Tuesday 28 February 2017

Ke Mana Pembeli Buku Sastra Kita?, oleh Yudhi Herwibowo



Waktu masih menulis buku komedi, seorang kawan penulis buku serius yang baru saya curhati tentang buku komedi saya yang kembali dicetak ulang, bertanya dengan setengah menerawang: apa beda pembaca sastra dan pembaca alay? Sebelum saya menjawab, ia sudah menjawab dengan suara yang pahit: pembaca alay membeli buku!
Walau terkesan bercanda, tapi bila dipikir dalam-dalam, jawaban pertanyaan itu merupakan sindiran yang sangat telak. Walau saya sedikit tak bersepakat tentang sebutannya tentang pembaca alay, namun saya tahu maksudnya lebih cenderung pada pembaca buku-buku ringan yang biasa dipilih anak-anak baru gede. Bagaimana pun, pembaca ini, yang sering dicemooh sebagai alay, lebih ringan hati untuk membeli buku kesukaan mereka.
Sekadar mengingat beberapa waktu yang lalu buku Raditya Dika sudah laku 17.000 eks selama PO. Pengalaman pribadi saya saat masih menulis buku komedi juga menandai hal seperti itu. Novel-novel seperti itu mudah sekali diserap, tak heran bila buku seperti itu mudah sekali dicetak ulang. Tak hanya membeli buku, para pembaca abg itu juga cenderung lebih royal pada penulisnya. Saya banyak menerima hadiah: dari celengan, boneka kecil, dodol sampai surat cinta.
Padahal peluang penulis sastra ada di mana-mana. Koran mem-back-up selama bertahun-tahun. Acara-acara sastra selalu dibuat pleh komunitas-komunitas. Review pun seperti tak henti dilakukan. Bahkan belakangan ini, situs-situs di internet juga mulai membuat postingan-postingan untuk memilih buku-buku yang ter... blablabla... Walau sebagian masih bersifat memilih buku-buku kawan sendiri, tapi setidaknya ini merupakan upaya promo yang cukup gencar.
Satu lagi, setahun lalu dalam daftar penulis yang akan diterjemahkan bukunya dalam Franfurt Book Fair, banyak nama penulis sastra yang terlihat. Asal tahu, mereka menepikan beberapa penulis yang sebenarnya jelas lebih memiliki pembaca. Panitia tetap memihak sastra yang dinilai lebih tinggi derajatnya dari buku lain. Tapi rupanya, walau dengan segala upaya itu, tetap saja tak membuat buku-buku sastra terjual dengan baik.
Satu yang lebih mengenaskan lagi adalah: sekarang penerbit seperti tak malu-malu lagi mengoibral buku-buku sastra dalam waktu yang relatif singkat. Buku kumcer pilihan salah satu majalah terkemuka di negeri bahkan sudah diobral dalam 1,5 tahun setelah dirilis, dengan harga 20.000 rupiah. Lalu beberapa buku milik penulis ternama juga diobral 10.000-an.
Rasanya di satu sisi kita tercengang melihat buku-buku tertentu dicetak ulang sedemikian mudah. Di satu sisi lain, kita menahan napas melihat buku yang dicetak sekali pun tak jua habis. Memang ada beberapa buku sastra yang dicetak ulang, tapi jumlahnya tidaklah banyak. Itu pun cenderung pada beberapa penulis yang telah memiliki nama besar, bukan penulis kebanyakan.
Dalam ranah yang lebih kecil, penerbitan indie, yang biasa diterbitkan oleh penulisnya sendiri juga mengalami hal yang tak jauh berbeda. Dengan menerbitkan 100-300 eksemplar saja, angka itu terasa cukup berat. Padahal berapa banyak kawan yang kita miliki? Berapa kawan di sosial media kita? Saya beberapa kali membantu mencetak beberapa buku milik kawan-kawan saya, sekaligus membantu promosinya. Saat kawan saya itu memposting buku barunya, ia mendapat puluhan ucapan selamat dan pujian. Tapi sungguh, itu sekadar ucapan selamat dan pujian saja. Tak ada satu pun yang bergerak membelinya. Sedih sekali melihat keadaan seperti ini. Orang-orang masih saja berpikir bila kawan mereka membuat buku itu sekadar bentuk aktualisasi diri. Padahal saya tahu sekali, banyak di antara kawan-kawan penulis yang memang sudah memosisikan berjualan buku untuk mendapatkan sedikit keuntungan.
Di saat seperti ini, dalam diskusi-diskusi masih banyak juga kawan-kawan sastra yang memprotes toko buku yang katanya tak banyak menyediakan buku-buku bermutu. Bila saya ada di situ, biasanya akan saya balik statement kawan saya itu dengan bertanya pada mereka; berapa banyak dia membeli buku bermutu selama seminggu? Atau selama sebulan? Atau, ia ternyata hanya menunggu buku-buku yang diobral 5000-an saja?
