Zine Diskusi Kecil 1: Puisi-puisi Thea Arnaiz Lee

Mengenang 

Kopi dan TV

Aku masih ingat betul saat kita duduk di ruang tamu
Di sofa warna hitam yang kau beli pertengahan tahun kemarin
Dan aku sungguh menyukainya
Tapi terkadang lupa kalau kita sudah mempunyai sofa itu,
Sebabnya aku masih selalu saja duduk di lantai
Ketika senja kita duduk-duduk di sofa itu, yang menghadap ke televisi
Lewat itu,
Kau menunjukkan padaku kotak susu warna biru yang bergambar orang hilang,
dan kotak susu warna merah jambu yang menjadi cinta pertama kotak susu warna biru
Kotak susu warna biru begitu menggemaskan, aku sangat sedih ketika kotak susu itu diminum
Saat itu aku masih sangat muda dan bodoh, maka aku menangis
kau bilang tidak apa-apa itu berarti kotak susu warna biru sudah menyelesaikan tugasnya, jadi aku tidak perlu menangis
dan kau menyarankanku agar masih ada kopi dan tv di ruang tamu untuk kita bertemu
Sejak itu aku menyukai cerita kotak susu yang sekarang menjadi malaikat

(Solo, 2016)



Kota Baru
(yang senja)

“R” menatap piringnya
Dia berpikir isi di atas piringnya terkenal
Sedang aku hanya mengangguk tanda setuju
Kata “R” pengalaman menyantap hidangan ini ditemani
Sayup-sayup lagu rakyat dari seberang jalan akan disampaikan pada kawan lain
Jika ditemui kotoran di hidangan yang terkenal ini, dia tidak akan cerita
 Cukup yang membahagiakan saja yang patut dibagi
Aku hanya mengangguk tanda setuju. Dan terus menyantap. Sampai senja. Sampai muntah.

(Solo, 2016)


Pintu


Hujan di atas batu
Suku Indian menabrakkan mobilnya ke batu
Ibu membawaku untuk melihat awan
“Bangun, lihatlah awannya!”
Gelap. Seperti mataku yang melihatnya.
Dari kuda besi ini, aku melewati pantai di mana
Banyak orang menunggu pengobatan
Apa kau pernah melihat Tuhan?
Aku. Berhenti.

(Solo, 2016)


Mengenang
Halaman

Senja, kuingat saat hari itu
Semburat memanjang terlihat dari kaca jendela rumah kami
Saat-saat seperti inilah seakan tak ada bedanya
Kuas pada kanvas coretan seorang maestro tua
Cahaya matahari pun selalu menerobos jendela kami saat pagi
Hangat, berasal dari tubuh kami masing-masing
atau mungkin, dari uap atas secangkir kujumas yang kau bawa
Apapun itu, saat ini aku merasa terselimuti
Hanya radio yang menemani kita jika sudah begini
Kau bilang padaku:
“Di saat, seperti ini kita jadi lebih baik bukan?”
Serasa di atas rumah kita ini surga mengelantung
Tentu, dengan indah kita memikirkannya
Mata kita selalu dipenuhi bintang,
Saat memandang malam di emper
Rumah pasti akan memelukmu jika kau lelah
Dan, juga aku akan ikut saat itu
Kupastikan kau tahu
Antara aku, kau, dan rumah

(Solo, 23 Agustus 2015)





Hati
Tommy

Tommy saat ini sedang patah hati.
Tommy merenung dengan bertopang dagu di meja belajar.
Akhirnya ia memutuskan merekatkan kembali hatinya dengan lem.
Segera saja ia mengambil lem dari laci belajarnya.
Satu-persatu potongan hatinya ia rekatkan hati-hati.
Lama sekali agar potongan hati itu merekat secara rapi.
Walau hasilnya memang masih ada cacat, masih ada celah sempit yang tak sempurna merekat.
Tapi Tommy cukup puas atas hasilnya.
Hingga tengah malam pekerjaan merekatkan hati dengan lem itu dia lakukan, berharap dia akan bahagia.

(Solo, 2015)

Tags:

Share:

0 komentar