Mestinya Mereka Panjang Umur, oleh Indah Darmastuti



Memilih buku-buku yang menurut saya semestinya berumur panjang itu cukup sulit mengingat banyak buku bagus yang ditulis oleh penulis Indonesia. Namun, ketika kita diminta untuk lebih fokus dan jujur terhadap pembacaan sebuah buku, itu menarik sekaligus menantang seberapa kuat buku tersebut punya pengaruh dalam diri saya, baik untuk kreativitas atau aktivitas berpikir.
Pembacaan buku adalah pengalaman personal, sehingga saya tidak bertanya kepada siapa pun, tentang bagaimana pendapat mereka mengenai sebuah buku yang menurut pengamatan saya (seharusnya) berumur panjang. Di sini, saya hanya mengumpulkan berdasarkan ingatan yang spontan muncul dalam benak saya. Jadi,  urutan di sini bukan maksud saya memeringkat buku yang saya pilih.

Bumi Manusia (Pramoedya Ananata Toer)
Siapa pun yang mengaku penulis atau pembaca sastra (Indonesia), mestinya sudah membaca novel tersebut. Karena, bagi saya itu novel penting. Pramoedya memotret kehidupan Hindia Belanda yang kompleks dengan jernih. Novel realis-sosialis dengan tokoh Minke untuk menggambarkan TAS (RM Tirto Adisurjo), jurnalis pribumi pertama dan pendiri Sarekat Priyayi. Buku ini mestinya panjang umur karena ia mengenalkan tentang pentingnya generasi muda menjadi kritis dan tajam berpikir. Jangan menyebut diri revolusioner atau aktivis sebuah pergerakan jika belum membaca novel ini.

Para Priyayi (Umar Kayam)
Sudut pandang lebih dari dua orang tetapi tak kehilangan warna karakter menjadi salah satu kekuatan novel ini. Semua tokoh memiliki ciri khas dalam menceritakan dirinya (Lantip, Sosrodarsono, Ngaisah (istri Sosrodarsono), dan ketiga anaknya). Realitas yang difiksikan, saya menganggapnya begitu. Bukan hanya menceritakan soal kejawaan, tetapi lebih pada cara penulis menyasar pada politik, sosial, agama, budaya, sikap hidup dan moral melalui tokoh-tokohnya. Novel ini pantas panjang umur karena ke-riyayian yang dikenalkan dalam novel ini adalah mengayomi keluarga (baca: rakyat). Priyayi adalah sikap, bukan takdir. Ini nilai penting yang pantas diselami oleh generasi kini.

Burung-Burung Rantau (YB Mangunwijaya)
Manusia pasca-Indonesia dan warga dunia. Novel tentang multikulturalisme yang memikat sejak halaman pertama. Mengajak untuk menukik kedalam batin tentang kemanusiaan dalam laju teknologi dan “modern” yang tak terhindarkan. Tentang pahit-manis cinta yang diolah dengan logika. Kisah dan keputusan hidup para tokoh (Neti, Bowo, Candra) yang dialegorikan dengan burung-burung rantau. Novel ini mengajak berpikir bahwa kelak suatu hari (dan sekarang sudah dimulai) bahwa warga negara semakin cair, mobil, dan kita turut tergulung dalam gelombang itu, tetapi mereka (tokoh-tokoh dalam novel itu) tak kehilangan identitas. Awalnya, saya cukup kesulitan memilih salah satu judul novel karya Romo Mangun, apakah Burung-Burung Manyar atau Roro Mendut atau Ikan Hiu, Ido, Homa atau Burung-Burung Rantau. Tetapi akhirnya saya memilih yang terakhir. Memang butuh energi ekstra ketika saya menuntaskan novel ini. Tetapi, saya menyukai kedalam maknanya dan saya pikir, novel ini pantas berumur panjang.

Canting (Arswendo Atmowiloto)
Novel ini pantas berumur panjang karena merekam dengan baik sebuah era dimana peristiwa transformasi budaya dan sosial-ekonomi  pernah berlangsung (di Solo, Jawa). Menceritakan bagaimana situasi dan interaksi yang unik dan khas di tempat pemrosesan batik tradisional, yang kemudian harus meredup oleh hadirnya mesin produksi yang tak terbendung lagi. Dari generasi Pak dan Bu Bei yang mengolah perusahaan dengan model lawas, hingga Ni yang bersiap mengolah perusahaan dengan menyesuaikan zaman.    

Tarian Bumi (Oka Rusmini)
Novel ini akan berumur panjang. Paduan antara kentalnya budaya, kuatnya patriarkhal dan sistem kasta yang kokoh di Bali dan kurang memihak pada perempuan membuat novel ini seksi dan cool. Cinta itu kuat seperti maut. Telaga Pidada rela melepas kasta demi cinta, itu adalah bagian yang paling menyayat karena prosesi pelepasan (penurunan) kasta yang secara simbolik sungguh memedihkan dan mematik pertanyaan siapakah manusia di hadapan semesta? 

