Mencetak Ulang Sejarah dalam Fiksi oleh Udiarti



Suatu ketika, pada udara yang masih sejuk di pagi hari, seseorang berkata kepada saya, “Buku adalah jendela ilmu”. Saya menyetujuinya dalam diam. Saya yang tidak menanggapi pernyataannya. Barangkali memang benar, segala ilmu ada dalam buku. Segala ketidaktahuan kita terjawab dalam buku. Ingatan-ingatan sejarah yang tidak pernah didongengkan nenek kita bahkan tertulis dalam buku. Tapi, belakangan seseorang yang lain berkata pada saya, “Membaca sejarah negara kita dari buku, bukanlah cara untuk mengetahui kenyataan”. Lagi-lagi saya tidak menanggapi seseorang itu. Barangkali memang betul juga bahwa tulisan sejarah dalam buku tidaklah memberikan kita fakta dan gambaran kenyataan yang sebenarnya.
                Tapi, saya punya kepercayaan sendiri bahwa tidak semua buku memiliki kebohongan dalam menuliskan sejarah. Banyak buku-buku yang ditulis dengan kejujuran batin sang penulisnya. Hal ini dapat kita lihat dari banyaknya buku-buku yang dicetak ulang dan dipasarkan di toko-toko buku kesayangan kita. Buku-buku yang terus diulang-ulang untuk diterbitkan itu tentunya memiliki kejujuran masing-masing dari penulisnya sehingga pihak penerbit memiliki kepercayaan penuh pada karya-karya mereka.
                Penulis bagi saya adalah manusia-manusia yang memiliki kepekaan batin dan pikiran. Mereka menulis hingga mampu membaca jaman, membaca sejarah, dan menceritakan sejarah. Sejarah tidak hanya dituliskan pada lembar-lembar halaman buku non fiksi, tapi buku-buku fiksi juga mampu memberikan kita gambaran sejarah di negeri ini. Sayangnya, para penerbit kadang melewatkan buku-buku terbitan lama yang memiliki aroma sejarah yang cukup kuat. Buku-buku karya pujangga-pujangga lama yang sebenarnya mampu membuat kita membaca bagaimana perkembangan sejarah kepenulisan di Indonesia. Contohnya, salah satu buku karya Muhammad Diyamti tahun 1964 yang menuliskan catatan-catatan hariannya dan dikemas secara fiksi. Tidak hanya tentang sejarah kepenulisan, tetapi juga sejarah keadaan dan seperti apa sejujurnya suasana tempo dulu dalam kenyataan batin para penulis. Maka, dengan tulisan ini saya berusaha keras menunjukan bahwa buku-buku terbitan lama tahun 1960-an hingga 1980-an masih sangat layak untuk diterbitkan ulang dan dibaca oleh penerus-penerus muda bangsa ini.

Kisah Antara Manusia (1953)
Buku pertama yang saya pilih adalah buku karya Armijn Pane yang berjudul Kisah Antara Manusia. Buku tersebut diterbitkan pertama kali oleh Pustaka Jaya pada tahun 1953. Buku setebal 255 halaman ini berisi 23 cerita pendek. Para pecinta sastra tentunya tahu bahwa Armijn Pane salah satu dari deretan Pujangga Baru yang tentunya apabila karyanya dibaca pada zaman ini akan memberikan kita informasi betapa jelasnya perkembangan bahasa Indonesia dari tahun 1930-an hingga 1950-an. Armijn Pane dengan kecerdasannya menulis peristiwa-peristiwa sehari-hari yang ia temui menjadi cerita-cerita fiksi yang sangat menarik untuk dibaca. Sangat sayang jika buku kumpulan cerita pendek ini tidak diterbitkan ulang dan hanya akan ditemui di pasar-pasar buku bekas dengan kondisi yang sudah tidak mumpuni lagi untuk dibaca. Padahal, buku ini sangat memberikan pengetahuan kita tentang perkembangan kepenulisan sastra di Indonesia.

