Sepuluh Buku yang Berjodoh dengan Saya, oleh Andi Wicaksono



Mengulas buku dan membaca ulasan tentang sebuah buku adalah aktivitas yang mengingatkan saya kembali pada masa kejayaan media jejaring sosial berbasis buku, Goodreads. Meskipun tak terlalu aktif, sempat saya sesekali ikut-ikutan memberi ulasan tentang beberapa buku pada wadah itu, meskipun jika dibaca ulang ulasan tersebut muncul rasa malu karena keluguan diksi yang pernah saya torehkan. Oleh karena itu, sejak awal saya mulai menulis artikel ini kenangan tentang masa-masa itu pun berkelebat seolah terulang kembali.
Sebenarnya, berbicara tentang buku yang disukai tak jauh beda dengan perbicangan kaum Adam tentang tipe pasangan idamannya (dan sepertinya pun demikian dengan kaum Hawa). Oleh karena itu, tak jarang buku yang bagi saya sangat berkesan bisa jadi akan dinilai biasa oleh orang lain, dan begitu juga sebaliknya. Uniknya, hampir tak ada tolok ukur yang pasti tentang penilaian ini. Semua serba subjektif, tergantung pada titik sentuh apa yang kemudian didapat oleh pembaca.
Meski demikian, bukan berarti membahas sepuluh buku (sebenarnya saya berharap empat saja sudah cukup) yang berkesan dan seharusnya bisa berumur panjang merupakan pembahasan yang membuang waktu. Hal ini disebabkan, pengalaman baca seseorang perlu untuk disampaikan dan ditularkan kepada orang lain agar diharapkan bisa meningkatkan daya baca masyarakat di lingkungan sekitarnya.
Memasuki pilihan pertama, saya jatuhkan pada sebuah buku yang tidak terlalu populer bagi masyarakat awam. Buku itu berjudul, Republik Funky: Asal Usul Harry Roesli. Buku yang diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas pada bulan Maret 2005 ini adalah kumpulan tulisan nakal mendiang Harry Roesli pada kolom Asal Usul yang kemudian sempat menjadi daya tarik tersendiri bagi pembaca setia edisi Kompas Minggu pada masa itu. Kenyataannya, dari kenakalan-kenakalan tulisan Harry Roesli-lah kemudian bisa ditemukan sisi keseriusan beliau dalam menyikapi permasalahan sosial yang terjadi di tengah masyarakat pada waktu itu, sehingga tidak jarang pembaca akan tertawa, tertegun, bahkan menangis dalam satu waktu ketika membaca tiap ulasannya.
  Berangkat dari buku kumpulan tulisan mendiang Harry Roesli yang sebenarnya adalah seorang musisi itulah kemudian saya semakin penasaran untuk berburu buku-buku kumpulan esai lainnya, hingga akhirnya saya pun menemukan jodoh kedua saya. Kali ini, pilihan tertambat pada Folklore Madura karya Emha Ainun Nadjib. Buku yang diterbitkan oleh Penerbit Progress ini berisi tulisan renyah Cak Nun tentang potret blakasuta masyarakat Madura. Gaya bahasa yang lugas, religius, dan mbeling selalu tersaji dalam tiap tulisan di buku ini, sehingga kejenuhan menjadi sesuatu yang hampir tak ditemukan ketika membaca halaman demi halamannya. Sayang sekali, setelah dua kali khatam membacanya lalu buku ini saya pinjamkan kepada teman dan kemudian tak kunjung pulang. Celakanya, saya lupa kepada siapa buku ini saya pinjamkan.
