Friday 10 March 2017

Mestinya Mereka Panjang Umur, oleh Indah Darmastuti



Memilih buku-buku yang menurut saya semestinya berumur panjang itu cukup sulit mengingat banyak buku bagus yang ditulis oleh penulis Indonesia. Namun, ketika kita diminta untuk lebih fokus dan jujur terhadap pembacaan sebuah buku, itu menarik sekaligus menantang seberapa kuat buku tersebut punya pengaruh dalam diri saya, baik untuk kreativitas atau aktivitas berpikir.
Pembacaan buku adalah pengalaman personal, sehingga saya tidak bertanya kepada siapa pun, tentang bagaimana pendapat mereka mengenai sebuah buku yang menurut pengamatan saya (seharusnya) berumur panjang. Di sini, saya hanya mengumpulkan berdasarkan ingatan yang spontan muncul dalam benak saya. Jadi,  urutan di sini bukan maksud saya memeringkat buku yang saya pilih.

Bumi Manusia (Pramoedya Ananata Toer)
Siapa pun yang mengaku penulis atau pembaca sastra (Indonesia), mestinya sudah membaca novel tersebut. Karena, bagi saya itu novel penting. Pramoedya memotret kehidupan Hindia Belanda yang kompleks dengan jernih. Novel realis-sosialis dengan tokoh Minke untuk menggambarkan TAS (RM Tirto Adisurjo), jurnalis pribumi pertama dan pendiri Sarekat Priyayi. Buku ini mestinya panjang umur karena ia mengenalkan tentang pentingnya generasi muda menjadi kritis dan tajam berpikir. Jangan menyebut diri revolusioner atau aktivis sebuah pergerakan jika belum membaca novel ini.

Para Priyayi (Umar Kayam)
Sudut pandang lebih dari dua orang tetapi tak kehilangan warna karakter menjadi salah satu kekuatan novel ini. Semua tokoh memiliki ciri khas dalam menceritakan dirinya (Lantip, Sosrodarsono, Ngaisah (istri Sosrodarsono), dan ketiga anaknya). Realitas yang difiksikan, saya menganggapnya begitu. Bukan hanya menceritakan soal kejawaan, tetapi lebih pada cara penulis menyasar pada politik, sosial, agama, budaya, sikap hidup dan moral melalui tokoh-tokohnya. Novel ini pantas panjang umur karena ke-riyayian yang dikenalkan dalam novel ini adalah mengayomi keluarga (baca: rakyat). Priyayi adalah sikap, bukan takdir. Ini nilai penting yang pantas diselami oleh generasi kini.

Burung-Burung Rantau (YB Mangunwijaya)
Manusia pasca-Indonesia dan warga dunia. Novel tentang multikulturalisme yang memikat sejak halaman pertama. Mengajak untuk menukik kedalam batin tentang kemanusiaan dalam laju teknologi dan “modern” yang tak terhindarkan. Tentang pahit-manis cinta yang diolah dengan logika. Kisah dan keputusan hidup para tokoh (Neti, Bowo, Candra) yang dialegorikan dengan burung-burung rantau. Novel ini mengajak berpikir bahwa kelak suatu hari (dan sekarang sudah dimulai) bahwa warga negara semakin cair, mobil, dan kita turut tergulung dalam gelombang itu, tetapi mereka (tokoh-tokoh dalam novel itu) tak kehilangan identitas. Awalnya, saya cukup kesulitan memilih salah satu judul novel karya Romo Mangun, apakah Burung-Burung Manyar atau Roro Mendut atau Ikan Hiu, Ido, Homa atau Burung-Burung Rantau. Tetapi akhirnya saya memilih yang terakhir. Memang butuh energi ekstra ketika saya menuntaskan novel ini. Tetapi, saya menyukai kedalam maknanya dan saya pikir, novel ini pantas berumur panjang.

Canting (Arswendo Atmowiloto)
Novel ini pantas berumur panjang karena merekam dengan baik sebuah era dimana peristiwa transformasi budaya dan sosial-ekonomi  pernah berlangsung (di Solo, Jawa). Menceritakan bagaimana situasi dan interaksi yang unik dan khas di tempat pemrosesan batik tradisional, yang kemudian harus meredup oleh hadirnya mesin produksi yang tak terbendung lagi. Dari generasi Pak dan Bu Bei yang mengolah perusahaan dengan model lawas, hingga Ni yang bersiap mengolah perusahaan dengan menyesuaikan zaman.    

