JAGAT RAYA YANG MENGGEMASKAN, Esai Irfan Sholah Fauzi



“Kita membaca dan menulis puisi sebab kita merupakan anggota dari umat manusia.”-Dead Poets Society (1989)


Jika dosen Bahasa dan Sastra Indonesia di Fakultas KeguruandanIlmuPendidikan—khususnya Pendidikan Guru Sekolah Dasar—masih memegang buku Kajian Bahasa Indonesia SD 3 SKS (Faisal, 2010) dengan lugu, pasti mereka tidak mengenal Abinaya Ghina Jamela (Naya). Di buku itu, Faisal mengutip Sutawijaya (1992) bahwa salah satu ciri puisi yang diberikan kepada anak sebagai bahan pembelajaran apresiasi puisi “bersifat transparan atau eksplisit.” (hlm. 7-21). Kita curiga, jangan-jangan ini yang menimbulkan kontradiksi antara anak yang daya jelajahnya terus melaju dengan puisi anak yang loyo.
Sapardi Djoko Damono—bisa dikatakan—memiliki kredo puisi “Bilang Begini Maksudnya Begitu” yang juga merupakan salah satu judul bukunya. Manifestasi kredo itu adalah puisi dengan ragam penafsiran, atau dalam terminologi yang digunakannya: puisi prismatik. Meski demikian Sapardi tidak mungkir. Dia tetap menganggap puisi transparan sebagai jenis puisi, meskipun riskan jatuhmenjadi klise, padahal “puisi adalah hasil yang dicapai jika seseorang mampu berain-main dengan bahasanya.” (Damono, 2017: 133). Tapi di usia kelima, sosok yangdisebut dalam paragraf pertama,mengupayakan pengamananpuisi anak dari kejatuhan itu.
Pengantar dalam Resep Membuat Jagat Raya(2017)–buku antologi puisi pertama bocah kelahiran 2009 itu— dari Yona Primadesi membuat kita terenyuh: “Naya mengeksplorasi benda-benda di sekitarnya untuk bisa menemukan metafora [...] meraba-raba permukaan, memerhatikan setiap sisi dengan saksama, menyandingkan dua atau tiga benda untuk kemudian mengamati dengan serius, membolak-balik halaman buku, atau sekadar bertanya kata sifat, adalah hal-hal yang dilakukan Naya sebelum menuliskan metafor.” (hlm. X).Pengantar yang benar-benar mengantar kita pada pergulatan Naya dalam membuat Jagat Raya-nya.
Tapi Jagat Raya Naya bukan menara gading yang menjulangkan puisinya jauh dari dunia anak. Justru “bilang begini maksudnya begitu”-nya Naya membuat kita gemas. Anak kecil gembira dengan liburan, tapi Naya tidak hanya mengungkapkan kesenangannya dengan bahasa lugas melainkan: Liburan seperti menyambut raja/ raja adalah liburan yang mengetuk pintu kelasku. Betapa ruahnya bahagia itu? Sebagai contoh lain, untuk menyatakan panasnya papua Naya menulis: Di Papua itu panas sekali/ seperti tanganku memegang matahari/
Ada hiperbolis di dua sajak yang di atas, tapi Naya tidak berhenti di situ. Dia juga menunjukan keberpihakan, semisal dalam judul “Anak Lelaki Berpiyama”: Tentata Jerman memberi/ piyama bergaris padanya./ Dia di suruh bekerja keras/ membangun pondok/ sebesar bulan./ Dia hanya diberi makan sepotong roti sekecil serutan/ kayu.
Naya membawa tragis pada pembaca: anak lelaki kecil, hanya diberi makan sepotong roti seukuran serutan kayu, untuk bekal membangun pondok sebesar bulan! Sajak itu juga menceritakan teman si anak kecil yang hidup di luar pagar, yang sering memberi makan kepada anak kecil itu dan orang-orang Yahudi lainya. Dan mereka gemar bermain catur bersama, sampai tentara Jerman menyeret mereka: dan orang Yahudi lainnya, dipaksa/membuka baju, dan menyuruh mereka/tinggal di kamar gas selamanya.
Kamar gas termaksud, kita tahu, adalah tempat buang-buang nyawa, sebagaimana kita juga tahu dalam sajak ini Naya berpihak ke mana. Dan dalam buku puisi ini kita tahu pula seberapa kuat daya jelajah Naya. Dan pertanyaan kita juga sudah terburu terjawab oleh Yona Primadesi, ibu Naya, jika kemampuan Naya dalam mencipta Jagat Rayanya ini adalah dari etos berbuku, inspirasifilm, maupun kehidupan sehari-hari.

Anak-anak gemar becerita tentang segala hal: membaurkan pengalaman, fakta, bahkan imajinasi. Naya membayangkan mengambil sebutir proton yang lebih kecil dari pasir lalu dilempar ke tempat jauh dan meledak lebih hebat dari letusan gunung merapi hingga muncul jagat raya kosong, dan 3 menit kemudian muncul bumi, matahari, planet,lalu meteor jatuh ke bumi tanpa ampun, bumi kesakitan, menangis, menjadi air laut.

Barangkali Naya pernah bermain di pantai lalu melemparkan pasir ke penjuru yang entah, lantas imajinasinya demikian berkelindan.  Tapi jika imajinasinya berhenti pada lisan, bayangan itu hanya akan menguap,hilang. Pun jika Naya memaksa langsung menuliskan, belum tentu akan sematang puisi Resep Membuat Jagat Raya yang  bisa kita seduhkini. Karena inilah sepertinya Primadesi meminta Nermi Silaban membimbing Naya mengolah apa yang dipulung sudah. Agar tulisan lebih impresif anak-anak sebaiknya, “mengambil pelajaran dari suatu diskusi kelompok pendahuluan [...] sehinggadapat mempercerah pikirannya, mengisi kekosongan-kekosongan, memperbaiki impresi atau kesan-kesan yang salah, serta mengatur ide-idenya sebelum dia mulai menulis sesuatu.” (Tarigan, 1979).
Di sinilah orang tua dan/atau guru seharusnya berperan mengembarakan anak dalam puisinya. Menjadi teman diskusi yang baik, mampu mengimbangi anak masa kiniyang memiliki karakter yang lebih global ketimbang generasi sebelumnya (Mengikuti Keseharian Generasi Z Golongan Pertama, tirto.id, 2 Agustus 2017). Dan Naya adalah representasi dari generasi itu. Kali ini kita sepakat, Faisal benar, bahwa puisi anak harus memiliki kesesuaian dengan lingkungan anak: lingkungan denganjagat raya yang menggemaskan itu.



Irfan Sholeh Fauzi, bergiat di Akar Sungai, komunitas sastra kampus IV UNS. Dapat dihubungi via surel: irfansholehfauzi@gmail.com

Tags:

Share:

0 komentar