Mengkhayalkan Perpustakaan, esai Satya Adhi



Upacara bendera kala SD menghadirkan imaji perpustakaan bagiku. Bukan karena pembina upacara yang menghujani amanat soal buku, atau hadiah buku bagi murid dengan tingkat kedisiplinan paling tinggi. Imaji muncul karena Mars Perpustakaan yang wajib dihafal dan dilantunkan saat upacara berlangsung.
Pupuklah gemar membaca / tua dan muda
Aku hanya ingat beberapa lariknya saja. Membaca kudu dipupuk rutin supaya tanaman pengetahuan tumbuh subur. Tua-muda, guru-murid, semua kudu memupuk kegemaran membaca.
Gemar membaca cinta pustaka / membuat hidup dinamis karya
Larik selanjutnya yang kuingat mengimajikan manfaat perpustakaan. Kalau rajin ke perpustakaan untuk baca buku, bekerja dan berkarya akan lebih mulus. Pokoknya dan pokoknya harus jadi golongan yang terus berkarya!
Namun strategi mengajarkan Mars Perpustakaan ke murid-murid SD tidak berjalan sukses.Mengajak berbudaya literasi dalam alam militeristik nyatanya tidak berhasil. Mars Perpustakaan berhenti sebagai nyanyian slogan-formal. Perpustakaan SD-ku yang kecil tetap saja sepi. Cuma ramai kalau ada guru yang bosan mengajar di kelas, lalu memindahkan ruang kelas ke ruang perpustakaan. Perpustakaan yang kudunya tenang dan menenangkan mendadak riuh ocehan bocah.
Seandainya bisa meminta, waktu itu aku akan meminta Bapak Kepala Sekolah untuk membuatkan perpustakaan SD-ku seperti perpustakaan Wan Shi Tong. Itu perpustakaan yang dibangun oleh Wan Shi Tong si roh ilmu pengetahuan di serial Avatar The Last Airbender. Bangunan di tengah padang pasir yang megah, berkubah-kubah menyerupai masjid, menjadi ruang bagi Wan Shi Tong untuk menyimpan jutaan koleksi buku, naskah, dan manuskrip dari seluruh dunia.
Ambisi Wan Shi Tong itu yang kurasa ingin dicapairepublik ini63 tahun silam. Di Djakarta 25-27 Maret 1954, Menteri Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan Republik Indonesia mengadakan Konperensi Perpustakaan Seluruh Indonesia. Pemerintah berani melabeli acara berlevel nasional karena, “kami pertjaja, bahwa jang diundang, jakni wakil2 semua Kementerian, wakil beberapa unipersitet, badan2 perpustakaan Pemerintah dan partikulir, asosiasi2 perpustakaan dan beberapa orang ahli perpustakaan dapat membawa suara ataupun menggambarkan pemandangan mengenai perpustakaan diseluruh Indonesia” (Pekan Buku Indonesia 1954, 1954: 63).
Kabarnya, perkembangan perpustakaan waktu itu sungguh menggembirakan. Ahli perpustakaan UNESCO, A.G.W. Dunningham sampai mengatakan, “dalam lapangan pembentukan perpustakaan rakjat Indonesia telah mentjapai sesuatu jang tidak ada bandingannja diseluruh dunia. Dalam 4 tahun telah terbentuk 15.000 tempat perpustakaan dan pada tiap2 propinsi telah tersusun pula suatu perpustakaan” (ibid.: 67). Kalau menutup mata terhadap kualitas koleksi yang ada, perkembangan jumlah perpustakaan untuk negara yang baru berusia secuil jari memang laik diberi tabik.
Tiga hari konperensi menghasilkan putusan-putusan penting: “I. Menganggap perlu adanja suatu Dewan Perpustakaan Nasional… II. Mendorong berdirinja sebuah Perhimpunan Ahli Perpustakaan Seluruh Indonesia… III. Perpustakaan Umum se-baik2nja diselenggarakan atas inisiatip dan usaha masjarakat, dengan bantuan seperlunja dari Pemerintah…”
“IV. Untuk memperkembangkan Perpustakaan Chusus, … hendaknja diadakan kerdjasama jang rapat sekali antara semua Perpustakaan Chusus itu… V. Memandang perlu adanja Perpustakaan Universitet untuk tiap2 universitet disamping Perpustakaan Fakultet untuk tiap2Fakultet… VI. Konperensi memandang perlu adanja pendidikan jang luas bagi para petugas perpustakaan” (ibid.: 73).
Kalau putusan konperensi 63 tahun silam dilaksanakan secara khusyuk dan istikamah, aku sudah bisa membayangkan satu perpustakaan yang menyerupai perpustakaan Wan Shi Tong berdiri megah di republik.