Dari sini kita kemudian sadar dan mulai bertanya-tanya sebenarnya ke mana pembaca sastra kita?
Saya kemudian memcoba memetakan pembaca sastra. Walau secara analisa pembaca sastra adalah yang tercair di antara semua genre, tapi nyatanya keadaan yang terlalu cair juga sesuatu yang tak baik-baik saja.
Buku arsitek akan diserap mahasiswa arsitek dan para arsitek. Buku ekonomi akan diserap mahasiswa ekonomi dan para ekonom. Buku hukum juga begitu. Buku kedokteran sami mawon. Buku sastra seharusnya bisa lebih luas. Arsitek, ahli hukum ekonom, dan dokter banyak yang menyukai sastra di samping bidang mereka sendiri. Seharusnya ini menjadi nilai plus bagi pembaca sastra. Sayangnya dari mendengar cerita kawan-kawan lain, di mana perpustakaan-perpustakaan di jurusan sastra jauh dari kata update buku sastra terbaru, saya kemudian seperti bisa menyimpulkan keadaan ini: selama ini pembaca sastra memang seperti telah kehilangan mahasiswa sastra dan pengajar-pengajar ataupun dosen dari sastra sebagai lumbung besar pembaca sastra. Tempat mereka telah menjadi lubang besar yang nyaris kosong. Jadi kita tak bisa lagi berharap pembaca di sini.
Dari pemetaan pembaca lainnya, kita mendapatkan kemungkinan terbesar pembaca lainnya: penulis sastra, orang-orang yang terlibat di dunia sastra (semacam editor, proof reader, dll), dan penyuka sastra.
Penulis sastra tentu menjadi lingkaran yang perlu diperhitungkan. Karena penulis adalah pembaca. Lihat saya betapa ramainya koran-koran minggu dengan rubrik sastra. Setiap redaktur selalu bercerita mereka menerima puluhan email setiap harinya, bayangkan bila itu dikalikan dengan jumlah surat kabar dari Sabang sampai Merauke.
Tapi rupanya itu pun tak bisa terlau diharapkan. Penulis ternyata tak selalu menjadi pembaca yang baik. Sebagian bahkan sudah merasa cukup dengan membaca online saja.
Padahal sering kali saya mengatakan kalau kondisi seperti itu adalah cara membunuh diri secara pelan-pelan. Kealpaan membeli buku akan berefek pada diri penulis. Sebagai gambaran: sebagian penerbit kita adalah follower. Toko buku juga bisa dikatakan begitu. Pernah satu kali, saat sebuah penerbit secara tiba-tiba menerbitkan dua buku puisi dari penyair yang cukup ternama dan mendistribusikannya secara besar-besaran di seluruh gerai Gramedia. Kala itu saya pernah berujar: bila buku puisi ini habis di toko ini saja, dan 2-3 titik lainnya, sehingga bisa menimbulkan repeat order, saya yakin dalam 6 bulan ke depan buku-buku puisi akan membanjir semua gerai Gramedia. Asal tahu, semua penerbit besar di negeri ini memiliki checker sendiri di setiap toko. Buku yang laku sedikit saja, akan dengan mudah terlacak dan diikuti. Tapi ternyatanya, buku-buku itu tak laku. Penerbit yang sedang mencoba-coba itu ternyata tak lagi menerbitkan puisi. Malangnya.
Untuk lingaran: orang-orang yang terlibat di dunia sastra (semacam editor, proof reader, dll), tak bisa dibahas terlalu banyak. Walau saya mengenal banyak kawan yang terjun di bidang ini karena menyintai sastra, namun tak kalah banyak yang hanya sekadar bekerja saja. Sehingga mereka merasa tak perlu membeli buku.
Harapan terakhir rupanya ada pada pecinta sastra. Untuk lingkaran ini Jumlahnya tak bisa cukup teraba. Mereka bisanya tak hanya menyukai sastra, tapi memiliki genre kesukaan lainnya: seperti sejarah, fantasi, dan lain-lain. Walau tak selalu mengedepankan sastra, namun saya rasa dari merekalah kita bisa sedikit bernapas lega.
Era saat ini memang terasa lebih berat. Keadaan lebih mengenaskan di mana buku-buku sastra semakin terbanting lagi dengan buku-buku Wattpad. Saya sudah mencoba mengunduh aplikasi ini dan melihat beberapa di antaranya. Percayalah, beberapa masih kagok dalam EYD, tapi nyatanya, buku-buku yang ditandai dengan: ‘Telah dibaca sekian juta pembaca Wattpad...’, ternyata telah berhasil membuat gelombang tren sendiri.
Apakah ini merupakan gambaran suram? Tentu di dunia perbukuan gejolak ini belum tentu menjadi gambaran yang suram. Tapi di sastra, tampaknya ini masih jadi tabir kelam di masa-masa mendatang. ||