Tarian Bumi (Oka Rusmini)
Novel ini akan berumur panjang. Paduan antara kentalnya budaya, kuatnya patriarkhal dan sistem kasta yang kokoh di Bali dan kurang memihak pada perempuan membuat novel ini seksi dan cool. Cinta itu kuat seperti maut. Telaga Pidada rela melepas kasta demi cinta, itu adalah bagian yang paling menyayat karena prosesi pelepasan (penurunan) kasta yang secara simbolik sungguh memedihkan dan mematik pertanyaan siapakah manusia di hadapan semesta? 

Kuantar ke Gerbang (Ramdhan KH)
Potret tentang perempuan yang tak seharusnya dilupakan negeri ini. Kekuatan dan ketangguhannya dalam menghadapi permasalahan sungguh menginspirasi. Ia berada di Balik lelaki yang begitu “mengerikan” bagi dunia. Dua tokoh: laki-laki yang dahsyat dan perempuan yang tak kalah dahsyat. Inggit dan Kusno (Sang Proklamator) Cinta Inggit adalah semacam tanggungjawab untuk menjaga Kusno agar tetap hidup dan tak padam semangatnya. Novel sejarah ini pantas berumur panjang karena setiap generasi harus tahu bagaimana perjalanan hidup  dengan lika-liku perjuangan salah satu pendiri bangsa ini: Soekarno!

Nyanyian Akar Rumput (Wiji Thukul)
Setiap saya membaca berita tentang perlawanan pada kesewenangan penguasa di sebuah daerah, saya selalu teringat puisi-puisi Wiji Thukul.  Thukul adalah konsistensi terhadap perjuangan melawan kezaliman pemerintah dan kejamnya kekuasaan. Puisi-puisi yang lantang bicara tentang hak, demokrasi dan ketertindasan yang lemah. Saya menganggap ini buku (puisi) penting bukan hanya karena puisi-puisinya yang berani, tetapi juga penyairnya yang tak boleh dilupakan generasi mendatang.

Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari)
Saya menyukai bacaan (novel) yang membawa warna lokal dan saya juga menyukai tarian-tarian khas sebuah daerah. Ronggeng Dukuh Paruk memiliki keduanya. Novel ini tak hanya mengangkat lokalitas di sebuah Dukuh kecil tetapi bagaimana tarian dan kesenian (ronggeng) adalah nafas desa itu. Namun sebuah tragedi bangsa telah menggulungnya tanpa ampun. 1965 adalah masa kehancuran dukuh kecil bersama kesenian ronggengnya. Saya menganggap novel ini pantas berumur panjang karena ada sebuah nilai yang tak lekang oleh waktu. Generasi kini harus tahu agar tidak menjadi generasi ahistoris. Bahwa kesenian, produk kebudayaan sangat bisa dikontrol bahkan dihancurkan oleh politik dan kekuasaan. 

Pengakuan Pariyem (Linus Suryadi)
Bukankah yang lemah itu selalu (di)kalah(kan)? Apalagi ia seorang perempuan. Pariyem mewakilinya. Ia sudah kalah sejak lahir. Tempat ia dilahirkan adalah desa yang kering tandus (Wonosari, salah satu daerah di pegunungan seribu). Ia anak seorang seniman rakyat yang tentu “sah” untuk dihabisi kreativitasnya paska 66. Lalu ia menjadi babu pada keluarga ningrat, kemudian ia dihamili anak majikan, dan puncaknya ia harus menanggung beratnya meninggalkan anak kandung sehingga ia harus repot bolak-balik dari rumah majikan ke desa tandusnya. Kekentalan pada bau Jawa menuju modern dalam novel ini mengabarkan betapa pengaruh dunia luar sungguh mudah merangsek generasi muda. Melalui novel ini, minimal saya tahu bagaimana tradisi beralih pada kekinian. 

Raumanen (Mariane Katopo)
Novel ini diceritakan dengan sangat cantik dan memikat. Tentang pergaulan bebas dengan segala konsekwensinya. Menceritakan tentang agama, adat istiadat dan moral tanpa menggurui apalagi berkotbah. Perjalanan tokoh-tokohnya diceritakan dengan natural dan lumer. Raumanen menurut saya pantas menjadi bacaan wajib setiap remaja sepanjang masa.