Manusia dan Peristiwa (1964)
Buku ini sudah saya singgung sedikit pada awal tulisan saya. Buku karya Muhammad Dimyati tahun 1964 yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Saya kira buku ini adalah salah satu buku yang jarang diterbitkan ulang. Buku ini berisi tentang catatan-catatan harian pribadi milik Muhammad Dimyati sendiri. Catatan pribadi di sini bukanlah catatan yang sama dengan buku-buku yang sering dicetak ulang akhir-akhir ini, atau bahkan difilmkan yang berisi catatan-catatan harian seseorang yang sebentar lagi menemui ajalnya karena hendak meninggal terserang penyakit. Tidak, buku catatan harian ini berbeda. Muhammad Dimyati menulis hari-harinya yang saat itu berlatar belakang Indonesia dijajah Belanda tahun 1940 hingga 1942 dan lebih banyak menampilkan suasana kota Surakarta pada masa penjajahan tersebut. Tokoh-tokoh dalam tulisan ini juga nyata, teman-teman Muhammad Dimyati yang sempat mengiriminya surat, salah satunya adalah Iskandar. Pembaca akan disuguhkan catatan harian yang dikemas secara fiksi, dan peristiwa ketika penjajahan Belanda berada di ujung tanduk. Dengan dicetak ulangnya buku ini, maka akan sangat membantu para pemuda Indonesia yang gemar membaca untuk mengerti bagaimana dulu masa penjajahan Belanda di Indonesia yang tidak hanya menjajah secara fisik, namun juga secara mental.

Keadjaiban di Pasar Senen (1971)
        Di kalangan seniman teater dan film Indonesia pastilah nama Misbach Jusa Biran sangat dikenal. Pengarang sekaligus sutradara ini lahir tahun 1933, menariknya selain menulis skenario film ia juga menulis buku Keadjaiban di Pasar Senen yang berisi 13 cerita pendek. Kumpulan cerita pendek ini mengisahkan cerita hidup para seniman yang gemar menghabiskan waktunya di sekitar Pasar Senen tempo dulu. Kisah hidup para seniman yang unik dengan keresahan-keresahan batinnya. Keresahan-keresahan seniman yang ditulis oleh Misbach mampu menjadikan kritik bagi seniman itu sendiri. Seperti salah satu ceritanya yang mengisahkan tentang seniman drama yang karyanya ingin diakui namun tak satu pun ia memiliki karya. Buku ini sebaiknya dicetak ulang lagi karena keresahan seniman-seniman Pasar Senen dalam tulisan Misbach seakan mampu turut memberikan sumbangsih kritik pada seniman yang terlahir di zaman-zaman modern ini.

Di Antara Seribu Warna (1980)
Buku Di Antara Seribu warna adalah kumpulan 10 cerita pendek yang menarik untuk dibaca. Sori Siregar menampilkan persinggungan pandangan antara orang Barat dan orang Timur, budaya Barat dan budaya Timur. Sori Siregar lebih banyak bercerita tentang kehidupan orang Indonesia yang tinggal dan bekerja di London. Ia juga menampilkan kehidupan orang-orang yang berbeda suku dan ras yang tinggal di wilayah tertentu. Cerita-cerita yang disuguhkan sederhana, namun sangat sarat akan perbedaan tanggapan, pandangan dan penilaian orang Barat dan Timur dalam menanggapi kejadian-kejadian di sekitarnya. Buku ini jelas sangat perlu dicetak ulang karena pembaca akan disuguhkan pelajaran-pelajaran menarik tentang perbedaan suku dan ras disuatu wilayah.

Perempuan Senja (1984)
Buku yang kelima adalah karya Sirullah Kaelani yang berjudul Perempuan Senja. Pembaca akan disuguhkan 9 cerita pendek tentang kaum-kaum jelata dan terpinggirkan. Kaum-kaum yang menjalani nasib mereka, kaum-kaum yang memilih melawan, pasrah hingga acuh tak acuh dalam menghadapi nasibnya. Menariknya, dalam kisah-kisah yang ditulis Sirullah, orang-orang yang dalam menjalani nasib buruknya selalu memiliki Tuhan yang memilihkan jalan bagi mereka lewat kejadian gaib, keberuntungan hingga kematian sekalipun. Dalam buku ini pembaca akan mendapat pelajaran yang berharga tentang menjalani kehidupan di dunia.