Buku, Buku, Buku, oleh Dion Yulianto



Tahun 2016 adalah tahun yang menyenangkan buat para pembaca dan penimbun (baca kolektor) buku, tapi mungkin jadi tahun yang agar miris bagi penerbit buku. Selama setahun kemarin, kita dimanjakan dengan begitu banyaknya obralan buku, bukan sekadar pameran buku. Ini adalah kesempatan untuk membeli buku dalam jumlah banyak dengan harga murah. Pecinta buku mana juga yang tidak tergiur? Senang di satu sisi, tapi miris di sisi lain. Fenomena banyaknya buku bagus yang diobral seperti menunjukkan bahwa pihak penerbit sampai harus mengobral buku-buku bagus karena sepinya penjualan di toko buku konvensional. Tentang apakah fenomena ini positif atau negatif bagi dunia perbukuan di tanah air, kita tunggu saja bahasan para pakar yang lebih piawai. 
Dalam tulisan ini, saya hendak memaparkan 10 buku yang harusnya berumur panjang dan seharusnya dibaca lebih banyak orang. Buku-buku berikut ini saya pilih bukan karena larisnya atau sedang tiba-tiba hits gara-gara ada versi filmnya. Sepuluh buku berikut saya pilih karena telah membawakan pengalaman membaca yang baru kepada saya. Beberapa buku di dalamnya turut mengubah saya menjadi lebih positif, lebih berpikiran terbuka, juga lebih bisa memandang segala hal tidak dari sudut pandang kita saja. Buku-buku mengubah dunia lewat perubahan yang mereka buat pada pembacanya.
100 Tahun Kesunyian (Gabriel Garcia Marques)
Novel ini saya akui memang luar biasa. Bukan karena tebalnya yang lebih dari 500 halaman dengan font padat dan rapat serta paragraf yang bisa satu halaman panjangnya. Bukan pula karena pohon keluarga Jose Arcadio Buendia dan Ursula Iguaran yang begitu panjang dengan penggunaan nama-nama yang berulang. Ada sesuatu yang sangat spesial dari novel ini, memusingkan dan ruwet, tapi membacanya seperti menemukan pesona luar biasa dari kepiawaian sang penulis dalam meramu cerita. Inilah buku absurd pertama yang saya baca. Ada keindahan aneh dalam buku ini yang mungkin baru bisa benar-benar dirasakan ketika kita sudah selesai membacanya. Membaca novel ini ibarat mencicip makanan eksotis yang baru akan terasa lezatnya setelah kita berani mencecapnya.

Berkelana dalam Rimba (Mochtar Lubis)
Jauh sebelum saya mengenal Lima Sekawan dan Trio Detektif atau petualangan ala Indiana Jones, bahkan Harry Potter; buku klasik karangan sastrawan kenamaan negeri ini sudah membuat saya jatuh hati. Pertama kali dibaca saat SD atau SMP, saya lupa. Berkelana dalam Rimba memadukan antara unsur petualangan, pelajaran moral, tanggung jawab, dan isu-isu lingkungan. Kisah anak-anak remaja bersama seorang dewasa (Paman Raokhtam) yang melakukan perjalanan menembus Rimba Gunung Hitam di Bukit Barisan, yang menjulang rapat di tengah pulau Sumatra ini begitu memukau. Sungguh merupakan impian para petualang untuk bisa menembus hutan primer Sumatra yang masih asli dan bertabir misteri seraya belajar tentang flora dan fauna endemic yang melimpah di dalamnya. Dan, buku ini menjadi buku yang sangat tepat untuk mulai memunculkan kegemaran berpetualang di alam bebas dan juga untuk mengenalkan anak pada isu-isu kelestarian lingkungan.

