#bincangsastra Solopos FM 26 Februari 2017: Mochtar Lubis, Kemanusiaan Dalam Sastra, oleh Yunanto Sutyastomo



Mochtar Lubis termangu mendengar ada sesuatu yang terjadi di Jakarta saat dirinya masih di penjara pada tahun 1965, selama sembilan tahun lamanya Mochtar Lubis dipenjara oleh pemerintahan Soekarno, konsekuensi yang harus dia terima ketika kritiknya pada pemerintah lewat Koran Indonesia Raya menjadikan Soekarno marah. Mochtar Lubis memang dikenal sebagai orang yang kritis terhadap jalanannya pemerintahan baik jaman Soekarno mau pun Soeharto, termasuk juga karya – karya novelnya waktu itu mencoba untuk kritis terhadap kondisi masyarakat yang ada.
Peristiwa 1965 yang didengarnya dari penjara seolah memberi harapan pada dirinya dan bangsa Indonesia akan perubahan yang lebih baik, harapan itu sempat muncul selama beberapa tahun kemunculan Orde Baru, tapi sejak peristiwa Malari di tahun 1974 seakan menjadi tanda bahwa situasi yang lebih buruk akan terjadi, lebih buruk dibandingkan era Soekarno, dan dugaan itu menjadi kenyataan, sebuah kekuasaan yang diktator terjadi di Indonesia selama puluhan tahun. Kekuasaan yang korup itulah yang kemudian  muncul dalam novelnya Mochtar Lubis berjudul Senja di Jakarta, Mochtar Lubis memahami sebuah kekuasaan yang korup lewat karya sastranya, dan juga sebagai wartawan dirinya mengetahui detail korupsi yang terjadi dari era Soekarno ke era Soeharto. Di pertengahan 70-an Mochtar Lubis mencoba menganalisa tentang kehidupan masyarakat di Indonesi, maka muncullah buku yang berjudul Manusia Indonesia yang berisi tentang watak – watak  orang Indonesia, yang menurut Mochtar Lubis tidak akan membuat Indonesia lebih baik, rasanya watak – watak itu masih ada sekarang ini.
Watak manusia Indonesia itu juga yang terlihat dalam dua novel legendarisnya, Tak Ada Esok, dan Jalan Tidak Ada Ujung, dua novel yang bercerita tentang watak yang hipokrit masyarakat Indonesia yang berubah di jaman revolusi kemerdekaan. Mochtar Lubis menjadi orang Indonesia pertama yang meraih hadiah Ramon Mangsaysay, Mochtar Lubis meraihnya di tahun 1958, ketika usianya masih 36 tahun.  Semangat untuk berjuang pada kemanusiaan yang membuat Mochtar Lubis tidak hanya aktif pada satu bidang saja, selain sebagai wartawan, sastrawan, dirinya juga dikenal sebagai pejuang HAM, jauh sebelum isu HAM mengemuka di Indonesia. Itu juga tergambar dalam novel – novelnya, sisi kemanusiaan selalu hadir dalam napas karyanya.
Selain Tak Ada Esok, Jalan  Tak Ada Ujung, Senja di Jakarta, ada beberapa karya Mochtar Lubis yang pantas untuk diapresiasi, salah satunya Harimau Harimau yang bercerita tentang keberanian manusia, novel ini memiliki latar kehidupan di hutan Sumatra, yang merupakan tempat masa kecil Mochtar Lubis. Keberanian yang ditampilkan pada sosok – sosok manusia yang mencoba melawan ganasnya hidup di hutan Sumatra.
Kegiatan Mochtar Lubis yang lain adalah mengelola majalah Horison (kini sudah tiada), bersama PK Ojong, Zaini, Arief Budiman, Taufiq Ismail mendirikan majalah Horison di tahun 1966, tahun awal pergantian kekuasaan politik. Selama puluhan tahun Mochtar Lubis mengelola Horison, bahkan sampai meninggal dunia di tahun 2004 masih sempat terlibat di Horison. Lewat Horison pula Mochtar Lubis menulis tentang catatan kebudayaan, kolom yang dia asuh menjadi sebuah catatan penting tentang kehidupan manusia, catatan ini kemudian dibukukan dengan judul Budaya, Masyarakat dan Manusia Indonesia. Mungkin saat ini kita akan kesulitan menemukan sosok seperti Mochtar Lubis, seorang yang konsisten dengan nilai – nilai yang dia yakini tidak hanya dalam kehidupan pribadinya, tapi juga lewat karya sastranya, bagi Mochtar Lubis sastra bukan semata karya fiksi, tapi bagian dari kehidupan yang mempengaruhi masyarakat.
Perjalanan Mochtar Lubis di dunia sastra memang tidak selamanya menyenangkan, di tahun 1995 dirinya menentang penghargaan Ramon Mangsaysay untuk sastrawan Pramoedya Ananta Toer, sebuah persoalan yang berakar puluhan tahun antara mereka terjadi di tahun 1960-an, dan muncul kembali saat Pram dapat penghargaan Mangsaysay. Persoalan ini tidak menghapus peran Mochtar Lubis bersama beberapa penulis/wartawan yang dating ke Pulau Buru di awal 1970-an, bersama dengan Rosihan Anwar dan kawan yang lain mereka meminta pemerintah lewat Pangkpokamtib Jenderal Soemitro untuk memberikan mesin tik pada Pram.  

Ditulis ; 26 Januari 2017 di Balai Soedjatmoko

Tags:

Share:

0 komentar