Buku dan Cermin Keluarga: Surat Buat Ann, oleh Abdul Aziz Rasjid



Ann yang cantik,
Usai mengundurkan diri sebagai wartawan pada November lalu, banyak kuhabiskan waktuku dengan kegiatan yang kuanggap menyenangkan —yang 3 tahun terakhir tak leluasa kulakukan bersama kamu, putri kita Feeza, dan sekelompok teman baikku. Bersama teman-teman fotografer, kuturutkan hati menenteng kamera ke Rembang, Purbalingga, menyusun photo story tentang Kasan Wikrama, empu wayang suket yang mengguratkan garis nasib telapak tangannya lewat anyaman rumput kasuran. Sedang di rumah, melewatkan sore tanpa didesak 3-4 deadline berita, adalah kebahagiaan mengayuh sepeda mengelilingi kampung sembari membonceng Feeza yang kian hari makin manja. Bersamamu selepas isya, mengomentari sinetron Indonesia, menjadi keisengan ―apa kita pernah menemukan kata-kata yang tepat  untuk saat-saat yang dahsyat― dua sejoli penuh cinta.
Di kediaman kita, desa Binangun, Bantarsari, Cilacap, di antara waktu luang, telah kurapikan-kubersihkan buku-buku yang terserak dalam lemari di ruang tamu. Melakukan aktivitas yang tak banyak menguras energi itu, aku menengok kembali tulisan tanganmu di halaman persembahan buku Claudine Salmon, Sastra Indonesia Awal: Kontribusi Orang Tionghoa. Tulisan tangan itu telah berusia 6 tahun, tintanya yang menguning berisi doa. Kini, sebagai suami istri, kita telah bersama selama 4 tahun, 20 Desember kemarin kita rayakan ultah pernikahan. Dan hadiah terbesar diberikan oleh Tuhan, janin yang kau kandung telah berusia 3 bulan. Bukankah aku dan kamu tak ada yang bisa menerawang bagaimana masa depan mereka kelak?
Aku pun teringat baris puisi Cecep Syamsul Hari, mereka masa depan, sedangkan kita masa silam.” Bekal bagi anak-anak kelak, kita pernah bersepakat, buku salah satu harta penting untuk menjadi asupan mengiringi pertumbuhan mereka. Aku sendiri pernah menulis, melalui buku, gagasan-gagasan di dalamnya menjadi modal berharga bagi anak untuk mengembangkan daya khayalnya yang kelak dapat difungsikan untuk berpikir kreatif dalam upaya melihat, mengenal, menelaah sebuah dunia dari suatu masa. Mendekatkan diri pada buku, seorang anak mulai mengakrabi bahasa, mengolah dan menyelami fiksi dan fakta sebagai upaya untuk memposisikan diri berjarak dengan macam-macam provokasi lingkungan demi menemukan kebenaran yang akan mereka gunakan untuk merangkai keesokan.
Karena itulah, dalam esai ini, aku memilih 10 buku, mayoritas terkait sastra, yang semoga menjadi bacaan menarik bagi anak-anak kita. Esai ini sekaligus kutujukan seperti doamu padaku di halaman buku yang telah berusia 6 tahun itu: “Buku-buku mengiringi langkah-langkah menjadi semakin matang, selalu membawa ke arah lebih baik”.

1
Nashar oleh Nashar (Bentang, 2002) adalah memoar langka tentang riwayat seorang pelukis dalam sejarah seni lukis di tanah air kita. Menurutku, memoar Nashar yang dikenal khalayak seni rupa dengan konsepsi tiga non-nya (nonestetik, nonkonsep dan nonteknik) dalam berkarya itu, patut untuk diabadikan mengingat tak banyak pelukis kita menulis kisah hidupnya dan gagasan-gagasannya selama berkarya. Nashar sendiri memang telah membiasakan diri menulis catatan harian sejak usia 22 tahun, dalam bentuk surat sebagaimana esai yang saat ini kutulis padamu.
Memang, ada buku-buku lain di lemari kita yang mengisahkan kehidupan dan gagasan para pelukis. Popo Iskandar menulis Affandi: Suatu Jalan Baru dalam Ekspresionisme (Akademi Jakarta, 1977)  mengetengahkan hasil percakapan dengan sang maestro terutama kehidupan berat seorang pelukis di tahun 1930-an. Kumpulan esai pelukis S Sudjojono berjudul Seni Lukis, Kesenian dan Seniman (Yayasan Aksara Indonesia, 2000) mencerminkan tegangan tarik menarik diantara ruang nasional dan ruang internasional pada paradigma seni rupa modern Indonesia. Buku lebih baru, Agus Dermawan T menulis Basoeki Abdullah, Sang Hanoman Keloyongan (Kepustakaan Populer Gramedia, 2015) memaparkan visi kesenian Basoeki yang bersetia pada naturalisme sebagai ode atau ritual meluhurkan realitas.
Tetapi, mengapa Nashar oleh Nashar lebih kuutamakan, setidaknya untuk menegaskan menulis riwayat diri seperti dikatakan oleh Nashar adalah kepentingan untuk mengontrol pengalaman. Mengontrol pengalaman mesti didahului oleh kesadaran, serta yang utama jujur pada diri sendiri, untuk mengabadikan keburukan maupun kebaikan dalam catatan yang menjadi penaka cermin di keesokan.