Bagaimana Mencari Kawan dan Mempengaruhi Orang Lain (Dale Carnegie)
Dale Carnegie telah menyelamatkan kehidupan sosial saya. Lewat buku berjudul cukup panjang ini, beliau membedah dan menyodorkan fakta-fakta terkait hubungan personal. Salah satunya yang masih saya ingat adalah “setiap orang ingin disapa duluan.” Egoisme dalam diri kitalah yang membuat kita enggan menyapa orang lain. Kita inginnya orang lain yang menyapa kita karena ini menjadi tanda bahwa orang lainlah yang butuh bicara dengan kita, bukan sebaliknya. Dan, hal ini ternyata keliru menurut Carnegie.  Bagi Carnegie, orang-orang yang mau mengambil inisiatif dan berbesar hati untuk menyapa orang lain terlebih dahulu adalah orang-orang yang berjiwa besar.
Memulai pembicaraan bukanlah tanda kerendahan, melainkan tanda kemuliaan karakter seseorang. Kita tahu setiap orang ingin disapa duluan. Kita tahu rahasia ini. Maka, orang yang menyapa duluan-lah sebenarnya yang lebih tinggi nilainya. Masih banyak lagi hal yang saya dapatkan dalam buku ini, tentang debat yang lebih sering mendatangkan rasa puas diri alih-alih kebenaran, tentang cara-cara untuk bisa “dianggap hangat” di berbagai lingkungan, tentang dorongan untuk selalu menjalin persahabatan dengan orang-orang baru. Belajar mendengarkan, itu juga pelajaran paling utama dalam buku ini. Masih banyak lagi hal-hal terkait relasi antar-insan yang terjabarkan dengan begitu ramahnya dalam buku ini.


Seri Kariage Kun (Masashi Ueda)
Apa yang membuat Kariage Kun begitu berkesan dibanding Doraemon atau Dragon Ball yang sudah saya baca duluan? Jawabannya adalah realitas dan simplisitasnya. Ketiga komik manga itu sama-sama memberikan sarana pengalihan dari dunia nyata, sarana untuk “pergi” sejenak dari hidup yang penuh tugas dan penelitian, Bedanya, jika Doraemon dan Dragon Ball memberikan alam pengalihan di fiktif adanya, maka Kariage Kun  memberikan alam pengalihan yang real. Seri komik karya Masashi Ueda (tokoh yang sama dengan komikus pembuat Kobo Chan) menggambarkan berbagai kelucuan yang dialami oleh seorang pegawai kantoran bernama Kariage. Si Kariage ini tipikal pemuda urban namun ia menjalani kehidupan dengan apa-adanya, santai, tidak ngoyo, lengkap dengan segala keisengannya. Membacanya, kita akan menemukan cerminan kehidupan sehari-hari, juga berbagai canda dan tawa yang sering kali tidak kita sadari.

Tuhan Tidak Makan Ikan (Gunawan Tri Atmodjo)
Tidak selamanya sastra muncul dalam bentuknya yang melulu berat, dipenuhi deretan kata-kata tinggi namun awam asing mendengarnya. Sastra juga tidak lagi wajib mendayu-dayu dengan bahasa berbunga-bunga ala karya angkatan Balai Pustaka. Pun, sastra bukanlah buku agama yang semata berisi petuah-petuah kebajikan. Tiga mitos sastra dari Seno Gumira Ajidarma di atas kiranya tepat disematkan untuk buku kumpulan cerpen karya Gunawan Tri Atmodjo ini. Sebagaimana dijelaskan Seno, sastra ditulis oleh manusia dan ditujukan oleh manusia, kepada awamlah sastra dituliskan, sehingga sastra sendiri seharusnya tidak boleh menjauh dari kemanusiaan itu sendiri.
Manusia, seperti aneka cerita di kumcer ini, kadang serius, kadang berani, sering suram, tidak jarang penuh sukacita. Gunawan dengan caranya yang khas telah menghadirkan sastra yang manusiawi di buku ini. Salah satunya, kisah-kisah yang membuat kita tertawa sebagai manusia dan menertawakan diri kita sebagai manusia. Buku ini dengan segala kenyentrikkannya menawarkan cara baru untuk menikmati sastra. Jika ingin baca buku sastra yang beda, kumpulan cerpen karya Gunawan ini bisa dicoba baca.

