Bowong, cerpen Farikhatul ‘Ubudiyah



Di desa Pesarean —percaya atau tidak— kau harus percaya. Bila kau mati dan dikubur di situ, ragamu akan segera dimakan Bowong. Tepat ketika senjakala, dia memanggul pocongmu. Tubuh bagian perutmu berada di bahunya, sementara kaki dan kepalamu menjuntai lemas dan berayun-ayun seirama dengan langkahnya. Perlu kau tahu, tidak ada manusia yang berani mencegahnya. Bahkan bila kau melihat pun akan ketakutan. Sungguh, kematian adalah hal yang wajar dan menyedihkan, tetapi akan lebih menyedihkan lagi bila jasad yang dikuburkan dimakan setan. Aku tidak tahu harus menyebutnya setan, hantu, dedemit, atau iblis. Nama Bowong berasal dari orang-orang yang melihatnya memanggul mayat, dengan kepala kebo dan bertubuh wong. Manusia kerbau. Dia bukan manusia yang memakai topeng badut berbentuk kerbau. 
Sobekan kain yang tercecer di halaman rumah duka adalah sebuah pertanda mayat dibawanya. Sutini, perempuan yang baru ditinggal mati suaminya membuka pintu ketika pagi. Tepat di beranda, pagar bambu di halaman rumahnya mengajaknya meratapi suami. Air matanya menetes lebih deras dari sisa hujan yang masih menggoyangkan daun talas dan pisang.
Sutini menangis tersedu. Dilihatnya sobekan kafan yang tercecer di jalan setapak depan rumahnya. Ia berjalan menyusuri sobekan kafan ke arah pemakaman suaminya yang kemarin pagi meninggal. Batinnya bertambah luka. Dirasakannya sendiri. Robekan kain telah berwarna putih kecokelatan. Kusut, dan getas. Ia punguti satu-satu, seperti merangkai jejak yang membuatnya selalu beranjak.
“Aduh Gusti, mohon ampun buat jenazahnya. Salah apa, dia. Sampai tega Panjenengan ambil ruh beserta jasadnya. Duh, Gusti.”
Sutini merayakan kesedihan yang sempurna. Dikumpulkannya potongan kafan yang berlumur lumpur. Direntangkan satu-satu, dibasuhnya dengan air mata. Tidak ada yang bisa menghapusnya dari kenangan. Sebab kisah cinta belumlah selesai, bahkan baru saja dimulai.
Dia mengingat proses pemakaman di hari kematian suaminya kemarin, orang-orang desa berduyun mengantar ke makam. Setiap orang berwirid dan berdoa agar mayat itu tenang dalam timbunan tanah. Beginilah zikirnya,
Wer... werr... gedebogan bosok. Wer... weer... gedebogan bosok.
Mereka berzikir selama mayat dipanggul di keranda, sambil menjewer telinga. Entah telinga sendiri, atau juga telinga seorang di sampingnya. Menyedihkan sekali doa-doa yang dibaca. Dari batin terdalam, mereka bicara kepada semesta bahwa yang dibawa bukanlah tubuh tanpa ruh. Pak         Kayim memimpin doa dengan menyedihkan, diamini warga.
“Inilah, kami hanya bermain-main untuk mati. Yang kami bawa bukan mayat. Cumalah batang pisang yang membujur. Nantinya pun akan busuk. Biar tak menyengat baunya, kami pun menguburkannya di makam paling aman. Amiin.”
Weer.. wer.. gedebogan bosok. Wer.. weer.. gedebogan bosok.
“Inilah kami, yang mengerti bahwa hidup adalah untuk mati. Tetapi kami merasa sepi dari ajal. Sebab Tuhan telah memanjangkan usia semua penduduk desa. Tiadalah yang mati lagi, maka kami merindukan bau tanah kuburan. Izinkan kami, Tuhan, memendam gedebogan pisang yang telah terbungkus kafan. Agar pada saatnya ada seorang yang meninggal, kami tak lupa cara merawat jenazahnya. Amiin.”
Wer.. werr.. gedebogan bosok. Wer.. weer.. gedebogan bosok.
“Inilah gedebog yang baru saja kami makamkan. Sesiapa yang mencari mayat, kami beritakan bahwa tiada mayat segar di gundukan tanah ini. Semoga semesta memendam bau busuk debog ini. Amiin.”
Sutini masih mengingat itu. Warga telah menyerukan kepada makhluk Bowong bahwa tidak ada jenazah yang dapat mereka curi. Begitulah doa-doa yang dilantunkan setiap seorang meninggal di desa Pesarean.
“Duh Gusti… Sutini. Lah! Apa tidak ada yang menunggu? Harusnya tujuh malam ditunggui kuburannya.” kata Mak Dasih penuh haru, saat berpapasan dengan Sutini di jalan makam.
Sutini gelisah. “Lah ya, wong hujan deras, masa iya ditunggui. Ya tidak ada orang yang mau.”
Bila senjakala melukiskan mega-mega, Mak Dasih si janda tua pergi ke perigi samping rumahnya. Ia mengambil wudhu biar suci segala yang ada di tubuhnya. Di bibir perigi, sebuah kendi senantiasa mericik untuk membasuh usia. Ia teringat peristiwa semalam, ada yang menggerisik di balik rumpun bambu. Angin dan hujan, pikirnya. Ia memasuki rumah, meningkap suasana sebelum menutup jendela. Dekat sekali, ada Bowong membopong mayat. Tepat di hadapan perempuan yang tidak meninggalkan zikir dari bibir. Tetapi bibirnya jadi kaku dan kelu, sesaat hampir tidak ada jarak antara Bowong dengannya. Hanya tersekat jendela. Ia segera tiarap. Merayap ke kolong meja. Rumah gedéknya yang berlubang masih menampakkan langkah Bowong ke arah kebun-kebun pisang. Kemudian hilang dari pandangan. Sutini membayangkan kejadian itu. Senja kemarin sebelum hujan lebih deras. Tangis Sutini tambah menyayat Mak Dasih.
“Dahulu, suamiku juga dibawa Bowong. Gundukannya masih utuh, hanya ada lubang kecil yang menembus sampai dasar bekas galian.” Ucap Mak Dasih.
Mereka menuju makam suami Sutini. Iya, tanahnya masih menggunduk basah. Rangkaian bunga masih utuh terbaring melintang tubuh makam. Di sisi bagian kepala, ada lubang sebesar kaleng roti menembus batas galian. Rapi. Tangis Sutini melengking. Merobek pagi yang embun dan sisa hujannya menempel ke daun-daun. Mak Dasih lekas-lekas menutup lubang itu dengan menggarukkan tangannya dari tanah sekeliling.
“Ruhnya sudah sampai Gusti Allah, Nduk… Sudah sampai, sudah sampai…” Mak Dasih mewiridkan kalimat itu.
Jadi, terserah kau akan percaya atau tidak. Rumah ini sudah kujual kepadamu. Orang-orang asli desa Pesarean tetap hidup sebagaimana biasanya, dan mati setragis itu. Sebagai pendatang, aku akan menyiapkan kematian di tempat yang aman agar jasadku sebagaimana mestinya. Kunci rumah berada di pintu sisi dalam. Aku pamit pergi. []



Farikhatul ‘Ubudiyah, tinggal di Karangsari RT 04/03 Kembaran, Banyumas.

Share:

0 komentar