Data tahun 2016 dari Perpustakaan Nasional sempat memberiku harapan. Kalau dijumlah mulai dari perpustakaan daerah tiap provinsi hingga perpustakaan komunitas, di republik sudah berdiri sekira 158.000 perpustakaan (Rapat Koordinasi Nasional Bidang Perpustakaan Tahun 2016: Perpustakaan di Indonesia Telah Memperoleh Kemajuan dalam Kuantitas Maupun Kualitas, perpusnas.go.id, 24 Februari 2016).

Tapi aku hanya diberi harapan palsu. Beberapa waktu lalu, aku mencari arsip penting untuk sebuah reportase yang sedang kukerjakan: Peta Kota Solo tahun 1950-an. Aku mencarinya di Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah Surakarta.  Menyedihkan! Arsip yang kucari dan kudunya mudah ditemukan di perpustakaan daerah, malah tidak bisa kutemukan.

Harapan palsu lain datang dari unipersitet tempatku belajar. Pada 2016 yang lalu, gedung perpustakaan unipersitet pusat diresmikan. Gedung perpustakaan unipersitet dipermegah, tapi perpustakaan-perpustakaan fakultet ditiadakan. Sungguhini merupakan suatu langkah kemunduran dari tahun 1954.

 

Etos Pustakawan

Di Lembar Kerja Siswa (LKS) Bahasa Indonesia Kelas X, aku menemui cerita pendek yang membius pikiranku; Buku-buku Kutu Buku karangan Pamusuk Eneste. Di situ aku menemui imaji yang berbeda dengan perpustakaan megah Wan Shi Tong.

Syahdan, Kolbuher adalah seorang pensiunan cum penggila buku. Setiap mampir ke toko buku pasti dia membeli buku – minimal satu. “Padahal istrinya tahu persis buku itu hanya ditumpuk di rumah alias tak pernah dibaca” (Eneste, 2002). Jadilah Kolbuher memiliki perpustakaan pribadi berukuran 4x6 meter di rumahnya. “Di keempat sisi tembok berdiri rak buku yang terbuat dari kayu, berpetak-petak, dan penuh dengan buku hingga ke langit-langit. Bahkan di lantai depan rak buku itu pun bergeletakan buku yang tidak termuat di dalam rak” (ibid.).

Istri Kolbuher kesal. Rumah mereka kini seperti dibuat dari buku. Kolbuher pun berjanji pada istrinya untuk tidak membeli buku lagi usai pensiun. Tapi itu tidak menghentikan aliran buku ke rumah mereka. “Ada saja pengarang yang merasa tidak afdal kalau tidak mengirimkan buku barunya kepada Kolbuher. Ada saja penerbit yang merasa belum sreg kalau tidak mengirimi Kolbuher buku baru mereka” (ibid.). Etos pustakawan yang dimiliki Kolbuher berbuah kepercayaan dari para pegiat dan pebisnis literasi.

Etos sebagai seorang pustakawan semacam ini yang tidak dimiliki para pustakawan di Indonesia. Bahkan sejak 1954 sudah diingatkan “bahwa memang Indonesia belum mempunjai tenaga jang sungguh2 ahli tentang ilmu perpustakaan” (Mat Dhelan, dikutip dari Agenda Seni Sastera 1954, dalam Pekan Buku Indonesia 1954, 1954: 78). Berkaca dari perpustakaan-perpustakaan besar di luar negeri, “tiada heranlah kita kalau pemimpin-pemimpin perpustakaan diluar negeri terdiri dari para sardjana jang bergelar professor, doctor (Ph.D.), dsb” (ibid.).

 

Profesor dan doktor di Indonesia masih sibuk dengan tunjangan bulanan mereka. Akhirnya munculah sosok-sosok macam Wan Shi Tong dan Kolbuher yang secara otodidak menghimpun koleksi perpustakaannya sendiri.

 

Wan Shi Tong pun pada akhirnya terpaksa mengubur perpustakaan megah miliknya agar tidak dimanfaatkan manusia untuk menghancurkan manusia lain.

Kolbuher lebih mulia (atau tragis?) lagi. Istrinya pernah berkata kepadanya kalau “suatu ketika Bapak bisa ditelan buku-buku itu.” Dan benar saja. Suatu hari Kolbuher tertimpa buku-buku di perpustakaannya karena rak bukunya rapuh. Kolbuher syahid tertimpa buku.

158.000 perpustakaan di republik berdiri sia-sia karena para pustakawannya tidak memiliki jiwa radikal macam Wan Shi Tong dan Kolbuher. Padahal, kebijakan pembelian koleksi, perawatan, pengetahuan terhadap koleksi yang ada, hingga jejaring dengan perpustakaan lain, tergantung banyak pada etos radikal para pustakawan.

Kalau sudah begini, khayalan perpustakaan ideal yang dirumuskan 63 tahun silam hanya berhenti di mulut saja. Dihafal, dinyanyikan, lalu dilupakan usai pemimpin upacara memerintahkan, “bubar jalan!”[]

 

 

 

 

Satya Adhi. Jurnalis majalah Kentingan. Domisili maya: adhii.satya@gmail.com dan @pjalankaki

 

Tags:

Share:

0 komentar