Zine Diskusi Kecil 1: Mangata di Palung Darah, oleh Haris Fajar




Malam ini engkau dan beberapa teman pasukanmu siaga menjaga menara radio di atas bukit. Mereka berjaga di dalam menara pengawas yang menyorotkan lampu sorot halogen selebar drum ke arah lembah. Sedangkan engkau menjadi penanda, berjaga di kaki bukit, di dekat rawa, tiarap dan menyerusuk di rimbunan perdu. Tugasmu hanya menyapukan teropong senapanmu ke setiap senti dari lembah itu. Jika musuh terlihat, barulah senapan  kautembakkan.
Dinginnya angin rawa menjalar ke setiap urat syarafmu, menjadikan engkau terkantuk, lantas tiba-tiba tertunduk, helmmu merosot menyentuh gagang senapan, engkau terkejut, telunjukmu kontan menarik pelatuk.
Dorrr!
Engkau tersadar dan berdiri, menoleh ke atas bukit. Terlambat! Teman-teman mendengar letupan senapanmu, mereka menyorotkan lampu ke tempatmu. Sinarnya melewatimu, kemudian bergerak melewati air berlumpur, terus maju melewati lembah menuju arah rimbunan bakau. Sinar itu menyerempet benda dan memantulkan kilatannya ke arahmu.
Engkau mengokang senapan, menempelkan mata kananmu, meneropong ke arah benda itu.
“Hah…!”
Benda yang kau bidik itu terlihat semakin mendekat. Merobohkan rimbunan bakau dan menunjukkan badan besi yang tersamar oleh dedaunan yang menempel padanya. Tanganmu bergetar, senapanmu kauturunkan dan segera berbalik arah. Engkau berlari sampai kakimu tersandung akar pohon yang mencuat dari tanah. Engkau menoleh ke belakang dan melihat benda itu sudah turun ke rawa, melewati lumpur sehingga semakin mendekatimu. Engkau bangkit dan berlari secepatnya ke atas, menuju ke tempat teman-temanmu, melompati rimbunan perdu, kembali tersangkut semak, tersungkur, berdiri dan berlari secepatnya.
BAM!
Dentuman meriam menghembus angin mematahkan setiap ranting dan daun kering. Peluru tajamnya hampir saja mengenai menara radio di atasmu. Kepalamu bergetar hebat. Senapan terlempar, kedua tangan melindungi telingamu. Engkau segera mungkin tiarap, lantas merayap mencari rerimbunan atau batu perlindungan. Di balik batu besar tepat di bawah menara radio engkau duduk bersandar batu, menekuk lutut dan berusaha menyembunyikan anggota tubuhmu.
Badanmu bergetar, kedua pupilmu membesar. Senapanmu jauh dari batu perlindungan, tak sampai jika kau gapai. Seandainya engkau mengambilnya pastilah benda itu melihatmu. Kini engkau hanya seperti kancil pincang yang meringkuk di balik batu, membuat sang macan tidak akan bisa menemukannya.
BAM!
Wuuuwsh…
Gumpalan api tertangkap matamu menuju ke sorot lampu halogen. Ia sedemikian cepat naik melaju. Menubruk menara dan menggelindingkan bebatuan ke lembah persis seperti reruntuhan, berbarengan dengan besi-besi menara yang berkeping. Engkau terlambat untuk menghindar, beberapa batu sekepalan tangan menuju ke arahmu, engkau nekat terjun ke bawah, menjatuhkan diri ke rawa sembari memegangi helm besi di kepalamu. 
Engkau sempat tak sadar diri terhantam bebatuan, hingga deru roda rantai mengombak genangan air, engkau membuka mata. Belum sempat engkau berdiri, beberapa peluru berkaliber 12 mm menghujani daerah sekitarmu. Engkau hanya bisa merayap, tiarap dan sekali lagi mencari tempat berlindung. Namun kali ini engkau mati kutu. Engkau telah jatuh ke dalam rawa. Bergumul bersama lumpur. Tanganmu menggapai-gapai sekitar. Berharap menemukan sesuatu untuk bersembunyi. Menghindar dari tembakan atau yang terburuk dari tikaman pisau di ujung senapan.
Riak air membawa serta lumpur dari dasar rawa. Menghanyutkan beberapa mayat dari dasar. Engkau lantas menggapai benda seukuran tubuhmu itu. Tangan kananmu memegangnya. Mengangkat mayat itu tepat di atasmu. Menutupi badanmu dengannya, membuatmu samar.
Tank-tank itu bergerak melewatimu. Jika bukan karena air yang bergerak menjauh maka sudah pasti engkau akan tergilas roda rantai itu kemudian menelusup mengikuti rotasinya. Setelahnya engkau akan terbenam bersama mayat yang kau pegang dan baumu pun akan sebusuk baunya.
Dari bawah mayat itu engkau mendengar para pasukan meneriakkan yel-yel pembangkit semangat. Sesekali mereka berhenti lantas menembakkan pelurunya lagi, ke tempatmu tadi.
