Zine Diskusi Kecil 1: Lelaki yang Mencintai Bunga-bunga, oleh Rizka Nur Laily Muallifa




Rumah singgah berukuranenam meter persegi, desainnya mirip gereja katedral. Terletak di sela-sela gundukan tanah yang luas dan tinggi serta berumput, kira-kira cukup pantas untuk menyebutnya bukit, kendati ia tak terlampau menjulang. Nampak seperti sebuah kastil dalam dongeng-dongeng yang mengiringi masa kanak-kanak lalu. Warna kuning dengan perlakuan yang beragam menimbulkan gradasi yang kacau, meski begitu, nampak tak berantakan. Yang paling tua serupa dua dengan warna buah nangka matang.
Leila Walfaren, perempuan sendu itu menggambar desain rumahnya sendiri. Ia memang pernah terdaftar sebagai mahasiswi jurusan arsitektur, kendati tak pernah dinyatakan lulus dari universitas. Universitas membuat banyak aturan tak beraturan, itu menghambat kerja kreatifnya. Tak terhitung lagi teman-teman sejurusannya yang membelot, perlahan tak masuk kuliah, lalu secara beruntun kemudian menghilang dari bingar universitas. Mereka berkembang di luar, tak ubahnya ia.
Ia tinggal seorang diri di rumah kuning itu. Sekaligus sepenuhnya bertanggung jawab atas segalanya. Memotong rumput di pelataran yang tak seberapa luas, memastikan perabotan-perabotan rumah bersih seperti sediakala usai digunakan untuk berbagai kepentingan, membayar tarif listrik, mengepel lantai rumah, merapikan pagar hidup yang mengelilingi rumah, menyirami bunga-bunga.
Leila lahir di Khartoum. Ayahnya, Walfaren menikahi salah satu asisten rumah tangga yang bekerja pada tetangganya, seorang perempuan matang berwarna cokelat. Walfaren sudah lama memerhatikan perempuan itu. Cokelat. Matang. Selalu berlama-lama memandangi bebungaan di taman. Walfaren tidak menyukai bunga-bunga, tidak juga hewan. Mungkin ia tak pernah suka apapun kecuali Supi, istrinya.
Walfaren dan Supi sepakat, anak pertama mereka akan tinggal bersama orang tua Supi di desa yang berhalaman. Keduanya membayangkan, Leila akan tumbuh demikian menyenangkan dengan segala proses yang dilaluinya. Seperti Supi, ia akan bermain lompat tali, petak umpet, gobak sodor, egrang, dan kelereng. Kehadiran Leila diharapkan mampu menyingkap hitam rindu yang menggantung di mata ibu Supi.
Rindu yang menghitam. Kemudian padam.

***

Setelah kepergian neneknya, Leila terus menambah koleksi bunga-bunga. Ia membelinya setiap sabtu pagi di perkebunan petani. Terlalu pagi waktu yang disepakati Leila dan neneknya sebab terik matahari menjadi pratanda bunga-bunga siap mengarungi asap-asap kendaraan di sepanjang jalanan menuju kota. Kios-kios bunga kota menjadi rumah baru baginya. Bunga-bunga menuju kios, matahari tiba-tiba sendu.
Tak hanya di rumah kuning, pada hari Sabtu, Leila senang tinggal berlama-lama di perkebunan meski bunga-bunga banyak yang telah diangkut. Di Sabtu ketiga, mempertemukannya dengan Budja. Anak sulung dari salah seorang pemilik kebun di perkebunan bunga.
“Gadis yang suka berlama-lama memandangi bunga, kalau tidak sedang rindu, pasti ia kesepian,” seloroh Budja yang muncul di sela bibit-bibit bunga.
“Sok tahu! Ada perlu apa kamu kemari?”
“Bermaksud lebih dekat melihat rindu atau barangkali sepi yang menggantung di kelopak matamu.”
“Hush... lebih baik kamu kembali kepada pekerjaanmu atau aku akan....”
“Kamu akan terus menerus ke mari, lambat laun selain mencari bunga-bunga, kamu akan mencariku.”
Leila berlalu. Hilang begitu saja ditelan rimbunnya kabut. Tak jua ada cahaya di jendela-jendela rumah yang ia lewati. Barangkali hari akan terus pagi.