2
Bianglala Sastra (Djambatan, 1979) adalah upaya menghargai sudut pandang orang lain, entah kawan entah lawan yang menulis sesuatu mengenai diri kita. Dick Hartoko menggaritkan kalimat itu, saat menyadur buku karangan Rob Niewenhuys Oost-Indische Spiegel (Cermin Hindia Timur). Pernyataan yang menempatkan bahwa orang lain, maksud buku ini pengarang asing, dapat melihat segi-segi yang bagi kita sendiri mungkin sedemikian biasa, dengan mendadak kita alami dan hayati sebagai sesuatu yang luar biasa.
Menghimpun 32 profil pengarang dari Belanda, buku ini aku kira patut berumur panjang, sebab karya-karya mereka membentangkan gambaran masa silam tanah air kita dari  tahun 1655 sampai 1940. Meski karya-karya mereka ditulis saat masa kelam keterjajahan bangsa kita, tapi juga memuat sisi kemanusian yang dikatakan Hartoko tak semata mene-ropong dari geladak kapal VOC, tapi meninggalkan geladak, berjalan-jalan di daratan, menyusuri sungai-sungai sampai ke udik.
Buku ini bakal mengajarkan anak-anak kita untuk membiasakan diri menghargai berbagai peristiwa sejarah dari berbagai sudut pandang. Selain itu juga menjadi pengantar yang baik sebelum anak kita kelak membaca Multatuli dengan Max Haveelar (Djambatan, 1972), Beb Vuyk dengan Sebuah Rumah Nun Di Sana (Pustaka Jaya, 1975), MH Szekely-Lulofs dengan Berpacu Nasib Di Kebun Karet (Graffiti, 1985) dan Kuli (Graffiti, 1985), beberapa novel Hindia Belanda yang jadi bagian koleksi buku kita.

3
Perjuangan Tanggung Jawab Kesusastraan (Pustaka Jaya, 1977) oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Tergantung Pada Kata: Sepuluh Sajak Indonesia (Pustaka Jaya, 1980) karya A. Teeuw, Senjakala Kebudayaan (Bentang, 1996) himpunan esai Nirwan Dewanto, Sesuatu Indonesia (Bentang, 2000) karya Afrizal Malna dan Rahasia Membutuhkan Kata, Puisi Indonesia 1966-1998 (Indonesiatera, 2003) yang ditulis Harry Aveling, adalah teks-teks tentang pembahasaan kesusastraan Indonesia yang aku nilai ditulis sangat mendalam. Buku-buku itu saling berkait, berkelindan menampilkan kekayaan sastra yang ditulis oleh para penulis kita mulai dari Amir Hamzah, Armijn Pane sampai Wiji Thukul, Joko Pinurbo dan Dorothea Rosa Herliany.
Membaca buku-buku itu, faedah yang bisa didapat anak-anak kita, bahwa apa pun yang dirasakan manusia —kegelisahannya, kebahagiaannya, sejauh yang dapat diekspresikan, dapat diekspresikan dengan kata. Kata atau lebih luas bahasa adalah anugerah terbesar manusia, untuk mengkomunikasikan segala ihwal yang dapat menjadi dokumentasi pemikiran-pemikiran mereka menanggapi situasi sosial.
Dengan membaca buku-buku itu, setidaknya anak-anak akan memasuki ruang kontemplasi seorang pembaca. Mengkhikmati uraian Sutan Takdir Alisjahbana semisal, sastra di tengah situasi sosial yang berhasrat lepas pada keterjajahan dihadapkan pada tegangan barat/timur-tradisional/modern-global/lokal-progresif/reaktif di antara sastra sebagai solilokui tentang isi hati dan sastra yang mesti diletakkan dalam upaya reconstructive arbeid. Sedang melalui Nirwan Dewanto kita mendengar seruan pentingnya memposisikan gejolak sastra dunia sebagai bagian di dalam kesusastraan Indonesia, agar khazanah-khazanah lokal, tradisi, hidup dalam bentuk yang baru.

