Puisi-puisi Hidayat Raharja




BUNYI DAUN GUGUR

Sepi dan pagi perlahan membuka matanya
Menatap tubuh yang menguning
Mencium bau kering

Ada rindu tumbuh di antara angin gaduh
Debu-debu menari, serakan seresah bernyanyi
Manggil hujan di oktober yang sunyi

Sumenep, 2015



 


BUIH LAUT
: Syemi

Syem, uban adalah buih laut yang mengiringi
perahu berlayar ke tengah samudera. Aneka suka
dan cerita menaiki punggung gelombang ke batas
malam. Ia sinar bulan terangi hamparan pikiran,
memantulkan bayang-bayang di kisahan. Perjalanan
mendaki dan menurun, mendatar dan menyelam
di sela karang dan terumbu. Ibu, selalu ingatkan jam
pulang dan makan siang, bekerja dan istirahat.
Syem, uban adalah warna perjalanan tertulis di atas
kertas kehidupan dibentang dari buaian sampai
lambaian. Warna yang pudar oleh putaran arloji dan
denyut nadi
Yang tua akan renta
Yang renta akan tiba
Yang belia akan dewasa
Yang dewasa akan tua

Melipat kerut di kulit, mengelupas luka di kepala.
Kau suka matematika. Hidup ini matematika, bila
bertambah semakin berkurang jumlahnya.
Matematika usia yang membuat lupa, tetapi al-islam
yang kau baca selalu mengingatkannya. Kau suka
pelajaran al-islam. Pelajaran menabur kebaikan
di ladang iman, menebar kasih bagi sesama makhluk
tuhan sekalian alam. Buku yang ngajak pembaca
berbuat bukan bermuslihat. Lembar-lembar yang
menyampaikan relasi alam dengan tuhan, antara
piaraan dengan tuan.

2016





UBUR-UBUR MERAH
: Aurelia sp.

Meluncur dari kedalaman. Ubur-ubur dengan
tangan panjang meraih tubuh ombak perak.
Ombak yang mengusung plankton dan sarcodina.
Air yang subur bagi hidup dan gembira. Ikan-ikan
berdatangan mengucap salam. Siripnya mengarah
ke udara. Para pelaut menabur peluh melepaskan
jaring-jaring di antara hening. Bagai payung fantasi
ia lepaskan lendir penuh tuba. Lendir yang
merekatkan air dan malam, air dan karang-karang
kerakal. Sebuah sirkulasi mengalir dari kisah air dan
sihir. Ubur-ubur merah mengurai darah,
memperlihatkan jantung dan usus yang berdetak. Usus
dan jantung yang merekam gemuruh air dan
takdir. Berlarilah ubur-ubur ke permukaan. Matahari
berlayar di atas punggung. Cahaya bulan, cahaya
malam yang diusung dari dasar perairan dan
kegelapan. Dari kegelapan ke malam. Lili laut, bintang
ular dan bintang laut dengan pori-porinya
menelan matahari, menelan bulan, menelan siang,
menelan malam. Malam laut, laut yang disebut. Laut
hidup yang surut, laut hidup yang pasang. Air
meninggi, menyapa tebing dan karang, membasuh
malam dan bimbang. Dalam sekali hentakan, tubuh
yang radial meluncur ke permukaan, dalam pijaran
api, pijaran darah menerangi rongga laut.
Garam-garam berkilau merah, merah redup yang
hiruk. Ufuk, ufuk, ufuk. Ombak teluk bertekuk
di kelokan ceruk. Hum, hum, hum…

2016





PENGANTIN KECIL

Sepanjang jalan sepanjang waktu
telah kutempuh masa lalu.
Pengantinku, pengantin kecil lambang hidup yang
murup. Ada kau dan aku, sepasang kekasih, melati
dan coleopatra. Sepasang duri dan tangkai. Duhai,
duhai nyanyi kumandang di antara masa tanam dan
musim kembang, kemarau kerontang, melati mekar
menebar debar. Yang kanan kacong dan kiri
cebbing. Belimbing hidup yang bersudut, adalah
maksud yang tak pernah tertutup. Matahari
sepenggalah, suara daun-daun menabur gemuruh
di antara angin kesepuluh. Tanah-tanah rekah
mendesiskan musim buah, nangka yang terbelah.
Aku inginkan banyak anak, sebagaimana biji
terkandung dalam bakal buah. Biji yang akan
menumbuhkan tangis bahagia di antara
musim-musim ketiga ketika menempuh dahaga.
Sesap dagingku, daging pilihan dari langsar. Daging
yang ditumbuhkan di atas batu-batu, daging yang
digemukkan dari daun keratok yang membuat
mabuk. Tatap kulitku, kulit merah halus sapi betina.
Jenjang kakiku adalah jenjang waktu yang
menuntunku ke arah ibu. Di kepalaku mahkota
tanduk, pucuk tempat aku menaruh hiruk di dapur
dan di teluk. Pengantin, meniti dini pesisir dengan
bakul di atas kepala dipenuhi syukur. Ikan-ikan
mengelepar menandaskan lapar dan lahar.
Keranjang yang dijunjung dari gunung dipenuhi ubi
dan sulur sayur babur. Lelaki, traktor gunung
dengan punggung kekar menahan kobar api.
Di punggungnya dijunjung sungai dan laut untuk
memadamkan sepi dan kalut. Dua samudera yang
selalu mengalir dan menghanyutkan kisah para
kekasih yang berlabuh dalam batih. Ia adalah
gunung-gunung subur yang menumbuhkan arit
dan cangkul, mengolah tanah dengan limpahan
peluh tercurah. Kali-kali kecil membasahi tegal dan
taman, saat kemarau mengendap di halaman. Ia
jembatan yang menggandeng perbedaan di antara
yang kanak dan baligh. Pejalan, pembuka
tanah-tanah gelap dengan harap membuka
ruang-ruang bahagia dengan sederhana. Haena’
haedeng dengkong abali pole. Pengantin menuju
ke gerbang petang menyalakan lampu-lampu, menatap
rambu-rambu, ah betapa hidup penuh terumbu.
Jangan perangkap aku. Dendang pengantin, petang
bersalin dari cahaya ke mala, dari gelap ke petaka.
Kau tersasar ke rumah sesat, jangan lupa membaca
doa pembuka pembuang murka; Hidup ada, mula
kepada baka.

2016




Hidayat Raharja lahir di sampang, 14 Juli 1966. Menulis puisi dan esai. Buku puisinya Kangean terpilih 15 nominasi Yayasan Hari Puisi tahun 2016. Saat ini mengajar biologi di SMA Negeri 1 Sumenep.




Tags:

Share:

0 komentar