Sebenarnya saya masih ingin menderet barang 10 judul lagi, tetapi saya yakin kalau saya menambah 10 judul lagi, pasti saya akan berkeinginan untuk menambahnya lebih panjang. Pemilihan judul buku yang merupakan pengalaman personal ini saya harap bisa bertemu dengan pembaca yang sangat mungkin berpendapat sama dengan saya mengenai sebuah buku. Namun jika berbeda, tentu bukan soal. Minimal saya tahu pendapat teman-teman pembaca yang pasti tak kalah seru dalam kelindannya bersama buku-buku.
Kebetulan judul-judul buku yang saya sebutkan di atas adalah buku (novel) yang saya sukai. Namun saya sempat meneliti dan menginterogasi diri saya apakah ada buku yang tidak saya masukkan hitungan tetapi saya nilai akan berumur panjang. Tak pelak, jawabannya adalah novel-novel Fredy S.
Saya sempat tergoda untuk tahu, apakah ada teman-teman pembaca yang menyertakan salah satu judul novel Fredy S dalam daftar bacaannya, terkait pemilihan 10 judul buku yang menurutnya berumur panjang. Jika ada, saya sungguh gembira karena novel-novel Fredy S pernah menjadi kawan perjalanan remaja saya.
Akirnya, saya berharap bisa membaca lebih banyak lagi karya-karya bagus dari penulis-penulis Indonesia dan berharap dunia semakin mengenalnya. Panjang umur sastra Indonesia. ||