Iring-iringan pasukan itu seperti kawanan hyena yang menjebak singa. Mereka tidak berbaris dalam satu garis rapi seperti para semut yang mengiringi ratu mereka. Mereka liar, mereka lincah dan tanpa lelah.
Mungkin engkau pikir selamat setelah iring-iringan pasukan itu melaewatimu dengan tak sadar. Tetapi nasib baik tidak berpihak padamu. Selang beberapa waktu, ada sekelompok pasukan lain dengan seragam. Mungkin mereka lebih mahir. Terlihat mereka tidak melewatkan sedikitpun mayat. Mereka menggeledah dan memastikan bahwa mayat-mayat yang mengambang memanglah mayat. Bukan lelaki sekarat yang tiba-tiba menusuk atau membedil mereka tiba-tiba.
Para pasukan berseragam itu mulai menikam, menusuk serta melindas mayat-mayat itu dengan roda rantai. Selebihnya, mereka menyita apapun dari para mayat itu.
Engkau melihat pasukan dengan seragam itu semakin mendekatimu. Engkau mungkin berharap teman-temanmu melakukan perlawanan dari atas bukit. Namun mereka sepertinya juga sudah menggelinding sepertimu. Bahkan mungkin juga sama sepertimu bersembunyi di balik mayat temannya.
Entah berapa kapasitas diafragmamu sehingga engkau sanggup menahan nafas selama itu. Engkau tetap terpejam di dalam lumpur dan menggembungkan pipimu.
Namun engkau malah menyelam melewati bawah tumpukan mayat. Sedikit serong menuju bukit dan menjauhi para pasukan itu. Sembari menyelam tadi, rupanya engkau sempat-sempatnya memasang beberapa ranjau, kemudian melanjutkan menyelam. Setelah mereka berpaling darimu, kepalamu kau keluarkan dan mengambil sedikit nafas.
Sialnya pasukan itu melihatmu, mereka tidak menggerombol, mereka berpencar mendekatimu. Ranjau yang tadi kau sebar mengenai dua orang dari pasukan itu. Namun itu cukup membuat langkah mereka terhenti dan waspada. Engkau lantas berlari berjingkat menuju ke balik bukit. Ternyata para pasukan itu berhenti dan membiarkan benda berkilat yang engkau lihat tadi mengambil alih nasibmu.
Engkau tersenyum dan terus berlari. Tidak seperti malam itu. Saat engkau terpaksa meninggalkan anak istrimu menuju ke negara ini demi mengemban tugas negara. Saat itu engkau hanya tentara comotan dari sebuah desa yang mewajibkan semua laki-laki dewasa ikut melindungi negaranya saat Perang Dunia ini. Bahkan aku tahu engkau tidak pernah memantik senapan.
Dalam pasukan pun, engkau selalu diminta melakukan pekerjaan yang remeh-temeh. Ini karena engkau selalu menawarkan diri untuk melakukan pekerjaan remeh-temeh itu, seperti menjaga gudang makanan, menjaga ibu-ibu pribumi dari pasukan Belanda atau bahkan menjaga menara radio. Semua yang engkau pikir remeh-temeh ternyata malah menjadi poin penting dalam penyerangan. Ketidaktahuanmu menjadikanmu sasaran utamanya.
Walaupun begitu, engkau tersenyum. Engkau yang biasanya lari dan menghindari pertempuran langsung, kini dihadapkan pada kondisi tidak bisa lari lagi. Atau lebih tepatnya engkau yang membuat kondisi ini.
Sebuah tank M4A3 Sherman jarahan dari markas Belanda mendekatimu. Engkau semakin bergegas dan mempercepat gerakanmu menuju ke pinggir rawa dan langsung melapor ke markas. Namun saat engkau menyelam,  helmmu tertembus peluru, beberapa masuk melalui belakang kepala dan keluar melalui pelipis kananmu. Engkau mengambang dan tubuhmu terlentang. Sekali lagi peluru itu menghujanimu. Beberapa menyumpal lubang hidungmu. Beberapa juga mematikan indra penglihatanmu dan yang terakhir tidak menyisakan apapun dari tubuhmu saat meriam itu mehancur lumatkan badanmu.
Sepersekian detik tadi, sebelum peluru itu menembus helm, matamu terlihat berbinar. Engkau memandang mangata di ujung rawa. Di genangan darah yang yang menghitam. Di tepian lembah negara jajahanmu. Di sanalah jalan kemerdekaan untukmu. Walau biar bagaimana Jepangnya dirimu, engkau tetaplah manusia, mendamba perdamaian dan kemerdekaan.
Mungkin kini kemerdekaan itu sudah engkau raih. Engkau berjalan menyusuri mangata, bayangan bulan yang telihat seperti jalan di pantulan darah di atas lumpur yang menggenang.

Share:

0 komentar