pun, bahkan tidak dapat dikatan sebagai ada atau tiada. Mereka adalah dua entitas yang tak terikat oleh dualitas; Ash adalah seorang Nadleeh yang merupakan kombinasi antara dua kutub, sedangkan Noche tidaklah memiliki kutub manapun. Peleburan mereka menyebabkan mereka tak dapat terdefinisi, hidup tetapi tak dapat ditemukan di mana pun di tengah-tengah semesta yang kini hanya gelap. Hilangnya mereka berdua dari radar jagat raya menyebabkan keseimbangan rusak.
Semua kehidupan di seluruh mayapada terancam punah tanpa sisa. Dingin yang terus melanda ini akan menggerogoti sumber-sumber kehidupan, mematikan semuanya dalam beku. Seluruh umat manusia yang tersebar di pelbagai penjuru dunia ketakutan seraya mengumpulkan doa yang dipanjatkan kepada roh-roh leluhur dan Kesadaran Tunggal. Semua anggota suku Dinétah pun melakukan ritual dalam bentuk nyanyian dan tarian — dengan sisa tenaga yang mereka miliki — di tengah-tengah pemukiman yang dipimpin oleh Sang Shaman, berharap mala ini dapat segera berlalu. Tak ada api yang cukup mampu menghangatkan malam dingin berkepanjangan ini, kecuali dengan kembalinya sinar mentari.
Ketidakseimbangan jagat raya ini menabuh kesadaran Noche yang telah menelantarkan semestanya sendiri. Matahari yang tak lagi dapat menyinari rembulan sekuat mungkin memuntahkan cahaya menembusi ruang-ruang gelap di antariksa dan melewati jendela yang menghubungkan alam ini dengan alam-alam paralel komplementernya, memberi tanda dan mencari pertolongan dari semua eksistensi yang bersemayam di alam-alam paralel tersebut. Melalui fenomena anomali itulah gelombang doa umat manusia dapat tersampaikan pada kalbu Ashkii Dighin dan Noche. Mereka menyadari bahwa tindakan mereka telah menyengsarakan seluruh insan Bumi.
Erangan doa-doa terus menderu berlomba-lomba memenuhi rasa empati Ashkii Dighin juga Noche. Mereka tahu bahwa tak mungkin tak mengindahkan ratapan yang semakin tipis suaranya tapi terdengar semakin nelangsa. Perlahan renjana mereka terkikis, kebahagiaan dalam pertautan keduanya jadi terasa semu. Kesadaran menyerang, mereka tahu bahwa selamanya tak ada kesempatan bagi mereka untuk bersama. Mereka ibarat hulu dan hilir yang tak akan pernah menemukan muara pertemuan. Mereka tidak ditakdirkan menjadi sepasang kekasih yang kekal dalam cinta.
Waktu di alam kehidupan terus berputar, tak bisa ditangguhkan lebih lama lagi. Pilihan sulit harus diambil segera. Haruskah Ash dan Noche berpisah untuk selamanya? Haruskah mereka memalingkan sudi dan iba? Cinta atau nyawa seluruh Bumi yang akan dikorbankan?
“Kau harus pergi, Ash. Kita tak boleh mengorbankan mereka hanya demi kehendak cinta sendiri. Kau harus kembali kepada manusiamu,” tutur Noche.
“Bagaimana mungkin aku sanggup menjalani kemanusiaanku apabila dipenuhi dengan derita kehilangan kekal atas dirimu? Bagaimana mungkin aku sanggup membiarkanmu sendirian lagi menjalani waktu malammu? Pun aku seorang Nadleeh, bukan bagian dari dualitas manusia itu,” sahut Ashkii Dighin penuh resah dan ketakrelaan hati.
“Aku tak akan lagi sendirian. Kau telah membawa pengetahuan kepada umat manusia tentang kecantikan malam, tentang penaklukan atas magis dan misteri angkasa hitam, ilmu untuk mengarungi waktu di kala gelap tanpa tersesat dari setapak jalan pulang. Kau telah menjadi mukjizat bagiku, Ash. Sang Malam akan menjadi hiruk-pikuk di peradaban yang baru yang telah kau bawa. Tak perlu kau tangisi nasibku.”
“Tetap saja aku tak mampu kehilanganmu. Terlebih lagi tak mampu hati ini berbagi dirimu dengan manusia lain.”
“Kau mampu kehilangan semua keluarga dan sahabatmu? Kau mampu kehilangan semua anggota sukumu? Tak akan kau kehilanganku. Malam akan selalu hadir setelah petang. Aku akan selalu membalut semua indramu, memelukmu erat hingga ke dalam napas dan bulir-bulir darahmu.”
Ashkii Dighin hanya gamang, enggan melanjutkan percakapan batiniah ini. Dia tahu ke mana percakapan ini akan berujung, dan dia tak menyukai premonisi tak terhindarkan itu. Dalam kegemingannya, para roh suci leluhur berhasil menyelundup ke dalam pertautan mereka. Roh-roh suci ini segera menarik Ashkii Dighin agar terberai dari Noche dan kembali ke alam manusia. Sontak Ashkii Dighin berteriak dan membuat seluruh jagat raya gemetar seperti akibat sebuah ledakan besar banyak supernova sekaligus. Sekuat dan sekeras hati Ashkii Dighin memberontak, sebanyak itu pula Noche melepaskan dan membebaskan Ash dari kumparan cinta mereka.
Sesaat sebelum mereka terpisah seutuhnya dan Ash kembali ke tengah-tengah hamparan debu permukaan Bumi, Noche berbisik melalui batin mereka yang masih terhubung oleh satu pintalan terakhir, “Setelah kau bertransformasi menjadi sesosok roh suci sebagaimana para leluhurmu, aku akan datang menjemput dan menyambutmu. Aku akan menunggumu, Ash. Kau pun teguhkanlah hatimu hingga saat itu tiba. Tunaikanlah kewajibanmu sebagai Nadleeh di tengah-tengah peradaban manusia. Berjanjilah padaku.”
“Aku berjanji, Noche,” jawab Ashkii Dighin pada cinta sejatinya.
Rembulan kembali tampak bersinar penuh di muka langit. Keseimbangan antara cahaya dan kegelapan kembali pada tahtanya. Ashkii Dighin berdiri di sisi batu tempat dia terbiasa bercengkrama bersama Noche. Dia terpaku dalam kemuramdurjaan. Sekumpulan orang datang menghampiri, berlari susah payah melawan sisa dinginnya malam panjang. Seorang di antara mereka adalah Sang Shaman yang segera memeluk Ashkii Dighin dan berterima kasih padanya. Beberapa puluh menit kemudian sang surya kembali membawa pagi hari dengan pancaran hangatnya. Sejak saat itu, tak seorang pun manusia takut terhadap malam. Mereka justru selalu menanti ketibaan waktu malam untuk beragam perayaan atau pesta pora menghaturkan rasa syukur pada nasib, langit dan Bumi.

Surakarta, 18 Oktober 2016



Share:

0 komentar