Buku, Berusia Panjang, oleh Liswindio Apendicaesar



Dalam dunia buku-buku bacaan, ada banyak buku yang bagi masing-masing pembacanya meninggalkan kesan mendalam dan bahkan dapat mempengaruhi pandangan hidup si pembacanya. Buku-buku ini, sayangnya, tidaklah selalu buku-buku yang mudah ditemukan di toko-toko buku di sekitar kita. Beberapa dari buku-buku ini bisa saja belum atau tidak jual di negara kita, atau bisa juga merupakan buku tua yang sudah tidak lagi diterbitkan oleh penerbit manapun. Tentunya sebagai pembaca buku, kita berharap buku-buku yang menurut kita sangatlah penting dan berpengaruh ini dapat pula dibaca dan mengubah hidup pembaca-pembaca lain secara positif di luar sana. Dalam kesempatan ini, saya akan berbagi perspektif mengenai 10 buku yang menurut saya seharusnya secara periodik terus dicetak ulang dan akan berumur panjang (tapi tidak dalam urutan).
Pertama, buku yang menurut saya seharusnya berusia panjang adalah The Adventures of Tom Sawyer. Buku ini adalah salah satu beberapa karya Mark Twain yang paling terkenal. Buku ini sebenarnya bukanlah termasuk sastra yang memiliki kebahasaan yang tinggi dan penuh perumpamaan. Sebaliknya, buku ini dalam penulisannya menggunakan bahasa Inggris yang sangat tidak baku yang merupakan aksen Mississippi di zaman penduduknya banyak yang belum memiliki tingkat edukasi yang baik. Pun buku ini tidaklah memiliki cerita yang rumit atau penuh drama dan pesan moral-sosial, melainkan hanyalah menceritakan imajinasi dan kenakalan anak-anak yang sama sekali masih polos, belum terkontaminasi orang dewasa, dan jiwa penuh kebebasan yang belum terbatasi oleh pandangan-pandangan kaku orang dewasa. Buku ini layak untuk dibaca baik oleh dewasa maupun anak-anak, setidaknya menjadi pengingat kita akan kemurnian masa kecil kita.
Buku kedua yang menurut saya layak berusia panjang adalah Forty Rules of Love. Novel ini adalah karya penulis Turki yang banyak mengandung nilai-nilai sufisme. Keunikan buku ini terletak pada gaya penceritaannya yang paralel. Seorang perempuan yang bekerja sebagai editor harus meninjau suatu naskah novel yang bercerita tentang pertemuan antara Jalaluddin Rumi dan Shams Tabrizi. Editor tersebut sedang memiliki masalah rumah tangga dan percintaan dan kisah dalam manuskrip tersebut memberinya semacam pencerahan. Si editor akhirnya berkenalan dengan si penulis melalui surel dan akhirnya jatuh cinta padanya setelah beberapa kali saling berkirim surel. Melalui novel ini kita akan belajar bahwa di dunia yang penuh ketidakpastian ini, kita harus senantiasa memilih cinta karena hanya dalam cintalah kita bisa menemukan Tuhan dan diri kita sendiri.
Yang ketiga dalam daftar saya bukanlah novel, melainkan puisi. Pada tahun 2010, Avianti Armand menerbitkan buku kumpulan puisinya yang berjudul Perempuan yang Dihapus Namanya dan memenangkan penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa kategori puisi. Kumpulan puisi ini terutama mengisahkan tentang perempuan yang diciptakan Tuhan sebelum Hawa, yaitu Lilith yang sama-sama diciptakan langsung dari tanah dan Lilith tidak mau jadi perempuan yang tunduk kepada lelaki sehingga Lilith akhirnya diusir dan dianggap bersekutu dengan setan. Kisah tentang Lilith sendiri ditemukan pada salah satu gulungan dokumen di Laut Mati, tapi tidak pernah dikanonisasikan dan justru disembunyikan kisahnya oleh gereja. Melalui puisi-puisinya Avianti Armand ingin menunjukkan bahwa kehadiran Lilith tidak bisa dihapuskan oleh beragam upaya, dan Lilith akhirnya selalu muncul dalam kisah-kisah perempuan yang ada pada Kitab Perjanjian Lama dalam beragam bentuk. Buku ini agaknya memiliki kesan feminisme yang cukup kuat.
Buku keempat, yang sesungguhnya tanpa perlu saya sebutkan pun pasti akan terus dicetak ulang, adalah Bhagavad Gita. Bhagavad Gita sendiri merupakan bahasa Sansekerta yang dalam bahasa Indonesia berarti “Nyanyian Tuhan”. Buku ini berisi kumpulan syair-syair yang diwejangkan oleh Sri Krisna kepada Arjuna ketika Arjuna bersedih dan enggan memenuhi kewajibannya sebagai seorang Kesatria dalam perang Bharatayudha. Dalam wejangannya, Sri Krisna menjelaskan bahwa dalam keyakinan Sanatana Dharma, Tuhan yang disebut sebagai Brahman yang tunggal yang sesungguhnya adalah Tuhan yang tidak bisa dijangkau dan tidak bisa dipahami, sesuatu yang tak terkondisi dan melipuiti ada sekaligus tidak ada. Brahman kemudian beremanasi menjadi alam semesta sekaligus isinya serta para Dewa, sehingga setiap yang hidup di dunia ini sesungguhnya merupakan Atman (percikan dari Brahman). Perbedaan Sri Krisna dan Arjuna (dan manusia lainnya) adalah Sri Krisna menyadari ada bahwa Brahman ada di dalamnya dan dia ada di dalam Brahman, sedangkan Arjuna serta manusia lainnya tidak menyadari hal ini. Sri Krisna juga menjelaskan bahwa sesungguhnya setiap manusia memiliki caranya sendiri-sendiri untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan akhirnya berpulang kembali pada Tuhan, dan karena caranya ini berbeda-beda maka seseorang hendaklah memenuhi kewajibannya masing-masing, termasuk menjadi Kesatria yang harus melawan kebatilan.
Kelima dan keenam adalah dua buku yang ditulis oleh penulis Indonesia favorit saya, yaitu Ziarah dan Kering yang ditulis oleh Iwan Simatupang. Ziarah ditulis dengan banyak nilai-nilai filsafat eksistensialisme dengan stilistika yang cukup kompleks, tapi dapat menggali sangat dalam dan terang tentang sanubari seorang manusia, tentang kemanusiaan itu sendiri. Melalui Ziarah, pembaca bisa melihat bahwa kebetulan-kebetulan dalam hidup yang kita alami bisa jadi merupakan kumpulan kejadian yang mengarah kepada satu keputusan dan jalan hidup, dan akhirnya memaknai pekuburan sebagai panggung hidup yang sesungguhnya. Kering adalah novel pertama dan sampai saat ini masih satu-satunya yang pernah say abaca yang dituliskan dengan gaya bahasa hiperbola. Membaca Kering seolah kita tidak bisa memutuskan apakah ceritanya adalah realisme atau surealisme. Bisa jadi semua gambaran hiperbolis dalam Kering adalah bagaimana sesungguhnya benak pikiran kita bertindak dalam alamnya sendiri, yang hanya terwujud sebagian ke dalam realita kita atas nama batasan rasionalitas.
Buku kedelapan adalah sastra klasik dari Jepang yang berjudul Yume Juuya (Ten Nights of Dreams)  karya Natsume Soseki. Ada sepuluh kisah pendek dalam Yume Juuya, yang masing-masing menceritakan sebuah mimpi yang dialami oleh si pencerita dalam buku tersebut. Membaca buku ini dapat mengahadirkan nuansa misterius, horor, kebingungan, kehilangan, harapan, dan juga rasa penasaran. Perasaan kita benar-benar dibuat melompat-lompat dan campur aduk oleh Yume Juuya, seolah kita benar-benar baru sedang bermimpi atau baru saja terbangun dari mimpi dan pengalaman di alam impian itu masih sangat membekas pada jejak pikiran kita. Buku ini juga sudah pernah dibuat filmnya.
Buku kesembilan menurut saya adalah kumpulan naskah drama dari Tragedi Yunani. Setidaknya, ada dua kisah dalam kumpulan lakon Tragedi Yunani yang bagi saya sangat berkesan, yaitu kisah tentang Oedipus Rex dan kisah tentang Medea. Oedipus Rex bercerita tentang Raja Oedipus yang ketika lahir telah diramalkan untuk membunuh ayah kandungnya sendiri dan akhirnya menikahi ibunya. Ayahnya yang merupakan raja akhirnya membuangnya agar tragedi tersebut tidak terjadi. Namun, Oedipus akhirnya tumbuh besar sebagai anak angkat dari kerajaan lain dan berakhir membunuh ayah kandungnya dan menikahi ibu kandungnya sendiri tanpa dia ketahui. Di akhir kisah, Oedipus akhirnya mengetahui perbuatannya tersebut dan akhirnya meninggalkan kerajaannya dan mengambil kedua matanya karena menyesal. Medea berkisah tentang seorang istri yang telah mengkhianati ayah dan kakak kandungnya demi cintanya kepada sang suami, tapi akhirnya sang suami menikahi seorang putri raja. Medea akhirnya membalas dendam dengan membunuh sang putri serta sang raja tersebut, lalu membunuh kedua anak kandungnya sendiri sebagai pembalasan dendam kepada suaminya. Pada akhirnya baik suaminya maupun Medea adalah yang paling menderita atas tragedi tersebut.
Terakhir, kesepuluh, buku yang menurut saya layak untuk dicetak ulang adalah Inteligensi Embun Pagi (IEP) karya Dewi Lestari. Ada alasan sentimental bagi saya mengapa memilih buku ini sebagai salah satu dari sepuluh buku yang layak berusia panjang. Menurut saya buku ini bukan sekadar novel, melainkan bentuk implisit dari rangkuman pengalaman spiritual si penulis. Melalui buku terakhir dari seri Supernova ini, Dewi Lestari berhasil menuturkan bahwa manusia adalah “agen dan tubuh-tubuh perantara” dari suatu “Hiperentitas” yang tunggal ke dunia tiga dimensi kita ini, yang pada suatu ketika umat manusia terputus koneksinya sehingga manusia lupa asal-usulnya lalu menciptakn ilusi keakuan. Hiperentitas ini bisa diterjemahkan ke dalam beragam hal; bisa jadi itu Tuhan dalam konsep agama wahyu, atau mungkin Brahman sesuai agama Hindu, atau mungkin alien, atau suatu kesadaran kosmik.
Melalui IEP juga dijelaskan bahwa peradaban Sumeria adalah suatu peradaban manusia yang mungkin paling kuno dan “Tuhan Sumeria atau Alien” ketika itu mengendalikan manusia agar terus terjebak dalam lingkaran Samsara (lingkaran tumimbal lahir) dan tidak bisa terbebas mencapai kesadaran kosmik hingga saat ini. Sebagai tambahan, dalam kisah tersebut ada dua tokoh yang merupakan metafora dari awal dan akhir, yaitu Alfa dan Ishtar (yang juga bernama lain Omega). Kedua tokoh ini sejak awal mula sudah saling berkejaran memutari Samsara agar mereka bisa bersama. Di bagian awal buku ini dibuka dengan puisi yang mengisahkan tentang Alfa dan Omega yang berpisah dan ingin menyatu, seperti kerinduan tentang manusia kepada Tuhannya, atau tentang dualitas antara Samsara dan Nirwana yang untuk mencapai Nirwana (Moksa) sendiri maka seseorang harus meniadakan dualitas dalam dirinya.
Sebenarnya masih ada buku-buku lain yang menurut saya sama-sama layak dicetak ulang hingga bergenerasi-generasi kemudian. Namun, pada tulisan ini saya hanya berkesempatan menyebutkan sepuluh. Mungkin di lain kesempatan saya bisa menyebutkan buku-buku lainnya yang sejauh ini sangat berpengaruh besar bagi hidup saya. ||