Pot bunga ini kutali sekelilingnya dengan seutas pita, kalau kau tahu maknanya, bayangkan dirimu tertanam dalam pot ini, meski serabut, akarmu kuat menancap pada bulir-bulir rindu. Maka kuikat rindumu, supaya tak tumbuh merajalela.
Catatan: bunga ini aku yang menanam, kutanam ia tiga sabtu lalu.
-tertanda: -


***

Sabtu keempat. Tak ubahnya Sabtu-sabtu biasa, Leila bergegas. Perkebunan sedang ramai-ramainya. Dua bus pariwisata terparkir tak terlampau jauh dari sana. Pak Jagad dikerubungi calon pembeli. Dari kejauhan nampak sedang terjadi kompromi keras antar mereka, seperti sedang tawar-menawar. Biasanya Pak Jagad akan melengkapi informasi calon pembeli, menjelaskan secara detail mengenai jenis tanaman ini-itu, tata cara perawatan termasuk harus seberapa banyak komposisi penyinaran dan pengairan, pantangan-pantangan. Membeli tanaman di kebun Pak Jagad sekaligus membeli tips perawatan sepanjang masa.
“Ini jenis sukulen, Bu. Karena menyimpan cadangan air yang cukup banyak di daun, tanaman ini termasuk jenis tanaman yang tidak terlalu butuh air. Jadi penyiramannya tidak perlu terlalu sering. Iya, memang beda-beda, daunnya ada yang tebal dan ada yang tak terlalu tebal. Bermacam-macam jenisnya,” jelas Pak Jagad.
“Saya liha-lihat dulu ya, Pak,” salah satu di antara ibu-ibu menimpali.
“Oh iya, monggo, Bu. Silakan... silakan...” jawab Pak Jagad.
Sementara Leila masih cukup berjarak dengan kebun, mata Pak Jagad menyorot ke arah Leila.
“Neng Leila... sini neng!” ujar Pak Jagad sembari melambaikan tangan ke arah Leila di hadapannya. Leila mempertegas langkah.
“Ibu-ibu kelompok arisan buku dari Tuban Jawa Timur. Seusai dari lapangan pacuan, ke sini sebelum pulang,” Pak Jagad menjelaskan. Leila menanggapi dengan ekspresi muka dan bibirnya yang membentuk huruf O.
“Ohya, Neng, mau nyari apa sabtu ini?” tanya Pak Jagad.
“Barangkali krisan, Pak. Krisan kuning. Nenek paling suka krisan kuning. Meski itu menimbulkan kematian bagi rumah kuning kami,” kenang Leila.
“Oiya, soal krisan kuning, bapak punya krisan cantik buat Neng Leila. Sebentar...” Pak Jagad bergegas menuju rumah. “Neng Leila temani ibu-ibu dulu ya! Bapak akan segera kembali,” ujarnya memberi sela pada langkahnya begitu sampai di teras rumah.

***

Nun di ibukota negara, Budja bertarung dengan idealismenya. Dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude, disertai omongan teman-teman tentang betapa sebaiknya ia melanjutkan studi ke jenjang pascasarjana.
“Kamu mahasiswa kesayangan para dosen, mahasiswa yang papernya paling sedikit dicela,” seloroh seorang teman.
“Mahasiswa merangkap pedagang bunga yang suamiable, hahaha...” tambah teman lainnya.
“Ah, kalian. Aku memang disayang para dosen, dan kebetulan sudah lulus. Tapi aku bukan tipikal yang tak curam dalam pertemanan. Sementara kalian menyelesaikan penyusunan skripsi, aku akan mengawal mekarnya bunga-bunga,” ujar Budja.
Aassuu loe...”
Wasyem koe, Dja...”
“Dja, hari ini aku mau ke kebunmu. Ada beberapa tanaman yang kubutuhkan. Untuk ulang tahun mamaku besok,” sebuah pesan masuk di whatsapp Budja. Si pengirim pesan membubuhkan nama di akhir pesannya. Sarasvati.
“Boleh, Asva. Datang saja,” balas Budja.

