Dari Buku Robert Downs hingga Jusuf Sutanto, oleh Budiawan Dwi Santoso



Membaca banyak buku? Merasakan fenomena buku-buku  yang terus dicetak ulang hanya buku-buku yang itu-itu saja? Kalau kamu berpikir dan berharap ada buku-buku lain yang seharusnya lebih layak berumur panjang, tuliskan sebuah esai tentang 10 buku yang menurutmu akan berumur panjang.”
Pertanyaan-pertanyaan retoris sekaligus pengumuman, himbauan, pancingan, dari komunitas Pawon Sastra mengundang dan mengandung perhatian bagi kita (pembaca). Dan, perhatian terhadap hal itu, justru meneroka saya untuk bertanya-tanya dan meneropong realitas perbukuan pada masa kontemporer ini. Entah, yang dicetak ulang itu mulai dari buku pelajaran, buku diktat, buku teori, ataupun buku bacaan bersifat umum, meliputi ranah sosial, sastra, agama, filsafat, hukum, psikologi, pendidikan, politik, sejarah, budaya, sampai dengan ekonomi.
Tentu, buku-buku dicetak ulang itu—tanpa menyebut detail judul buku, genre, penerbit—bagi sebagian pembaca ada yang merespon dan merasa bosan, jengah, iri, sampai-sampai menimbulkan suara-suara atau kicauan serak, tak enak didengar, dilihat, dibaca oleh pendengar, pembaca, atau pengunjung. Baik di ruang kelas, warung, kafe, ruang publik lainnya, sampai dengan ruang di media sosial. Ada pula, dengan cetak ulang, sebagian pembaca lain, tambah pihak pengarang/penulis, dan penerbit, merasa senang-senang saja. Entah, karena mendapati massa pembaca banyak, keuntungan secara materi, atau semakin membuat mereka semakin eksis.
Pernyataan dalam realitas sosialnya seperti itu, bila ditelisik pelan-pelan, secara menyeluruh, dan cukup mendalam, maka akan ada pelbagai hal, baik faktor kenapa buku dicetak ulang? Kenapa sebagian pembeli dan pembaca merasa tidak senang dengan cetak ulang buku-buku tertentu yang dilihatnya? Dan, sebaliknya, kenapa ada sebagian pembaca, tambah lagi, penulis dan penerbit merasa senang, dan perlu dicetak ulang lagi?
Karena, pembaca (saya) tak sanggup menuliskan secara panjang dan detail, toh, sebagian pembaca juga sudah mengetahui hal itu, dan dari pihak Pawon Sastra telah memberi batasan tulisan maksimal 10.000 karakter. Maka, saya akan memaparkan sekelumit 10 buku yang menurut saya akan berumur panjang. Di mana, 10 buku ini nanti, sifatnya bukan menjadi buku paling utama atau wajib dibaca, tapi sekadar representasi buku-buku lain—juga masih bisa dianggap bisa ‘berumur panjang’.
Pertama, buku saku berjudul Buku-Buku Jang Merobah Dunia (1959) garapan Robert Downs terjemahan Asrul Sani. Buku lawas ini meliputi ulasan 10 buku “jang merobah dunia”, seperti buku Il Principe (Niccolo Machiavelli), Das Kapital (Karl Marx), Origin of Species (Charles Darwin), dan Relativity, The Special and General Theories (Albert Einstein). Meski, buku berisi ulasan-ulasan tentang buku, setidaknya, hal itu bisa memberi pengetahuan dan pemahaman pada pembaca, seperti saya, bagaimana buku-buku mampu menggerakkan dan merubah dunia, kadang-kadang demi kebaikan, kadang-kadang demi keburukan.
Kedua, buku puisi tipis Senandung Burung-Burung (cetakan kedua, 1984) garapan LK Ara. Buku berisi puisi-puisi diperuntukkan untuk anak, dengan bahasa sederhana dan lugas, ini bisa menjadi data sekaligus dokumen sejarah untuk memahami warna, asal, ciri, dan nama burung-burung. Dan, ketika membacanya, justru kesadaran terhadap lingkungan (dan) fauna saya terpantik. Sebab, betapa asingnya saya dengan burung-burung, notabene, dialami oleh kita, tak hanya anak-anak pada masa kini.
