Gerundelan Penulis Pemula, Sastra, dan Muhasabah, oleh Aris Rahman Yusuf



Sastra dan menulis adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya saling berkesinambungan. Menulis sastra, bagi yang masih pemula pasti sering bertanya-tanya: bagaimana cara menulis, bagaimana cara mendapat uang dari menulis sastra, bahkan ada yang berandai-andai kalau menulis itu mudah dan dengan menulis pasti bisa langsung populer.
   Menulis kata motivator saat workshop kepenulisan pasti mengatakan mudah. “Menulis itu mudah,”  kata mereka setiap mengisi acara. Banyak juga buku-buku tema sejenis menulis itu mudah yang bertebaran terbit dan dijual entah di toko buku offline maupun online. Sebagai peserta dan pembaca jangan langsung ditelan mentah-mentah dan dimasukkan dalam pikiran. Faktanya menulis itu tidak semudah membalikkan telapak tangan.
   Motivator atau di buku-buku menyatakan bahwa menulis itu mudah adalah untuk penyemangat peserta dan pembaca bukunya agar mau langsung menulis dan tidak takut menulis meskipun hasilnya buruk. Menulis buruk adalah awal menulis baik bila bisa mempraktikkan dengan konsisten, tidak putus asa, mau menerima kritik dan saran pembaca. Selain hal tersebut, jika ingin menulis baik juga harus ditunjang dengan buku-buku bacaan yang relevan dan jam terbang yang tinggi.
Selain dua hal di atas, ada beberapa hal yang menggerundel di kepala saya.

Kritikan Pedas Senior dan Pujian Berlebihan
Penulis pemula yang baru belajar ada beberapa karakter yang dimiliki, ini saya ambil dari pengalaman saat saya baru belajar menulis dan saat ini berbagi di beberapa grup kepenulisan via online. Bersemangat mengirim karya tanpa peduli bagus atau buruk, malu-malu cuma sebagai pengintip atau penyimak, tipe berhati-hati dan rapi. Ketiga karakter ini punya keunikan masing-masing.
Sebagai orang yang lebih dulu menulis dan lebih paham, sebagai pembimbing dan pembaca karya mereka, jangan sampai kita mengkritik secara pedas. Bisa jadi mereka down sehingga mereka akan keluar dari grup dan tidak mau menulis lagi. Kecuali untuk mereka yang memang bisa memfilter saran senior. Kritik pedas menurut saya lebih baik diberikan kepada yang sama-sama senior (sudah lama menulis) karena dengan jam terbang tinggi dan ilmu yang mumpuni mereka bisa saling bertukar pikiran atau bisa juga adu argumen tapi dengan akhir yang biasa saja. Kalau memang terpaksa melakukan kritikan pedas, lakukan dan akhiri dengan solusi. Jangan pula memuji secara berlebihan atau hanya bilang hebat, dahsyat, keren, untuk tulisan mereka. Lakukan pujian tapi juga memberi masukan kepada tulisan yang mereka hasilkan untuk hasil yang lebih baik ke depannya.

Menjamurnya Penerbit Indie
Saat ini kegiatan menerbitlkan buku bukan hal yang langka. Hal ini ditunjang karena semakin banyaknya penerbit indie dan mudahnya akses media sosial. Dulu menerbitkan buku adalah sesuatu yang langka karena sedikit penerbit, informasi yang kurang dan kurangnya info dari luar. Penulis harus aktif mencari sendiri
Dengan menjamurnya penerbit indie, penulis lebih mudah menerbitkan buku asal punya dana atau punya syarat yang ditentukan penerbit. Misal, menang lomba menulis yang diadakan oleh penerbit bersangkutan.
Selain menerbitkan buku mudah, dengan maraknya penerbit indie, penulis harus bisa menyeleksi dan memilah penerbit mana yang sesuai dan amanah. Di media sosial terutama kalau pernah ikut even penerbit indie, jika tidak bisa menyeleksi terkadang ada penerbit yang tidak amanah. Setelah mengadakan event, tiba-tiba naskah yang lolos dan diterbitkan tidak ada kabar, hadiah  untuk pemenang event hanya voucher penerbitan, penerbit tiba-tiba hilang dan tidak terlacak setelah mengadakan event dan membawa uang PO (pre-order) dari kontributor.
Jadi sebagai penulis (terutama yang masih pemula) diharapkan bisa selektif dalam memilih penerbit indie. Jika masih bingung, sebelum ikut event bisa tanya kepada teman yang sering mengikuti event di penerbit yang sama. Jadi bisa tahu bagaimana sikap penerbit.