Sketsa Sepuluh Buku, oleh M Fauzi Sukri



Sangat gampang sekali memilih dan mencatat sepuluh buku bahkan lebih, jika tanpa maksud apa pun. Yang bermasalah bukanlah membuat penilaian terhadap buku, apa pun kriterianya, tapi saat pikiran digerakkan untuk membuat vonis pemeringkan secara hierarkis: satu karya lebih berbobot, lebih baik, lebih pantas mendapatkan penghargaan, dan berbagai lebih-lebih yang lain.
Sepuluh buku bisa saja membutuhkan 100 alasan bahkan lebih sebagai pembenaran. Dan sering tidak cukup jika kita mengajukan satu buku dengan satu alasan: entah ketokohan penulisnya, sisi dokumentatif satu karya, pembawa semangat zaman meski jelek dan tak berbobot, pembentuk arus baru perbukuan, karya yang seharusnya abadi dan dibaca tiap generasi, dan seterusnya. Sekian pembenaran itu barangkali bisa berpengaruh pada nasib buku, tapi sungguh tak ada manfaatnya sedikit pun bagi manusia yang tak membaca buku itu sendiri. Buku itu tiada, meski dimiliki seseorang tersebut. 
Satu huruf seperti A apalagi jika sampai Z, bisa digunakan untuk menulis berbagai buku yang bisa sangat berbeda, tapi A dan Z tidak pernah mempunyai nilai hierakis. Di sinilah, seperti diriku saat ini, bisa dengan sedikit enteng menyebut bahwa sepuluh buku ini pantas diberi umur panjang dan menemui generasi mutakhir dan masa depan.

