TENTANG "ISLAM TUHAN, ISLAM MANUSIA", Kisah Buku Murodi Shamad



Saya ingat pertama kali membuka buku berjudul “Islam Tuhan, Islam Manusiaini pada perjalanan pulang saya setelah bertemu dengan beberapa teman di bilangan Tebet, Jakarta. Pada sebuah sudut gerbong kereta yang membawa saya pulang ke Bogor, saya mulai membaca buku bersampul cokelat cerah dengan wajah sang penulis dibagian depan dan sebuah subjudul  bertuliskan “Agama dan Spiritulitas di Zaman Kacau” ini.
Buku setebal 288 halaman yang ditulis oleh Haidar Bagir ini memberi banyak pencerahan kepada saya di tengah meningkatnya sikap skeptis saya terhadap agama saya sendiri. Setelah aksi nomor cantik berjilid-jilid yang dilakukan oleh segelintir umat beragama yang merupakan respon terhadap pernyataan seorang calon gubernur yang saat itu tengah bertanding memperebutkan kursi nomor 1 di ibukota.


Pada saat itu, saya melihat agama yang saya anut tak sebagaimana mestinya. Pemeluk agama yang katanya damai ini malah terkesan beringas, sombong, penuh kemarahan dan kebencian.

Jika iman saya diibaratkan sebuah garis pada sebuah kurva yang kerap saya presentasikan di kantor, maka iman saya berada pada titik paling rendah dalam hidup saya. Saya merasa ada yang salah, ada yang hilang dari agama saya, kenapa tagline agama yang katanya rahmat untuk semesta menjadi omong kosong belaka? Jangankan untuk semesta, bahkan untuk pemeluknya seperti saya saja , tak satupun kedamaian yang saya terima.
Tuhan berkerja dengan cara yang rahasia, mungkin ini yang saya terima. Ketika titik iman saya berada pada posisi terendah, Tuhan dengan baik hati memberikan saya sedikit “petunjuk” dengan cara mempertemukan saya dengan buku ini. Buku ini mampu menghantarkan saya pada pemahaman tentang islam melesat pada level yang tidak saya duga sebelumnya.
Dimulai dari bagian “Aku dan Islamku” Haidar Bagir sebagai penulis mencoba menjelaskan posisi “keislaman” yang beliau anut. Saya berulang kali bergumam kecil tatkala membaca kalimat demi kalimat yang dihantarkan beliau. Beliau menjelaskan keislamannya yang sejuk. Tak ada klaim kebenaran sepihak, tak ada amarah pada perbedaan, tak ada arogansi terhadap keping kebenaran yang dimilikinya. Saya mengutuk diri sendiri, kenapa tidak dari dulu terpikirkan konsep agama Islam seperti yang beliau anut.
Banyak hal-hal baru yang saya dapatkan, terutama tentang penempatan “Akal” dalam Islam. Sependek pengetahuan saya selama ini, akal bukanlah hal yang sering dibicarakan dalam beragama. Konsep akal kalah dengan klaim "Percaya" yang selama ini dianggap sama dengan iman. Tentu saya tak menggangap semua pengajaran keislaman seperti itu, namun itulah yang selama ini saya dapatkan.  Akal yang merupakan anugrah yang diberikan Tuhan, yang juga merupakan pembeda antara manusia dengan makhluk lain seperti tumbuhan dan binatang kerap dihilangkan dalam proses keimanan, dan disinilah penjelasan mengenai penempatan akal yang seharusnya, akal tak mesti takluk dengan dogma dan segala macam ritual lainnya, akal mesti tetap menjadi alat penting dalam memverifikasi kebenaran yang diterima oleh manusia.
Bagian “Pendahuluan” mungkin menjadi bagian paling emosional bagi saya. Pada bagian ini dijelaskan secara ringkas kandungan tiap-tiap bab yang akan dibahas pada buku ini. Kenapa saya bilang emosional? Karena saya menitikan air mata sesaat setelah menyelesaikan bagian ini. Berlebihan? Mungkin, tapi itulah yang saya alami. Bagian ini berisi konsep-konsep yang sudah lama saya pikirkan namun masih berwujud sangat mentah dan belum berbentuk apa-apa, hanya sekelebat pemikiran bagaimana suatu agama semestinya diterima dan diamalkan juga terdapat jawaban-jawaban awal dari segudang pertanyaan tentang keyakinan saya sendiri selama ini.