Sikap Pantang Menyerah dan Merasa Tidak Punya Bakat
   Penulis pemula banyak yang saat menulis tergesa-gesa ingin menang lomba, ingin cepat menerbitkan buku, ingin cepat terkenal. Sehingga saat sering kalah lomba, naskah pertama ditolak penerbit, langsung down tidak mau menulis lagi dan merasa tidak punya bakat. Akhirnya, tidak menulis lagi.
Kejadian ini pernah juga saya alami ketika semangat-semangatnya ikut lomba. Saat 2 tahun pertama jarang ada yang nyangkut. Anggap saja tulisan yang saya kirim ada sekitar 100, tapi yang berhasil lolos atau dimuat cuma 2 tulisan. Ikut lomba harian di grup-grup kepenulisan yang dipilih 3 tulisan terbaik, nilai saya selalu saja mendekati, antara urutan 4 s/d 10, jadinya tidak pernah lolos.
Beberapa peristiwa di atas membuat saya langsung down, marah, galau. Tapi setelah mendapat pencerahan akhirnya paham bahwa setiap tulisan ada jodoh pembaca dan penerbitnya masing-masing. Bisa jadi di satu tempat tidak lolos, di tempat lain bisa lolos.
Benar saja, setelah diendapkan dan direvisi, lalu dikirim ke event lain bisa mendapat juara meski belum jadi yang pertama. He he he.  Jadi jangan menyerah dan putus asa untuk yang sering ditolak.

Malas Membaca dan Beli Buku
Indonesia termasuk negara yang mempunyai minat baca rendah, katanya. Itu terbukti dari buku yang lakunya tidak merata sehingga kadang sampai banyak yang diobral. Tapi menurut saya, bukan tingkat baca yang rendah tetapi harga buku yang dianggap terlalu mahal oleh masyarakat. Itu terbukti saat ada pameran buku banyak yang mengunjungi dan memborong. Harga biasanya Rp5.000-20.000. Harga segitu bagi penikmat buku sangat menggiurkan. Tetapi bagi penulis buku tersebut biasanya ada grundelan karena tidak sesuai dengan pengorbanan saat menulis. Kecuali bagi yang menganggap yang penting karyanya dibaca orang akan baik-baik saja.

Tentang Komunitas
Komunitas adalah salah satu cara untuk berkumpul dengan teman yang memiliki banyak kesamaan. Dengan adanya komunitas bisa menambah silaturahmi, kerjasama dan saling memperbaiki karya.
Namun komunitas terkadang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Adanya gank-gank, banyak komunitas sejenis di suatu daerah tapi kurang mendukung satu sama lain. Misal saat komunitas A punya acara, komunitas B, C, D, E yang termasuk komunita sejenis dan satu daerah tidak mau datang, begitu sebaliknya.
Selain adanya gank-gank bisa jadi komunitas lain tidak datang karena kurangnya sosialisasi, membuat komunitas hanya untuk tren, dan sebagainya.

Penulis yang Sombong
Saat buka facebook penulis kok tidak bisa di-add, sudah bisa di-add nggak dikonfirmasi permintaan pertemanan, saat disapa via chatt dan komentar kok tidak dibalas, yang dibalas cuma yang dia kenal saja? Beberapa hal ini bisa saja membuat kita menganggap penulis tersebut sombong.
Saya juga pernah bahkan sering mengalami itu. Tidak hanya penulis senior, tetapi juga dari penulis yang baru terkenal. Hal itu membuat ilfeel (hilang rasa) ke penulis bersangkutan.
Sebagai penulis seharusnya mau menanggapi pembaca atau penggemarnya entah itu dikenal maupun tak dikenal. Misal tidak bisa langsung saat pertama penggemar menyapa, respon bisa dilakukan saat santai atau mungkin seminggu sekali ada waktu khusus untuk penggemar. Sedangkan penggemar harus sabar dan paham kesibukan penulis yang diidolakan tadi. Jadi penggemar tidak dengan mudah menjudge penulis yang diidolakan dengan julukan sombong. Dengan demikian hubungan antara penulis dan pembacanya akan terjalin baik.

Menganggap Mengedit Tulisan Hanya Tugas Editor
Di komunitas pernah saya diberitahu teman terutama saat bedah karya. Kebetulan saya tidak ikut komunitas teman dan kegiatan tersebut. Seorang anggota yang dibedah karyanya tidak terima saat karyanya dibilang banyak ejaan yang salah. Dia bilang bahwa mengedit itu urusan editor, yang penting cerita yang ditulis mudah dipahami pembaca.
Tulisan yang mudah dipahami itu bagus, jika ejannya juga bagus pasti lebih keren lagi. Mengedit bukan hanya tugas editor. Sebelum tulisan dikirim ke media, penerbit, atau untuk lomba seharusnya dilakukan self edit dulu biar rapi.
Jika menganggap mengedit hanya tugas editor, kasihan editornya dong. Bisa juga saat mendapat editor galak pasti naskah tidak akan dibaca meskipun ceritanya bagus. Tidak mau, khan? Penulis dan editor harus selalu bekerjasama dengan baik.  ||

Tags:

Share:

0 komentar