Dari kesadaran itu, saya menyodorkan buku Filsafat Lingkungan (2004) dari Henryk Skolimowski dan Revolusi Ekonomi (1996) garapan Willem Hoogendijk. Kedua buku masuk dalam daftar 10 buku yang akan berumur panjang, sebab, selain buku ini tak lagi beredar dan jarang ditemui di toko buku, ia memantik pembaca untuk mengetahui, memahami, dan mengamalkan apa yang terbaik untuk ke depan. Baik dari sisi lingkungan, sosial, agama, budaya, hingga ekonomi.
Malahan, dari bukunya Skolimowski dan Hoogendijk, saya cukup mahfum bagaimana modernisasi yang dilakukan manusia yang tanpa/kurang menyadari keseimbangan alam, pada dasarnya seperti mengajak kita untuk terus “berlari”. Entah untuk melarikan diri atau berlari agar tak ketinggalan dalam hal apapun. Di mana, hal ini sebenarnya, justru ketika “berlari”, mereka/ kita, kata Hoogendijk, dapat merusak hutan, fauna, permukaan bumi, air, udara, tanah, termasuk pula pedesaan, pusat kota tua, struktur sosial yang sudah mapan.
Inilah, kenapa saya untuk menyodorkan lagi, buku Dimensi Manusia dalam Pembangunan (cetakan kedua, 1984) karangan Soedjatmoko, akan semakin relevan untuk ke depan. Di mana, dalam buku itu, ia mengulas tentang pelbagai hal juga, tapi cenderung menekankan pada manusia, sebab, ia (manusia, sebenarnya bisa tertuju pada kita) faktor utama dalam keberlangsungan dan keseimbangan alam dalam hidup ini.
Saat manusia menjadi faktor utama, baik itu orang tua, orang dewasa, remaja, anak, dan balita, maka kehadiran buku lawas, hampir sobek, dan kertasnya mulai menguning, yakni buku Manusia Seutuhnya (1984) suntingan Darmanto Jatman dkk serta buku Ki Hadjar Dewantara (Darsiti Soeratman, 1985), tak menjadi mudah usang dan membosankan. Buku mengulas tentang manusia dalam pelbagai sudut pandang, dan buku satunya memaparkan sejarah kehidupan Ki Hadjar Dewantara, tak terlepas dari sejarah Indonesia dan pendidikan itu, selain mengantarkan kita untuk merenungi tugas/kewajiban manusia utama di dunia ini, juga turut menata/membenahi ulang bagaimana cara mendidik anak menjadi “manusia sebenarnya” serta melakoni kehidupan untuk ke depannya.
Sementara di luar itu, buku-buku baru dan cetak ulang terus bermunculan, saya mencukupkan diri pada buku-buku lawas, dianggap second, dan peredarannya cukup sulit didapati pembaca (saya). meski, buku-buku sebagian kecil ada di toko buku, dan sebagian besar di lapak buku bekas, malahan, buku-buku seperti itu memberi warna dan nafas panjang bagi pembacanya. Dan, itu pun sudah terbukti berumur panjang.
Seperti, buku 253 Tanja-Djawab: “Manipol”, Djarek, Resopim, Tahun Kemenangan (1964, tjetakan ketiga) garapan Sjofjan Hasan dan Mawardi Djalins, diterbitkan CV PP Miswar, Jakarta. Buku telah lawas, kertas menguning, bahkan ada yang dimakan rayap atau sobek. Buku rapuh itu telah terbit di masa akhir Orde Lama. Tentu, kehadiran buku ini di hadapan pembaca (saya) sampai sekarang ini, menunjukkan ketangguhan buku itu sendiri sebagai bukti ataupun cuilan sejarah. Tanya-jawab hadir dalam buku itu memantik imajinasi pembaca bagaimana pendidikan (politik) diajarkan; bagaimana buku ajar cukup ideologis dan politis untuk diedarkan. Sebab pada masa itu, Indonesia masih bisa dikatakan rawan dengan pelbagai hal. seperti, kemerdekaan yang belum berusia dewasa, masih bisa digoyangkan oleh musuh. Entah dari luar, atau dari dalam. Apa mungkin kerawanan itu juga masih mendekam sampai sekarang ini?
