Rilis: Diskusi Kecil Pawon Inisiasi Diskusi Terbuka Novel Vegetarian


Solo, 12 Juni 2017

Novel Vegetarian karya Han Kang dinobatkan sebagai pemenang Man Booker International Prize 2016. Kehadiran Vegetarian menjadi geliat sastra Korea –selain pesona boyband dan girlband yang membius publik— di percaturan dunia. Di kalangan pembaca sastra kita, novel ini mendapat sambutan yang cukup riuh. Eka Kurniawan –yang novelnya masuk nominasi Man Booker International Prize di tahun yang sama— mendaku Vegetarian sebagai satu di antara lima buku terbaik yang iabaca. Menangkap kemeriahan itu, Diskusi Kecil Pawon beriktikad menginiasi acara untuk mendiskusikan novel tersebut.
Diskusi Novel Vegetarian dijadwalkan pada Rabu 14 Juni 2017. Acara direncanakan mulai pukul 19.30 WIB. Atas kerja sama Balai Soedjatmoko dengan Pawon Sastra, diskusi diadakan di Balai Soedjatmoko Solo. Seperti acara-acara sastra sebelumnya, acara ini terbuka untuk umum serta tak berbayar. Tampil sebagai pemantik diskusi kali ini ialah Thea Arnaiz Le dan Liswindio Apendicaesar. Keduanya tercatat sebagai mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS).
Acara diorganisasi oleh Diskusi Kecil Pawon yang terdiri dari para mahasiswa. Setelah sempat mengadakan acara bertajuk Mahasiswa Berpuisi pada Januari lalu, ini merupakan acara kedua di mana Diskusi Kecil Pawon terlibat aktif sejak perencanaan sampai pelaksanaan acara. (Rizka)

Narahubung:
Rizka: 085 730 9559 64


Audrey Hepburn dalam Roman Holiday, layar kata Nurtika Wigurnasih




“I have every faith in it (friendship among nations),
as I have faith in relations between people.”
—Princess Ann, Roman Holiday


 
Tanggal Rilis: 02 September 1953
Sutradara:William Wyler
Ide Cerita: Dalton Trumbo
Penulis Naskah:  Ian McLelan Hunter dan John Dighton
IMDb: 8.1/10 Rotten Tomatoes: 98%

Aku selalu berpikir kalau semua orang tahu Audrey Hepburn, tapi ternyata tidak. Di Indonesia ternyata namanya kalah pamor dari Marilyn Monroe. Mungkin karena nama Marilyn sering dikaitkan dengan presiden pertama kita, sehingga sering disebut-sebut dalam pelajaran sejarah. Tidak jarang beberapa temanku akan bertanya “itu siapa sih?” ketika melihat foto Audrey dengan tiara pada rambutnya dari poster Breakfast at Tiffany’s dipajang di kafe-kafe  dengan tema Hollywood tahun lima puluhan.
Sudah lama aku tahu nama Audrey Hepburn. Namanya sering disebut-sebut dalam beberapa film dan majalah mode. Apalagi sejak namanya sering disebut dalam serial Gossip Girl. Karakter Blair Waldorf dalam Gossip Girl adalah salah satu pemeran utama yang mempunyai sebuah kebiasaan—lebih tepatnya “kelainan”—(hanya) bermimpi dalam adegan film-film yang diperankan oleh Audrey Hepburn. Sejak aku menjadikan karakter Blair Waldorf sebagai idola, maka panutannya, Audrey Hepburn, pun secara tak langsung turut menjadi orang yang aku cari tahu dan idolakan. 



Baru bulan ini aku mulai berniat untuk menonton semua film yang dibintangi Audrey. Dimulai dari tiga filmnya yang paling terkenal: Roman Holiday, Breakfast at Tiffany’s dan My Fair Lady. Breakfast at Tiffany’s sudah aku saksikan beberapa kali karena filmnya sempat ditayangkan di layar kaca Indonesia. Aku tidak begitu ingat pernah menonton film lainnya. Karena Roman Holiday merupakan film yang dianggap membuat Audrey menjadi terkenal dalam taraf internasional, maka aku memulai menonton film-film Audrey lainnya dari Roman Holiday.
Film ini mempunyai alur kisah yang sederhana, tapi penyajiannya yang unik dan dapat membuat para pencinta film jatuh hati. Ada seorang putri kerajaan bernama Ann (diperankan oleh Audrey Hepburn) yang mengalami depresi ketika sedang melakukan kunjungan ke Roma, Italia. Ia kabur dari kedutaan negaranya dan bertemu seorang jurnalis bernama Joe Bradley (diperankan oleh Gregory Peck) asal Amerika Serikat, lalu mereka menghabiskan 24 jam lebih bersama dan kemudian saling jatuh cinta. Meskipun mereka tidak bisa berakhir bersama, tapi kisah cinta mereka sungguh berkesan dan tak terlupakan.
Sebagai generasi yang sudah terpapar film-film berwarna dengan tempo yang lebih cepat, seujujurnya aku hampir bosan menontonnya. Di awal, tebersit pemikiran, “Andai filmnya berwarna, jadi bisa menikmati kota roma dengan lebih terkesima,” “Coba film ini dibuat ulang, dengan Lily Collins yang memerankan puteri Ann,” dan “Oiya, ada film the royal night out yang mirip.”
Selesai menontonnya aku langsung cari tahu bahwa ternyata film ini disajikan sebagai film hitam putih bukan karena pada masa tersebut belum ada teknologi film berwarna atau sang sutradara bersikap idealis yang ingin membuat film hitam putih, tapi karena memang anggaran untuk pengambilan gambar di Roma sangat minim. Jadi ternyata film ini merupakan film Hollywood pertama yang pembuatannya dilakukan di Roma.

