Sosok Any Asmara telah menjadi bagian nyata dari sejarah
perkembangan dinamika sastra Jawa pasca kemerdekaan. Paling tidak, sejak
dekade-50an hingga pertengahan 70-an, karya prosanya yang dibukukan (terutama berupa
novel) banyak diapresiasi dan disukai sehingga penyerapan pasarnya terhitung “laris
manis” di DIY, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Kisah hidup ringkas
Any Asmara nama aslinya adalah Achmad
Ngubaeni. Lahir di Banjarnegara, 13 Agustus 1913. Ayahnya meninggal saat dia
masih dalam kandungan. Setelah beberapa waktu menjanda ibunya menikah lagi dan
mempunyai tiga orang anak. Pendidikannya hanya sampai Sekolah Rakyat (SR) dan
tidak melanjutkan karena ketiadaan biaya. Untuk menyelesaikan sekolahnya di SR saja
terpaksa harus “ngenger” ikut saudaranya satu tahun di Purbalingga.
Sejak kecil sosok
ini menyukai wayang. Sedangkan pada masa dewasa awal sempat bekerja serabutan
untuk menyambung hidup. Seperti bekerja di pabrik setrup di Semarang, sebagai
pedagang keliling menjual barang-barang imitasi, dan pembuatan reklame (1931). Sejak
pertengahan dekade 30-an ikut menjaga toko buku pamannya di Dagen, Yogyakarta,
sambil berdagang buku bekas di pasar Beringharjo. Selanjutnya berusaha
mendirikan persewaan buku bacaan di Jalan Sosrowijayan 68, Yogyakarta, yang
akhirnya berkembang menjadi toko buku (Boekhandel
Trisirah) yang menjual buku serta majalah baru dan bekas.
Pada zaman Jepang
sempat menjadi pasukan heiho. Setelah
kemerdekaan, Any Asmara bekerja di Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Ia
ditugaskan di pemandian Umbang Tirto, Kotabaru, Yogyakarta, hingga dipercaya
menjabat kepala pemandian tersebut. Di PDAM, seperti pegawai lainnya, ia
memperoleh nama dan gelar dari keraton Yogyakarta, Ng. Ranusastra Asmara. Sedangkan
nama samaran Any Asmara yang dipakai dalam menulis karya merupakan penggabungan
nama asli Achmad Ngubaeni dengan Ranusastra Asmara. Awalnya nama samaran yang
digunakan hanya: Any.
Kecuali menjadi pegawai PDAM, sejak 1957 Any
Asmara juga bekerja sebagai pembantu tetap majalah Mekarsari sampai akhir
hayatnya. Sekitar tahun 1975 menjadi redaktur pelaksana koran Parikesit (Sala)
hingga bubarnya koran tersebut (awal-80an). Gara-gara peristiwa September 1965,
beliau diberhentikan tidak dengan hormat dari pekerjaannya di PDAM Yogya (1967).
Alasan utamanya karena terkena screening
(kategori C3) lantaran menjadi anggota Serikat Buruh Daerah (SEBDA) yang berfiliasi
dengan PKI.
Any Asmara
menikah pertama kali dengan seorang bidan RSU Banjarnegara dan berputera dua
orang: Teguh Haryono/Teguh Ranusastra Asmara (alm) dan Dwi Astuti Hartiningsih (alm). Setelah
bercerai dengan istri pertama ia menikah lagi dengan bidan Rumah Sakit Bethesda
yang berasal dari Demak. Dengan istri kedua berputera dua orang: Tyas Wahyu Widiati (alm) dan Agung Budi
Prasetya (alm). Setelah dengan istri kedua juga bercerai, kemudian menikah
dengan Hartiatin dari Magetan (1961). Dari istri ketiga berputera tiga orang:
Bambang Wahyu Nugroho (alm), Kusumaningati Sulistya Wardani, dan Mulyaningati
Ambyaring Sulistyarini.