Rahasia Meede, Misteri Harta Karun VOC (ES Ito)
Penerus Pram, demikian Fadjroel Rachman menggelari ES Ito sebagai pengarang buku ini. Dalam hal menyindir dan menyentil hati pembaca Indonesia, gaya penulis memang agak mirip dengan gaya Pram, hanya saja dalam konteks yang lebih kekinian. Membaca novel ini, tidak bisa tidak, pembaca akan teringat dengan Dan Brown saat mengarang Da Vinci Code, meskipun novel ini jauh lebih detail dan kaya akan informasi sejarah. Salut sekali saya dengan kepiawaian penulis dalam meramu unsur-unsur sejarah, kemudian menyajikannya dalam sebuah prosa yang tidak hanya sastrawi, namun juga informatif dan sangat seru. Aneka kejadian, konspirasi, dan narasi bergerak cepat, saling susul-menyusul sehingga pembaca seolah diajak adu balap dalam ceritanya. Belum lagi aneka informasi sejarah tentang masa lampau Hindia Belanda, VOC, hingga akhirnya ke masa-masa perjuangan kemerdekaan RI. Semuanya dirangkum dan dituliskan dalam lajur-lajur tulisan yang padat tetapi tetap enak dinikmati. Kita butuh lebih banyak novel trhiller yang mengangkat setting dan sejarah lokal seperti di novel ini.
Dari Kota Tua (Jakarta), pembaca akan diajak berjalan-jalan ke pedalaman Nias dan Sumatra, berpesiar naik perahu pinisi ke Makassar, menikmati aroma rempah di Maluku, melompat ke dinginnya Brussel dan Belanda, lalu kembali lagi ke kepadatan Jakarta. Mengobrak-abrik Menteng, menyelusup ke Istana Merdeka, menerobos jauh ke dasar Monumen Nasional, berputar-putar di Pulau Onrust, lalu masuk ke dalam sebuah kelas nan bersahaja di pelosok Sumatra. Semuanya digambarkan dengan begitu detail dan narasi yang tajam, tidak berboros kata tetapi benar-benar sangat menusuk rasa ke-Indonesiaan kita. Gelontoran fakta sejarah juga tak habis-habisnya diobral si penulis. Kita diajak berkenalan dengan JP Coen yang ternyata dulunya adalah seorang akuntan, dengan tokoh-tokoh besar seperti Muhammad Hatta dan M Gandhi, ikut masuk dan mempelajari kantor wartawan, dan merasakan bagaimana kerja seorang intelijen negara. Luar biasa! Penulis pasti melakukan riset yang tidak main-main saat mengarap buku ini.

Aurora di Langit Alengka (Agus Andoko)
Jika ada sebuah cara yang begitu menyenangkan untuk kita bisa belajar tentang dunia wayang, maka membaca buku ini adalah salah satunya.  Dari segi cerita, Aurora di Langit Alengka memadukan antara kisah fantasi dengan dunia perwayangan. Penggabungan yang sangat berani antara cerita fantasi dan dunia Ramayana yang begitu apik, dengan beragam pengetahuan lokal tentang makanan, obat-obatan, tradisi, serta kekayaan alam Nusantara. Aurora di Langit Alengka adalah sebuah buku tebal yang sarat akan isi. Pembaca akan mendapatkan tiga hal sekaligus dengan membaca buku ini: penghiburan lewat kisahnya yang seru, pengetahuan tentang dunia wayang dan Ramayana, serta khazanah kekayaan lokal, terutama bangsa Jawa. Sebuah buku yang patut diapresiasi, tidak heran jika bahkan Dalang Ki Manteb Soedharsono pun ikut memberikan dukungan bagi penulisan novel ini.
Saya belajar banyak sekali tentang tokoh-tokoh Ramayana dari buku ini walaupun belum membaca versi yang asli. Siapa orang tua Sinta, tentang gugurnya Kumbakarna, tentang berbagai senjata milik pada tokoh pewayangan, tentang Jatayu, Hanoman, dan Sugriwa, mengapa Rama dan Sinta dibuang ke Dandaka, asal-usul Rahwana, juga tentang garis besar dari pertempuran dalam Ramayana yang sangat epik itu. Sebagai tambahan, penulis juga menyisipkan berbagai pengetahuan lokal yang begitu berlimpah dalam buku ini. Tentang beragam jenis makanan dan obat-obatan, tentang kebiasaan dan kehidupan orang-orang zaman dulu, tentang adat-istiadat di negeri-negeri jauh, juga tentang sikap-sikap luhur yang dulu  pernah begitu dijunjung tinggi oleh para leluhur. Ini benar-benar sebuah buku fantasi karya anak negeri yang digarap dengan sangat kreatif dan berbobot.

