Mengandung Ibu, kisah buku Vera Safitri




Dua Ibu | Pengarang Arswendo Atmowiloto | Penerbit Gramedia | Tahun Terbit Cetakan Ketiga, 2014 | Tebal 304 hlm | ISBN 978-602-03-0602-5
 
IBU terbuat dari hidup. Mungkin itu sebabnya kita tak pernah terpuaskan. Saat seorang Ibu membesarkan anaknya, sebenarnya anaknya-lah yang mendewasakan Ibunya. Tapi dalam banyak karya sastra yang berceceran di jagat bumi ini Ibu seringkali dituliskan seolah ia adalah jenis manusia yang lain. Yang punya ketulusan super dan maha rela. Seperti tokoh Marmee, sang ibu dalam Novel Little Women (Louisa May Alcott, 1868) misalnya, yang digambarkan hampir-hampir mirip malaikat karena ketabahannya menjalani hidup dengan keempat anak gadisnya, tokoh Ibu dari Najin Han dalam novel The Caligrapher’s Daughter (Euginia Kim, 2012) pun begitu, iarela dimusuhi suaminya karena nekat menyekolahkan Najin, dan banyaklagi.
Selain novel-novel itu, Novel DuaIbu (1980) karangan Arswendo Atmowiloto, pun mengalami hal serupa. Berkisah tentang seorang Ibu yang membesarkan sepuluh anaknya, seharusnya menjadi kisah membosankan karena hal ini bias kita temukan di mana pun tanpa harus memelototi 300 halaman dari Arswendo. Tapi novel menjadi novel karena ada sesuatu yang naif. Ada sebuah pengorbanan di sana. Sembilan dari sepuluh anaknya itu tidak keluar  dari rahim si Ibu. Meski sebenarnya itu bukan masalah karena baginya rahim bukanlah stempel saklek untuk menjadikannya seorang Ibu. Karena Ibu “ialah sebutan bagi perempuan yang merelakan kebahagiaannya sendiri buat anak orang lain” (hlm. 9). Anak-anak itu dibesarkan bersama dari pelbagai keluarga. Mereka meski tak sedarah tapi dialiri cinta yang sama, cinta dari Ibu.
Meski dijuduli “Ibu”, novel ini sebenarnya berpusat pada pengilhaman dan penglihatan sepuluh anak tentang Bu Martono, Ibu mereka. Nantinya pembacaakan menemui Mamid, Solemah, Mujanah, Ratsih, Jamil, Adam, Mirah, Herit, Priyadi danPrihatin, anak-anak Bu Martono yang memiliki catatan kuat tentang Ibunya itu. Kisah ini dituturkan oleh Mamid. Walaupun nantinya, pola pengisahan akan berubah  dalambentuksuratdarianak-anaknyakepada Bu Martono. Pembaca pun bakal jadi saksi dari guratan-guratan pesan dari ank-anaknya itu. Penceritaan dengan pola ini bias menghadirkan romansa tersendiri bagi para pembaca. Karena bagaimanapun, menulis surat tak sesederhana menulis pesan Whatsapp. Ekspresi-ekspresi dihadirkan bukan dalam bentuk emoticon, melainkan kalimat-kalimat yang harus dibayangkan sendiri oleh pembacanya.
Cinta kasih Bu Martono yang digambarkan sangat suci itu berbalas dengan sikap anak-anaknya yang sangat menghormati dan mencintainya pula. Tokoh Ibu dalam novel ini bias dibilang penggambaran klise Ibu dalam karya sastra. Yang lembut tapi juga kuat, pengasih sekaligus keramat. Ingatan itu dapat kita amati dari Mamid saat ia menceritakan betapa ajaibnya seoran gibu, saat menyiapkan pesta pernikahan untuk Solemah, anaknya yang lain. “Pesta yang dahsyat dan dengan tepat menggambarkan keunggulan Ibu sebagai administrator, organisator, dan tukang sulap sekaligus. […] Tukang sulap yang lihai karena apa yang menjadi isi rumah lenyap sebulan setelah pesta usai (hlm.10)
Tapi pembaca jangan dulu membaca novel ini dengan haru. Ibu tak melulu membawa sendu. Ada alegori yang hendak diceritakan oleh Arswendo. Sebuah perbincangan keluarga tentang ikatan darahdan ketulusan. Karena meski bagaimana pun, Ibu bukan pemberi kasih tak berbalas. Ia tetap menuntut balas, yaitu dengan kebahagiaan anak-anaknya.
Persis halnya dengan apa yang ditulis Arswendo dalam novel ini, fantasi tentang Ibu dalam banyak karya sastra kiranya digambarkan terlalu altruis. Bisa jadi sebab itulah “Ibu” sering kali secara paksa dijadikan bayangan dan tameng untuk melawan sesuatu yang keras dan ganas. Kita bias lihat “IbuBumi” begitu ampuh dijadikan roh dalam kasus Kendeng untuk melawan opini tentang pembolehan pembangunan pabrik semen di Kendeng beserta AMDAL-nya. Kata “Ibu” dalam Lagu Hidup milik Sisirtanah juga berhasil membikin penebangan pohon dan perusakan terumbu karang jadi hal yang menjijikan .Jika hutan adalah Ibu/ Kita manusia memperkosa Ibu.
Para pengarang mengandung Ibu. Namun seringkali Ibu yang dilahirkan dari rahim sastra selalu saja berwajah sama. Barangkali Ibu terlalu keramat untuk digambarkan jadi egois, kejam dan pamrih. Ibu yang masih memiliki sifat-sifat itu barangkali bias dicopot gelar “Ibu”nya oleh para pembaca. “Ibu macam apa itu? Huh!”, “yang seperti itu bukanla hIbu!” Maka jika sudah begitu, Ibu-ibu di semesta sastra jadi terstandarisasi. Ah, betapa monotonnya jika itu benar-benar terjadi. Tapi kamu-kamu masih dipersilakan membaca novel ini, kecuali “mereka yang merasa  tidak dilahirkan oleh seorang Ibu.”[]


Vera Safitri Anggota LPM Kentingan UNS. Penyendiri tangguh. Ikut mengoceh di obrolan miskin pahala saban Selasa malam.
 

Share:

0 komentar