4
Kali Mati (Bentang, 1999), kumpulan cerpen Joni Ariadinata, merupakan seruan menegakkan pentingnya budaya tulis. Melalui 15 cerpen, Joni dengan sadar berniat melebur habis bentuk dan isi lokalitas gelandangan secara literal lewat bantuan kata dan imajinasi. Kesemuanya itu, bagi Joni tak hanya membangun cerita namun berpengaruh besar pada estetika yang dijalani pencerita. Perihal ini, pernah diakui oleh ia sendiri dan muncul dalam sebuah esai pendek dengan tajuk “Ketahuilah, Situasi saat itu Memang Abnormal”.
Joni membeberkan, pengalamannya selama tinggal di lokalitas gelandangan telah menyediakan dasar bagi penemuan pola-pola selera artistik. Pola itu menyangkut pentingnya visualisasi detail-detail objek untuk menunjukkan karakteristik lingkungan; baik karakteristik psikologi lingkungan maupun karakteristik pandangan-pandangan setiap individu yang berada dalam lingkungan tersebut. Ringkasnya dalam Kali Mati, ruang hidup sempit masyarakat kumuh ―di mana benda-benda dan manusia tak memiliki keleluasaan berbagi tempat― yang berlawanan dengan kebutuhan alami manusia akan ruangan pribadi ikut andil membentuk karakteristik masyarakat yang kasar, keras sehingga sikap-sikap agresi jadi dominan untuk mewakili momen kejijikan, kekejaman dalam rupa narasi-tekstual.
Kali Mati setidaknya penaka cermin bagaimana pentingnya memaknai dan memahami lingkungan sekitar kita. Lewat tulisan, dalam bentuk apapun, kita membiasakan untuk memahami suara-suara lingkungan atau menjamah suara-suara dari rasa nyeri orang-orang terpinggirkan yang hidup di ujung penderitaan.

5
Agama Saya Adalah Jurnalisme (Kanisius, 2010) antologi jurnalisme karya Andreas Harsono kupandang sebagai penghayatan begitu dalam terhadap profesi. Harsono mungkin merasa, mungkin tidak, melalui buku ini ia menegaskan bahwa suatu profesi harus dijalani dengan disiplin ketat dan mesti dimaksudkan demi tujuan-tujuan baik .
Dalam tataran praktik kewartawanan semisal, Harsono tegas berpandangan wartawan yang ikut pertemuan pers, menyodorkan tape recorder dan sekali-kali menerima amplop, pastilah bukan seorang investigator. Pendapat ini tentu bisa dibenarkan. Pasalnya, bagaimana mungkin seorang wartawan mampu membongkar kejahatan, merekontruksi suatu kejahatan, atau mengungkapkan pendapat kritis demi perbaikan ketika ia sangat berpotensi tak bisa menuliskan fakta.
Aku pikir buku ini penting kedudukannya, mengingat saat ini tanda-tanda collapsing civilizations telah menyeruak ke berbagai profesi. Buku ini mengetengahkan ketegasan sikap, integritas, bahwa kebahagiaan sejati adalah totalitas mengerjakan hal-hal yang kita minati. Sedang ukuran kepuasannya tak bisa melulu diukur oleh setumpuk uang.

6
The Post-American World, Gejolak Dunia Pasca-Kekuasan Amerika (Bentang, 2012) adalah kajian jernih Fareed Zakaria tentang isu dunia. Ia menyinggung, sepanjang lima ratus tahun terakhir, telah terjadi tiga kali pergeseran kekuasaan yang mengubah tataran politik, ekonomi, dan kebudayaan secara global.
Zakaria menilai, pada abad ke-5 sampai pengujung abad ke-18 pergeseran kekuasaan pertama sejalan dengan kebangkitan Barat yang menghasilkan modernitas —sains dan teknologi, perdagangan dan kapitalisme, revolusi pertanian dan industri— sekaligus dominasi politik bangsa-bangsa barat. Pergeseran kedua pada akhir abad ke-19, kedigdayaan Amerika setelah mengalami industrialisasi lantas mendominasi perekonomian, perpolitikan, sains dan kebudayaan secara global. Kini, Amerika telah kehilangan banyak industri kunci, pergesaran ketiga, “kebangkitan yang lain”, muncul seiring pertumbuhan sejumlah pasar berkembang dan sentra-sentra kekuasaan baru seperti Brazil, Tiongkok serta India.
Aku kira buku ini penting diabadikan karena menuntun pada cakrawala lebih luas tentang percaturan dunia ―ekonomi, teknologi, militer― yang berubah dengan cepat. Buku ini setidaknya akan memantik ketertarikan pada hubungan internasional, politik global bagi anak-anak kita kelak sehingga mereka juga memiliki keberminatan misalnya membaca, Samuel P Huntington Benturan Antar Peradaban atau Edward W Said Orientalisme.  

Ann yang cantik,
Begitulah 10 buku kuhamparkan sebagai bayangan cermin keluarga kita. Tentu tak ada kebahagiaan paling sempurna, selain kita berdua menjadi tua bersama dan menatap anak-anak tumbuh dewasa menguasai banyak hal yang bermanfaat bagi banyak orang. Terkait buku, tentu membebaskan anak-anak memilih bacaannya sendiri adalah keputusan bijaksana. Kau pun bisa bayangkan betapa kita butuh ruang lebih luas menyimpan bacaan. ||

Purwokerto-Cilacap, 25-28 Desember 2016
Suamimu, Abdul Aziz Rasjid

Share:

0 komentar