***

Apakah RA Kartini (1879-1904) termasuk penulis pertama cerita anak modern di Jawa? Dalam buku lusuh berwarna hijau dengan judul Buku Pengabdian Pahlawan Kemerdekaan Nasional Ibu Kartini (1969), panitia tidak cuma memasukkan kutipan dari surat-surat Kartini yang dianggap penting. Panitia justru menampilkan karya berjudul Kongso Tjerita Wajang Purwo Buah Karja Ibu Kartini (1902).
Aku menyebutnya sebagai cerita anak yang aneh: sangat politis yang bernuasa ‘nasionalitik’. Coba perhatikan paragraf pertama ini: “Basudewo seorang Radja dari Madura, mempunjai 3 orang istri; isteri jang tertua melahirkan 3 orang anak, dua orang putera, R Kokrosono seorang bule (albino) dan R Norojono berkulit hitam, seorang puteri bernama Dewi Brotodjojo, meski berkulit sawo mateng (bruin) tetapi mempunjai ketjantikan jang luar biasa. Dua orang isteri lainnja sampai saat itu tidak mempunjai anak.” Di bagian akhir, terdapat kalimat ini: “Radja sangat bergembira ketika mengetahui bahwa putra2nja sendirilah jang menolong keradjaannja. Basudewo memanggil 3 orang putranja bersama Bimo dan Pamadi.”
Aku membayangkan, seandainya Kongso ini bisa dicetak ulang dengan ilustrasi yang menarik, kepustakaan Kartini tidak hanya terlalu serius tapi bisa juga bercorak kebocahan.

***

Pada 1951, Suwarsih Djojopuspito selesai menulis buku berjudul Riwayat Hidup Nabi Muhammad SAW. Buku ini pertama kali diterbitkan pada 1956, entah oleh penerbit apa, lalu untuk cetakan kedua diterbitkan Pustaka Jaya pada 1976. Pada kata pendahuluan yang hanya dua paragraf pendek, Suwarsih menuliskan maksudnya: “Di dalam bahasa Indonesia masih sedikit sekali buku-buku yang menceritakan riwayat Nabi Muhammad saw dengan kata-kata dan cara, yang sesuai dengan alam pikiran pemuda dan pemudi jaman sekarang.”
Yang menarik, sebelum diterbitkan, Suwarsih meminta intelektual kondang H  Abdul Malik Amrullah (Hamka) untuk “meminta pemeriksaan dan bandingan” sebagai pakar sejarah Islam. Namun, “mulanya belumlah saya acuhkan benar,” kata Hamka. Alasannya agak kurang ajar, menurutku: “Karena [Suwarsih] sebagai seorang yang berpendidikan Barat, saya pikir, tentu buku-buku yang dibacanya tentang Riwayat Hidup Muhammad s.a.w. hanyalah dari sumber Barat. Padahal saya sudah agak lama mendengar nama pengarang, sebagai seorang wanita yang amat besar minatnya kepada kesusastraan. Malahan sampai mendapatkan penghargaan yang baik karena suatu karangan dalam bahasa asing.” Justru, yang aku tahu, maraknya penulisan biografi Muhammad karena pengaruh ilmu sejarah Barat.
Alasanku memilih buku ini malah karena penulisnya adalah seorang feminis wanita.  Suwarsih kita tahu, seperti diketahui Hamka, telah menulis novel Buiten het Gareel (Manusia Bebas) yang ditulisnya waktu berumur 25 tahun dan mendapatkan sambutan menarik dari kalangan peminat sastra. Yang perlu dicatat, setahuku, hanya dialah sastrawan perempuan Indonesia yang menulis biografi Muhammad. Namun, sepertinya Pustaka Jaya tidak bakal tertarik menerbitkannya, tidak bakal seantusias menerbitkan karya-karya sastra dunia.

