#bincangsastra Solopos FM 26 Februari 2017: Mochtar Lubis, Jejak Karya dan Perjuangannya, oleh Astuti Parengkuh



Karut-marut soal Freeport yang akhir-akhir ini merebak adalah perjalanan sejarah yang panjang. Tercatat seorang Mochtar Lubis, pemimpin redaksi koran Indonesia Raya menuliskannya dalam sebuah berita kecil di zaman orde baru tentang Menteri Pertambangan Prof. Soemantri Brodjonegoro yang berkunjung ke Amerika Serikat tahun 1973 atas undangan maskapai Freeport Sulphur. Ulasan Mochtar Lubis waktu itu cukup singkat bahwa tindakan seorang Soemantri Brodjonegoro yang notabene seorang pejabat negara untuk memenuhi undangan perusahaan swasta asing tidaklah pantas. Koran Indonesia Raya adalah sejarah koran perlawanan baik di zaman orde lama dan orde baru. Moctar Lubis pernah dikenakan tahanan politik selama sembilan tahun lamanya. Sastrawan Indonesia pertama penerima Magsaysay Award dalam dalam jurnalistik dan kesusteraan meninggal pada 3 Juli 2004.
Dalam buku yang berjudul Manusia Indonesia terbitan Yayasan Idayu tahun 1978. MochtarLubis membagi manusia Indonesia menjadi enam karakter. Ini sebuah ungkapan paradoks atas ungkapan realita. Karakter pertama adalah munafik atau hipokrit, memiliki penampilan yang berbeda antara di depan dan belakang. Sudah lama Indonesia mengalami penjajahan tetapi tidak mampu untuk melawan. Sifat kedua adalah segan dan enggan bertanggung jawab. Ketiga adalah jiwa feodalistik, memiliki kekuatan dan kekuasaan yang haus atas penghormatan. Keempat percaya kepada tahayul dengan latar belakang kepercayaan animisme dan dinamisme. Kelima artistik, memperlihatkan sesuatu yang indah dan bagus yang membuat pesona kala dipandang. Terakhir watak yang lemah, dalam mempertahankan dan memperjuangkan keyakinan dan pendirian. Mochtar Lubis yang hidup di tiga zaman, kolonial Belanda, Jepang dan kemerdekaan merasa kecewa diungkapkan dengan nada-nada sinis, karena manusia Indonesia yang menuju zaman moderen meninggalkan ciri-ciri manusia yang baik.
Dilihat dari tahun penerbitan buku yang berpijak kepada pidato kebudayaan Mochtar Lubis di Taman Ismail Marzuki pada 16 April 1977, pidato dengan judul “Manusia Indonesia” patut sekiranya sebagai bentuk keprihatinan yang penuh dengan nada negatif. Mochtar Lubis telah mengalami pelbagai pengalaman buruk, menjadi tahanan politik dan pembreidelan koran yang dipimpinnya. Pada masa kampanye Jokowi tanggal 18 Agustus 2014, enam sifat manusia Indonesia ini dimunculkan kembali sebagai pijakan lahirnya jargon “Revolusi Mental”.
Biografi lengkap tentang Mochtar Lubis ditulis oleh David. T. Hill, seorang profesor Universitas Murdoch Australia. David menuliskannya selama tiga dasa warsa, dengan hubungan putus nyambung. Buku yang sudah diterjemahkan dengan judul “Jurnalisme dan Politik di Indonesia, Biografi Kritis Mochtar Lubis “(1922-2004). Di bawah kepemimpinan Mochtar Lubis, jurnalisme Indonesia Raya tak melulu mengangkat isu-isu hangat soal ketegangan politik, namun juga juga memberitakan tentang topik sensasional. Pada tahun 1954 harian ini mengangkat isu poligami dan perkawinan Presiden Soekarno dengan Hartini Suwondo yang berasal dari Salatiga, Jawa Tengah. Di lain waktu, harian Indonesia Raya meberitakan tentang skandal pelecehan seksual oleh seorang perempuan pegawai negeri oleh atasannya. Pemberitaan macam ini dibenci dan memperoleh hujatan oleh kaum kiri. Pemimpin PKI, Njoto pernah berujar jika pers macam ini adalah jurnalisme koboi. Terlepas dari label itu, Mochtar Lubis lewat Indonesia Raya menjadi perintis praktik jurnalisme investigasi.
Beberapa friksi terjadi antara Mochtar Lubis dengan para sahabatnya seperti Arif Budiman (Mochtar Lubis juga bersahabat dengan Soe Hok Gie) karena kebenciannya yang berlebihan terhadap kalangan berhaluan kiri. Sikap Mochtar kurang tegas soal pelanggaran HAM dan militer terhadap simpatisan PKI. Pada kasus pembantaian antara 2000 hingga 3000 orang berhaluan kiri di Purwodadi tahun 1968 Indonesia Raya berpihak kepada militer daripada laporan H. J. Princen tentang pembantaian tersebut. Indonesia Raya mulai garang membongkar kasus-kasus korupsi yang dilakukan pembantu kabinet Soeharto. Awal Agustus 1973 di Bandung terjadi kerusuhan luar biasa dan pada 7 Agustus Indonesia Raya mem-blowup berita tersebut di halaman utama. Koran ludes terjual dan pejabat militer mengancam akan menutup penerbitan ini. Indonesia Raya dibreidel bersama 11 media massa lainnya menyusul peristiwa Malari, 15 Januari 1974.
Dua dari beberapa karya sastra Mochtar Lubis
 Jalan Tak Ada Ujung adalah novel kedua Mochtar Lubis, novel pertama berjudul Tidak Ada Esok, wartawan dan sastrawan otodidak yang (hanya) lulusan Hollandch Inlandsche School (HIS). Novel ini pertama kali diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1952. Novel yang menarik karena ditilik dari psikoanalisis Sigmund Freud, Jalan Tak Ada Ujung menuliskan tentang ketakutan-ketakutan yang dirasa oleh tokoh Guru Isa. Berlatar perjuangan kemerdekaan tahun 1945 Guru Isa yang mengalami ketakutan-ketakutan akhirnya mencapai puncak yang membebaskan rasa ketakutan itu sendiri. Tahun 1968 novel ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh A.H. Johns guru besar di ANU, Australia berjudul A Road with no End.
Senja di Jakarta terbit pertama kali tahun 1970 oleh Badan Penerbit Indonesia Raya. Cerita berkisar gambaran yang terjadi pada masyarakat ibukota Jakarta. Termasuk para pejabat dan politikus pada pertengahan tahun 50-an. Tumbuh suburnya korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, kebobrokan moral dan penyelewengan telah menyebabkan kemiskinan di mana-mana. Perekonomian mencekik rakyat sehingga suhu politik meningkat. Senja di Jakarta adalah potret tentang keadaan masyarakat, aparat pemerintah dan politikus pada dasa warsa 50-an. Teeuw mengatakan bahwa Senja di Jakarta merupakan karya Mochtar Lubis yang agung dan mendapat sambutan hangat dari pers di dunia. Mengenai latar belakang penulisan novel ini, Mochtar Lubis menyatakannya sendiri dalam buku Catatan Subversif. (1980). 

25 Februari 2017

Share:

0 komentar