Buku ini terdiri dari 5 bagian yang masing-masing dijelaskan dengan cukup rinci, meski saya sendiri kerap mesti bolak-balik mencari tahu beberapa istilah yang digunakan di peramban gawai saya, maklum saya bukan orang akademik yang familiar dengan beberapa istilah di dalamnya. Namun hal tersebut tidak menjadi kendala berarti ketika kita mencoba memahami maksud dan pengertian yang coba dijelaskan oleh penulis buku ini.
Bagian pertama membahas mengenai masalah-masalah yang dialami dunia Islam dewasa ini. Dimulai dari  pembahasan mengenai krisis yang dihadapi umat manusia, sehingga adanya kerinduan untuk kembali pada semacam spiritualisme. Kekosongan akan budaya dan derasnya arus komunikasi sebagai imbas dari majunya teknologi. Juga dibahas secara mendalam serta akar radikalisme dan asal usul takfirisme menjadi isu yang selanjutnya dibicarakan.
Saya merasa masalah-masalah yang dihadirkan pada bagian pertama buku ini memberi gambaran apa yang sebenarnya tengah terjadi pada umat manusia pada umumnya dan umat Islam khususnya saat ini. Saya sendiri mengakui, adanya kerindukan pada Islam yang lebih spiritualis, Islam yang menyentuh hati dan akal saya, bukan hanya serangkaian dogma dan seperangkat aturan berikut ritual-ritualnya yang kosong tanpa nilai apa-apa. Saya merindukan posisi agama yang menjadi saya pribadi yang bukan saja bertaqwa tapi juga humanis dan manusiawi. Saya juga membutuhkan islam yang mampu menjadi pendamping dalam kemajuan teknologi, menjadi penuntun agar kita tetap menjadi manusia seutuhnya.
Bagian selanjutnya adalah "Khazanah - Khazanah Pemikiran Islam". Ini adalah bagian favorit saya, saya mendapat banyak pencerahan pada bagian ini. Jika dibagian Pendahuluan, akal dibahas secara ringkas, pada bagian ini akal diberi ruang cukup luas untuk dibahas dan dimengerti. Pada bagian ini penulis mulai banyak menyinggung mata rantai yang hilang dalam Islam yang menjadikan Islam jatuh dari kejayaanya, yaitu hilangnya tasawuf (Filsafat bernafas Islami) dalam pemikiran dan pengamalan Islam.
Bagian-bagian selanjutnya tak kalah menarik, banyak isu-isu yang selama ini masih berada di wilayah abu-abu bagi saya bahkan gelap sama sekali tiba-tiba menjadi lebih terang dan jelas. Semua permasalahan, pendekatan, dan solusi disajikan dengan cukup gamblang. Saya butuh waktu seminggu untuk menghayati dan memahami semua pembahasan dibuku ini. Meski itupun tak menjamin bahwa apa yang saya terima sudah seperti yang ingin disampaikan oleh penulis. Buku  ini layak dibaca berulang-ulang ditambah dengan pendalaman beberapa prinsip ilmu yang dibahas disini, maka saya kira apa yang ingin disampaikan penulis dapat diterima dengan lebih baik oleh kita sebagai pembacanya.
Saya merasa bahwa buku ini semestinya dibaca oleh lebih banyak orang muslim agar mereka mengerti dan mendapat pandangan baru tentang keislaman mereka dan juga non-muslim agar mereka dapat mengerti wajah islam yang sesungguhnya, yang benar-benar menjadi rahmat bagi semesta, yang ramah bukan marah, yang anggun bukan beringas, yang sejuk bukan gersang, dan yang penuh cinta kasih bukan kebencian.


Murodi Shamad adalah seorang pegawai swasta yang hobi membaca, menonton film dan berjalan-jalan sendirian. Menjadi bagian dari taman kanak-kanak bernama Komunitas Supernova. Kerap berdiskusi dengan teman pencari Hidayahnya dalam sebuah grup WA rahasia.

Share:

0 komentar