Kuantar ke Gerbang (Ramdhan KH)
Potret tentang perempuan yang tak seharusnya dilupakan negeri ini. Kekuatan dan ketangguhannya dalam menghadapi permasalahan sungguh menginspirasi. Ia berada di Balik lelaki yang begitu “mengerikan” bagi dunia. Dua tokoh: laki-laki yang dahsyat dan perempuan yang tak kalah dahsyat. Inggit dan Kusno (Sang Proklamator) Cinta Inggit adalah semacam tanggungjawab untuk menjaga Kusno agar tetap hidup dan tak padam semangatnya. Novel sejarah ini pantas berumur panjang karena setiap generasi harus tahu bagaimana perjalanan hidup  dengan lika-liku perjuangan salah satu pendiri bangsa ini: Soekarno!

Nyanyian Akar Rumput (Wiji Thukul)
Setiap saya membaca berita tentang perlawanan pada kesewenangan penguasa di sebuah daerah, saya selalu teringat puisi-puisi Wiji Thukul.  Thukul adalah konsistensi terhadap perjuangan melawan kezaliman pemerintah dan kejamnya kekuasaan. Puisi-puisi yang lantang bicara tentang hak, demokrasi dan ketertindasan yang lemah. Saya menganggap ini buku (puisi) penting bukan hanya karena puisi-puisinya yang berani, tetapi juga penyairnya yang tak boleh dilupakan generasi mendatang.

Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari)
Saya menyukai bacaan (novel) yang membawa warna lokal dan saya juga menyukai tarian-tarian khas sebuah daerah. Ronggeng Dukuh Paruk memiliki keduanya. Novel ini tak hanya mengangkat lokalitas di sebuah Dukuh kecil tetapi bagaimana tarian dan kesenian (ronggeng) adalah nafas desa itu. Namun sebuah tragedi bangsa telah menggulungnya tanpa ampun. 1965 adalah masa kehancuran dukuh kecil bersama kesenian ronggengnya. Saya menganggap novel ini pantas berumur panjang karena ada sebuah nilai yang tak lekang oleh waktu. Generasi kini harus tahu agar tidak menjadi generasi ahistoris. Bahwa kesenian, produk kebudayaan sangat bisa dikontrol bahkan dihancurkan oleh politik dan kekuasaan. 

Pengakuan Pariyem (Linus Suryadi)
Bukankah yang lemah itu selalu (di)kalah(kan)? Apalagi ia seorang perempuan. Pariyem mewakilinya. Ia sudah kalah sejak lahir. Tempat ia dilahirkan adalah desa yang kering tandus (Wonosari, salah satu daerah di pegunungan seribu). Ia anak seorang seniman rakyat yang tentu “sah” untuk dihabisi kreativitasnya paska 66. Lalu ia menjadi babu pada keluarga ningrat, kemudian ia dihamili anak majikan, dan puncaknya ia harus menanggung beratnya meninggalkan anak kandung sehingga ia harus repot bolak-balik dari rumah majikan ke desa tandusnya. Kekentalan pada bau Jawa menuju modern dalam novel ini mengabarkan betapa pengaruh dunia luar sungguh mudah merangsek generasi muda. Melalui novel ini, minimal saya tahu bagaimana tradisi beralih pada kekinian. 

Raumanen (Mariane Katopo)
Novel ini diceritakan dengan sangat cantik dan memikat. Tentang pergaulan bebas dengan segala konsekwensinya. Menceritakan tentang agama, adat istiadat dan moral tanpa menggurui apalagi berkotbah. Perjalanan tokoh-tokohnya diceritakan dengan natural dan lumer. Raumanen menurut saya pantas menjadi bacaan wajib setiap remaja sepanjang masa.

Sebenarnya saya masih ingin menderet barang 10 judul lagi, tetapi saya yakin kalau saya menambah 10 judul lagi, pasti saya akan berkeinginan untuk menambahnya lebih panjang. Pemilihan judul buku yang merupakan pengalaman personal ini saya harap bisa bertemu dengan pembaca yang sangat mungkin berpendapat sama dengan saya mengenai sebuah buku. Namun jika berbeda, tentu bukan soal. Minimal saya tahu pendapat teman-teman pembaca yang pasti tak kalah seru dalam kelindannya bersama buku-buku.
Kebetulan judul-judul buku yang saya sebutkan di atas adalah buku (novel) yang saya sukai. Namun saya sempat meneliti dan menginterogasi diri saya apakah ada buku yang tidak saya masukkan hitungan tetapi saya nilai akan berumur panjang. Tak pelak, jawabannya adalah novel-novel Fredy S.
Saya sempat tergoda untuk tahu, apakah ada teman-teman pembaca yang menyertakan salah satu judul novel Fredy S dalam daftar bacaannya, terkait pemilihan 10 judul buku yang menurutnya berumur panjang. Jika ada, saya sungguh gembira karena novel-novel Fredy S pernah menjadi kawan perjalanan remaja saya.
Akirnya, saya berharap bisa membaca lebih banyak lagi karya-karya bagus dari penulis-penulis Indonesia dan berharap dunia semakin mengenalnya. Panjang umur sastra Indonesia. ||

Share:

0 komentar