Pembaca cukup sadar, ketika membeli dan membaca buku ini. Bagaimana, buku ini meski remeh temeh, dan tak tercetak ulang lagi. Tapi buku ini setidaknya bisa memberi gambaran bagi pembaca yang gagap atau telah terpotong sejarahnya. Apalagi, buku dengan harga murah, dan tidak membuat pembaca kelelahan, seolah-olah, mampu memberi pengaruh pada si pembaca tak semakin rapuh dalam hidup di masa kontemporer ini. Contoh saja, ketika membaca tanya jawab halaman 29 ini: “Karena apa Revolusi Indonesia tidak gagal?” Jawabnya, “Karena kita berdjuang terus untuk melaksanakan tjita2 Revolusi Agustus 1945, jakni untuk Indonesia jang Merdeka penuh bersih dari sisa Feodalisme, untuk Indonesia bersosialisme, Indonesia jang Demokratis bersih dari Kapitalisme dan bersih dari eploitation de l’homme par l’homme (pemerasan manusia oleh manusia).”
Adapun buku saku Dunia Batin Orang Jawa (2008) garapan Imam Budhi Santoso ini menarik. Mungkin, buku ini tak begitu menggoda, baik dari sampul, nama pengarang, ataupun isi. Tapi, bagi pembaca kurang njawani seperti saya, barangkali, termasuk Anda, cukup membutuhkan buku itu. Setidaknya, ini memberi perspektif berbeda bagi orang-orang atau pembaca telanjur memeluk tradisi Barat, entah disadari atau tidak disadari. Isinya pun berisi paribahasa-paribahasa Jawa, tak membuat kepala pembaca pusing separo. Di mana, kata-kata peribahasa itu sendiri ringkas, ngresep, dan beraneka ragam, cukup meliputi pelbagai hal, dibutuhkan oleh pembaca dalam kehidupan. Seperti ana dina, ana upa, artinya: “ada hari, ada nasi”. Maksudnya, selama orang mau bekerja apa saja dengan tekun setiap hari, pasti akan mendapatkan sesuap nasi.
Peribahasa ini memberi semboyan bagi wong cilik dalam menyemangati dirinya untuk bekerja. Sebab, modal yang dimiliki hanyalah tenaga fisik belaka. Apakah pembaca merasa wong cilik atau bukan, saya menganggap ini bisa menjadi martil bagi kehidupan kini.
Ini termasuk buku Kearifan Kuno di Zaman Modern (2004) garapan Jusuf Sutanto, diterbitkan Hikmah, Jakarta. dimana, buku ini berisi esai-esai bernuansa spiritualisme, agar si pembaca dapat memahami hidup, tahu peran manusia di alam semesta ini, dan “tidak hiruk pikuk saling bertabrakan satu sama lain seperti yang kita saksikan sekarang ini untuk sesuatu yang sebenarnya sia-sia karena tanpa pemahaman yang benar.”
Cukup pentingnya bagi saya, dan entah bagi pembaca lain, apalagi, setelah menyimak dari pengantar dari Haidar Bagir berikut ini: “Kalau boleh saya berkhayal, wacana tentang kearifan kuno (ancient wisdom) akan mendapatkan tempat yang lebih luas dalam ‘sejarah’ kemanusiaan masa depan. Boleh jadi penyesuaian-penyesuaian lokal, kultural, dan religius akan terus meningkat kepentingannya sebagaimana dituntut oleh budaya posmodernistik, tapi basisnya justru kesamaan sumber kebijaksanaan yang di-share oleh semua kelompok umat manusia di sepanjang sejarahnya, dan bukan keberagaman yang tercerai-berai satu sama lain.” ||

Share:

0 komentar