Hilanglah Si Anak Hilang (1963)
Nasjah Djamin penulis buku Hilanglah Si Anak Hilang belajar melukis pada S Soedjojono dan Affandi dan mampu menjadi seorang pelukis. Maka, tak heran ia menulis cerita roman yang menggunakan tokoh utama sebagai seorang pelukis. Uniknya, Nasjah menceritakan kehidupan pelukis yang sangat individualisme dan memilih menjauh dari kehidupan keluarganya. Si tokoh utama yang bernama Kuning sangat menghargai nilai-nilai norma yang tertanam pada keluarganya, ia pun memilih keluar dari keluarganya untuk menjadi seorang pelukis di Yogya. Membaca cerita roman ini akan membuat kita memahami konflik-konflik mengenai nilai-nilai moral dan kebenaran dalam hidup kita.


Sobat (1981)
Siapakah pecinta sastra yang belum pernah membaca karya Putu Wijaya  tentulah mereka tergolong dalam pecinta sastra yang kasihan. Sobat adalah salah satu karya Putu Wijaya yang ditulis dengan dialog-dialog yang tegas dan pembaca akan merasa apa yang ia baca adalah sebuah adegan-adegan dalam pementasan drama. Di sinilah uniknya novel Sobat karya Putu Wijaya yang ditulis mirip dengan adegan dalam pementasan drama, maka pembaca akan mampu menggambarkan cerita dan konflik tentang persahabatan, perkawinan dan keluarga yang diceritakan dalam buku ini.

Sebuah Cinta Sekolah Rakyat (1976)
Kali ini saya akan memilih buku karya penulis perempuan, Toti Tjitrawasita. Kumpulan cerita pendek yang menurut saya pada cetakan pertamanya cenderung sangat tipis, hanya 72 halaman saja. Namun, buku Sebuah Cinta Sekolah Rakyat ini mampu menyuguhkan secara jelas bagaimana isi hati wanita beserta perhatian dan cita-citanya yang ditulis oleh Toti dalam kumpulan cerita ini.

Di Bumi Aku Bersua, Di Langit Aku Bertemu (1983)
Masih dari penulis perempuan, Di Bumi Aku Bersua, Di Langit Aku Bertemu adalah novel karya Titis Basino. Titis Basino menceritakan tentang perjalanan hidup dua orang gadis kakak-beradik. Dalam buku ini dikisahkan hidup mereka yang sangat terikat dalam tradisi Jawa turun temurun hingga melewati tiga zaman, yaitu zaman penjajahan Belanda, penjajahan Jepang hingga masa Indonesia merdeka. Buku fiksi ini sangat cocok dibaca oleh kaum-kaum feminisme karena Titis Basino mencoba menyampaikan isi hati nurani wanita lewat sebuah roman.

Segi dan Garis (1983)
Sebagai buku penutup saya masih mengambil karya seorang perempuan. Tidak baik rasanya jika tidak mencetak ulang buku kumpulan cerita Segi dan Garis karya Nh Dini. Lewat kumpulan cerita ini kita akan mendapatkan gagasan-gagasan yang unik dan penuh kejutan dari penulis. Gagasan yang tentunya masih diilhami dari jiwa-jiwa kaum perempuan. Pembaca akan disuguhkan dengan aneka ragam kejadian yang mampu memperluas sudut pandang kita sebagai seorang pembaca.

Demikianlah sepuluh buku yang saya harapkan bisa dicetak ulang lagi untuk dapat lebih mudah membacanya di zaman yang sudah sangat penuh dengan karya-karya penulis baru. Semoga ketika membacanya kita tidaklah berhenti untuk mencari tahu lagi sejauh mana dunia sastra kita sudah berkembang dan tentunya masih dapat mempercayai bahwa sejarah juga dapat kita temukan dalam buku-buku fiksi.  ||

Share:

0 komentar