  

Namun, di luar itu semua, film ini sangat bisa dinikmati. Komedi-komedinya sederhana. Berbagai musik khas tahun lima puluhan membuat film ini terasa lebih hangat dan akrab. Performa akting Audrey Hepburn dan Gregory Peck sangat meyakinkan. Pantas saja Audrey berhasil memenangkan penghargaan sebagai aktris terbaik dalam ajang Academy Award karena aktingnya dalam film ini. Film ini juga mendapatkan banyak nominasi dan memenangkan beberapa kategori lain dalam ajang tersebut. Salah satunya adalah kostum terbaik.
Sampai saat ini Audrey masih menjadi ikon mode dunia. Ia dikenal dengan gayanya yang klasik. Tahun lima puluhan juga merupakan era dimana tren fesyennya menjadi favoritku. Aku sangat senang tiga gaya  berbusananya ditiru oleh Blair Waldorf dalam serial Gossip Girl, yang kemudian jadi inspirasi bagi hampir semua perancang busana pada beberapa tahun yang lalu. Dalam Roman Holiday, Audrey hanya memakai beberapa kostum namun sangat presisi dan jelas klasik.
Satu hal lagi yang perlu dibahas, yaitu vespa. Entah kenapa dari kecil aku selalu terobsesi dengan vespa. Salah satu adegan paling berkesan dalam film ini adalah ketika Joe dan Ann keliling Roma dengan mengendarai vespa. Adegan ini juga dijadikan poster filmnya. Nah kabarnya, karena film inilah vespa dikenal dan penjulannya meningkat tersebar ke seluruh dunia. Usai menonton Roman Holiday rasanya ingin sekali jalan-jalan dengan vespa keliling kota (seperti dalam lagu Piknik oleh Naif).
Film hitam putih dengan kisah romansa komedi yang sederhana, diperankan aktris dan aktor bertalenta, berlokasi di kota yang indah dengan penataan dan properti yang pas, maka sempurnalah menyandang gelar sebagai film klasik sepanjang masa.




Nurtika Wigurnasih, lahir 09 April 1991. Tinggal di Bintaro, Jakarta Selatan. Saat ini aktif dalam Komunitas Supernova. Memiliki hobi membaca buku-buku fiksi dan nonfiksi serta menonton film.




Beragama Lewat Hawthorne, kisah buku Inang Jalaludin SH




Scarlet Letter
Penulis Nathaniel Hawthorne
Penyunting  Nien
Desain sampul   Mahar Mega
Pemeriksa Aksara  Tika Yuitaningrum
Penerbit  Narasi, cet 1
Tahun  2015
Halaman  276 hlm