***

Salah satu buku sosiologi Jawa klasik terbaik yang pernah aku baca dalam bahasa Jawa berhuruf Latin adalah Serat Jayengbaya, karya pemuda Ranggawarsita (Balai Pustaka, 1988), ahli bahasa dan sosiolog yang hidup sezaman dengan Karl Marx. Imajinasi profesi terliar manusia abad XIX ada dalam buku ini: mulai angan-angan menjadi penjual kuda sampai kehendak menjadi Tuhan. Tapi, semua profesi kerja yang diangankan pemuda Ranggawarsita tidak ada satu pun yang cocok dengan hatinya. Aku membayangkan, jika pemuda Ranggawarsita hidup di abad XXI, salah satu profesi keinginannya yang tetap tak bakal dikehendakinya adalah menjadi Tuhan. Betapa repotnya Tuhan di media sosial jagat maya!
Yang jelas, aku tidak mau menyebut Serat Jayengbaya  sebagai “sastra nostalgia”, seperti yang disematkan pada buku-buku sastra lawas Balai Pustaka. Aku wajib menyebut buku pemuda Ranggawarsita sebagai buku sosiologi klasik yang cuma salah gaya bahasa: terlalu lucu dan kocak, bergerak antara realitas dan utopia, sebagaimana Karl Mannheim membahas di abad XX.

***

Sejujurnya, buku tipis ini pantas terus beredar hanya dengan satu alasan: romantisme religius seorang suami untuk sang istri. Bilik-bilik Muhammad, Novelet Rumahtangga Rasullah SAW, karya AR Baswedan (pertama kali terbit tahun 1940), sangat memenuhi persyaratan romantis ini. Buku biografi Muhammad sudah cukup banyak beredar, tapi tidak ada satu pun yang diawali dengan puisi bernada ala Pujangga Baru. Kita kutip stanza terakhir puisi dari tokoh Partai Arab Indonesia ini: Nilah, wahai Istri yang mulia!/ Sepantun ratna mutu manikam/ Tanda bersyukur PEMBALAS JASA.../Jadi kenangan masa nan silam.../penghibur hati...!
Aku membayangkan AR Baswedan membacakan novelet ini pada sang isteri di kamar mereka. Ah, mesra...

***

Buku ini sangat penting untuk memperingati 100 tahun HB Jassin pada 31 Juli 2017 nanti. Antara Imajinasi dan Hukum: Sebuah Roman Biografi HB Jassin karya Darsjaf Rahman, yang diterbitkan Gunung Agung pada tahun 1986. Darsjaf Rahman, berdasarkan pengantar Mochtar Lubis dalam buku ini, adalah seorang wartawan dan pengarang, yang kenal dekat dengan HB Jassin dan pernah bekerja mengasuh majalah sastra budaya bersama.
Satu kalimat penting untuk dikutip: “Hans serba rupa yang merupakan untaian akar-akar halus panjang yang bergantungan dari dahan-dahan ke tanah. Urat-urat itu memperlengkap wajah beringin. Hans memang beringin!” Aku membayangkan sastra Indonesia berada di bawah teduh pohon beringin pusat dokumentasi HB Jassin. Bagi Anda mau memperingati 100 tahun HB Jassin, segera cari, beli atau fotokopi buku ini!

***

Alasan kali ini sungguh bersifat pribadi: aku belum mempunyai buku ini, meski sebagian isinya sudah aku baca dan aku kutip: Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX, susunan E. Ulrich Kratz (2000). Apakah kamu juga belum punya atau malah tidak pernah tahu ada buku itu dan tentu tidak mau punya? Yakinlah, bahwasanya sastra Indonesia abad XX (bukan cuma “sejarah”) tidak hanya berisi puisi, prosa, dan drama, tapi berseliweran esai sastra yang bagus dan cerdas!
Buku hampir setebal 1000 halaman ini sungguh keterlaluan pantas untuk dibaca (calon) pembaca sastra Indonesia modern! Jika kamu mau membaca sastra Indonesia tapi tidak mau mempunyai dan membaca buku ini, terkutuklah pembacaan dan bacaan sastramu, hari ini dan kelak! Yakinlah! Aku saja mau bertobat dengan berdoa harap agar KPG mencetak ulang buku ini! Amin...

***

Dan, kali ini aku sangat merekomendasikan buku pedoman hidup yang sangat penting di dekade kedua abad XXI: Kesepian– Sumber Ilham yang Kreatif karya WE Hulme. Aku tidak tahu kenapa zaman edisi mutakhir selalu menggunakan satu kata “jomblo”. Kata ini tidak puitis, tidak filosofis, dan tentu saja tak terdengar membawa aura kreatif bagi banyak orang, kecuali Raditya Dika: dari seorang kesepian yang menulis cara menguburkan anak ayam yang mati terbunuh di tangan mungilnya, dalam buku Kambing Jantan, yang membuatnya termasyhur sebagai penulis tragi-komedi, menjadi pembual lucu nan masyhur di jagat kelas menengah muda Indonesia, sampai menaikkannya menjadi seorang sutradara kondang.
Pasti buku favorit Raditya Dika adalah Kesepian–Sumber Ilham yang Kreatif, yang diterbitkan Cipta Loka Caraka sejak 1984 dan terus menemani kesepian warga Indonesia sampai 1993. Kamu jomblo yang perlu kreatif? Bacalah buku agung penting ini! Yakin manjur!