Selama tinggal di
Yogya, beliau sempat mengontrak rumah di Sosrowijayan, Tegalpanggung,
Lempuyangan, Blunyah Gede, dan Demakan Baru. Terakhir membuat rumah sendiri di
Tegalmulyo (1966) yang ditempati sampai 1975. Selanjutnya pindah ke Sala
setelah rumah di Tegalmulyo dijual. Sesudah beberapa kali pindah rumah
kontrakan di Sala kemudian menetap di perumahan Josroyo Indah, Jaten, Karanganyar
hingga wafatnya (1990). Jenazahnya dimakamkan di makam Jatilaya, Jaten,
Karanganyar.
Proses menulis, karya
dan buku yang diciptakan
Konon, keinginan menulisnya sudah tumbuh
gara-gara banyak membaca sejak berjualan buku bekas di pasar Beringharjo. Era
tahun 30-an, ia menulis wacan bocah
(cerita anak) dikirim ke ”Taman Bocah” majalah “Kejawen” di Batavia Centrum
(Jakarta) dengan nama samaran Any. Ternyata karyanya dimuat. Kenyataan tadi
membuat semangat menulisnya makin menjadi-jadi. Ketika Taman Bocah mengadakan
sayembara mengarang, beliau ikut dan menang sebagai juara I. Hadiahnya berupa buku-buku
senilai ᵳ25,00.
Sekian waktu kemudian, tanpa Adisangka-sangka ia malah diminta mengasuh rubrik
Taman Bocah tersebut dan namanya disamarkan dengan Bu Mar.
Berkat kegigihannya mencipta prosa, akhirnya cerkak-nya berhasil dimuat majalah
mingguan Espres, Surabaya. Tahun 1933, beliau sudah berhasil mencipta cerbung
berjudul Ngoho Mataram. Oleh Panyebar
Semangat judul itu diganti menjadi Grombolan
Gagak Mataram (cerita ini pernah jadi polemik karena dianggap memplagiasi
cerita Ngulandara). Tahun 1934 beliau
menulis cerita bersambung Intarti,
dan di tahun 1961 dicetak menjadi buku
oleh PT. Jaker, Yogyakarta, dengan judul Anteping
Wanita.
Tahun 1950, nama Any Asmara makin berkibar
dalam dunia penulisan fiksi (prosa)
berbahasa Jawa. Karya-karyanya bertebaran di majalah Kekasihku, Panyebar
Semangat, Crita Cekak, Pustaka Roman. Jayabaya. Juga di koran majalah terbitan
selanjutnya: Waspada, Djaka Lodhang, Panglipur Wuyung, Dharma Kandha,
Kumandang, Kunthi, Parikesit, Mekarsari. Karyanya sering dibacakan di RRI
Yogyakarta, Sala, dan Semarang.
Sekitar awal tahun 60-an beliau mendirikan
penerbit CV. Dua “A” berkat dukungan seorang pengusaha tenun Surya Tex di
Prawirotaman, Yogyakarta. Buku diterbitkan sendiri dan dipasarkan sendiri ke
berbagai toko buku di Jawa, dan penyerapan pasarnya bagus sekali. Artinya, buku
karya beliau disukai oleh masyarakat Jawa waktu itu. Konon, sebelum 1966 beliau
sudah menghasilkan tidak kurang dari 70 novel dan 700-an cerkak. Hingga
pertengahan 70-an, cukup banyak buku karya novel beliau yang diterbitkan,
antara lain: Grombolan Gagak Mataram
(1954), Gandrung Putri Sala (1962), Korbaning Katresnan (1962), Putri Tirtagangga (1962), Grombolan Nomer 13 (1963), Panglipur Wuyung (1963), Donyane Peteng (1964), Kumandange Katresnan (1964), Pangurbanan (1964), Tangise Kenya Ayu (1964), Lelewane
Putri Sala (1965), Duraka (1966),
Kraman (1966), Kumandhange Dwikora (1966),
Maju terus Suthik Mundur (1966), Nyaiku
(1966), Panggodhaning Iblis
(1967), Singalodra (1968), Tante Lies (1969), Jagade Wis Peteng (1970), Ni
Wungkuk (1970), Tatiek Indriani Putri
Sala (1972), Telik Sandi (1974), Tilas Buwangan Nusa Kambangan (1976), dan
lain-lain. Selama berkreasi, Any Asmara nyaris hanya menulis cerkak dan novel
dan sesekali kisah sejarah. Juga tidak pernah mencipta geguritan serta menulis
karya prosa dalam bahasa Indonesia.