Saya sudah lama mencari karya Nathaniel Hawthorne. Saya tertarik dengan novelis-novelis Amerika, terutama sebelum era Mark Twain. Beruntungnya, saya bertemu dengan The Scarlet Letter di sebuah bazaar buku murah. Konon, novel ini dianggap sebagai karya terbaiknya, juga salah satu yang terbaik di Amerika.
Oleh suatu keperluan, saya juga membaca versi bahasa Inggris novel ini. Dalam versi bahasa Indonesia, saya membaca cetakan pertama dari penerbit Narasi yang cetak tahun 2015. Sedangkan dalam bahasa Inggirsnya saya pakai versi Worldsworth Classics tahun 1999.
Ketika memasuki cerita, saya agak cemas novel ini akan gelap seperti panutannya, Allan Poe. Terlebih, dia juga pernah disanjung oleh Poe dalam ulasannya ketika menulis dongeng Twice-Told Tales di Graham’s Magazine. Sebelum novel ini terbit pertama kali di tahun 1850, Hawthorne memang dikenal sebagai penulis dongeng.
Dari bab pertama, aroma romantik, juga sedikit gotik, sudah terasa. Ternyata, sangat disayangkan cerita malah “mundur” ke era puritan, di Boston, Massachusetts. Jujur saja, saya jadi agak malas melanjutkan membaca cerita yang berbau gereja. Pikir saya, cerita tak akan jauh berbeda dengan Jane Eyre-nya Bronthe yang terbit beberapa tahun lebih awal.
Namun, gaya bercerita yang gamblang dan simpel ternyata malah membuat betah mata. Ceritanya sederhana, seorang wanita muda bernama Hester Prynne, menjadi terdakwa kasus perselingkuhan. Seharusnya, otoritas gereja menjatuhi hukuman mati untuknya. Namun karena kebaikan seorang pendeta, Hester hanya dihukum cacian di muka umum selama tiga jam (mungkin ini yang mengilhami Orwell dengan dua menit bencinya). Selain itu, dia juga dipakaiakan baju dengan huruf A merah di dadanya sebagai symbol pendosa. Ini berarti segala macam cercaan kaum puritan menjadi legitimasi.
Berdiri menghadapi hukuman, Hester menggendong anaknya, Pearl, yang berusia tiga bulan. Di sebuah lapangan, di hadapan penduduk kota, Hester diminta mengungkap kepada semua orang siapa ayah Pearl.
Pendeta muda yang bijaksana, Arthur Dimmesdale, ditugaskan untuk menanyainya. Anehnya, si pendeta malah tampak ketakutan ketika melihat tatapan Hester, tak berbuah hasil. “Dan anakku akan mencari ayahnya di surga. Ia tidak akan menemukan ayahnya di dunia,” tolaknya keras.
Di tengah cemoohan penduduk kota, seorang dokter bernama Roger Chillingworth muncul. Sosok ini langsung menyegat mata Hester. Pria inilah suami Hester yang baru tiba dari Belanda. Roger tak menaruh dendam pada istrnya. Justru, dia menyimpannya untuk ayah Pearl. Roger pun tak mengungkapkan jati dirinya di depan umum dan menyimpan misi balas dendam.
Dua pria ini, Roger dan Arthur menjadi yang utama dalam pergerakan novel. Hester memang tidak muncul secara dominan secara terus-menerus. Peran Hester membuka ruang konflik untuk ketiganya, selain memang buku membahas dirinya sesuai judulnya.
Secara tersirat, kedua pria ini memiliki masa lalu yang penting dengan Hester. Dengan keahilan masing-masing, keduanya mendapatkan nama yang baik dan bersahabat, meski di baliknya saling mencurigai. Bahkan, saling membongkar/menggali prinsip-prinsip hidup mereka.
Sebagai sahabat, keduanya pribadi yang sangat terbuka, saling bertukar pikiran. Roger adalah symbol untuk ilmu dunia, sedangkan Arthur adalah ilmu surga.  Liberal dan religius.
Dalam obrolan, terkadang, si pendeta merasa jendela harus dibuka untuk sesekali mendapatkan udara. Namun udara dingin itu terlalu dingin untuk dihirup dengan nyaman. Sehinggga pendeta muda dan dokter itu kembali menarik diri ke dalam garis yang didefinisikan Gereja  sebagai ortodoks. Inilah yang tergambar di tengah cerita.
Benturan kedua tokoh ini adalah symbol pertarungan gereja melawan sekularisme. Posisi Hester berada di tengah-tengah keduanya. Hester memilih membangkang dari otoritas gereja, bahkan tidak segan-segan menyanggah pendapat pendeta. Meski sangat kritis, Hester juga sangat religius. Mengobati hati sambil membesarkan anaknya, ajaran agama adalah yang membuatnya terus percaya diri.
Siksaan batin seumur hidup yang dibawa Hester lalu berubah menjadi cinta di akhir adalah petualangan berharga para pembaca. Hawthorne seperti menyodorkan sosok beragama yang ideal. Dihina lalu dihormati. Taat tapi juga mandiri dan berani berpikir bebas. Dan pilihannya sangat tepat untuk memilih karakter wanita untuk latar puritan yang masih patriarki.
Memang cerita yang bertema agama cukup sentimentil. Tapi juga cukup mampu untuk merenungkan bahaya puritan, atau beragama yang terlalu berlebihan, atau setidaknya saya berpikir begitu.
Novel ini tampaknya perlu dibaca oleh siapapun yang berani beragama. Membutuhkan renungan panjang dan asupan ilmu pengetahuan sebelum berani bertanya: apakah memisahkan pemerintahan dengan agama itu hal yang perlu?
Jika pertarungan antara Roger dan Arthur adalah hal yang abadi. Maka kita semua membutuhkan sosok Hester. Plus juga sosok Pearl yang tumbuh dewasa dengan ceria meski kebahagiaanya telah direbut sejak lahir dan tanpa tahu ayahnya.
Saya merasa lega setelah membaca novel ini. Novel “beragama” tapi tanpa kosa kata agama. Bahkan, ketika telah selesai membaca, sebenarnya kesan puritan pun tak ada. Hanya roman yang memutar-mutarkan makna benci dan cinta lalu ditabrakkan dengan rasa keadilan.
Terlepas dari isi cerita yang bagus. Terjemahan oleh penerbit Narasi terlalu dipadatkan. Banyak kata bahkan kalimat yang dibuang. Padahal Hawthorne tidak terburu-buru memaparkan kejernihan “agama” yang dianutnya. Seperti kata Poe dalam ulasannya pada Twice-Told Tales: the style is purity itself.


Inang Jalaludin SH. Bercita-cita menjadi penyanyi, koki, dan tukang kebun. Surel: ijalaludinsh@ gmail.com