Cinta ketiga pun tak terelakkan. Setelah menemukan unsur kenakalan dan religiusitas pada dua buku sebelumnya, kemudian saya mengenal sosok Prie GS. Lewat buku kumpulan esainya yang berjudul Nama Tuhan di Sebuah Kuis, mata saya seolah dihadapkan pada kegetiran potret masyarakat sekitar. Paparan jeli dan menggelitik tentang fenomena sosial dengan sedikit bumbu khas jurnalistik menjadi nilai lebih karya-karyanya. Kumpulan esai Prie GS pada rubrik Serambi” di Cempaka Minggu Ini diterbitkan oleh Tiga Serangkai Pustaka Mandiri pada tahun 2003.
Adapun buku keempat, sebenarnya hampir saja saya dikecewakan olehnya, disebabkan judul yang tertera besar di sampulnya. Presiden Guyonan karya Butet Kartaredjasa, diterbitkan oleh Kitab Sarimin Yogyakarta. Berharap akan menemukan banyolan segar seperti tiga buku sebelumnya, malah saya menemukan suatu hal baru yang sempat saya anggap beku. Namun, tak segera saya berhenti. Titik sentuh terus saya cari. Hingga akhirnya saya sadar, seperti inilah guyonan khas Butet, nyeleneh di satu sisi dan tetap bersahaja di sisi lain. Salah satu cermin kebersahajaan yang tampak adalah penulis tak mau menggurui pembaca sehingga ide-idenya disampaikan secara tak langsung melalui kisah “humor yang kental” keseharian Mas Celathu.
Tentu, tidak hanya bunga rampai esai saja yang kemudian berjodoh dengan saya dan berharap bisa berumur panjang. Beberapa prosa fiksi, biografi, autobiografi, memoar, bahkan sastra populer pun turut mewarnai 10 besar tangga buku tersebut.
Memasuki buku kelima, saya memilih antologi cerpen Senyum Karyamin karya Ahmad Tohari yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama. Hampir semua orang pasti mengenal nama besarnya. Dia adalah sastrawan, budayawan, sekaligus rohaniawan ternama. Adapun buku kumpulan cerpen ini berisi karya-karyanya pada tahun 1976 hingga 1986. Buku ini menjadi sangat menarik, karena pada kumpulan cerpen inilah terlihat bagaimana konsistensi (selama rentang 10 tahun) seorang Ahmad Tohari dalam mengangkat setting pedesaan berikut kenaifan masyarakatnya. Di sisi lain, saya adalah seorang penggemar karya-karyanya, karena itulah buku ini selalu tak pernah bosan saya baca tiap kali menemukan waktu senggang atau sekadar mencari inspirasi, di samping novel-novelnya.
Selanjutnya, buku keenam adalah sebuah buku yang sebenarnya berat untuk dikunyah, karena dia adalah buku sejarah. Namun, melalui tangan seorang Giles Milton, penulis yang mengkhususkan dirinya dalam dunia sejarah, membaca catatan sejarah seolah membaca novel yang apik. Buku ini berjudul asli Nathaniel’s Nutmeg yang kemudian diterjemahkan oleh penerbit Alvabet dan dinamai Pulau Run: Magnet Rempah-rempah Nusantara yang Ditukar dengan Manhattan. Sebenarnya, kekuatan dari buku ini selain alur kisahan dari penulisnya yang luar biasa (mengubah total gaya penulisan buku teks sejarah yang beku), juga kerja tim redaksinya yang bisa menyampaikan kembali maksud penulis dalam bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan, tidak semua buku terjemahan bisa disajikan dengan baik, dan secara umum penerbit Alvabet berhasil mencapainya.