Analisis kasar
posisi karya-karya dan kreativitas Any Asmara dalam dunia sastra Jawa
1.
Mencermati sejarah kehidupan beliau,
terkesan kepenulisannya diwarnai: 1) latar belakang budaya Jawa dan Banyumasan
yang kental, 2) adanya dorongan berekspresi untuk memperoleh (meningkatkan) eksistensi/kredibilitas
pribadi, 3) mengomunikasikan ide/tema yang disukai masyarakat pada zamannya, 4)
dalam perkembangan
berikutnya, karya yang dihasilkan nyaris menyerupai “kerajinan” dalam rangka
“dijual” untuk memperoleh penghasilan guna menopang
kehidupan.
2.
Jika melihat kecenderungan karya tulisnya adalah prosa (cerkak dan novel) berbahasa Jawa mengindikasikan:
1) memiliki kemampuan prima dalam bercerita, 2) memiliki ketrampilan berbahasa
Jawa yang cukup bagus dan mapan, namun terkesan “mandeg”/kurang dikembangkan,
3) adanya dorongan untuk mendapat honorarium yang layak, karena honor prosa
lebih besar dari geguritan (puisi), 4) kurang memiliki komitmen dan perhatian
terhadap sastra Indonesia.
3.
Dimungkinkan, popularitas karya-karyanya juga dipengaruhi oleh sejumlah faktor
internal dan eksternal, antara lain: 1) keberadaan majalah berbahasa Jawa yang
cukup banyak menayangkan karyanya, 2) terjadinya kecocokan selera dan minat
baca masyarakat dengan tema romantik dan gaya bertutur yang “njawani” dalam
menulis prosa, 3) adanya pengaruh dari fenomena cerita silat dalam bentuk buku saku
yang populer di masyarakat waktu itu, 4) iklim sosial di Jawa yang penuh
ketegangan politik membuat masyarakat ingin memperoleh bacaan yang ringan
sebagai perintang-perintang waktu (menghibur diri) dalam hidup keseharian, 5)
karyanya banyak dikemas menjadi buku saku dengan kualitas sederhana sehingga harga
jualnya terjangkau.
4.
Setelah peristiwa 1965 dan memasuki era-70an, terkesan pandangan
masyarakat Jawa mengalami perubahan visi dan selera baca yang dipengaruhi oleh
berbagai faktor sosial dan individual, sehingga berakibat terjadinya penurunan
minat baca terhadap sastra Jawa di mana-mana. Beberapa hal yang patut
dibayangkan kaitannya dengan menurunnya minat baca terhadap karya-karya beliau,
antara lain: 1) tema dan gaya penulisannya relatif ajeg, sementara masyarakat
menghendaki keragaman, 2) munculnya persaingan dengan novel-novel pop berbahasa
Indonesia, 3) terjadinya persaingan antar kreator sastra Jawa sendiri dalam
meraih pasar (panggung pemuatan karya di media massa) yang makin terbatas.
5.
Pandangan kalangan akademisi dan pengamat sastra Jawa terhadap
karya-karya beliau, antara lain: 1) munculnya pandangan dikotomis (seperti
dalam sastra Indonesia) mengenai sastra pop, dan sastra serius, di mana karya
beliau cenderung dikategorikan sebagai karya pop (bacaan), 2) karya beliau dianggap
memiliki tema dan gaya “panglipur wuyung” yang pada gilirannya terkesan
“membosankan”, 3) ada kalangan yang menganggap beliau kurang “dalam” menggali
tema yang diangkat.
6.