Old Shatterhand, the Wild West Journey (Karl May)
Kalau ada seorang pengarang fiksi petualangan yang karyanya begitu digemari dan memiliki kesan mendalam di benak para tokoh besar dunia, maka Karl May tidak diragukan lagi adalah salah satunya. Tidak kurang dari tokoh-tokoh besar sekaliber Einstein, Herman Hesse, bahkan Hitler begitu terpesona dengan kisah petualangan ala padang prairi karyanya. Tulisan Karl May begitu khas. Sosok protagonisnya sedikit banyak menggambarkan sosok si penulis. Ini belum ditambah dengan jalinan cerita yang memikat, yang “sangat petualang”, dan detailnya memesona. Keistimewaan ini semakin sempurna karena fakta bahwa Karl May belum pernah mengunjungi Wild West atau kawasan liar di barat dataran Amerika Serikat ketika ia menulis seri Winnetou, Kepala Suku Apache ini. Belum lagi karakter-karakternya yang sangat “Wild West”. Semua tokoh dalam seri ini begitu khas, dengan ciri uniknya masing-masing, sangat tak terlupakan. Juga cara bicara mereka, gaya kesehariannya; pembaca pasti tidak akan kesulitan untuk membedakannya. Lebih sulit lagi yang dulu pernah membacanya untuk tidak terkenang dengan salah satu buku petualangan paling legendaris di dunia ini.

What I Talk About When I Talk About Running (Haruki Murakami)
Tantangan terbesar seorang penulis sebenarnya bukan pada bagaimana menulis buku yang bagus, namun untuk menyelesaikan menulis sebuah buku itu sendiri. Murakami dengan kerennya mampu memadukan dua hal yang tampak berbeda jauh  ini: menulis dan berlari. Seperti dalam perlombaan marathon, mereka yang sampai ke garis finish adalah para juara. Jadi yang pertama atau terakhir sampai tidaklah terlalu masalah, karena berhasil menyelesaikan lari sejauh 42 km lebih sedikit itu sudah menjadi pencapaian yang mengagumkan. Begitu pula penulis, hari ketika dia selesai menuliskan kata terakhir pada naskahnya adalah hari yang sangat melegakan, seperti melepaskan satu beban berat yang menggantung di punggung selama berbulan-bulan. Menulis adalah sebuah proses yang panjang, butuh ketahanan khusus, sebagaimana lari marathon juga demikian. Hanya ada dua pilihan dalam kedua bidang ini: menang melawan keterbatasan dalam diri atau kalah.
Dari buku memoar yang ditulis dengan sedemikian mengalir ini, kita bisa sedikit tahu tentang apa yang menjadikan Haruki Murakami menjadi Haruki Murakami yang sekarang. Jelas bahwa salah satunya adalah olah raga berlari. Sebuah memoar singkat namun padat ini tidak hanya mengajarkan kita untuk tetap bertahan berlari demi mengejar mimpi, namun juga tentang beragam hal remeh namun penting lainnya dalam kehidupan. Dengan gayanya yang khas--mengelitik, jujur, agak satiris--Murakami menghidangkan kepada kita sebuah cerita nyatanya yang tetap enak dinikmati sebagaimana novel-novelnya. Sangat direkomendasikan untuk calon penulis, penulis pemula, atau siapa saja yang butuh sedikit dorongan untuk tetap berlari mengejar mimpinya. Satu hal lagi yang diajarkan Murakami lewat buku ini: Tidak selalu perlu menjadi yang pertama, kadang melakukan sampai selesai dan menerima kekurangan kita adalah syarat menjadi bahagia.