Memasuki hitungan yang ketujuh, saya pun jatuh hati kepada sebuah biografi karya Dodi Mawardi yang berjudul Belajar Goblok dari Bob Sadino yang diterbitkan oleh Kintamani. Secara personal, saya memiliki kedekatan dengan penulis, karena dialah salah satu guru menulis saya. Meski demikian, bukan karena itu kemudian saya beralasan memasukkan bukunya dalam sepuluh besar bacaan kesukaan, sebab pada kenyataannya buku ini pun pada awal diterbitkannya sudah mendapat predikat best seller. Lantas, kenapa saya tetap memasukkan buku ini, karena sepeninggal Bob Sadino, biografi ini ternyata mulai langka ditemukan. Padahal pasti akan ada banyak orang yang merindukan sosok Om Bob yang selalu tak biasa, dan melalui buku inilah saya rasa kita bisa mengenalinya lebih dalam. Meski demikian, terdapat satu catatan teknis yang agak mengganggu bagi saya, yaitu setting layout bukunya yang digarap kurang menarik. Padahal jika faktor tersebut bisa dioptimalkan, saya yakin akan menambah nilai jual dari buku tersebut.
Kedelapan, sebuah buku yang tergolong baru, karena versi terjemahannya baru diterbitkan pada tahun 2016 oleh penerbit Marjin Kiri. Sebuah autobiografi seorang tokoh besar, yaitu mendiang Benedict Anderson yang berjudul Hidup di Luar Tempurung. Bagaimanapun juga, sebuah autobiografi pasti memiliki daya tarik tersendiri, karena perjalanan hidup seseorang akan menarik dinikmati jika itu ditulis oleh si pelaku langsung. Nah, Om Ben (padahal sebenarnya saya lebih sreg memanggil beliau dengan sebutan Eyang) berhasil menyampaikannya secara apik kisah perjalanan hidupnya yang mencengangkan. Ditambah lagi kemudian tulisan tersebut diterjemahkan oleh Ronny Agustinus yang (sepertinya) memiliki kedekatan emosional dengan mendiang, sehingga menghasilkan sebuah karya terjemahan yang sangat hidup.
Buku kesembilan, adalah sebuah novel cukup lawas karya Gola Gong yang berjudul Hari Senjakala: Hidup Mesti Ada Ujungnya. Buku ini diterbitkan oleh penerbit Lingkar Pena yang sekaligus dikenal sebagai sebuah forum kepenulisan yang cukup besar di Indonesia. Saya membaca novel ini dari meminjam di sebuah persewaan komik yang berada di dekat kampus, ketika masih menjalani studi S1 dulu. Secara garis besar, novel ini berisi tentang kisah pencarian jati diri dari seorang remaja. Meskipun dalam kajian kesastraan, buku ini tergolong dalam genre sastra populer, tapi kepiawaian seorang Gola Gong dalam berkisah telah memberikan kesan yang cukup dalam bagi saya. Meskipun tidak dalam gaya menggurui, Gola Gong banyak menyampaikan pesan moral dalam novel tersebut. Apalagi saat itu saya membacanya ketika masih remaja (baca: labil hehehe), sehingga secara tak langsung sedikit mempengaruhi cara pandang dan bersikap saya ketika itu.
Akhirnya, memasuki buku kesepuluh. Buku terakhir yang sangat spesial, karena sosok penulis adalah idola ibu. Saya banyak mengenal penulis dari ibu, karena tak jarang beliau membawa buku karyanya yang dipinjam dari perpustakaan sekolah. Dialah Nh Dini dan judul novel yang sangat berkesan bagi saya adalah Langit dan Bumi Sahabat Kami yang diterbitkan oleh Gramedia. Buku ini mengisahkan tentang perjalanan hidup Dini yang penuh dengan perjuangan. Meskipun penuh kegetiran, Dini mampu menyajikan kisahnya secara memikat dimulai sejak pertama judul dipilih.
Saya rasa cukup sekian sepuluh ulasan singkat buku memikat ini saya tulis. Sekali lagi andai panitia tidak mengharuskan sepuluh, saya ingin mengulas buku perbuku secara lebih mendalam. Belum lagi dengan adanya pembatasan jumlah karakter yang mengharuskan saya sangat pelit dalam mengulas justru malah menjadi kesulitan tersendiri. Akhir kata, selamat ulang tahun kepada Pawon Sastra. Terus jadilah pilar sastra Indonesia dan dunia. ||

Share:

0 komentar