***

Sejak dahulu, di zaman modernku sejak bocah sampai sekarang, aku tidak pernah belajar ilmu kejahatan dari sang maha pakarnya sendiri. Lalu, pada suatu hari, aku mendapatkan buku berjudul pas: Iblis karya filosof Dr Mustafa Mahmoud. Aku merasa, kehidupan kita keterlaluan belajar hal-hal yang baik-baik saja. Kita justru sangat lupa belajar keiblisan. Tuhan saja menulis tentang Iblis, masak manusia tidak belajar keiblisan sebagai ilmu sangat penting.
Buku Iblis punyaku hilang satu halaman, di bagian data buku, jadi aku tidak tahu buku ini terbit tahu berapa. Yang jelas diterbitkan penerbit Pustaka Mantiq. Perhatikan lima subjudul dalam daftaf isinya ini: “Hakikat Cinta”, “Iblis”, “Beban Resah”, “Bebas Memilih dan Bukan Ditentukan”, dan terkahir “Kata-kata yang Tercecer”. Iblis itu apa atau siapa? Apakah aku termasuk Iblis? Ah, aku ingat kalimat dalam puisi Sapardi Djoko Damono: dalam dirimu...    

***

Dulu, aku agak sedikit kaget waktu mendapat buku berjudul Biografi Bergambar KH Ahmad Dahlan karya Zaini Ibrohim. Ingatanku langsung pada “larangan” seni rupa “gambar hidup” dalam persepsi umat Islam. Dulu dalam “kitab” yang aku baca, ada beberapa gambar makhluk hidup yang garis lehernya tidak disambung. Aneh! Alasannya: manusia dilarang menggambar makhluk hidup, bisa dituntut memberikan nyawa. Sekarang, bagiku, si pengucap itu sungguh keterlaluan tak punya pikiran iman: manusia justru disuruh menjadi Tuhan, sebagai dzat yang mampu menciptakan nyawa!
Perhatikan maksud buku komik Ahmad Dahlan ini: “Akhir-akhir ini, banyak kalangan pendidik yang memprihatinkan gejala membanjirnya bacaan bergambar dari mancanegara. Meski ada yang cukup bermanfaat, namun yang bersifat merusak jauh lebih banyak jumlahnya.” Maka, buku ini masih pantas untuk dibaca umat Islam, tentu bukan hanya umat Muhammadiyah.

***

Dan terakhir, buku ini semoga saja menjadi perbincangan publik: Kosmos karya Carl Sagan yang (telat!) diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia, pada Desember 2016. Buku ini termasuk buku sains populer yang sangat menarik untuk dibaca, tidak hanya pada generasi sekarang, tapi juga generasi mendatang.
Satu kutipan penting: “Kosmos baru saja ditemukan kemarin. Selama jutaan tahun semua orang menganggap jelas tidak ada tempat lain selain Bumi. Kemudian pada sepersepuluh persen akhir umur spesies kita, di antara masa Aristarkhos dan kita sendiri, dengan berat hati kita menginsafi bahwa kita bukanlah pusat dan tujuan Alam Semesta, melainkan tinggal di satu planet kecil dan rapuh yang tersesat dalam keluasan dan keabadian...”
Maka, kata Sagan, “Fanatisme etnis atau chauvinisme keagamaan atau kebangsaan menjadi agak sulit dipertahankan bila kita melihat planet kita sebagai sabit biru rapuh yang meredup menjadi setitik cahaya yang tidak menarik perhatian di antara kepungan bintang-bintang. Bepergian memperluas pandangan kita.”

***

Sepuluh buku sudah aku pilih dan tulis sketsanya, dengan sebisa mungkin sepuluh alasan. Tak semuanya bisa punya kemungkinan untuk tetap akan hadir di sekian ribu rumah warga Indonesia, lalu mendapati pembacanya yang budiman. Ada buku yang sudah terkubur di suatu tempat sekarang, tapi barangkali masih bakal menemukan pembaca ampuhnya di masa depan.
Tiap kali sebuah buku mendapatkan pembaca yang bagus, ia seperti menemukan seorang sahabat nan kekasih yang bisa diajak ngobrol sepanjang siang malam, hanya mengenai dirinya. Betapa terhormatnya buku itu. Aku berharap sepuluh buku yang aku sebutkan menemukan pembacanya yang budiman terhormat di masa sekarang dan di masa depan. Semoga! ||