Bilang Begini Maksudnya Begitu (Sapardi Djoko Damono)
Masih sangat sedikit di negeri ini buku-buku tentang apresiasi sastra. Lebih sedikit lagi buku apresiasi sastra yang mengulas tentang puisi. Kalaupun ada beberapa, kebanyakan ditulis untuk tujuan akademis dengan pembahasan yang cenderung kaku, formal, dan beraroma diktat kuliah. Kita membutuhkan lebih banyak buku-buku sastra yang terbaca oleh masyarakat awam agar semakin banyak yang melek sastra. Bukankah sastra menjadi salah satu pertanda kemajuan peradaban bersama pencapaian-pencapaian sains dan kemanusiaan? Kembali pada buku-buku puisi—yang sudah jumlahnya sedikit, kalah pula dari segi popularitas bila dibanding dua saudara kandungnya: cerpen dan novel—kita membutuhkan lebih banyak buku-buku puisi dan apresiasi puisi seperti buku  Bilang Begini Maksudnya Begitu yang merakyat ini.  Seorang penulis berpengalaman tercermin pada karya-karyanya. Membaca buku ini, kita akan membuktikan sendiri kepiawaian Sapardi dalam mendedahkan beragam hal terkait ilmu puisi dan cara mengapresiasinya. Pembahasannya simple, dapat dipahami bahkan oleh pembaca yang jarang membaca puisi seperti saya. Kemudian, menyeret kami untuk lebih mencintai dan mau menikmati lebih banyak puisi. ||