Beberapa kelemahan yang dinilai pengamat terhadapat karya dan proses
kreatif beliau, antara lain: 1) kurang melakukan penelitian terhadap tema yang
diangkat, dan hanya cenderung melakukan rekonstruksi realitas di permukaan, 2)
cenderung mengangkat tema yang akrab dengan selera umum sehingga terkesan
karyanya hanya untuk “memuaskan” pembaca, 3) beberapa pihak menganggap beliau
kurang terbuka pada kritik dan kurang mengembangkan visi, gagasan, dan
kreativitas dalam berkarya dengan tidak mencoba menulis karya selain novel (dan
cerkak), 4) beberapa karya dinilai hasil plagiasi.
7.
Hal-hal yang patut dijadikan suri-tauladan, antara lain: 1) semangat
menulisnya cukup tinggi dan hampir setiap hari selalu berada di depan mesin
ketik, 2) mampu menguasai dan menggunakan bahasa Jawa dengan baik, 3) mempunyai
bakat dan visi entrepreneur (menerbitkan buku karya sendiri dan memasarkan) serta
melakukan gerakan literasi (mendirikan perpustakaan), 4) mempunyai pandangan
kokoh dengan tetap berdiri pada pilihannya menulis karya prosa berbahasa Jawa,
5) berusaha memadukan kreativitas penulisan dengan jurnalisme, 6) mampu menjadikan
hasil penulisan sastra/buku sebagai sarana menopang kehidupan.
Yogyakarta,
5 November 2017
terima kasih tulisannya sangat membantu bagi mahasiswa bahasa Jawa yang ingin mengetahui sedikit banyak ulasan mengenai pengarang Jawa,dalam hal ini Any Asmara
ReplyDeleteSungguh sangat bermanfaat untuk saya dalam mendalami sastra jawa.
ReplyDeleteApapun itu,
ReplyDeleteAny Asmara telah menjadi salah satu dari sekian penulis berbahasa Jawa pada zamannya.
Setiap penulis itu tentu memiliki style sendiri, dan pangsa pasar menyerap taste itu.
Tak ada kesempurnaan mutlak bagi penulis siapa pun dia.
Menghargai karya seseorang adalah satu wujud dari eksistensi si penulis.
Tugas seorang kritikus memang menelanjangi dan memberi masukan tentang kekurangan penulis, dari sudut pandang subyektif tentunya. Sebagaimana seorang pengamat catur atau sepakbola. Melihat permainan di luar gelanggang. Tidak terjun langsung sendiri.
Bermain dan melihat itu beda. Itu yang harus kita renungkan dengan jernih. Bukankah terjadi perdebatan, ketika seorang kritikus dikritik oleh orang lain? Hanya karena berbeda melihat angelnya dan tentu selera pribadi. Seorang penggemar cerita romans kemudian membaca cerita silat, akan ada benturan narasi maupun diksi yang dikemas. Dia akan cenderung memilih novel romans ketimbang novel silat. Meskipun pendapatnya itu ditentang oleh kritikus lain, karena perbedaan taste dan latar belakang pendidikan serta pengalaman.
Maka suatu karya, harus dilihat dari berbagai sudut pandang.
Sekali lagi,
Tidak ada satu pun penulis yang sempurna. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan sendiri.
Salam,
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteEyangku Any Asmara ������
ReplyDeleteAku salah satu penggemar Any Asmara.
ReplyDeleteBeliau penulis novel berbahasa Jawa yang sangat produktif dijamannya.
ReplyDeleteSaya sdh menyenangi dg karya beliau sejak saya msh SR..rindu dg karya beliau ..tata bhs jawa yg santun..merak ati
ReplyDeleteRindu ..ingin bc lg..
Saya penggemar karya beliau...yg saya ingat sampai sekarang Telik sandi sama Putri Tirtagangga...kemudian Petheng Lelimengan...tata bahasa jawanya bagus...semoga karya2nya tdk menghilang tetap lestari dan menjadi salah satu pengarang cerita bahasa Jawa yg legendaris..
ReplyDelete