***

Ada senja di jendela. Sementara Budja menyiangi rumpu-rumput halus yang tumbuh di sela-sela tanamannya. Memetik dedaunan yang mengering. Kemudian kilatan gaun biru muda melengkung membentuk bayangan diterpa sendu cahaya senja. Itu mengusik konsentrasinya.
“Hai, Budja. Serius sekali sih?” seloroh seorang perempuan yang tiba-tiba sudah di hadapannya.
“Ha... lo... Halo Asva. Ayo, duduk dulu, akan kubikinkan minum dahulu,” Budja berkata sembari mengarahkan pandangannya pada sepasang kursi di depan kontrakannya.
“Kamu ini loh, Dja. Kayak sama siapa saja.”
“Sama calon pemborong... hahaha...”
“Hahahaha...”
“Ohya, Dja. Bunga yang cocok untuk ulang tahun mamaku kira-kira apa ya?”
“Maksudmu, untuk dekorasi atau...?”
“Iya, untuk dekorasi. Jadi begini, rencananya pesta ulang tahun mama akan digelar di kebun belakang rumah. Ada kebun yang cukup luas di sana, hanya saja koleksi tanaman-tanamannya terbatas. Tak banyak tanaman yang berbunga. Jadi kupikir aku perlu membeli bunga-bunga untuk memperindah tampilan kebun.”
“Oke, menarik. Kupikir akan nampak meriah dengan adanya bunga-bunga yang beragam warna.”
“Kalau krisan bagaimana menurutmu?” Budja berhenti di hadapan segerombol bunga berwarna-warni.
“Oke, boleh. Mamaku juga suka melati, Dja. Tapi kamu tidak ada persediaan melati ya?”
Melati? Ah, barangkali setiap ibu suka melati, Budja membenak.

***

Sabtu terus menghampiri. Leila terus datang ke kebun. Budja tak pernah lagi nampak. Sabtu ke tiga belas, Pak Jagad bercerita soal anak sulungnya.
“Krisan kuning yang dua bulan lalu saya kasih ke Neng Leila itu, Budja yang menanam. Ia membayangkan suatu hari Neng Leila akan menjemputnya, dan ternyata benar...”
“Tapi kenapa tidak ditaruh di kebun bersama tanaman-tanaman lain, Pak?”
“Entahlah, Neng. Bapak juga tidak mengerti dengan maksud Budja.”
“Budja... Budja...” Leila menggeleng-gelengkan kepala, tak habis pikir.
“Ohya, Neng. Neng hari ini ulang tahun bukan? Ini jenis sukulen paling langka, untuk ulang tahun Neng Leila yang ke duapuluh dua.”
“Bapak, kok tahu Leila ulang tahun sih? Seingat Leila, Leila tidak pernah memberitahu tanggal lahir Leila ke bapak, bahkan kepada siapapun. Ya, kepada siapapun!”
“Budja, Neng Leila. Budja yang memberitahu bapak.”
“Sukulen ini, Pak, apa... dari Budja juga?”
“Benar, Neng Leila.”

***

Aku menitipkan doa pada setiap kelopak putihnya yang mungil. Sampaikan selamatku kepada mamamu. Semoga apa yang dicita-citakan diijabahi Tuhan. Maaf, untuk ketidakterusteranganku padamu tempo hari, soal  kepemilikan bunga melati.
-Salam: Budja-





Surakarta, 10 Oktober 2016

Share:

0 komentar