Gosip, Sastrawan, dan Keluarga, oleh Istichomatul Chosanah



Saya masih ingat! Lima tahun yang lalu, 2012, seorang teman bercerita lewat telepon. Ia membawa kabar dari Candi Borobudur yang kala itu sedang menjadi tempat penyelenggaraan pementasan puisi oleh Forum Penyair Internasional-Indonesia (FPII). Ia hadir di sana lantaran diajak gurunya. Konon, penyair-penyair andal tumpah ruah. Pembacaan puisi berlangsung di malam hari. Selebihnya, jalan-jalan dan diskusi. Begitu seterusnya selama tiga hari. Teman saya bilang, ia teramat senang sebab bertemu banyak sastrawan. Ia tidur sekamar dengan ... . Bersebelahan dengan kamar ... bersama kekasihnya. Ah, untung dia tidak tidur dengan kekasih ....
Teman melanjutkan cerita. Bulan-bulan berikutnya, ia bertemu Selendang Sulaiman, penyair penggarap buku Hymne Asmaraloka, di sebuah warung kopi. Selendang duduk membaca buku terbitan FPII. Ia tampak nikmat. Teman tergesa bertanya, sebab dulu ia tak menjumpai S turut serta dalam acara FPII. Ternyata, Selendang mendapat buku itu dari kekasihnya, .... Teman kaget. Ia ingat perempuan itu yang saat di FPII bersama .... S menjawab: “Setelah sama ..., dia sama saya. .... itu tidak jelas. Janji mau dinikahi, tapi tak lekas.”
“Oh begitu?” jawab teman.
Saya bergairah. Orbolan sastra jadi mirip obrolan gosip. Saya memperbaiki posisi speaker ponsel sembari bersemangat mendengarkan. Agar lebih enak. “Terus-terus!” Teman bercerita kembali. Ia dan S mengobrol ngalor-ngidul tentang sastrawan, karya, teman, kesibukan, dan sebagainya. Banyak dan lama. Selendang cerita kalau ia sedang proses nggarap skripsi tentang puisi R. Selain karya yang banyak, ia juga punya wanita di mana-mana. Maklum, penggemarnya banyak, dan tidak dipungkiri, orangnya bagus. Teman menutup pembicaraan tema itu.
Ingatan menyapa ingatan yang lain. Pada 2013, stasiun televisi dan surat kabar gencar mengabarkan SS yang dilaporkan ke polisi. SS dituduh melakukan tindakan tidak menyenangkan, asusila. Meski tidak sedikit kabar yang menyebut, itu dilakukan atas dasar suka sama suka. Terlepas dari suka atau terpaksa. Harus kita sadari bahwa Sitok-lah yang telah berbuat. Sementara, saat itu ia memiliki istri dan anak. Dengan begitu, bisa saya katakan SS tidak setia.
Dari situ perasaan heran saya mencuat. Mereka yang saya ceritakan adalah sastrawan besar. Namanya sudah dikenal banyak orang. Karyanya banyak diapresiasi, mendapat penghargaan, dan menjadi percontohan. Akan tetapi, kisah pribadi mereka aneh. Suka bercinta, tak suka berumah tangga.
Misalnya saja, sastrawan sekelas R. Namanya tidak diragukan dan semua orang mafhum. Begitu pula karyanya. Ternyata punya wanita di mana-mana. Di samping sudah berganti istri sebanyak tiga kali. Sitok tidak berganti-ganti istri. Tapi tidak setia. ... memutuskan berpisah dengan istrinya, dan belum ada kabar menikah lagi. Meski sempat menjalin hubungan dengan .... Artinya, sekarang dia “sendiri”. Ayu Utami yang konon berkomitmen tidak hendak menikah, akhirnya menikah di usia yang tak lagi muda. Lebih aneh lagi Teguh Karya. Ia bergelut di bidang teater dan banyak meraih penghargaan. Akan tetapi, ia lebih memilih hidup lajang hingga akhir hidupnya.
Bagi sebagian orang apresiasi karya tidak boleh dicampuradukkan dengan urusan pribadi pencipta. Tapi bagaimana mungkin, kekaguman saya pada karya lantas tidak berlanjut pada penciptanya. Tentu sebagai pembaca, kita akan mencari tahu atau sekadar membaca biografi. Dan yang saya temukan adalah kejanggalan dalam asmara dan keluarga. Terus terang saya bersedih. Karir sastrawan-sastrawan besar itu gemilang. Karyanya monumental. Terhadap karya-karya tersebut saya sering berdecak kagum. Sayang, ada sisi lain yang harus cacat di samping kepengarangan yang hebat.
Saya sempat menaruh curiga pada kegiatan bersastra. Tak dielakkan memang dalam bersastra ada proses kontemplasi. Proses yang egois. Ada rutinitas membaca dan menulis. Mungkin saja, ketekunan membaca dan menulis ini yang mengganggu stabilitas rumah tangga. Sebab, ritual tersebut menjadi hal yang tidak bisa diganggu gugat. Seperti pengakuan Teguh Karya. Ia mengatakan bahwa di dalam dirinya ada ‘kamar-kamar’ untuk kreatifitas, negara, teman, dan lain-lain. Dan ‘kamar’ rumah tangga setiap orang punya urutan yang berbeda.
Sebuah lagu tentang keluarga yang populer tahun 1990-an. Begini liriknya: Harta yang paling berharga adalah keluarga/ Istana yang paling indah adalah keluarga/ Puisi yang paling bermakna adalah keluarga/ Mutiara tiada tara adalah keluarga. Dalam lirik lagu berjudul Keluarga Cemara tersebut menunjukkan kalau keluarga tinggi derajatnya. Ia digambarkan sebagai harta yang tidak ternilai. Bangunan yang melebihi keindahan yang sanggup dibayangkan. Bahkan keluarga adalah makna terdalam dari segala dalam-dalam puisi. 
Begitu tak terhingga harga dari keluarga. Lalu, ada apa gerangan dari banyak sastrawan memperlihatkan posisi keluarga menjadi sesuatu yang tidak lagi sakral? Pembagian waktu dan skala prioritas antara bersastra dan keluarga agaknya sudah tidak diperhitungkan. “Kamar” keluarga tidak berada dalam urutan depan. Tentu saya terheran-heran dengan dengan cara berpikir para sastrawan. Atau, barangkali kemampuan pikir saya yang memang “tidak sampai” menjangkau pola pikir mereka. Keluarga hanya kebutuhan sekunder sehingga tidak perlu susah-susah mengeluarkan tenaga untuk berupaya dan menseriusinya.
Jika boleh berandai, dalam dua, tiga, empat, atau bahkan lima tahun ke depan, saya mencita-citakan sebuah keluarga kecil. Punya tempat berbagi suka dan duka. Kelak punya anak. Cucu untuk ayah ibu. Rumah yang mungkin sederhana saja, berpekarangan. Kecil tak apa. Oh, alangkah indahnya! Saya pembaca, manusia biasa. Kodratnya punya rasa seandainya dan mimpi berkeluarga. Tapi, sastrawan juga manusia. Kenapa seperti tak terlihat punya target kehidupan masa depan tentang keluarga? Sastrawan-sastrawan di Indoesia maupun mancanegara, banyak yang memiliki riwayat keluarga yang kurang sempurna. Tidak semua, tapi banyak. Sukses berkarya, tapi gagal berkeluarga. Ah! ||