“Karakter-karakter dalam karya saya cenderung bersikap datar dan antisentimentil terhadap peristiwa macam apapun yang terjadi di hidup mereka...” wawancara dengan Dewi Kharisma Michellia




Edisi pertama yang digarap oleh formasi baru yang didominasi para remaja jelang dewasa rupanya turut membawa semangat usia kami. Pemilihan tokoh untuk mengisi rubrik wawancara pun bertolak dari situ, meski barangkali kami tak sadar benar akan hal itu. Rubrik wawancara pada edisi sebelumnya telah menegaskan, bahwa bagi Pawon semua orang ialah guru. Dan guru yang kami undang dalam edisi kali ialah Dewi Kharisma Michellia –selanjutnya kami sebut Michell.
Dalam lingkaran sastra, Michell termasuk salah satu jajaran penulis muda yang cukup produktif berkarya –baik dalam menghasilkan tulisan maupun aktif dalam beragam kegiatan kesusastraan. Setelah novelnya Surat Panjang Tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya menjadi salah satu karya unggulan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta tahun 2012. Setahun kemudian novel tersebut diterbitkan Gramedia dan sempat menjadi finalis dalam Khatulistiwa Literary Award. Kumpulan cerpen pertamanya, Elegi (Grasindo) terbit di tahun 2017.
Sepanjang pembacaan, karya-karyanya menyuguhi pembaca akan hal-hal sentimentil yang sangat mungkin menimbulkan kesedihan bagi diri pembaca. Novel Surat Panjang Tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya berkisah tentang kerelaan Nona Alien –yang disampaikan melalui surat-surat yang ditulisnya— melepas kepergian Tuan Alien kepada orang lain. Novel sarat dengan kisah kegagalan cinta, ketidakbahagiaan, serta keresahan yang mendesah di sana-sini. Dan Elegi kembali menjejali mata pembaca dengan kisah-kisah tentang kemalangan, kepergian, dan kematian.
Menarik untuk menyandingkan pembacaan –dan penilaian— awam dengan pendapat si penulis. Melihat ada benang merah yang membentang sepanjang  perjalanan kekaryaannya, Pawon lantas mengulik hal ini. Terkait unsur kesedihan yang notabennya selalu ditangkap oleh pembaca melalui karya-karyanya, Michell mengatakan sebaliknya. Ia tak menangkap ada unsur kesedihan dalam cerita-cerita yang ditulisnya. “Karena kata sedih adalah adjektiva, merujuk pada bagaimana karakter-karakter dalam karya saya cenderung bersikap datar dan antisentimentil terhadap peristiwa macam apapun yang terjadi di hidup mereka”.
Karakter tokoh yang antisentimentil ternyata gambaran dari diri Michell. Bagi dirinya hidup yang penuh ialah hidup yang harmonis. Hidup yang stabil disertai dengan yang tidak stabil. Yang bahagia disertai dengan yang sedih. Michell mengaku tertarik dengan karakter yang memperlakukan hidup semacam itu. Meski begitu, ada beberapa karakter dalam kumpulan cerpen Elegi yang ia ciptakan timpang secara mental, “seperti di cerpen Putusan Ely dan Si Malakama. Selain karakter yang bersikap datar, saya tertarik menulis tokoh-tokoh berkarakter skrizofrenik”.
Disinggung ihwal prosentase pengalaman dan imajinasi dalam berkarya, Michell mengaku tak menerapkan pembedaan berarti untuk dua hal itu. Baginya, semua karya pada umumnya ditulis dengan bauran antara pengalaman diri penulis dan imajinasi. Sejauh si penulis dapat mengimajinasikan sesuatu, sangat mungkin hal itu menjadi realitas. Begitupun sebaliknya.
Michell mengaku membaca banyak karya fiksi saat ia menulis fiksi. Membaca banyak karya nonfiksi saat ia menulis karya nonfiksi. Membaca banyak esai, teks jurnalistik, dan sehimpun data ketika ia menulis esai dan teks jurnalistik. Bacaan atau hal apapun yang diakses selama mengerjakan suatu karya memang besar kemugkinannya meninggalkan jejak dalam pikiran. Meski begitu, di beberapa sesi berbagi kisah seputar proses kreatif, Michell beberapa kali menyebut Seratus Tahun Kesunyian-nya Gabrial Garcia Marquez sebagai salah satu karya yang memengaruhi dirinya (literasi.co dan radiobuku.com).
Pernah bekerja sebagai editor di Penerbit Oak juga kurator fiksi di jakartabeat.net sejauh ini diakui Michell belum memengaruhi proses kreatifnya dalam berkarya. Profesi di bidang literasi lebih banyak memberinya pengetahuan tentang jejaring. Memberi kenalan-kenalan baru, hal-hal teknis di bidang redaksi media dan perbukuan, serta obrolan menyenangkan berisi gosip-gosip yang membuat pendengarnya gembira sekaligus depresi di waktu yang sama tersebab menggeluti bidang literasi.
Michell kecil barangkali pernah bercita-cita menjadi penulis. Ia mengaku banyak sekali cita-cita yang ia punya, sekaligus terkadang merasa tidak punya cita-cita. Sejauh ini ia berupaya melakukan hal-hal yang ia bisa. Tersebab ia menyukai kata-kata, ia lantas mencari profesi yang terkait dengan kata-kata.
Ditanya pesan kepada penulis muda yang ingin serius mendalami dunia literasi, berikut jawabannya:
“Membaca yang banyak, itu akan jadi tips dari semua penulis. Tempuhlah perjalanan yang panjang, itu akan jadi tips penulis perjalanan. Sesap sendiri semua pengalaman dunia, itu akan jadi tips penulis realis...”

Mungkin tergantung si penulis mudanya mau jadi apa. Kalau mau jadi penulis seperti saya, saya juga enggak tahu apa saja yang telah saya lakukan sejauh ini. Agak boros umur juga untuk meniru-niru orang lain, karena tidak akan bisa didapatkan pengalaman yang sama persis. Misalnya begini: ada yang bilang, modal untuk menjadi penulis adalah dengan memiliki masa kecil yang sangat menyedihkan. Masak kita menyesali masa kecil yang telah kita lewati dan tidak sesuai prasyarat itu? Karena itu pun, saya tidak setuju dengan pendapat itu, masa kecil saya sangat penuh keceriaan”.
Michell menyematkan harapan kepada para manajer toko buku, pemilik penerbitan, pihak pemerintah yang berkemungkinan menyubsidi biaya pengadaan bacaan, pengelola taman bacaan, juga panitia festival-festival sastra supaya membuat dunia buku kian semarak cum membahagiakan bagi para pembaca. Mengingat betapa sudah jauhnya negara kita tertinggal dalam urusan literasi. []

Rizka Nur Laily Muallifa

Share:

0 komentar